"Kiran! Malika kritis!" teriak Agung sambil memperlihatkan ponselnya yang baru saja menerima pesan dari salah satu petugas rumah sakit.
Kiran segera menoleh ke arah Agung. Dunianya kini terasa berhenti berputar. Ia segera memeriksa saku bajunya, mengambil ponsel dan melihat pemberitahuan yang tertera di layar kemudian ia menatap Agung dengan tatapan panik."Malika. Astaga. Gimana ini? Malika. Antar aku ke rumah sakit sekarang, Mas. Sekarang. Cepat!"Tanpa peduli hal lainnya lagi, Kiran segera menarik Agung keluar dari rumah Caca. Kemudian Agung segera mengambil motor dan membawa Kiran ke rumah sakit.Kiran memegang pinggang Agung dengan erat. Kemarahannya meluap, berubah menjadi sebuah ketakutan dan penyesalan. Bagaimana jika semua sudah terlambat? Bagaimana jika nanti ia tidak sempat bertemu kembali dengan Malika."Ampuni, Hamba, Ya Allah. Beri hamba kesempatan bertemu kembali dengan putri hamba."Kiran segera berlari menuju ruang ICU, meninggalkan Agung di parkiran motor. Ia mendekatkan diri ke pintu kaca tempat Malika di rawat.Tubuh kecil Malika terbaring lemah. Ukuran kepalanya terlihat semakin membesar. Selang infus menjulur di tangan kanannya."Malika, sayang. Maafin Mama, Nak. Sekarang Mama sudah datang. Kamu yang kuat ya, Nak," ucap Kiran, terisak sambil memegang pintu kaca di depannya."Mbak Kiran, ya?"Kiran menoleh ke arah perempuan yang menyapanya."Iya. Ini saya, Bu Nunik," jawab Kiran sambil mengusap air mata."Tadi dicari-cari sama perawat."Kiran menatap ke arah Nunik dengan wajah serius."Malika kejang beberapa kali. Lalu susah bernapas.""Terus, Bu?""Kita semua cari-cari kamu, Mbak. Karena semua orang di sini taunya kamu selalu stand by. Tapi nggak ketemu.""Iya, Bu. Tadi saya pulang sebentar.""Kalau begitu, sekarang Mbak Kiran ke meja perawat jaga langsung aja. Sepertinya ada yang harus mereka sampaikan.""Iya, Bu. Saya ke sana sekarang. Makasih ya, Bu."Kiran segera berjalan cepat menuju meja perawat. "Ran. Gimana?" tanya Agung yang baru saja sampai karena memarkir motor."Malika katanya tadi kejang, Mas. Sama sesak napas juga. Sekarang kita harus ketemu petugas jaga."Agung mengangguk dan mengikuti Kiran. Tidak sampai lima menit, Kiran sudah sampai di meja perawat."Sus ....""Bu Kiran."Kiran dan suster yang berjaga saling memanggil hampir bersamaan."Gimana anak saya, Sus?""Ya, kami cari-cari Ibu dari tadi.""Anak kami kenapa, Sus?" tanya Agung."Malika harus segera dioperasi, Pak, Bu. Pemasangan shunt harus segera dilakukan."Kiran terlihat cemas. Beberapa kali operasi pemasangan shunt tertunda, selain karena usia, juga karena kondisi tubuh Malika yang lemah."Tapi, Sus? Apa tubuh Malika berada dalam kondisi siap?""Dokter bilang, kalau dari usia Malika saat ini, operasi sudah bisa dilakukan. Kalau melihat dari kondisi tubuhnya, menunda operasi sepertinya hanya akan menambah buruk keadaan Malika."Agung meraih bahu Kiran dan merapatkan ke tubuhnya."Saya hanya menyampaikan kondisi Malika. Saat ini kritisnya sudah lewat. Kondidinya cukup stabil, tetapi tindakan harus cepat dilakukan."Agung mengajak Kiran duduk di kursi tunggu di depan meja perawat jaga. Ia tahu, saat ini Kiran berada dalam keadaan bingung."Tenangkan dulu pikiranmu, Ran," ucap Agung sambil mengusap lembut bahu Kiran."Jauhkan dari pikiran negatif," tambah Agung.Agung menarik kepala Kiran ke dalam pelukannya.Ia membiarkan Kiran menangis. Ia tahu bahwa istrinya telah melewati hal yang berat hari ini."Aku takut, Mas. Aku takut kehilangan Malika.""Kita nggak punya pilihan lain, Ran. Lagipula operasi inilah yang selama ini kita tunggu.""Apa Malika akan baik-baik saja setelah operasi? Walau kondisinya seperti ini sekarang, setidaknya aku masih bisa melihatnya, memegang, memeluk dan menciumnya, Mas.""Kita hanya bisa berusaha, Ran."Suster jaga kembali menghampiri Kiran dan Agung."Bu Kiran, jika keluarga setuju operasi akan dilakukan besok siang. Silakan diurus kelengkapan JKN-KIS-nya ya, Bu. Nanti akan diberitahu dokumen-dokumen apa yang harus dilengkapi kembali.""Iya, Sus. Terima kasih banyak," jawab Kiran sambil mengambil catatan yang