Berdegup kencang, irama jantung Agung saat ini tidak seperti biasa. Ia kesal, tetapi juga tidak dapat melampiaskan amarahnya atas sikap Kiran yang sedari tadi teriak-teriak, ikut campur urusan rumah tangga orang.
Awalnya ia mengira sikap Kiran hanya penyaluran dari kejenuhan karena terlalu lama berada di rumah sakit dan rumah singgah. Namun kini ia sadar, Kiran sedang memojokkan dirinya."Fitnah? Kalau kamu merasa ini fitnah sebaiknya kita dengerin kisahnya Caca. Buktikan! NAMA KAMU DISEBUT APA NGGAK DI SANA???"Bentakkan Kiran tepat di telinga membuat Agung menarik napas dalam. Ia menahan diri agar tidak membalas sikap Kiran. Ia tidak mau memberikan siaran gratis lain kepada tetangganya."Ish ... Apa sih, Mbak Kiran? Nggak mau kalah ya sama Mbak Caca? Ikut teriak-teriak begitu," celetuk Bu Wati.Kiran masih menatap sinis ke arah Agung, mereka saling memberi tatapan saling menyalahkan."Mbak Kiran, mau kepoin mereka ga? Yuk, bareng," ajak Bu Wati, membuat Kiran mengalihkan pandangannya ke arah halaman rumah Caca."Kamu nggak kelamaan ninggalin rumah sakit, Ran?" tanya Agung.Kiran hanya melirik ke arah Agung.'Kenapa dia? Pengen banget aku cepet-cepet balik ke rumah sakit sepertinya,' batin Kiran kesal."Ayo aku antar," tambah Agung lagi."Nanti! Aku masih mau di sini!""Tapi ini sudah sore.""Aku bilang nanti, ya nanti. Begitu juga kamu, Mas. Tetap di sini. Jangan ke mana-mana!"Kiran kemudian menyusul Bu Wati yang sudah memasuki halaman rumah Caca. Ia mencoba ikut masuk ke dalam rumah Caca.Lukman mempersilakan Pak RT dan pengurus lainnya duduk. Caca yang juga ikut berada di dalam ruangan itu duduk dan tertunduk.'Kenapa hanya Caca yang disidang? Nggak adil. Perselingkuhan itu bukan hanya perbuatan perempuan, tetapi laki-laki juga,' batin Kiran menuntut keadilan, ia ingin sekali Agung ikut diseret ke sini.Baru saja Kiran ingin kembali membawa Agung agar berada di sini bersamanya, tetapi belum sempat ia melakukan hal itu Agung sudah berada menarik tangannya keluar dari rumah Caca."Kamu ini kenapa sih, Ran? Malika lagi ICU, tapi kamu malah sibuk di sini. Kalau ada apa-apa di sana, gimana?""Kalau yang ada apa-apa malah di sini, gimana? Malika banyak yang ngawasin saat ini, Mas. Jadi nggak perlu khawatir. Badewe, kenapa kamu gelisah banget sih aku ada di sini?""Ya jelas gelisah. Malika nggak ada yang nunggu, Ran.""Cuma itu? Bukan karena kamu khawatir kalau perselingkuhan kamu sama Caca terbongkar?""Apa? Apa kamu bilang? Nggak malu ya kamu, Ran? Nuduh aku separah itu?""Kan aku sudah bilang, kamu diam saja di sini kalau memang kamu merasa nggak bersalah.""Oke! Kalau itu mau kamu. Kita buktikan siapa yang salah."Kali ini Agung yang menggandeng Kiran menerobos ibu-ibu yang berada di depan rumah Caca.Berita tentang keributan Caca dan Lukman telah tersebar, membuat semakin banyak warga yang datang."Ada apa sih, Bu Wati?" tanya Winda, pemilik warung yang baru saja pulang."Itu lho si Caca. Ketauan sama suaminya kalau dia ada main sama lelaki lain," jawab Wati yang memilih menepi di depan rumahnya sendiri.Winda menatap ke rumah Caca dan juga sekeliling, tanpa menoleh lagi, ia pun memilih pergi."Lho, Bu Winda. Mau ke mana? Buru-buru amat biasanya paling depan kalau ada gosip. Ini sebentar lagi mau dibongkar lho siapa pasangan selingkuhannya Caca. Yakin, nggak mau denger?" ujar Bu Wati dengan gaya yang tak kalah dengan presenter acara-acara gosip."Ah, nggak deh, Bu. Kebelet. Saya pulang aja.""Kebelet apa kebelet nih? Yaudah deh sana buruan setor. Kalau bisa suruh Adam aja yang ke sini, biar dia ambil bagian dari drama kampung kita yang paling fenomenal nih.""Iya, Bu Winda. Bu Wati bener tuh. Adam aja yang disuruh ke sini. Biar seru," celetuk seorang ibu lainnya.Winda tak lagi peduli dengan ucapan Wati, ia segera kembali ke warung dan mendapati putranya sedang sibuk bermain ponsel sambil menjaga warung.Adam mengalihkan pandangannya ke arah Winda."Kamu pergi dulu deh, Dam. Biar Mama yang gantiin sekarang.""Kenapa, Ma?""Kamu nggak tau kalau rame-rame itu karena apa?"Adam terdiam kemudian mengangkat bahunya."Caca ketauan selingkuh! Sekarang mau dibongkar di depan warga siapa selingkuhannya. Jangan sampai deh kena amuk warga. Kamu pergi aja deh. Takut jadi rame Mama. Takut nanti kita ditanyain macem-macem."Adam menatap mamanya dengan pandangan ragu. Ia sempat melihat Caca dan Kiran ribut siang tadi. Ia bertanya-tanya, apakah itu awal dari keramaian sore ini? Sebenarnya ia ingin sekali melihat keadaan Caca. "Tuh kan, begitu tuh akibatnya main-main sama istri orang. Gimana tuh kalau sampai ketauan warga? Mama jadi ngeri!"Adam tetap di tempatnya. Satu sisi ia ingin melihat ke rumah Caca, satu sisi lagi ia tidak mungkin menentang perintah mamanya."Pergi, Dam. Mama bilang pergi!"Caca terdiam di sudut keramaian rumahnya. Ia menunduk. Pasrah dengan nasib yang akan ia jelang. Dalam hati ia terus meratapi kebodohan yang telah ia lakukan.Suara-suara yang terdengar di telinganya saat ini terdengar seperti suara tawon yang sedang berkerumun. Bising. Membuat kepalanya pusing. Selain percakapan Lukman dengan pengurus RT, suara Kiran termasuk dalam suara yang jelas tertangkap di telinga Caca.Caca melirik ke arah Kiran. Suara dan tingkah perempuan itu sangat menyebalkan. Andai saja tadi ia tidak menerima telefon dari Kiran, maka kejadian seperti ini tidak akan pernah ada."Saya minta maaf atas keributan ini, Pak RT. Ini salah saya, karena nggak bisa mendidik istri saya dengan baik," ujar Lukman.Caca melirik ke arah Lukman. Laki-laki itu sadar juga rupanya. Jika saja, Lukman bisa terus berada di sampingnya mungkin ia tidak akan pernah terjerat pesona lelaki lain. Tapi, benarkah? batin Caca terus
"Kiran! Malika kritis!" teriak Agung sambil memperlihatkan ponselnya yang baru saja menerima pesan dari salah satu petugas rumah sakit.Kiran segera menoleh ke arah Agung. Dunianya kini terasa berhenti berputar. Ia segera memeriksa saku bajunya, mengambil ponsel dan melihat pemberitahuan yang tertera di layar kemudian ia menatap Agung dengan tatapan panik."Malika. Astaga. Gimana ini? Malika. Antar aku ke rumah sakit sekarang, Mas. Sekarang. Cepat!"Tanpa peduli hal lainnya lagi, Kiran segera menarik Agung keluar dari rumah Caca. Kemudian Agung segera mengambil motor dan membawa Kiran ke rumah sakit.Kiran memegang pinggang Agung dengan erat. Kemarahannya meluap, berubah menjadi sebuah ketakutan dan penyesalan. Bagaimana jika semua sudah terlambat? Bagaimana jika nanti ia tidak sempat bertemu kembali dengan Malika."Ampuni, Hamba, Ya Allah. Beri hamba kesempatan bertemu kembali dengan putri hamba."K
Mencintai orang yang salah? Atau menikmati cinta milik orang lain? Bagaimana caranya mengenali perasaan sendiri?Banyak orang bilang, cinta diuji saat pasangan menghadapi kesulitan. Apakah kita akan memilih tetap bersama atau pergi meninggalkannya."Ca, bagaimana keadaan kamu?" tanya seorang lelaki di depan pintu rumah Caca dengan napas tersengal-sengal.Lelaki itu menembus orang-orang yang sedang berkerumun di gang depan rumah Caca.Caca menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya.'Dia datang. Bod*h. Bisa saja kita berdua mati di sini,' batin Caca saat melihat wajah laki-laki itu.Caca menggeleng sambil menatap mata laki-laki itu. Satu sisi Caca menyukai kemunculan laki-laki yang ia cintai, dengan begitu, ia tahu bahwa cinta tidak bertepuk sebelah tangan. Laki-laki itu bukan hanya menginginkan tubuhnya saja. Laki-laki itu berani bertanggungjawab atas kebersamaan yang telah mereka lakukan.
