Share

Bab 1

Author: Susan S
last update Last Updated: 2021-09-10 16:43:04

“Menyenangkan sekali bukan, Drake?” ujar Dammon penuh kemenangan. “Kau tentu tahu dengan baik jika membunuh memberi kepuasan tak terhingga untukku.”

Drake Sloan menatap Dammon penuh kebencian. Bibirnya bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu. Namun tidak ada satu patah kata pun yang keluar. 

“Sampai bertemu di neraka, bangsat!” Dammon mengedipkan sebelah matanya lalu mematikan kamera dan berbalik pergi.

Beberapa mil jauhnya dari apartemen Drake, John Slade  mengertakkan rahang kuat-kuat. “Habislah riwayatmu kali ini, keparat!” desis John. “Aku akan mengumpankanmu. Kau akan jadi santapan empuk Edy dan Hakim Wild di pengadilan.”

“Jangan senang dulu, Jhony. Apa kau lupa kita sedang berhadapan dengan siapa? Dammon adalah setannya pencuri hukum. Jika kita gegabah, salah perhitungan sedikit saja kita yang akan tamat, Jhony. Kita yang akan jadi babi panggang.” Tomm Lylod mengingatkan temannya. 

Pria berkulit hitam berambut ikal yang berusia pertengahan tiga puluh tahun itu tersenyum sinis. “Kita sudah punya bukti autentik untuk menjebloskan bajingan itu ke penjara, Tom. Selain itu, kita juga mendapat dukungan penuh dari kejaksaan negeri, Hakim Wild dan perlindungan langsung dari CIA dan FBI. Jika tidak ada yang berkhianat di antara kita, maka semuanya akan berjalan sesuai rencana Mr. Presiden.” 

Tomm Lylod menatap tajam ke arah temannya yang dua tahun lebih tua dari dirinya  lalu berkata dengan sarkastis, “Semua orang tahu bahwa kau lebih mungkin berkhianat daripada aku. Apalagi menyangkut uang.” 

Jhon tertawa geli. “Siapa yang memberi dolar lebih banyak ke sanalah aku akan berpihak,” sahutnya. “Untuk saat ini aku berpihak pada pemerintah karena mereka  menjanjikan uang yang cukup kugunakan seumur hidupku dan jaminan keamanan dari keluarga Dammon. Tapi, jika ada tawaran yang lebih tinggi dari itu, tentu saja aku akan mengambilnya. Hidup itu tentang politik uang, Sobat. Siapa yang membayarmu paling tinggi, ke sanalah kau harus berpihak. Jika tidak, kau akan kalah.”

Tomm mendengus. Wajahnya yang tirus dan berbintik-bintik hitam tampak merah padam karena marah. Di balik kaca matanya yang tebal mata hitamnya berkilat-kilat. “Sebaiknya tutup mulut busukmu itu. Kita pergi sekarang sebelum ada yang mengetahui keberadaan kita di sini. Atau kepala kita juga akan diledakkan Dammon seperti kepala Sloan. Aku tidak mau istriku menjadi janda dan anak-anakku mempunyai ayah tiri.” 

“Dan aku juga tidak mau kehilangan lima juta dolarku.” Jhon mengambil CD-ROM dan memasukkannya ke saku jas dalam. Kemudian dia mematikan laptopnya, memasukkan kembali ke dalam tas dan mengambil mantel bulu di gantungan. 

“Jangan lupa pistolmu,” seru Tomm sambil melempar revolver milik temannya. “Komplotan Dammon berada di mana-mana. Kita harus berjaga-jaga untuk memastikan keselamatan kepala kita.”

“Persetan dengan kepala. Aku lebih memikirkan lima juta dolarku daripada kepalaku sendiri.” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suatu Senja di Tanah Senja   Senja Terakhir

    Mardian telah tiba pada batas akhir kekuatannya. Di hadapannya malam mengundurkan diri seperti yang terjadi di atas gunug menjelang fajar. Rohana berdiri duduk di sampingnya. Sosoknya semakin nyata, semakin utuh, semakin abadi. "Tepat pada saat ini, Ana, akhirnya aku mengerti sudah rahasia alam semesta. Aku tahun jalan setapak jiwa terkadang tumbuh dengan begitu cepat, kerap hanya mengenal malam. Malam yang sangat luas nyaris tak terbatas, gersang dan hampa. Namun, aku katakan padamu : kita akan lolos, Ana.Kita berdua akan terus hidup. Meskipun, ya, pasti dalam situasi yang sangat jauh berbeda.""Maha karya yang luar biasa selalu lahir dari kelam malam. Keindahan yang menakjubkan terinspirasi dari bintang-binta di langit dan rembulan yang menggantung rendah. Kelam mala. Kadang menenggelamkan jiwa manusia dalam lubang keputusasaan yang dalam, yang tak berdasar. Kelam malam membuat manusia sampai menutup mata dan menggadaikan idealismenya sendiri. Kelam malam melahirkan manusia menjadi

  • Suatu Senja di Tanah Senja   Dalang.

