Share

9. Pertikaian di ujung lorong

Gia tadinya tidak ingin peduli. Dia tidak mau tau kenapa Genta bisa ada di sini.

Sambil mengatur kembali ekspresi nya, Gia mengangguk sebentar untuk berpamitan. Anggap saja dia hanya bertemu tetangga biasa di tempat tidak biasa.

"Rafael siapa?" Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir Genta, membuat langkah kaki Gia terhenti.

Gia buru-buru menarik tangan Genta menuju belokan di belakang toilet perempuan.

"Pelanin suara kamu!" desis Gia. Bisa bahaya kalau Vero—yang masih berada di toilet, mendengar pertanyaan Genta.

Alih-alih mengikuti seruan Gia, Genta justru mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Takut teman kamu dengar?" tanya nya dengan suara kencang.

"Ya, dan dia akan mencari tau siapa kamu. Puas?" Jawab Gia.

Kemudian, mata tajam Genta turun ke pergelangan tangannya yang masih digenggam Gia. "Lepas." Perintahnya dingin.

Gia memutar bola mata. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Genta.

Tampang Genta acuh tak acuh. Mata tajamnya menatap ujung lorong yang gelap. 'Mau apa Gia membawanya ke sini?'

"Kamu ngapain berdiri di depan toilet perempuan? Mau jadi penguntit? Atau nguping?" tanya Gia.

"Rafael siapa?" Genta mengulangi pertanyaannya.

Gia mengernyit tidak suka. "Bukan urusan kamu."

Genta ngangguk-ngangguk sok paham.

"Pacar? Atau mantan? Oh.. atau jangan-jangan tunangan kamu?" tanya Genta beruntun.

Gia tidak tau apa yang terjadi pada Genta malam ini. Genta yang biasanya dingin dan datar, berubah menjadi Genta yang cerewet dan ingin tau urusan orang.

"Kalau dia tunangan kamu, dia tau gak ya, tunangannya mau ngerebut suami orang?" Genta menyeringai.

"Mas Genta!" Gia memekik tertahan. "Apa-apaan, sih, kamu?!"

Genta memasang ekspresi kaget yang didramatisir.

"Lho, memang benar, kan? Saking ngebetnya mau ngerebut suami orang, sampai minta dipanggil.." suara Genta mengecil menyerupai bisikan. "Mama."

Jantung Gia mencelos. Seperti ada ribuan paku yang menghujani hatinya. Apa yang dikatakan Genta barusan membuat Gia membeku.

Genta menikmati keterdiaman Gia dengan senyum puas.

"Awalnya aku pikir kamu paham apa yang aku bicarakan. Tapi ternyata kamu malah ngelunjak, ya. Kamu memanfaatkan kepolosan anak kecil untuk rasa ingin tau kamu yang gak beralasan!"

"Emang aku ngapain, sih?" Gia menampik tidak terima.

Genta mendengus. "Jangan kamu pikir, aku gak tau apa yang kamu bilang ke San sampai anak aku ingin memanggil kamu 'Mama'." Pria itu menggeleng, tidak habis pikir.

"San hanya anak kecil, Nagia. Tapi kamu.." Genta menunjuk-nunjuk wajahnya.

Gia menggigit bibir bawahnya. Keberaniannya menguap.

"Kamu pasti tanya perihal Mama nya San, kan? Dan kamu puas, karena San bingung mau jawab apa soal 'Mama nya'? Iya, kan?!" seru Genta penuh emosi.

Jari-jari Gia mencengkram dress merah maroon yang ia pakai. Segala ucapan Genta membuat nya susah bernafas.

"Licik kamu, Nagia! Apakah seperti ini cara kamu untuk masuk ke kehidupan orang lain? Dengan memanipulasi anak kecil?"

Benar, semua yang dikatakan pria itu benar. Secara sadar, Gia juga mengakui bahwa dia licik dengan menjadikan San untuk ladang informasinya.

Namun, Genta juga salah. Gia tidak merasa puas. Dia justru merasa bersalah mendapati San yang bingung mendengar pertanyaannya.

"Aku belum pernah panggil 'Mama' ke Mama, aku, Tan. Kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan 'Mama', boleh?" suara kecil San kala itu, kini menghantui kepala Gia, dan membuatnya merasa bersalah setengah mati.

Jika membicarakan sosok yang telah melahirkannya membuat San bersedih, Gia berjanji tidak akan mengulangi nya lagi.

'San, maafin Tante!' Gia mundur selangkah. Tubuhnya limbung.

Genta menganggap reaksi wanita itu sebagai bagian dari akting nya yang selalu sempurna. Gia bisa menampilkan poker face yang epik. Maka dia juga bisa berpura-pura lemas seperti tadi.

