Aku sadar bahwa dirimu sangat berharga saat aku sudah kehilanganmu.Agung kembali ke apartemennya kemudian merebahkan diri di atas ranjang. Sampai kapan ia harus hidup seperti ini? Kata-kata Kiran menari dalam otaknya. Apakah benar dirinya telah menjual diri?Astaga.Agung bangkit dan duduk di tepi ranjang sambil menyugar rambutnya.Apakah masih ada jalan untuk pulang? Setelah Malika pergi dan Kiran tersakiti?'Setidaknya aku harus menyelamatkan Kiran dari Livy. Apapun caranya.'Agung memaksa otaknya untuk berpikir. Ia harus memilih jalan yang tepat untuk membuat Livy balik bertekuk lutut kepadanya. "Berhasil apa nggak ya cara itu? Huh."Sebenarnya ia telah memiliki rencana, tetapi ia sendiri tidak yakin apakah itu akan berhasil atau tidak. Namun, ia tidak akan pernah tahu jika ia belum mencobanya, bukan?Agung menyudahi lamunannya saat mendengar suara pintu terbuka. Ia tahu bahwa Livy datang."Arrghh ...." teriak Livy sambil melempar tubuhnya ke ranjang kemudian merentangkan kedua
Ombak membawaku terdampar di sini, dapatkah aku keluar dan melarikan diri?Kiran menemani Yoga dan Andika yang sedang bermain basket. Ia duduk di tepi lapangan bersama Diandra."Nggak ikut main aja?" tanya Kiran kepada Diandra."Nggak ah, lagi dapet. Mending ngobrol aja di sini sama Mbak Kiran," jawab Diandra.Kiran tersenyum mendengar jawaban Diandra. Semakin ke sini, Diandra semakin terbuka pada dirinya. Banyak hal yang mereka lakukan bersama. Diandra juga lebih membuka diri kepada Kiran."Ih, Yoga curang tuh," teriak Diandra sambil menunjuk ke arah Yoga.Yoga mendengar teriakan Diandra segera berhenti dan melempar bola basketnya ke sembarang arah."Aaah ... Aku capek, Mbak Kiran. Bang Andika nggak mau ngalah sama aku," rengek Yoga sambil menjatuhkan diri ke pelukan Kiran."Ya, kalau main kan harus sportif. Yaudah sekarang istirahat. Nih minumnya," ucap Kiran, menyodorkan jus buah tanpa gula pada Yoga dan Andika."Tau nih, Yoga. Sudah gede masih curang aja main basketnya," ucap Andi
Hal yang melukai hati seorang ayah adalah saat melihat anak-anaknya terluka.Lukman memarkir mobil di depan pekarangan rumahnya. Saat Zainab memintanya memecat para karyawan, Lukman mengatakan bahwa ia harus menyelidiki dulu semuanya.Lukman memiliki sebelas orang karyawan di rumah. Ia sengaja tidak memberitahukan akan kedatangannya. Ia berharap para pekerja masih berada di dalam rumah.Lukman segera masuk menuju dapur. Menurut cerita Kiran, yang paling ia curigai ada orang-orang dapur. Ia segera membuka pintu dapur, tetapi tak ada orang di sana.Ia segera mengumpulkan semua karyawan di ruang utama. Bagian kebersihan rumah, sopir, dan juga security."Ke mana bagian dapur?" tanya Lukman."Mereka pergi diam-diam, Pak," ucap Ujang salah satu security."Iya, Pak. Saat malam kami heboh telefon Bapak tentang anak-anak yang hilang sama Mbak Kiran, besok paginya mereka sudah nggak ada," jawab Ning salah satu pengurus rumah.Lukman menarik napas panjang sambil menyugar rambutnya."Bagaimana de
Sebuah gang kecil yang bisa dibilang daerah kumuh, pagi ini heboh karena kedatangan beberapa orang anggota polisi. Walau polisi sering bolak balik menjemput kriminal yang tinggal di sana, tetap saja hal seperti ini membuat warga ingin tahu siapa yang tertangkap hari ini."Ya ampun, Nartiiii. Kita itu orang susaaaah. Kenapa kamu mau aja disuruh-suruh sama orang jahat?" jerit tangis seorang ibu saat melihat putri bungsunya digelandang ke kantor polisi."Pak Polisi, jangan bawa anak saya, Pak. Dia cuma anak bodoh yang nggak ngarti apa-apa, Pak," pinta ibu itu."Dia anak baik-baik, Paaaak," tambah ibu itu lagi.Para polisi itu bergeming. Mereka tetap membawa wanita berusia akhir dua puluhan itu ke dalam mobil."Nar ... Nanti Emak makan gimana? Anak kamu juga gimana? Udah bener kerja sama orang kaya. Yang ada-ada aja sih kelakuannya, Nar?" teriak ibu itu sambil mengetuk kaca jendela mobil polisi.Narti hanya terdiam menunduk. Ia menyesali kenapa dirinya menurut saja saat Atik mengajaknya m
Livy melarikan diri. Lukman meninju dinding ruang kantornya. Ia menyesal karena tidak bertindak dari jauh-jauh hari. Saat ini pihak kepolisian sedang melacak keberadaan Livy.Kemarahan Lukman teralihkan pada ponselnya yang berada di atas meja. Zainab. Lukman mengatur napas sebelum menjawab telepon ibunya."Ya, Ma.""Nanti jadi kan makan malam di rumah?" tanya Zainab."Belum tau. Masih banyak kerjaan.""Nggak bisa begitu dong, Lukman. Nabila malam ini sudah Mama undang makan malam lagi. Nggak enak kalau kamunya malah nggak datang kayak waktu itu," keluh Zainab."Lukman banyak kerjaan nih, Ma. Kapan-kapan deh bahas masalah itu."Lukman segera menutup telepon, tidak peduli dengan suara Zainab yang masih memanggilnya. Sikapnya sangat jelas menyatakan bahwa ia keberatan dengan sikap Zainab.Zainab melihat ke arah ponselnya dengan kesal. Ia bersungut karena sikap Lukman yang tidak mau mengikuti perintahnya. "Apa susahnya sih cuma makan malam doang di rumah?" gerutu Zainab."Kenapa lagi sih
Kelengahan akan membuatmu jatuh. Jadi, selalu siagalah setiap waktu."Kurang ajar itu perempuan! Kirain santun, nggak taunya barbar," ucap Kiran.Ia berjalan sambil meraba-raba langkah, mencari keran air untuk membersihkan wajahnya yang terkena tumpahan makanan."Aduh perih banget lagi nih mata. Keran airnya di mana sih? Perasaan nggak jauh-jauh dari sini," keluh Kiran sambil menahan perih di matanya.Kiran tak dapat melihat dengan jelas lagi. Bukan sekali, dua kali ia menabrak kursi teras atau pot bunga.Di saat yang sulit seperti itu, Kiran merasakan sebuah tangan memegang pergelangan tangan dan menuntunnya. Kiran memberontak karena ia tidak dapat melihat pemilik tangan tersebut. Ia tidak mau dituntun ke tempat yang salah."Tunggu! Saya mau dibawa ke mana?" tanya Kiran sambil menarik tangannya.Namun tak lama kemudian, Kiran mendengar suara keran air dibuka. Lalu tangan itu, membimbingnya menuju keran air.Kiran segera mencuci wajahnya. Terutama daerah mata."Ya Allah, perih banget
Pagi yang gaduh. Ismail terbangun karena kaget dari tidurnya pagi ini. Ia membuka pintu kamar dan melihat Zainab berteriak ke sana ke mari. "Aduh, itu Mama kenapa sih pagi-pagi jejeritan?" keluh Ismail.Mata Ismail bertemu dengan Jayadi yang sedang menggeleng-geleng melihat tingkah istrinya."Kenapa sih, Pa?""Kamu tidur di sini, Ismail?"Ismail menjawab Jayadi dengan anggukan."Dari semalam?"Ismail mengangguk lagi."Kenapa semalam nggak langsung kamu periksa tensi darahnya mama kamu?"Ismail tersenyum lebar sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia ingat, terakhir tensi darah Zainab terakhir ia periksa adalah satu bulan yang lalu."Pagi, Ma," sapa Ismail.Zainab tidak peduli dengan panggilan putranya, ia tetap berteriak memanggil semua karyawannya untuk berkumpul."Manggilnya sambil tenang dong, Ma. Jangan pakai emosi. Nggak baik lho buat tekanan darah tinggi Mama," rajuk Ismail sambil memijat perlahan bahu Zainab.Satu per satu karyawan rumah itu mulai berdatangan dan berbar
"Kami akan keluar dari rumah ini. Kiran, siapkan anak-anak."Lukman berbicara tanpa memandang ke arah Zainab. Entah kenapa hatinya terasa tersinggung melihat tingkah laku ibunya pagi ini. Penghinaan yang Zainab berikan kepada Kiran, terasa diberikan untuknya.Kiran segera beranjak, keluar dari barisan dan mengajak anak-anak ke kamar mereka masing-masing. Kiran membantu Yoga merapikan barang-barang yang akan dibawa, sedangkan Diandra dan Andika dibiarkan melakukan sendiri.Jayadi membubarkan semua karyawan, meminta mereka kembali bekerja kembali. Ismail segera menuntun Zainab ke kursi karena ia melihat wajah ibunya itu sangat merah."Ma, sabar ya. Atur napasnya dulu, jangan diikutin emosinya. Kita cek tekanan darah Mama dulu ya," ucap Ismail.Jayadi muncul membawa segelas air untuk Zainab dan Ismail segera ke kamar mengambil perlengkapan untuk memeriksa Zainab."Minum dulu, Ma."Jayadi mengusap keringat yang ada di kening Zainab.*****Kiran duduk di kursi belakang bersama Yoga dan Dia