ySegera Ardan memakan bakso yang tadi dipesannya. Tak lupa, dia juga memesan segelas es jeruk. Dalam sekejap, bakso yang ada di hadapannya pun tandas tak bersisa."Ngomong-ngomong, Dan, boleh engga kami nanti bertamu ke rumah lu? Yah, semacam perkenalan sama istri lu, gitu," ucap Aden."Ya boleh-boleh aja. Asal jangan dadakan aja. Biar istri gue ada persiapan buat nerima tamu," sahut Ardan seraya mengambil es jeruk yang ada di atas meja."Wih, mantep tu. Terus, gimana ceritanya lu bisa ketemu bini lu? Secara kayaknya dia masih muda banget," tanya Serlan penasaran."Ah, kami ketemu pas acara perpisahan sekolah. Aku datang sebagai alumni, sekalian reuni ama temen-temen seangkatan," tutur Ardan.Alena memilih untuk beranjak dari meja kantin. Topik yang sedang teman-temannya bahas, membuatnya tak nyaman. Segera dia berlalu, dan pergi menuju ke kantor tempatnya bekerja."Eh, Len, tungguin napa!" seru Erin bergegas berdiri dan mengejar Alena yang berjalan cepat."Engga apa-apa, tuh?" tanya
Aden dan Serlan berpamitan untuk pulang. Ardan dan Delima pun mengantarkan sampai ke teras rumah. Setelah mobil telah menjauh, barulah Ardan dan Delima masuk ke dalam rumah."Temen Kak Ardan pada lucu, ya. Suka ngelawak," ujar Delima sambil duduk ke sofa."Gitulah. Kadang eror otak mereka tu," sahut Ardan.Delima tersenyum mendengar jawaban Ardan. Tampak Ardan jadi lebih ceria setelah bertemu teman-teman kantornya."Kak, tadi mama nelpon aku. Katanya, boleh engga kalo mama minggu depan main ke sini," kata Delima melaporkan tentang pembicaraannya dengan sang ibunda."Boleh. Kapan aja mau ke sini juga boleh," balas Ardan."Misal mama mau nginep, gimana?""Boleh aja. Tapi, harus kasih tau dulu. Soalnya mau engga mau, kamar yang kamu pakai akan dikasih buat mama tidur pas nginap," sahut Ardan."Kok gitu?" Delima tampak bingung."Kalo ketahuan kita tidurnya beda kamar. Pasti mama engga bakal suka. Kita cuma beruntung, engga ketahuan beda kamar pas di rumah kamu. Lagian, ada alasan kalo kam
"Mama masuk duluan, ya," kata Renata, seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis yang diajak bicara tak menyahut. Dia lebih memilih diam dan merapikan rambut. Karenina namanya, rambut panjangnya sedikit berantakan karena tertiup angin.Karenina duduk termenung di kursi halaman belakang. Pemandangan asri di rumah barunya ini, tampak jauh berbeda dari rumahnya yang lama. Tak ada hingar bingar kendaraan berlalu lalang.Karenina bersandar di kursi, pikirannya melayang pada kejadian sebulan yang lalu. Saat ayahnya memberitahu bahwa mereka akan pindahan. Pindah ke tempat yang cukup terpencil."Kita akan pindah ke Pulau Rangit," ucap Jeremy—ayahnya Karenina."Oh, pindah. Eh, tunggu, pi ... pindah? Kok bisa?" Karenina segera menghentikan aktivitas makannya."Papa ada kerjaan di sana. Kalau bisa selesaiin tugas di sana, bisnis keluarga kita akan semakin besar," jelas Jeremy lagi."Kenapa aku harus ikut? Aku udah kelas 2 SMA, Pa. Ini juga pertengahan semester, bakal susah ngurus pindahannya
Karenina melangkah dengan cepat. Dia ingin segera meninggalkan rumah makan. Segera, dia menuju mobil yang terparkir di halaman rumah makan.Ayah dan ibunya saling pandang kebingungan. Melihat Karenina yang terlihat begitu tergesa-gesa. Namun, mereka lebih memilih diam dan mengikuti langkah Karenina.Mobil melaju pelan di jalan yang masih berbatu. Suara hening menyelimuti sepanjang perjalanan pulang. Sampai akhirnya, Pak Jeremy memulai pembicaraan."Karen, kenapa kamu pengen cepat-cepat pulang?" tanya ayah Karenina. "Aku takut, Pa," sahut Karenina."Takut apa?" tanya ayahnya penasaran. "Kalian bilang di rumah makan banyak orangnya. Tetapi, aku cuma liat 3 orang pengunjung. Belum lagi, ada orang berwajah pucat dari arah dapur," jelas Karenina.Pak Jeremy dan Ibu Renata bingung dengan jawaban Karenina. Jelas mereka melihat, bahwa rumah makan memang sedang ramai.Tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah kendaraan melaju kencang ke arah mereka. Seketika itu juga, tabrakan tak bisa terelakk
