Jangan lupa dukungannya ya kakak, suapaya authornya semakin semangat update banyak bab tiap hari terimakasih
“Besok pagi-pagi kita pergi, sekalian olahraga. Nggak jauh dari sini kok. Malamnya baru acara pertunjukan Fashion Show-nya, kamu masih punya waktu untuk bersantai. Biar otak kamu juga refreshing sedikit,” ujar Melisa sambil menyeruput kopi hangatnya di balkon apartemen.Jam dua belas malam di Paris—waktu ketika kota ini bersinar dan bernafas dalam sunyi—berarti sudah jam delapan pagi di Jakarta. Perbedaan waktu delapan jam yang awalnya membuatku bingung, kini malah kupikirkan matang-matang. Waktu yang pas untuk menelepon Ayah dan Zio. Rasa rindu menggumpal di dada, aku memilih video call agar bisa melihat wajah mereka.“Halo, San! Kamu lagi di mana toh, Neng? Kok gelap banget,” ucap Ayah tampak kebingungan.“Di balkon apartemen Melisa, Yah. Di sini malam, di sana kan pagi. Kita beda waktu delapan jam. Ayah sehat-sehat saja, kan?”Aku mengarahkan kamera ke lampu supaya Ayah bisa melihat wajahku lebih jelas. Suara di ujung sana terdengar lebih pelan, tapi kurasakan ada keresahan dalam na
Malam itu, aku dan Panji masih duduk berdua di ruang tamu apartemen kecil yang menghadap langsung ke gemerlap malam Paris. Di luar sana, kota cahaya tetap hidup, seolah tak pernah mengenal lelah. Kilau lampu jalanan dan nyala Menara Eiffel yang megah terlihat dari balik jendela kaca besar, membingkai pemandangan yang selalu menjadi impian banyak orang.Namun, di dalam ruangan ini, waktu seakan berhenti. Lampu temaram memantulkan bayang-bayang sendu di dinding putih apartemen, seperti lukisan luka lama yang tak pernah selesai."Sany, tolong... jangan membenciku. Maafkan aku," ucap Panji pelan, nadanya dalam, nyaris bergetar. Seperti ada sesuatu yang selama ini ia pendam terlalu lama, menumpuk seperti kabut di dada.Aku menarik napas, menatap matanya yang terlihat rapuh, seperti kaca yang siap retak. "Aku sudah melupakan Mas. Saat ini, aku hanya berusaha menjalani kehidupan yang lebih baik. Mas juga tahu kan, aku dan Aslan masih berstatus suami istri, walau... hanya status."Panji menga
Mendengar Mas Panji menyusulku sampai ke Paris membuat kepalaku makin pening. Entah kenapa, para pria dalam hidupku seakan tak mau melepaskanku begitu saja.“Apa yang harus aku lakukan sekarang...” gumamku lirih, sambil memegang batang leher yang tiba-tiba terasa kaku dan nyeri.“Gini aja deh, daripada kamu makin pusing, kalau lelaki bernama Panji itu tetap bersikeras ingin bertemu, suruh saja dia datang ke sini,” saran Melisa, suaranya tenang, seperti biasa.“Tapi ini—”“Tenang, Sany. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku ada di sini. Dua orang yang akan jadi asistenmu juga akan tinggal di sini sampai acara fashion show selesai. Jadi tidak akan ada yang berpikir macam-macam,” ujarnya meyakinkan.Melisa, wanita yang berprofesi sebagai psikolog itu, memang seperti Mbah G****e. Selalu saja punya jawaban atas segala hal.“Baiklah… tapi kamu yakin Aslan tadi tidak mengenalimu?” tanyaku cemas.“Dari ribuan manusia berpakaian jubah putih di aula besar itu, aku yakin suamimu tak akan mengenaliku,”
Malam menggantung seperti gulungan misteri yang belum selesai ditulis takdir. Di apartemen sunyi milik Melisa, hanya suara detak jam tua di dinding yang menjadi teman setiaku. Angin malam dari celah jendela berbisik pelan, membawa aroma dingin khas musim semi di Paris. Di luar, kota yang selalu bercahaya itu tak pernah benar-benar tidur, tapi di dalam ruangan ini… hanya keheningan yang membalut tubuhku.Melisa sedang menghadiri seminar bertaraf internasional bersama para dokter dari berbagai negara. Dan tentu saja… Aslan pun ada di sana. Dia, lelaki yang pernah mengacak-acak hidupku tanpa ampun. Lelaki yang mencuri banyak hal, termasuk… bagian dari diriku yang tak pernah bisa kuambil kembali.Begitu Melisa pergi tadi sore, aku meregangkan tubuh yang seharian lelah memilih dan menyiapkan gaun untuk fashion show esok hari. Di antara tumpukan kain, benang, dan payet yang berkilau, pikiranku justru penuh kekhawatiran. Aku duduk di sofa, rambut kusut digerai lepas, mencoba menikmati waktu s
Setelah mengganti pakaian di kamar mandi bandara, aku melangkah keluar dengan penampilan yang... jujur saja, tak pernah kubayangkan akan kupakai seumur hidupku.Rambutku kini dikepang dua, pipiku diberi sedikit blush on agar tampak lebih muda, bibirku hanya dilapisi lip balm bening, dan aku mengenakan hoodie oversize warna pastel dipadukan dengan rok mini yang—Tuhan saksi—tak akan pernah masuk daftar busana pilihanku jika bukan dalam keadaan darurat seperti ini.Melisa tertawa terbahak-bahak saat melihatku keluar dari bilik. Tawanya memantul di dinding keramik kamar mandi yang dingin, seakan menyindir kebodohan yang sedang kami jalani.“San, sumpah ya... Kamu mirip banget sama Cuenci!” serunya masih dengan tawa yang meledak-ledak.Aku mengerutkan dahi, meski bibirku terangkat setengah, menyerah pada kekonyolan situasi ini. Cuenci—tetangga kami di Taiwan, seorang remaja banci yang selalu percaya diri tampil seperti perempuan sejati. Rambutnya dikepang dua setiap hari, pakaiannya selalu
Aku masih dalam mode diam. Kesadaranku belum sepenuhnya pulih, seperti laptop tua yang terlalu banyak beban kerja dan akhirnya ngelag parah. Mataku sayup, kepala berat, pikiranku masih mengambang entah ke mana.Aslan menyodorkan sebotol air mineral padaku setelah ia membukanya dengan gerakan santai, ciri khas lelaki itu yang selalu terlihat seolah dunia ini tidak pernah cukup menantangnya.“Minum, biar loading-nya cepat,” ucapnya, sambil tersenyum hangat—senyuman yang, anehnya, selalu sukses memancing dua hal sekaligus dalam diriku: kekesalan dan ketenangan. Menyebalkan, sekaligus... menenangkan.Aku masih ingat jelas. Dulu, saat aku tinggal bersamanya setelah pernikahan yang terlalu cepat itu, Aslan selalu punya ritual menertawakanku kalau aku baru bangun tidur. Katanya, aku mirip raga tanpa jiwa yang nyasar, tersesat di antara ruang dan waktu. Pernah, satu pagi, ia mendekat, mengangkat daguku dengan jari-jarinya yang dingin, lalu bertanya dengan gaya dramatis ala film klasik yang suk