Lukman menatap kepergian Kiran dengan bingung. Apa maksud Kiran? Apa Kiran mengetahui sesuatu tentang Caca?
Lukman memarkir mobilnya kemudian turun. Tidak ada salahnya jika ia sekalian mampir ke tempat Caca karena sudah berada di sini.
Lukman memasuki gang, dari kejauhan ia melihat Caca berjalan tergesa sambil membawa kantong belanjaan hingga tidak sempat melihat dirinya. Di belakang Caca, Lukman melihat Kiran berdiri sambil bertolak pinggang.
"Apa mereka habis berantem, ya?" tanya Lukman pada diri sendiri.
Lukman kembali berjalan menuju ke rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan pagar, melihat Kiran yang sedang diteriaki oleh pemilik warung.
"Berarti benar, mereka berantem."
Lukman segera masuk ke rumah dan langsung mencari Caca tanpa bersuara. Kepalanya masih dipenuhi berbagai macam tanda tanya.
Lukman mendapati Caca sedang berdiri di depan kaca rias di dalam kamar. Caca mengikat rambutnya ke atas kemudian memeriksa bagian lehernya.
"Kenapa harus bikin tanda begini sih?" keluh Caca sambil mengambil CC cream dan mengoleskan ke seluruh bagian leher agar warnanya merata.
"Gawat kalau benar Mas Lukman datang," ucap Caca lagi.
"Aku memang datang kok!" ucap Lukman yang muncul secara tiba-tiba berjalan ke dalam kamar.
"Mas? Kok tumben nggak ngabarin dulu?"
Lukman melangkah mendekati Caca sambil terus mengunci tatapan mata mereka. Caca berdiri bimbang, ia tak bisa mengontrol ekspresi wajahnya. Caca terpojok di antara meja rias dan tubuh Lukman.
Sebelumnya Caca tak pernah bersikap kaku seperti ini jika Lukman datang. Ia selalu tampil cantik dan menggoda. Namun, sekarang jantung Caca berdebar hebat. Ia berharap otaknya berputar dengan cepat mencari cara untuk lepas dari situasi saat ini.
Lukman tidak memberi jarak lagi di antara tubuh mereka. Tubuh Caca yang mungil, kini berdiri lemah tak berani menatap wajahnya. Lukman mengulurkan tangan ke leher Caca kemudian menyusupkan kepala ke leher istri mudanya.
Caca menahan napas, berharap CC cream yang ia gunakan telah menutup tanda yang ada di lehernya dengan sempurna. Caca menunggu hingga beberapa detik, tidak ada sentuhan atau kecupan yang ia kira akan mendarat di lehernya.
Namun, usapan lembut ibu jari Lukman menghapus jejak CC cream pada leher, menghipnotisnya.
Jemari Lukman terus menjalar turun dari leher Caca menuju kancing kemeja merah yang Caca pakai. Jari Lukman urung membuka memeriksa tubuh Caca. Telapak tangannya kini mengepal hebat. Menahan semua emosi yang mencoba merenggut akal sehat.
"KAMU!!!" ucap Lukman. Suaranya pelan, tetapi penuh dengan penekanan.
Lukman melepaskan tangan dari leher Caca dengan kasar.
Caca sama sekali tidak berani membuka mata. Suaminya itu tidak gendut, tetapi memiliki ukuran tubuh tiga kali lebih besar dari dirinya. Jika Lukman memukulnya sekali saja, bisa tamat sudah kehidupannya.
Caca mendengar suara napas Lukman yang mulai berat karena menahan emosi. Setakut apapun, tetapi ia juga tak kuat menahan rasa penasarannya kepada Lukman.
"Memalukan! Kamu sama sekali nggak punya harga diri sebagai seorang perempuan!" ucap Lukman begitu Caca membuka kedua mata.
Caca menunduk, melipat bibirnya yang gemetar berkali-kali, matanya mengerut, ia sangat takut.
"Kenapa kamu melakukan hal ini? HAH???"
Caca langsung mengkeret mendengar teriakan Lukman.
"Apa yang harus aku katakan pada pamanmu? Pada istriku yang sudah begitu percaya pada keluargamu? APA???"
"Kamu tau bagaimana dulu keluargamu memohon-mohon agar kami mengangkat derajatmu? INGAT???"
Lukman menahan rahangnya hingga timbul bunyi gemeretak. Sebagai seorang laki-laki harga dirinya terasa terinjak-injak padahal ia telah berusaha memperlakukan Caca sebaik mungkin.
"Aku akan mengirimmu kembali ke kampung asalmu."
Lukman berbalik arah, memunggungi Caca kemudian berjalan keluar rumah. Caca semakin panik mendengar ucapan terakhir Lukman.
Kembali ke kampung?
Astaga. Itu adalah mimpi buruk bagi Caca.