Adrian segera menarik Selena, untuk menenangkannya. Meninggalkan Karenina yang menatap kepergian mereka dengan pandangan sedih."Lepasin tanganku!" Selena menyentak tangannya dengan keras."Len, kamu udah keterlaluan. Kejadian hari ini, engga ada hubungannya sama Karenina," kata Adrian."Karenina? Kamu udah hapal banget, ya, sama nama anak baru itu! Dri, kesurupan massal udah lama ilang di sekolah kita. Setelah dia masuk ke sini, tiba-tiba kejadian ini balik lagi!" geram Selena."Len, kesurupan ini terjadi karena ada siswi yang buang pembalut sembarangan di toilet. Engga ada kaitannya sama sekali dengan Karenina atau penyihir itu," jelas Adrian."Engga, Dri. Aku tetap percaya, penyebab kesurupan ini karena murid pindahan itu." Selena melangkah pergi meninggalkan Adrian.Adrian meremas rambutnya. Kesal dengan sikap Selena yang seenaknya menuduh tanpa alasan jelas.Di sisi lain, Karenina menatap kepergian Adrian dan Selena. Dia tak menyangka akan disalahkan untuk hal yang tak dipahaminy
"Makanya, jangan ngalangin jalan!" ketus seorang gadis berambut sebahu pada Karenina yang terduduk di tanah."Heh, jalan segini luas, ya. Kamunya aja yang badannya kebesaran, makanya ampe nyenggol-nyenggol anak orang," cibir Celline."Eh, kamu ngajak berantem?" tanya Deara—gadis berambut sebahu—dengan emosi."Udah, udah, engga papa, kok," kata Karenina seraya berdiri dengan bantuan Celline.Karenina segera menarik tangan Celline agar tak lagi melanjutkan perdebatan. Namun, Celline dengan enggan mengikuti langkah Karenina. Dia masih kesal dengan sikap Deara, yang dengan sengaja menyenggolkan badan ke arah Karenina."Harusnya kamu jangan langsung narik aku. Deara tuh kudu kena siraman rohani dulu," racau Celline."Engga usahlah. Ini baru hari kedua aku sekolah di sini. Aku engga mau cari ribut. Nanti di cap pembawa masalah, kayak kemarin," tukas Karenina."Huh, tapi kamu terlalu sabar, Karen. Mereka yang duluan cari ribut, kok," sela Celline lagi."Iya, iya. Nanti, kalo aku udah lama se
"Hah, kok bisa begini?!" pekik Karenina saat melihat kondisi kamarnya."Ada apa?" tanya Adrian dan Celline bersamaan.Mereka pun melongokkan kepala ke kamar Karenina. Tampak lemari Karenina terbuka lebar. Banyak kertas berhamburan di lantai kamarnya."Cepat periksa. Kalau-kalau ada barang yang hilang!" perintah Adrian.Karenina mengangguk, lalu memeriksa keseluruhan kamarnya. Jaga-jaga kalau ada orang yang bersembunyi di sana."Engga ada yang hilang," ujar Karenina melapor."Aneh," sela Celline, seraya mengambil kertas yang bertebaran di atas lantai."Karen, Adrian, coba kalian baca tulisan di kertas ini," pinta Celline."Kegelapan tengah menyambutmu. Tuntaskan masa lalu agar mereka melepaskanmu.""I—ini, ini ucapan bapak tua yang aku ceritain tadi. Soal masa lalu," ucap Karenina terkejut."Coba cari kertas lain. Siapa tau ada lanjutannya atau bahkan petunjuk baru," kata Adrian sambil mengambil kertas di sampingnya.Mereka pun serta merta bekerja sama mengumpulkan semua kertas yang ad
"Sepertinya, ini petunjuk yang baru!" seru Karenina senang. "Besok, aku harus memberi tahu yang lain," lanjutnya lagi.Dia pun menyimpan foto itu ke dalam dompet miliknya. Dia juga mengembalikan kertas yang diturunkannya tadi ke lemari rak atas."Lebih baik memeriksanya nanti saja. Bareng teman yang lain, biar bisa lebih teliti meriksanya," batin Karenina.*****Setelah selesai makan malam, keluarga Karenina memilih untuk menonton tv bersama. Menghabiskan waktu dengan menceritakan keseharian mereka."Pa, Ma, aku mau nanya." Karenina memulai pembicaraan."Ada apa, Sayang?" tanya Jeremy—ayah Karenina."Apa sebelum beli rumah ini, engga ada rumor apapun?"Jeremy dan Renata saling bertatapan, terkejut akan pertanyaan Karenina."Maksudnya apa? Papa kurang paham.""Pa, hampir semua murid di sekolah aku tahu kalau rumah ini katanya angker. Mereka semua ketakutan saat kubilang, aku tinggal di sini." Karenina menarik napas dalam."Engga mungkin ada asap kalo engga ada api, 'kan? Jadi, apa bener