    "Tunggu dulu, Bung. Jangan pergi dulu. Ada satu kisah yang ingin saya ceritakan kepada Anda sebelum Anda pergi." "Baiklah, Ana. Kalau begitu silakan bercerita." Aku lahir dan dididik menurut agama Islam. Bahkan saat masih kecil dan sepanjang masa remajaku, aku di sekolahkan di sekolah-sekolah Islam. Aku mengaji ilmu agama di sore dan malam hari. Dan lebih sering lagi ketika datang bulan suci. Namun saat berusia sembilan belas tahun aku meninggalkan kegitaan keagamaanku itu, aku mulai kehilangan kepercayaan atas apa yang telah diajarkan padaku. Dilihat dari apa yang bisa kuingat, aku tak pernah benar-benar memiliki kepercayaan yang sungguh-sungguh. Aku sekadar percaya pada apa yang telah diajarkan padaku dan pada hal-hal yang berlaku di masyarakat luas. Namun, saat usiaku menginjak dewasa dan aku mulai mampu memahami kehidupan, kepercayaan ini perlahan mulai goyah. Aku melihat bahwa mayoritas ajaran-ajaran agama yang diterima tanpa pertanyaan dan ditopang ole

  • Suatu Senja di Tanah Senja   Malam Terakhir

    “Bung masih belum menjawab pertanyaan saya, mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”“Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”“Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati. Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.“Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapati ketinggian sejati. Aku mencoba mencapainya. Tapi aku tak cukup kuat mendaki. Kakiku terkilir dan aku jatuh berguling-guling.“Kembali lagi ke bawah, aku menangis. Aku tak bisa mencapai ketinggian itu dan aku tidak tahu cara mencapainya. Dala

  • Suatu Senja di Tanah Senja   Kelam Malam

    “Kami meninggalkan Pada Suka dengan sepeda. Pak Mantri yang memboncengku. Sepanjang perjalan Pak Mantri menjelaskan bahwa Paman Darto baik-baik saja.“ ‘Kau jangan cemas. Pamanmu baik-baik saja. Sekarang dia masih berada di Pada Suka. Yang terpenting sekarang kau harus pergi sejauh mungkin. Jendral Sudarto berencana mengarakmu di alun-alun.’“Aku menjelaskan pada Pak Mantri bahwa aku tidak tahu harus pergi ke mana dan bagaimana. Aku tidak punya teman dan keluarga selain pamanku.“Jangan cemas. Aku sudah mengatur keberangkatanmu. Kau akan naik mobil yang membawa gula kelapa ke kota. Setelah itu, carilah kereta jurusan Cirebon. Tunggulah pamanmu di sana.’“Aku berterima kasih pada Pak Mantri. Aku memeluknya saat mengucapkan selamat tinggal dan berjanji akan mengirim telegram begitu tiba di Cirebon nanti.“Tapi apa yang terjadi kemudian, yang kudengar dari bisikan angin, ternyata ada persekongkolan—sebuah drama—yang telah direncanakan untuk menghancurkanku. Lebih kejam lagi, pamanku send

  • Suatu Senja di Tanah Senja   Senja Terakhir

    "Ana apa kau masih di dalam aku?""Ya, Bung, saya masih di dalam Bung.""Aku ingin menyelesaikan ceritaku. Aku terbangun untuk memberitahumu bagian terakhir dari ceritaku.""Saya akan mendengarkan Bung. Saya akan selalu mendengarkan Bung. Bung juga masih belum menjawab pertanyaan saya, mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”“Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”“Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati. Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.“Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapat

  • Suatu Senja di Tanah Senja   Saksi Bisu

    Saya melihat semuanya. Apa yang tidak orang lihat saya menyaksikannya. Dunia benar-benar gelap waktu itu. Harapan seperti kabut tipis yang mudah menguap. Saya adalah saksi bisu dari ketidak adilan tanah moyang saya. Jika saya bisa berseru, saya pasti akan berteriak paling nyaring. Waktu itu, adalah pagi yang biasa. Benar-benar tak ada satu pertanda apa pun dari malam harinya. Saya membuka pintu. Tak ada yang asing di udara, tak ada yang ganjil di langit. Tapi, dunia kemudian berubah dengan sangat cepat, tanpa aba- aba , tanpa peringatan , tanpa pertanda. Hanya salakkan anjing. Itulah awal mulanya. Salakkan anjing terdengar dari arah hutan Pada Suka. Tapi, apa yang salah dengan salakkan anjing? Tentu saja tidak ada. Di hutan itu memamng masih banyak binatang liar. Babi hutan, anjing liar, monyet, dan yang lain-lain. Karena itulah, hampir atak ada yang sepesial dengan anjing yang menyalak pagi hari itu. Kecuali saya yang merasa aneh, yang lainnya sama sekali tidak peduli."Ayah, ada apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status