Caca terdiam di sudut keramaian rumahnya. Ia menunduk. Pasrah dengan nasib yang akan ia jelang. Dalam hati ia terus meratapi kebodohan yang telah ia lakukan.
Suara-suara yang terdengar di telinganya saat ini terdengar seperti suara tawon yang sedang berkerumun. Bising. Membuat kepalanya pusing. Selain percakapan Lukman dengan pengurus RT, suara Kiran termasuk dalam suara yang jelas tertangkap di telinga Caca.Caca melirik ke arah Kiran. Suara dan tingkah perempuan itu sangat menyebalkan. Andai saja tadi ia tidak menerima telefon dari Kiran, maka kejadian seperti ini tidak akan pernah ada."Saya minta maaf atas keributan ini, Pak RT. Ini salah saya, karena nggak bisa mendidik istri saya dengan baik," ujar Lukman.Caca melirik ke arah Lukman. Laki-laki itu sadar juga rupanya. Jika saja, Lukman bisa terus berada di sampingnya mungkin ia tidak akan pernah terjerat pesona lelaki lain. Tapi, benarkah? batin Caca terus bertanya.Benarkah ia bisa lolos dari kisah cinta terlarang yang tidak sengaja ia ciptakan? Cinta dari seorang lelaki yang lebih muda dari Lukman. Cinta dari seorang lelaki yang selalu nyambung saat mereka berbicara, bercanda hingga akhirnya berakhir di atas ranjang.Lukman selalu memberikan Caca kebutuhan lahir tanpa tahu bahwa Caca juga perlu teman untuk berbagi dalam kesehariannya. Caca perlu nafkah batin yang bukan hanya diberikan sebagai peruntuh kewajiban. Caca menginginkan sebuah kepemilikan secara utuh dari seorang pasangan. Sebuah kasih sayang, bukan rasa kasihan."Untuk selanjutnya biar saya yang akan urus masalah saya dengan istri saya Pak RT. Jadi tolong bantu saya membubarkan warga," pinta Lukman."Oh, nggak bisa begitu, Pak! Saya perlu tau siapa laki-laki itu!" ucap Kiran dengan suara melengking."Biar itu menjadi privasi kami, Mbak Kiran.""Nggak bisa, Pak RT. Warga harus tau. Jangan cuma Caca yang disidang seperti ini. Keenakan laki-lakinya."Lukman kembali merapatkan kedua rahangnya, menahan emosi. Tidak bisakah semua dihentikan sampai di sini? Sungguh ia tak mau masalah menjadi rumit. Lukman berusaha menghindari nama laki-laki itu disebut. Ia tak mau meninggalkan istri pertamanya jika nanti harus menghabiskan waktu di dalam penjara karena melakukan pembunuhan terhadap laki-laki yang telah meludahi wajahnya.Caca menatap Kiran dengan wajah kesal. Wanita ini vokal sekali dari tadi. Ternyata provokator adalah bakat terpendam yang Kiran miliki. Caca ingin sekali menjambak rambut atau memukul mulut Kiran agar menutup mulutnya, ia sadar hal itu tak mungkin ia lakukan saat ini."Saya nggak perlu tau siapa laki-laki itu, Pak RT. Saya hanya akan mengembalikan Caca kepada orang tuanya. Secepatnya."Tangis Caca kembali pecah. Kehidupan di kampungnya adalah salah satu hal yang sangat ia benci. Kemiskinan di desa nelayan. Astaga, ia tak mau kembali dalam kehidupan seperti itu. Ia rela menerima tawaran pamannya untuk dinikahkan dengan Lukman agar bisa keluar dari kampung itu. Ia rela menjadi istri kedua Lukman walau tidak ada perasaan apapun di antara mereka berdua. Ia harus melakukan hal itu agar tidak berkubang dalam kemiskinan. Agar meja makan kedua orang tuanya bisa bertemu dengan beras dan ikan segar bukan nasi aking dan ikan asin yang sudah tidak layak makan.Caca terus menutup wajah dengan kedua tangannya kemudian mengusapnya beberapa kali. Setelah itu, ia mengedarkan pandangannya ke sana ke mari, mencari seseorang.'Apakah dia akan membiarkanku dalam keadaan seperti ini?' batin Caca kembali bertanya-tanya."Baiklah kalau masalah ini sudah diputuskan seperti itu, Pak Lukman. Kalau begitu, kami permisi pulang.""Lho? Lho, Pak RT. Jangan pulang dulu. Saya harus memastikan siapa lelaki selingkuhannya Caca, Pak RT. Saya harus mendengarnya langsung dari mulutnya Caca sendiri. Ayo, Ca bilang! Siapa laki-laki itu? Bilang, Ca!"Kiran terus berteriak-teriak heboh. Sedangkan Agung hanya memijat keningnya melihat kelakuan Kiran."Kita harus menghargai keputusan Pak Lukman, Mbak Kiran.""Biar saya yang urus masalah keluarga saya, Mbak Kiran," ucap Lukman. Jika ia tidak bisa menyelamatkan nama baiknya, setidaknya ia bisa menyelamatkan Caca dari amukan warga. Ia tidak mau Caca terluka saat ia mengembalikan wanita itu kepada orang tua Caca."Tapi, Pak?!"Pak RT dan juga pengurus lainnya berjalan keluar rumah sambil menggiring Kiran dan juga meminta warga lainnya untuk bubar.Kiran menatap Caca dengan penuh amarah. Tanpa peduli dengan keadaan, Kiran berjalan cepat menghampiri dan mengguncang-guncang bahu Caca."Katakan, Ca! Katakan siapa laki-laki itu? Apakah laki-laki itu su-""Kiran! Malika kritis!" teriak Agung sambil memperlihatkan ponselnya yang baru saja menerima pesan dari salah satu petugas rumah sakit.Kiran segera menoleh ke arah Agung. Dunianya kini terasa berhenti berputar. Ia segera memeriksa saku bajunya, mengambil ponsel dan melihat pemberitahuan yang tertera di layar kemudian ia menatap Agung dengan tatapan panik."Malika. Astaga. Gimana ini? Malika. Antar aku ke rumah sakit sekarang, Mas. Sekarang. Cepat!"Tujuh hari berlalu dari kematian Ronald di tangan Agung. Livy telah menyiapkan segalanya. Ia harus segera pergi dari daerah ini. Ada satu tempat yang akan ia jadikan tempat persembunyian sebelum ke luar negeri. Yaitu rumah tempat ia dulu tinggal bersama tantenya, mendiang Ilona.Livy kesal saat mengetahui dari Nathalie bahwa polisi masih terus mengawasi keluarganya. Ditambah lagi peristiwa penyergapan kemarin, tentu saja polisi semakin siaga mencari keberadaannya.Livy berdiri di tepi ranjang kamar. Ia menatap ke tas yang sudah ia siapkan. Livy memandang seisi kamar, kemudian menarik napas. Sama seperti biasanya, tempat ini selalu sepi.Pukul tujuh malam lewat lima belas menit, waktu yang telah ia putuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tempati saat ini. Ia tidak mungkin keluar saat matahari bersinar. Ia juga tidak mau mengundang kecurigaan warga jika keluar tengah malam."Non. Non Olie ...."Suara Bu Ida terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu.Livy menoleh kemudian melangk
Kenapa kami harus kehilangan kasih sayang yang baru saja kami dapatkan kembali? *****Yoga membawa bola basket dengan wajah cemberut. Sesekali ia melirik ke arah Kiran yang sedang duduk di kebun mawar bersama Bu Nunik. Dalam hati, Yoga selalu bertanya kapankah Kiran akan bersikap seperti dulu kepadanya.Bu Nunik tersenyum dan melambaikan tangan kepada Yoga yang melihat ke arah mereka, sedangkan Kiran hanya memberikan tatapan datar.Setidaknya itu adalah sebuah kemajuan bagi Kiran. Setelah beberapa kali bertemu dengan Farah, ia tidak lagi panik bersembunyi saat melihat dan mendengar suara laki-laki. Namun, untuk berbicara atau berinteraksi lainnya, ia belum berani mencoba.Kiran menatap Yoga yang masih saja cemberut saat mengoper bola basket kepada Andika. Kiran berharap dapat menghilangkan rasa takut saat berada bersama anak itu. Bagi Kiran, Yoga sangat menggemaskan. Segala tingkah laku anak itu, cukup membuatnya nyaman. Kini ia pun merindukan saat-saat kebersamaan mereka."Mau mend