Kiran kembali tidur di ruang tunggu dengan perlengkapan seadanya, di depan ruang ICU bersama ibu-ibu lain yang bernasib sama dengannya.Baginya sikap Agung masih penuh dengan teka-teki. Jika memang Agung harus bekerja dua kali, itu memang membuatnya merasa bersalah karena telah menuduhnya macam-macam. Sikap Agung yang menolak Kiran untuk pulang bersamanya malam ini juga masih mengganjal di hati Kiran."Nggak bisa tidur, Mbak Kiran?" tanya Nunik."Eh, iya nih, Bu.""Suster bilang apa tadi?""Besok anak saya dioperasi, Bu," Kiran bangkit dari posisi tiduran dan duduk tetap berselimut.Nunik hanya mengangguk, di sini berita tentang keluar masuk ruang operasi adalah hal yang biasa mereka bicarakan. Hal itu tentu jauh lebih baik daripada membahas tentang pemakaman."Semoga kita mendapatkan hasil yang terbaik ya, Mbak Kiran.""Iya, Bu.""Jangan terlalu khawatir, Mbak. Kita semua
Agung membalas senyuman Kiran saat mengantarnya ke parkiran motor. Ada sedikit rasa lega saat Malika telah melewati operasi dan masalah Kiran pun berhasil ia atasi.Agung mulai meninggalkan rumah sakit. Namun, belum seberapa jauh ia menghentikan motor karena ponselnya berbunyi."Hallo, Gung," sapa seorang perempuan di balik telefon."Ya," jawab Agung."Bikini warna putihnya ada di tas pakaian istri kamu!""HAH???"Jalur telefon itu tak lagi terhubung. Tanpa memikirkan hal lain, Agung segera menghubungi Kiran."Ran," panggil Agung saat telefon mereka tersambung."Ya, Mas.""Tas baju belum kamu apa-apain kan?"Agung menunggu jawaban Kiran dengan jantung kebat kebit. Baru saja ia berhasil membuat Kiran yakin kalau dia tidak bermain gila di belakang istrinya itu."Oh, belum, Mas. Aku belum sempet periksa. Kenapa?"Agung bernap
Kebersamaan yang dirindukan tidak menjamin membawa kebahagiaan.Kiran kembali melihat kondisi Malika dari balik pintu kaca ruang ICU. Pihak rumah sakit mengabarkan bahwa kondisi Malika jauh membaik. Sudah seharusnya berita itu menjadi kabar suka cita bagi Kiran. Namun, hatinya saat ini terasa sangat perih.Air matanya tak pernah berhenti mengalir. Sudah tiga hari berlalu dari operasinya Malika dan Agung belum juga datang kembali.'Ternyata rasanya sesakit ini,' batin Kiran merintih.Ia tak paham kenapa waktu itu dia begitu bersemangat membongkar perselingkuhan Agung dan Caca. Kini, saat ia telah berhasil memastikan bahwa Agung selingkuh, ia merasa seperti kehilangan pegangan hidup.Bukankah Agung seharusnya menenangkan dirinya yang sedang kelelahan menghadapi kondisi Malika? Kenapa?Kenapa Agung begitu tega melakukan hal itu di belakangnya.Kiran masih tidak bisa menutupi rasa pena
Kecurigaan tidak pernah tuntas jika tidak dibuktikan.Nunik menepati janjinya kepada Kiran untuk membantunya. Ia meminta Milo, putra bungsunya untuk datang ke rumah sakit."Mbak Kiran. Ini anak saya, Milo sudah datang. Kebetulan dia lagi libur."Kiran dan Milo saling beralas senyum."Milo, tolong, antar Mbak Kiran liat-liat ke tempat kerja kamu ya. Kalau ada yang tanya, bilang aja Mbak Kiran mau beli alat olahraga yang paling mahal!"Kiran dan Milo tertawa mendengar ucapan Nunik.Milo seorang pemuda berusia dua puluh tahun, sedang Fitri sama dengan Kiran dua puluh lima tahun. Dalam pertemuan pertama, mereka sudah mudah akrab. Kiran berpikir ini semua karena pembawaan Nunik yang hangat kepada siapa saja."Ayok, Mbak. Kalau ke sana sekarang aja. Mumpung masih buka," ajak Milo.Kiran menoleh ke arah Nunik dan Fitri yang juga sedang berada di ruang tunggu."Ya sudah, gapap
Kehilangan adalah suatu kepastian.Livy menggeliatkan tubuhnya di balik selimut, dengan enggan ia membuka mata. Livy memandangi wajah tirus laki-laki yang masih terpejam di sampingnya.Agung.Tak ada penyesalan sedikitpun dalam hati Livy karena telah mengajak Agung untuk ikut dengannya ke Bali selama satu minggu ini.Livy membuka sedikit selimut dan memperhatikan tubuh Agung. Sial, kenapa hanya dengan melihat Agung tidur seperti bayi di pagi hari seperti ini bisa membuatnya tinggi kembali? Livy melirik ke jam kecil yang berada di atas meja. Ia tersenyum kecil. Masih ada waktu untuk mereka bersenang-senang.Agung terbangun dan menatap Livy yang sudah berada di hadapannya. Ia hanya mengatur napas dan tersenyum tipis. Yang pasti, ini bukan pertama kali Livy mengusik tidurnya.Livy kembali merebahkan tubuh ke samping Agung setelah menuntaskan kegiatannya. Ia meraih ponsel yang berada di atas nakas kemudi