"Mas. Tunggu, Mas. Maafin aku, Mas."
Caca berlari mengejar Lukman yang sudah berada di depan rumah.
"Maafin aku, Mas. Mas Lukman."
Caca memanggil sambil menarik-narik tangan Lukman. Apapun harus ia lakukan demi menyelematkan diri dari kehidupan di kampungnya yang penuh kemiskinan.
"Ampun, Mas. Ampunin akuuuuu ...."
Caca terus menangis sambil terus menahan tangan Lukman. Semakin lama suara tangisnya semakin kencang dan berubah jadi raungan. Caca tak peduli jika ia harus berlutut atau bersujud di kaki Lukman. Caca tak peduli jika semua warga yang tinggal di dalam gang itu keluar dan menyaksikan pertengkaran mereka berdua.
"Mereka kenapa sih? Bikin geger orang-orang se-erte aja," tanya Agung, mengintip keluar jendela.
Melihat kesempatan yang datang di depan mata, tanpa menunggu lama lagi, Kiran segera menuju ke teras dan berdiri di dekat pagar rumah mereka.
Kiran tertawa-tawa kecil saat melihat tingkah Caca yang memohon minta dimaafkan.
Gang yang biasanya sepi, kini ramai. Orang-orang yang awalnya berdiri di balik pagar masing-masing karena mendengar raungan Caca, kini mulai turun ke jalan.
Kiran membuka pintu pagar rumahnya kemudian melirik licik ke arah Agung.
'Ini saatnya aku membuka topengmu, Mas,' batin Kiran.
"Siapa dia, Ca? Sama siapa kamu selingkuh?"
Sebuah pertanyaan keluar dari salah seorang perempuan membuat Caca dan Lukman menoleh ke arah suara.
Kiran dan Agung sudah berdiri di dalam pagar rumah, menyaksikan pertengkaran tetangga depan mereka.
"Kiran? Kamu apa-apaan? Kenapa ikut campur urusan rumah tangga orang?" tanya Agung.
"Lho? Memangnya kenapa, Mas? Kamu takut mendengar nama siapa yang akan keluar dari mulutnya Caca?"
Kiran tersenyum penuh kemenangan karena sebentar lagi Agung tidak akan bisa mengelak lagi darinya.
"Takut? Untuk apa? Aku nggak pernah ada urusan sama mereka," jawab Agung dengan wajah datar. Kini ia terlihat lebih menikmati hiburan di depan matanya.
Kiran menatap Agung dengan sinis.
'Bagus. Kalian berdua pikir, masih bisa mengelak dari perbuatan kotor kalian?' ucap Kiran dalam hati sambil menyeringai.
"Lho? Mbak Kiran belum tau ya?" ucap Bu Wati tetangga yang tepat bersebelahan rumah dengan Kiran.
Kiran menoleh ke arah Bu Wati.
"Oiya, Mbak Kiran kan jarang di rumah. Saya lupa," lanjut Bu Wati lagi.
"Memang Ibu tau?" tanya Kiran penasaran.
"Gosipnya sudah lama sih, Mbak. Katanya ada yang liat Caca lagi asyik sama laki-laki lain."
"Siapa, Bu?"
"Ah, saya nggak enak nyebutnya."
Lukman terus saja menghindar dari Caca yang terus berusaha menariknya. Ia sungguh tidak menyangka akan seramai ini jadinya. Caca benar-benar mempermalukannya di depan umum. Ditambah lagi bisik ibu-ibu yang ikut meramaikan pertengkaran mereka membuat kepalanya semakin sakit.
"Kita memang sudah lama dengar gosip itu, Pak Lukman. Tapi nggak ada bukti langsung. Jadi kita belum bisa nangkep basah," teriak salah satu ibu yang ikut menonton.
"Bilang aja siapa nama laki-lakinya, Bu. Biar Pak Lukman tau sekalian," timpal Kiran tak kalah semangat.
Lukman menoleh ke arah ibu-ibu yang sibuk berceloteh. Sudah sejak lama berarti Caca melakukan hal yang mencoreng wajahnya.
"Iya, Pak Lukman. Istrinya gatel tuh. Keseringan ditinggal sih."
*****
Kiran diam-diam memperhatikan gerak gerik Agung. Kiran berpikir, memiliki ekspresi wajah datar seperti Agung memang sangat bermanfaat saat ini. Dalam otaknya saat ini terlintas sebuah ide cemerlang.
Kiran sudah tidak perduli lagi dengan nama baik keluarga atau yang lainnya. Hatinya sudah terlanjur Agung sakiti.
"Pak Lukman, daripada bingung-bingung. Biar saya kasih tau saja siapa laki-lakinya. Biar tuntas semua urusan," teriak Kiran dengan semangat empat lima.
