Gia tadinya tidak ingin peduli. Dia tidak mau tau kenapa Genta bisa ada di sini. Sambil mengatur kembali ekspresi nya, Gia mengangguk sebentar untuk berpamitan. Anggap saja dia hanya bertemu tetangga biasa di tempat tidak biasa. "Rafael siapa?" Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir Genta, membuat langkah kaki Gia terhenti. Gia buru-buru menarik tangan Genta menuju belokan di belakang toilet perempuan. "Pelanin suara kamu!" desis Gia. Bisa bahaya kalau Vero—yang masih berada di toilet, mendengar pertanyaan Genta. Alih-alih mengikuti seruan Gia, Genta justru mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Takut teman kamu dengar?" tanya nya dengan suara kencang. "Ya, dan dia akan mencari tau siapa kamu. Puas?" Jawab Gia. Kemudian, mata tajam Genta turun ke pergelangan tangannya yang masih digenggam Gia. "Lepas." Perintahnya dingin. Gia memutar bola mata. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Genta. Tampang Genta acuh tak acuh. Mata tajamnya menatap ujung lorong yang gelap. 'Mau apa Gi
Bunyi dering telepon yang masuk dari ponsel Gia membuat Genta tersadar apa yang telah terjadi.Didorongnya bahu Gia menjauh. Mata Genta nyalang menyimpan amarah, keterkejutan, dan kecewa. Pias, ditatapnya Gia dengan sorot tidak percaya. Sementara itu, Gia tergugu. Linglung, ditatapnya Genta dengan mata terbelalak. "Mas.." Gia menelan ludah. Tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Rasa malu menyergap hati Gia. Dalam hatinya, ia merutuki perbuatan impulsif nya. 'Gila kamu, Nagia!'. Wanita itu memegang bibirnya, lalu menatap Genta, dan kembali lagi memegang bibir nya. Ini seperti mimpi, karena sungguh Gia tidak ingin bertindak lebih jauh. Mata tajam Genta menghunusnya. Emosi terlihat jelas dari pancaran mata hitam pekat tersebut. Gia menelan ludah. "Keterlaluan kamu." Hanya itu yang diucapkan Genta. Setelahnya, pria itu berlalu meninggalkan Gia sendirian dengan perasaan kacau. Gia jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya lemas. Hatinya berteriak ketakutan. 'Bagaimana bisa?' Gia membatin ti
Gerimis kecil membasahi permukaan tanah sejak malam hingga pagi saat ini. Rutinitas yang biasa dilakukan Genta dan San di hari weekend—yaitu lari pagi bersama, jadi dibatalkan. Sebagai gantinya, San sibuk merangkai puzzle dengan 100 kepingan yang akan menjadi gambar lukisan Van Googh, di ruang keluarga. Tidak lupa, Tv yang menyala tanpa ditonton menemani San pagi itu. Genta menatap anak semata wayangnya dari koridor kamar lantai dua. 'Maafin, Papa, San'. Sesalnya dalam hati. Genta lantas masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, dan mengambil sebuah pigura foto yang tersimpan di dalam laci nakas. Foto pernikahannya delapan tahun yang lalu. "Maafin aku," suara Genta bagai bisikan di malam hari. Begitu lirih dan sedih. Sejak malam itu perasaan bersalah tidak berhenti menghinggapi benak Genta. Dia merasa tidak bisa menjaga batasan sebagai suami. Meski tidak ada yang mengetahui selain Gia, Genta tetap merasa telah melakukan perbuatan terlarang. Matanya terus memandang sosok wanita