"Sekarang, saya bicara untuk yang terakhir kali, Nagia. Tolong jauhi San, dan jangan dekat-dekat dengan kehidupan kami. Tolong hapus semua perasaan kamu untuk saya. Terima kenyataan kalau saya sudah menikah. Lupakan saya."

Gia menatap mata Genta penuh frustasi. Di hadapannya kini, pria itu seolah mencekik lehernya begitu kuat hingga ia susah bernafas.

Di hadapannya kini, lelaki yang ia cintai mati-matian, memintanya untuk mematikan perasaan.

Buk

Tas tangan Gia jatuh ke lantai.

"Mas Genta.." suara Gia tercekat memanggil nama Genta. "Aku.. aku sadar aku salah sama San. Aku sadar aku jahat sama San. Tapi aku.. aku gak ada niatan untuk masuk ke kehidupan kamu."

Genta membelalak. 'Wanita ini, punya berapa wajah, sih?!'

"Aku cuma mau kenal sama anak kamu. Aku cuma mau berteman sama anak kamu. Dan kalau kamu mengizinkan, aku juga gak masalah berteman sama istri kamu." Penjelasan Gia semakin membuat Genta murka.

"Gak punya otak, ya, kamu, Gi?!" bentak Genta muak.

Gia terperanjat. Secara bersamaan, sekelebat memori masa lalu masuk ke ingatan Gia. Ekspresi yang sama, ucapan yang serupa, Gia menggigil.

"Dasar! Anak gak punya otak!" ucapan yang menyakitkan, kemudian diikuti dengan pukulan bertubi-tubi.

"Mas Genta!" panggil Gia, setengah berteriak.

Meski jejak emosi masih terpatri di wajahnya, tidak dipungkiri Genta terlonjak mendengar suara Gia yang meninggi.

Gia menarik nafas panjang. Kilasan masa lalu tadi seolah membuktikan bahwa dia pernah mendapatkan yang lebih dari ini.

Ucapan Genta mungkin menyakitinya, tapi Gia sudah terlatih.

Dengan dagu terangkat tinggi, Gia maju selangkah. Ditatapnya manik hitam pekat Genta tepat di kedua bola mata.

"Kamu selalu ngerasa aku akan ngerebut kamu dari istri kamu. Sekarang aku tanya, memangnya aku ngelakuin apa ke kamu, sampai kamu berpikir aku bakal ngerebut kamu?" Gia tersenyum licik. Sorot matanya tegas dan menantang.

"Kamu juga bilang aku manipulasi San. Coba diingat lagi, siapa yang ngajarin anaknya untuk memanggil orang lain dengan sebutan yang gak pantas?"

Perubahan emosi Gia yang terjadi secepat kilat membuat Genta dalam hati terperangah. Beberapa menit yang lalu, wanita ini sudah siap menangis.

"Penyihir centil, ya? Kreatif juga kamu," sarkas Gia.

'Rupanya dia marah dengan sebutan itu.' pikir Genta.

Pria itu melipat tangannya depan dada. Ditatapnya Gia dengan senyum miring. "Memang cocok panggilan itu buat kamu. Penyihir."

Gia mengangguk-angguk dengan ekspresi menyebalkan.

"Aku memang seperti penyihir, sih. Jahat, licik, dan punya seribu satu cara untuk memanipulasi orang lain."

Genta mendengarkan dalam diam.

"Tapi mas Genta, kamu jangan terlalu percaya diri. Memang benar, aku masih cinta sama kamu. Tapi bukan berarti, aku masih tertarik sama kamu." lanjut Gia.

Rahang Genta mengetat melihat senyum licik Gia terbit. Wanita ini sengaja mempermainkannya.

"Kamu bersikap seolah-olah aku pelakor yang tiap hari tidur sama kamu," Gia terkekeh sinis. "Kalau kamu memang ingin aku jadi pelakor, aku kasih permulaan untuk hubungan kita."

Gia maju selangkah hingga membuat Genta terdesak antara tembok dengan tubuhnya. Genta menatapnya tajam penuh waspada.

"Jangan macam-macam kamu, Nagia!"

Gia menyeringai puas. Reaksi Genta membuatnya merasa menang. Sebagai pria beristri, Gia ingin lihat sejauh mana Genta bisa menghentikan niatnya saat ini.

"Cuma satu macam, mas Genta."

Secara cepat, Gia menarik tengkuk Genta, dan menyatukan bibir mereka. Di gelapnya lorong yang sepi, di ujung hingar bingar keramaian klub malam, Genta terkesiap.

Harusnya Genta ingat kalau Gia tidak pernah main-main dengan ucapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status