Lukman masih terdiam. Ia menatap Caca yang masih duduk bersimpuh sambil memegang tangannya. Sebenarnya ia ingin pergi dari sini untuk membuang semua emosinya di tempat lain.
Ia tidak menyangka para warga akan memberikan respon seperti ini. Satu sisi, ia marah kepada Caca. Satu sisi lagi ia ingat bahwa Caca telah dititipkan kepadanya. Keluarga Caca memberi kepercayaan atas jiwa raga putri semata wayang mereka. Mau tidak mau, Caca harus kembali ke kampungnya dengan selamat.
Kiran maju mendekati Lukman, ia telah siap memberitahu kecurigaannya selama ini.
"Pak Lukman! Ada apa ini ribut-ribut? Masalah keluarga seharusnya jangan sampai dibawa keluar rumah!" tegur Pak RT yang tiba-tiba saja datang bersama bapak-bapak lainnya.
Lukman mengambil napas panjang. Ia sangat tidak menyukai situasi seperti ini.
"Jika ada masalah yang tidak bisa diselesaikan berdua, saya bisa bantu menengahi," ucap Pak RT.
"Caca selingkuh, Pak. Sama warga sini juga," celetuk Kiran.
Caca tetap di tempatnya, bersimpuh dan menunduk sambil memegang erat tangan Lukman. Ia sudah pasrah akan nasibnya.
"Saya minta maaf atas keributan di sore hari ini, Pak RT. Biar masalah ini saya selesaikan berdua dengan istri saya," ucap Lukman.
"Oiya, sebaiknya dibawa saja masalah ke dalam rumah."
"Lho? Nggak bisa gitu dong, Pak. Caca ini sudah merugikan. Menggoda suami orang lho dia. Bisa bahaya bagi lingkungan," komentar Kiran lagi.
"Sudah, Kiran. Kamu apa-apaan sih? Biar masalahnya diselesaikan di rumah mereka. Kamu nggak usah ikut-ikut," ujar Agung sambil menarik tangan Kiran.
"Kenapa? Kamu takut nama kamu kesebut?" bisik Kiran di telinga Agung.
"Kamu kenapa sih? Baru kali ini ada istri yang memfitnah suaminya sendiri."
"Fitnah? Kalau kamu merasa ini fitnah sebaiknya kita dengerin kisahnya Caca. Buktikan! NAMA KAMU DISEBUT APA NGGAK DI SANA???"
Tujuh hari berlalu dari kematian Ronald di tangan Agung. Livy telah menyiapkan segalanya. Ia harus segera pergi dari daerah ini. Ada satu tempat yang akan ia jadikan tempat persembunyian sebelum ke luar negeri. Yaitu rumah tempat ia dulu tinggal bersama tantenya, mendiang Ilona.Livy kesal saat mengetahui dari Nathalie bahwa polisi masih terus mengawasi keluarganya. Ditambah lagi peristiwa penyergapan kemarin, tentu saja polisi semakin siaga mencari keberadaannya.Livy berdiri di tepi ranjang kamar. Ia menatap ke tas yang sudah ia siapkan. Livy memandang seisi kamar, kemudian menarik napas. Sama seperti biasanya, tempat ini selalu sepi.Pukul tujuh malam lewat lima belas menit, waktu yang telah ia putuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tempati saat ini. Ia tidak mungkin keluar saat matahari bersinar. Ia juga tidak mau mengundang kecurigaan warga jika keluar tengah malam."Non. Non Olie ...."Suara Bu Ida terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu.Livy menoleh kemudian melangk
Kenapa kami harus kehilangan kasih sayang yang baru saja kami dapatkan kembali? *****Yoga membawa bola basket dengan wajah cemberut. Sesekali ia melirik ke arah Kiran yang sedang duduk di kebun mawar bersama Bu Nunik. Dalam hati, Yoga selalu bertanya kapankah Kiran akan bersikap seperti dulu kepadanya.Bu Nunik tersenyum dan melambaikan tangan kepada Yoga yang melihat ke arah mereka, sedangkan Kiran hanya memberikan tatapan datar.Setidaknya itu adalah sebuah kemajuan bagi Kiran. Setelah beberapa kali bertemu dengan Farah, ia tidak lagi panik bersembunyi saat melihat dan mendengar suara laki-laki. Namun, untuk berbicara atau berinteraksi lainnya, ia belum berani mencoba.Kiran menatap Yoga yang masih saja cemberut saat mengoper bola basket kepada Andika. Kiran berharap dapat menghilangkan rasa takut saat berada bersama anak itu. Bagi Kiran, Yoga sangat menggemaskan. Segala tingkah laku anak itu, cukup membuatnya nyaman. Kini ia pun merindukan saat-saat kebersamaan mereka."Mau mend