diberikan oleh suster."Biar aku yang akan mengurus kelengkapan surat-surat JKN-KIS itu," ucap Agung."Stok foto kopi KK yang di kamar rumah singgah habis, Mas.""KK aslinya ada di rumah. Biar aku ambil. Ada lagi yang perlu diambil?""Pakaianku, Mas. Yang bersih sudah habis. Aku nggak nyuci. Kamu ambil saja yang di lemari bagian tengah."Agung mengangguk mengerti."Mas ..., " panggil Kiran.Agung membalas dengan menatap Kiran."Hari ini, aku sadar bahwa sikapku menyebalkan."Agung tetap terdiam sambil terus menatap. Ia tak ingin menimpali, takut membangkitkan amarah Kiran kembali."Kamu benarkan nggak selingkuh? Benar kamu kerja dobel?"Agung mengangguk sambil membelai rambut Kiran."Aku minta maaf karena nggak bisa menjalankan tugasku sebagai istri yang baik bagimu."Agung kembali menarik Kiran ke dalam pelukannya. Berharap dapat meredakan keresahan yang Kiran rasakan."Ran. Kamu bersedia menjaga Malika secara full seperti ini, jauh membuatku lebih tenang. Aku nggak perlu khawatir Malika nggak ada yang ngawasin. Aku juga bisa fokus cari uang. Aku harap kamu jangan marah, aku bicara ini berdasarkan logika. Kalau kamu di rumah, tentu lebih memberatkan karena aku harus bolak balik mengantar dan tentu akan menghabiskan uang bensin lebih banyak."Agung membenamkan kepala Kiran ke dalam dadanya dan mengecupnya pelan."Dalam keadaan seperti ini, kita harus tenang, Ran. Aku tau, emosi kita pasti mudah tersulut oleh hal-hal yang sebenarnya nggak penting."Kiran mengangkat kepalanya kemudian memandang Agung."Iya, Mas. Aku tau, hari ini mungkin aku keterlaluan. Setidaknya aku masih melakukan peranku sebagai istri, yaitu cemburu kepada suaminya."Agung tersenyum mendengar ucapan Kiran, setidaknya itu bisa menjadi hiburan kecil dari suasana tegang malam ini."Aku berangkat sekarang ya. Biar nggak kemaleman. Jangan lupa makan, Ran. ATM-nya kan ada di dalam rumah sakit.""Iya, Mas. Kamu juga."Agung dan Kiran bangkit dari kursi kemudian berjalan ke ruang ICU. Agung dan Kiran berdiri menatap Malika dari balik pintu kaca."Kamu yakin nggak papa aku tinggal di sini, Mas? Apa kamu mau, aku pulang saja, ikut sama kamu?" tanya Kiran sambil menatap Agung.Agung kembali mengelus kepala Kiran."Masih curiga ya?""Nggak. Bukan. Bukan begitu maksudku, Mas.""Kalau kamu memang mau ikut pulang, aku sih senang, Ran. Tapi aku takut kamu menyesal kalau ada apa-apa lagi sama Malika. Karena aku juga akan merasa begitu. Malika kenapa-napa saat salah satu di antara kita nggak ada di sampingnya."Kiran menggenggam tangan Agung, kemudian memandang ke arah Malika. Ia mengangguk setuju dengan ucapan Agung."Aku berangkat ya, Ran."Agung mengecup kening Kiran lembut kemudian berjalan menuju parkiran.Ruang ICU dan parkiran membutuhkan waktu tempuh sekitar sepuluh menit berjalan kaki dengan tingkat kecepatan sedang. Agung mengambil ponselnya yang bergetar dari dalam saku. Sebuah pesan w******p Agung terima. Senyum Agung merekah saat membacanya."Malam ini tidur di tempatku lagi ya, Sayang.""Tentu. Meluncur sekarang. Tunggu aku ya, Cantik."Setelah pesan terkirim, Agung segera menekan tombol clear chat dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku.*****Mencintai orang yang salah? Atau menikmati cinta milik orang lain? Bagaimana caranya mengenali perasaan sendiri?Banyak orang bilang, cinta diuji saat pasangan menghadapi kesulitan. Apakah kita akan memilih tetap bersama atau pergi meninggalkannya."Ca, bagaimana keadaan kamu?" tanya seorang lelaki di depan pintu rumah Caca dengan napas tersengal-sengal.Lelaki itu menembus orang-orang yang sedang berkerumun di gang depan rumah Caca.Caca menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya.'Dia datang. Bod*h. Bisa saja kita berdua mati di sini,' batin Caca saat melihat wajah laki-laki itu.Caca menggeleng sambil menatap mata laki-laki itu. Satu sisi Caca menyukai kemunculan laki-laki yang ia cintai, dengan begitu, ia tahu bahwa cinta tidak bertepuk sebelah tangan. Laki-laki itu bukan hanya menginginkan tubuhnya saja. Laki-laki itu berani bertanggungjawab atas kebersamaan yang telah mereka lakukan.