Pada hari di mana Lukman menyergap Ronald dan Livy, Livy segera naik ke lantai dua begitu ada kesempatan. Ia segera mengunci pintu kamar.Livy meraih tas berukuran sedang yang telah ia siapkan jika tiba-tiba harus melarikan diri. Ia langsung mengambil tas itu. Dalam tas itu, ia sudah menyiapkan semua surat identitas baru yang ia bikin melalui Ronald. Begitu pula dengan paspor. Livy juga mengambil ponsel yang ada di atas meja kamar. Tak lupa ia membuka nakas di samping ranjang, tempat Ronald menyimpan uang tunai. Livy segera memasukkan uang itu ke dalam tas. Hingga nakas itu kosong.Livy mengintip dari jendela, Ronald dan Lukman masih sibuk baku hantam. Livy tak mau membuang-buang waktu, ia segera turun dan berlari ke arah ke belakang Villa. Ronald sudah memberitahu rute pelarian yang akan dilewati jika mereka berada di situasi seperti sekarang.Livy yakin, jika memang Ronald selamat, laki-laki itu pasti tahu kalau dirinya kabur melewati jalur ini.Livy melihat pintu belakang villa ya
Firdaus menutup telefon yang baru saja ia terima."Misi selesai," ucapnya, disambut pandangan penasaran semua keluarga."Ronald mati!"Semua yang mendengar saling pandang."Bukan! Bukan sama Bang Lukman."Yang lain semakin heran."Komadan bilang, ada seorang laki-laki yang menikam Ronald di depan villa. Dia mengakui bahwa hari ini semua kejadian di villa itu adalah perbuatannya," jelas Firdaus lagi."Siapa dia?" tanya Haqqi.Firdaus mengangkat kedua bahunya."Aku belum dapat detailnya. Mungkin nanti saat semua sudah kembali ke Jakarta.Firdaus mengambil segelas minuman yang ada di atas meja."Untung saja aku ngikuti saran Papa untuk minta tolong pihak kepolisian saja. Kalau nggak, entah apa jadinya saat ini."Adik-adiknya mengangguk."Ya. Bersyukur juga Ronald mati di sana dan bukan di tangan Lukman. Kalau tertangkap hidup-hidup pasti bikin repot. Liat aja. Paviliun itu benar-benar rata dengan tanah hanya dalam satu hari," ucap Jayadi sambil menunjuk ke arah paviliun dengan dagunya."
Hari yang cukup indah bagi dua orang buronan yang sedang bersembunyi. Ronald membawakan beberapa piring cemilan yang baru saja ia buat untuk Livy."Bagaimana menurutmu tempat ini?" tanya Ronald."Sepi. Cukuplah untuk bersembunyi.""Cuma itu?" tanya Ronald sambil mengeryitkan kening."Lalu, kamu mau aku jawab apa?""Ya, seenggaknya kamu bersyukurlah aku kasih tempat di sini. Nggak terlalu jauh dari Jakarta. Fasilitas lengkap. Aku sediakan semua kebutuhan kamu lewat warga yang biasa aku titipkan tempat ini.""Walau pun cuacanya terasa lebih panas?"Ronald tertawa mendengar pertanyaan Livy yang terdengar mengejek."Aku sudah berusaha membuat tempat ini menjadi asri, Liv. Kamu liat sendiri banyak pepohonankan di sini."Livy akhirnya mengangguk setuju dengan semua ucapan Ronald. Setidaknya itu salah satu cara agar dirinya tidak diusir dari tempat ini."Jadi, bagaimana dengan mobil yang kamu janjikan padaku?" tanya Ronald sambil tersenyum.Livy melihat ke arah Ronald. Laki-laki ini pasti te
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang yang kita sayangi terluka.Agung kembali menutup kaca mobil setelah Lukman masuk ke dalam rumah. Sudah dari pagi ia mengikuti Lukman. Selepas ia berbincang dengan Ujang di warung kopi.Ia tidak turun dari mobil saat melihat Lukman masuk ke warung pecel ayam. Ia juga melihat pemuda yang ditemui Lukman. Namun, ia tidak mau gegabah. Daerah pelabuhan Tanjung Priok bukanlah tempat yang bisa disepelekan begitu saja.Agung mematikan mesin dan membuka sedikit jendela mobil. Kemudian ia menyandarkan kepala. Pikirannya melayang. Bagaimana jika ia kembali menyusup ke rumah Lukman? Ia ingin sekali melihat keadaan Kiran. Banyak hal yang terlintas dalam otaknya hingga terasa amat penat, hingga akhirnya ia pun memejamkan mata, tertidur.*****Pagi menjelang. Lukman terbangun di meja kerjanya. Semalaman ia menyelesaikan tugas tiga hari ke depan karena ada hal yang harus ia lakukan.Lukman segera membersihkan diri dan turun ke meja makan untuk sara