Pada hari di mana Lukman menyergap Ronald dan Livy, Livy segera naik ke lantai dua begitu ada kesempatan. Ia segera mengunci pintu kamar.Livy meraih tas berukuran sedang yang telah ia siapkan jika tiba-tiba harus melarikan diri. Ia langsung mengambil tas itu. Dalam tas itu, ia sudah menyiapkan semua surat identitas baru yang ia bikin melalui Ronald. Begitu pula dengan paspor. Livy juga mengambil ponsel yang ada di atas meja kamar. Tak lupa ia membuka nakas di samping ranjang, tempat Ronald menyimpan uang tunai. Livy segera memasukkan uang itu ke dalam tas. Hingga nakas itu kosong.Livy mengintip dari jendela, Ronald dan Lukman masih sibuk baku hantam. Livy tak mau membuang-buang waktu, ia segera turun dan berlari ke arah ke belakang Villa. Ronald sudah memberitahu rute pelarian yang akan dilewati jika mereka berada di situasi seperti sekarang.Livy yakin, jika memang Ronald selamat, laki-laki itu pasti tahu kalau dirinya kabur melewati jalur ini.Livy melihat pintu belakang villa ya
Firdaus menutup telefon yang baru saja ia terima."Misi selesai," ucapnya, disambut pandangan penasaran semua keluarga."Ronald mati!"Semua yang mendengar saling pandang."Bukan! Bukan sama Bang Lukman."Yang lain semakin heran."Komadan bilang, ada seorang laki-laki yang menikam Ronald di depan villa. Dia mengakui bahwa hari ini semua kejadian di villa itu adalah perbuatannya," jelas Firdaus lagi."Siapa dia?" tanya Haqqi.Firdaus mengangkat kedua bahunya."Aku belum dapat detailnya. Mungkin nanti saat semua sudah kembali ke Jakarta.Firdaus mengambil segelas minuman yang ada di atas meja."Untung saja aku ngikuti saran Papa untuk minta tolong pihak kepolisian saja. Kalau nggak, entah apa jadinya saat ini."Adik-adiknya mengangguk."Ya. Bersyukur juga Ronald mati di sana dan bukan di tangan Lukman. Kalau tertangkap hidup-hidup pasti bikin repot. Liat aja. Paviliun itu benar-benar rata dengan tanah hanya dalam satu hari," ucap Jayadi sambil menunjuk ke arah paviliun dengan dagunya."
Hari yang cukup indah bagi dua orang buronan yang sedang bersembunyi. Ronald membawakan beberapa piring cemilan yang baru saja ia buat untuk Livy."Bagaimana menurutmu tempat ini?" tanya Ronald."Sepi. Cukuplah untuk bersembunyi.""Cuma itu?" tanya Ronald sambil mengeryitkan kening."Lalu, kamu mau aku jawab apa?""Ya, seenggaknya kamu bersyukurlah aku kasih tempat di sini. Nggak terlalu jauh dari Jakarta. Fasilitas lengkap. Aku sediakan semua kebutuhan kamu lewat warga yang biasa aku titipkan tempat ini.""Walau pun cuacanya terasa lebih panas?"Ronald tertawa mendengar pertanyaan Livy yang terdengar mengejek."Aku sudah berusaha membuat tempat ini menjadi asri, Liv. Kamu liat sendiri banyak pepohonankan di sini."Livy akhirnya mengangguk setuju dengan semua ucapan Ronald. Setidaknya itu salah satu cara agar dirinya tidak diusir dari tempat ini."Jadi, bagaimana dengan mobil yang kamu janjikan padaku?" tanya Ronald sambil tersenyum.Livy melihat ke arah Ronald. Laki-laki ini pasti te
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang yang kita sayangi terluka.Agung kembali menutup kaca mobil setelah Lukman masuk ke dalam rumah. Sudah dari pagi ia mengikuti Lukman. Selepas ia berbincang dengan Ujang di warung kopi.Ia tidak turun dari mobil saat melihat Lukman masuk ke warung pecel ayam. Ia juga melihat pemuda yang ditemui Lukman. Namun, ia tidak mau gegabah. Daerah pelabuhan Tanjung Priok bukanlah tempat yang bisa disepelekan begitu saja.Agung mematikan mesin dan membuka sedikit jendela mobil. Kemudian ia menyandarkan kepala. Pikirannya melayang. Bagaimana jika ia kembali menyusup ke rumah Lukman? Ia ingin sekali melihat keadaan Kiran. Banyak hal yang terlintas dalam otaknya hingga terasa amat penat, hingga akhirnya ia pun memejamkan mata, tertidur.*****Pagi menjelang. Lukman terbangun di meja kerjanya. Semalaman ia menyelesaikan tugas tiga hari ke depan karena ada hal yang harus ia lakukan.Lukman segera membersihkan diri dan turun ke meja makan untuk sara