Kiran kembali tidur di ruang tunggu dengan perlengkapan seadanya, di depan ruang ICU bersama ibu-ibu lain yang bernasib sama dengannya.Baginya sikap Agung masih penuh dengan teka-teki. Jika memang Agung harus bekerja dua kali, itu memang membuatnya merasa bersalah karena telah menuduhnya macam-macam. Sikap Agung yang menolak Kiran untuk pulang bersamanya malam ini juga masih mengganjal di hati Kiran."Nggak bisa tidur, Mbak Kiran?" tanya Nunik."Eh, iya nih, Bu.""Suster bilang apa tadi?""Besok anak saya dioperasi, Bu," Kiran bangkit dari posisi tiduran dan duduk tetap berselimut.Nunik hanya mengangguk, di sini berita tentang keluar masuk ruang operasi adalah hal yang biasa mereka bicarakan. Hal itu tentu jauh lebih baik daripada membahas tentang pemakaman."Semoga kita mendapatkan hasil yang terbaik ya, Mbak Kiran.""Iya, Bu.""Jangan terlalu khawatir, Mbak. Kita semua
Agung membalas senyuman Kiran saat mengantarnya ke parkiran motor. Ada sedikit rasa lega saat Malika telah melewati operasi dan masalah Kiran pun berhasil ia atasi.Agung mulai meninggalkan rumah sakit. Namun, belum seberapa jauh ia menghentikan motor karena ponselnya berbunyi."Hallo, Gung," sapa seorang perempuan di balik telefon."Ya," jawab Agung."Bikini warna putihnya ada di tas pakaian istri kamu!""HAH???"Jalur telefon itu tak lagi terhubung. Tanpa memikirkan hal lain, Agung segera menghubungi Kiran."Ran," panggil Agung saat telefon mereka tersambung."Ya, Mas.""Tas baju belum kamu apa-apain kan?"Agung menunggu jawaban Kiran dengan jantung kebat kebit. Baru saja ia berhasil membuat Kiran yakin kalau dia tidak bermain gila di belakang istrinya itu."Oh, belum, Mas. Aku belum sempet periksa. Kenapa?"Agung bernap
Kebersamaan yang dirindukan tidak menjamin membawa kebahagiaan.Kiran kembali melihat kondisi Malika dari balik pintu kaca ruang ICU. Pihak rumah sakit mengabarkan bahwa kondisi Malika jauh membaik. Sudah seharusnya berita itu menjadi kabar suka cita bagi Kiran. Namun, hatinya saat ini terasa sangat perih.Air matanya tak pernah berhenti mengalir. Sudah tiga hari berlalu dari operasinya Malika dan Agung belum juga datang kembali.'Ternyata rasanya sesakit ini,' batin Kiran merintih.Ia tak paham kenapa waktu itu dia begitu bersemangat membongkar perselingkuhan Agung dan Caca. Kini, saat ia telah berhasil memastikan bahwa Agung selingkuh, ia merasa seperti kehilangan pegangan hidup.Bukankah Agung seharusnya menenangkan dirinya yang sedang kelelahan menghadapi kondisi Malika? Kenapa?Kenapa Agung begitu tega melakukan hal itu di belakangnya.Kiran masih tidak bisa menutupi rasa pena
Kecurigaan tidak pernah tuntas jika tidak dibuktikan.Nunik menepati janjinya kepada Kiran untuk membantunya. Ia meminta Milo, putra bungsunya untuk datang ke rumah sakit."Mbak Kiran. Ini anak saya, Milo sudah datang. Kebetulan dia lagi libur."Kiran dan Milo saling beralas senyum."Milo, tolong, antar Mbak Kiran liat-liat ke tempat kerja kamu ya. Kalau ada yang tanya, bilang aja Mbak Kiran mau beli alat olahraga yang paling mahal!"Kiran dan Milo tertawa mendengar ucapan Nunik.Milo seorang pemuda berusia dua puluh tahun, sedang Fitri sama dengan Kiran dua puluh lima tahun. Dalam pertemuan pertama, mereka sudah mudah akrab. Kiran berpikir ini semua karena pembawaan Nunik yang hangat kepada siapa saja."Ayok, Mbak. Kalau ke sana sekarang aja. Mumpung masih buka," ajak Milo.Kiran menoleh ke arah Nunik dan Fitri yang juga sedang berada di ruang tunggu."Ya sudah, gapap
Kehilangan adalah suatu kepastian.Livy menggeliatkan tubuhnya di balik selimut, dengan enggan ia membuka mata. Livy memandangi wajah tirus laki-laki yang masih terpejam di sampingnya.Agung.Tak ada penyesalan sedikitpun dalam hati Livy karena telah mengajak Agung untuk ikut dengannya ke Bali selama satu minggu ini.Livy membuka sedikit selimut dan memperhatikan tubuh Agung. Sial, kenapa hanya dengan melihat Agung tidur seperti bayi di pagi hari seperti ini bisa membuatnya tinggi kembali? Livy melirik ke jam kecil yang berada di atas meja. Ia tersenyum kecil. Masih ada waktu untuk mereka bersenang-senang.Agung terbangun dan menatap Livy yang sudah berada di hadapannya. Ia hanya mengatur napas dan tersenyum tipis. Yang pasti, ini bukan pertama kali Livy mengusik tidurnya.Livy kembali merebahkan tubuh ke samping Agung setelah menuntaskan kegiatannya. Ia meraih ponsel yang berada di atas nakas kemudi
Kesedihan tak akan pernah hilang jika kita terus meratapinya. Empat puluh hari telah berlalu dari kepergian Malika. Kiran telah menutup pintu hati dan juga pintu rumah untuk Agung. Bohong jika ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.Agung dan Malika adalah dunianya selama ini.Kemudian semuanya runtuh dalam satu waktu. Kehilangan, kesedihan, bukankah semua orang pasti mengalaminya?Kiran memeriksa berkas-berkas ijazah miliknya. Kiran adalah seorang sarjana akuntansi universitas negeri di Jakarta. Sepertinya saat ini sudah habis masa berlaku menggantung ijazah bagi Kiran.Ia tidak pernah tahu sampai kapan usia akan menemaninya, tetapi ia juga tidak mau menghabiskan semua sisa hidupnya di dalam kamar untuk terus meratap. Ia harus kembali ke dunia nyata."Assalamualaikum ...."Kiran merapikan kembali berkas-berkas yang ada di meja kemudian melihat ke depan rumah."Sebentar,"
Cinta itu tidak buta. Hanya saja, banyak oknum yang tidak punya mata.Kiran menjalani hari-hari bekerja di rumah Lukman. Tugas utamanya adalah merawat Ratih, istri Lukman yang sudah berada di atas kasur secara penuh.Dari perawat jaga, Kiran tahu bahwa Ratih terkena meningitis yang terlambat diketahui hingga akhirnya berubah menjadi hidrosefalus. Lukman sudah berusaha membawa Ratih berobat ke Singapura.Namun, hasilnya tidak membaik. Hingga akhirnya Lukman memutuskan mengubah kamar Ratih menjadi ruang rawat sendiri, menyewa berbagai perlengkapan dan alat kesehatan yang diperlukan serta membayar beberapa dokter untuk merawat Ratih.Kiran selalu menarik napas panjang saat pikirannya bersimpul pada pertanyaan berapa banyak biaya yang Lukman habiskan? Berapa penghasilan yang Lukman dapatkan setiap bulan dan usaha apa saja yang Lukman jalankan?'Duh, ini otak suka nggak tau diri ya. Kepo aja sama urusan orang,' rutuk K