"Soal kontrak kerja sama kita, kamu gak perlu khawatir. Saya sudah menghubungi Zayn untuk menerima kamu." Ucapan Genta serta merta membuat Gia yang sejak tadi menunduk—mengangkat kepala. Gia mempertanyakan apa maksud Pria itu melalui sorot matanya. "Kamu akan main dalam series besutan Praz Company. Itu, kan, yang kamu inginkan?" tanya Genta. Gia terdiam. Semua rencana yang Pria itu susun sangat sempurna. Keberuntungannya bertemu dengan Vero membuat Genta langsung bergerak cepat untuk mengunci pergerakan Gia. Sekarang, Gia tau dia tidak bisa melakukan apa-apa. Meski sebagian hatinya ingin terus mengenal San, namun Gia sadar ada prioritas yang harus ia selamatkan. Karir dan reputasinya jauh lebih penting dari mencari tahu keberadaan istri Genta yang belum pernah Gia temui. "Aku.. mau ketemu sama San, boleh?" Pertanyaan Gia ditanggapi Genta dengan dengusan panjang. "Terakhir kali. Saya hanya kasih kamu kesempatan hari ini," titah Genta tidak ingin dibantah. Gia mengangguk. Genta
Seharian penuh otak Gia berpikir keras. Menyambungkan berbagai teka-teki yang ditemuinya dengan beragam fakta yang sudah ia temukan. Beberapa saat otaknya kembali mengulang ucapan San. San tidak pernah memanggil Mama. Apakah itu artinya, San tidak pernah bertemu dengan Mamanya? Lalu percakapan Genta dengan asisten rumah tangganya.. bukankah itu menandakan bahwa Genta seorang single parent? Gia bangun dari ranjangnya. Ia mengambil laptop yang terletak di atas meja kerja, lalu membawanya ke atas ranjang. Sambil berpikir keras, Gia mengetik kata kunci di kolom pencarian g****e. Genta Pramudya "Ketemu!" Sorak sorai senang Gia lanturkan tatkala matanya menangkap nama Genta di beberapa portal berita. Matanya menelusuri rangkaian berita yang membahas Genta. Namun, hingga pencarian terbawah, semua yang dibahas adalah prestasi Genta dalam membangun Praz Company di umur nya yang kala itu baru menginjak 25 tahun. "Kok gak ada nama istrinya, sih?" gumam Gia bingung. Ia kemudian mengubah ka
"Pa, kok tante Gia jarang kelihatan, ya?" Pagi itu di hari libur, Genta yang sedang membantu San merakit lego, mendongak menatap putra satu-satunya. "Sibuk kali, Nak." Genta menjawab sekedarnya. 'Baguslah, akhirnya Nagia tau diri juga'. Batin Genta. San mendecak tidak puas mendengar jawaban Papanya. Sudah hampir seminggu ia tidak pernah bertemu tante Gia. Rumahnya selalu terlihat sepi. Begitu juga dengan mobilnya yang tidak ada di pekarangan rumah. Tante Gia seolah menghilang bak di telan bumi. "Papa gak pernah ketemu tante Gia?" tanya San lagi. Kening Genta mengkerut. Lantas menggeleng. "Papa, kan, bukan temannya tante Gia. Jadi, Papa gak tau tante Gia di mana." San ngangguk-ngangguk. 'Benar juga'. Benaknya polos.Walau umurnya masih belia, San adalah pemerhati yang baik. Dan selama pengamatan San menjadi anak Papa, Papa jarang tersenyum dengan tante Gia. "Aku kangen main sama tante Gia," ujar San dengan wajah lesu. Alis Genta menukik tajam. "Kan masih ada Papa. Emang gak
Rafael membawa San dalam gendongannya. Bersama-sama mereka menuju pusat informasi setelah sebelumnya San menghubungi Papa melalui ponsel Gia. Beruntung sekarang Gia sudah menyimpan nomer ponsel Genta. Sepanjang menuju pusat informasi, Rafael memperhatikan interaksi antara Gia dengan bocah laki-laki dalam gendongannya. "Tante, Tante kemana aja, sih? Kok jarang main lagi sama San?" tanya San dengan nada merajuk. Gia meringis kecil. "Tante lagi sibuk banget sekarang. Nanti kalau Tante sudah selesai sibuknya, Tante main lagi deh sama San." San ngangguk-ngangguk. Tapi kemudian dia bertanya lagi. "Tante kerja apa, sih, memangnya? Kok vidio Tante di youtube gak ada yang baru?" "Tante lagi jadi aktris San. Nanti San tonton film Tante, ya." Gia menyengir lebar, lalu mengusap tangan San lembut. "Oke, Tante! Semangat kerjanya, ya. Biar bisa main sama aku lagi." San balas tersenyum lebar. Gia tertawa. Kalimat San barusan tak urung membuat Rafael ikut tersenyum lebar. Anak itu terus mener
Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen