Share

Komedi Kehidupan

            Malam hari itu Mardian melewati setiap menit yang berlalu dengan gelisah, disela oleh kenangan masa lalu yang menyakitkan. Dia bangkit dan mulai mondar-mandir di kamar tidurnya. Mengapa kedua kelopak mataku bergetar? Mengapa kedua tanganku mengepal kuat? Dia mengatupkan rahang, terus mondar-mandir membentuk lingakaran kecil.

            Bagaimana mungkin ayah tega menyimpan rahasia sebesar ini dariku? Apakah aku tidak berarti baginya, apakah ayah tak mempercayaiku? Apa pun itu, ayah benar-benar kejam padaku. Tapi, apa salahku? Mardian mengepalkan tangan semakin kuat. Kemudian dia melangkah dengan gontai menghampiri jendela, membukanya lebar-lebar. Dia mencondongkan tubuhnya keluar. Pandangannya menyapu lorong jalanan sempit yang sunyi dan gelap. “Apa yang sebenarnya mau-Mu, Tuhan?!” dia berteriak. “Kau telah mengambil masa mudaku, kemerdekaanku, kebebasaanku, dan sekarang Kau ingin menghancurkanku dengan kekecewaan tak bertepi ini? Jangan licik! Kau ingin berperang? Ke marilah, aku siap betempur sampai mati dengan-Mu. Tapi, jika aku menang, Kau harus menjauhiku. Kau tidak boleh mengusik hidupku lagi! Bagaimana? Apa kau berani menerima tantanganku?” kelopak mata Mardian bergetar semakin kuat, kedua tangannya mengepal penuh kemarahan. “Aku tahu ini semua ujian hidup untukku. Tapi, kenapa Kau menguji sesuatu yang Kau ciptakan sendiri? Kenapa Kau menghancurkan hidupku padahal aku tak berbuat kesalahan yang berarti, kenapa?!” Mardian jatuh meringkuk, lututnya tertarik hingga ke dagu. Dia menangis tersedu-sedu.

            Bayangan Prmoedya muncul di kepala Mardian, mentertawakan kelemahan hatinya. 

            “Jangan menjadi Kain yang terus menyalahkan Tuhan atas pembunuhan yang dia lakukan terhadap Habel, Kawan,” ejeknya. “Kau dan aku tahu dengan baik jika nasib buruk sering kali mempermainkan kita dengan saangat kurang ajar. Tapi, cobalah menjadi orang yang bijak dengan melihat dan mengambil sikap dari berbagai sudut dalam setiap keadaan. Aku yakin sekali kau akan takjub dengan apa yang kau temukan.”

            Mardian tidak menyahut, tidak menghiraukan sama sekali. 

            

            “Kau memang keras kepala!” seru Pramoedya. “Dengar, Mardian. Di dunia ini tak ada tempat untuk orang yang lemah. Ini bukan soal keadilan atau apa pun. Ini soal bagaimana seseorang harus bertanggung jawab atas dirinya masing-masing.”

            Mardian tidak bergerak, tidak bereaksi. 

            “Hidup seseorang tidak akan berakhir hanya karena dia mati, Mardian. Tapi, hidup orang itu berakhir saat dia kehilangan keyakinan atas dirinya sendiri.”

            Mardian masih seonggok batu. 

            “Aku tahu, Mardian. Ketika kita melihat hidup ini tidak ada artinya dan memuakkan, sandiwara dalam cermin sekalipun tak akan lagi sanggup menghibur. Namun, sekalipun begitu, kau tidak boleh membiarkan keputusasaan menggerogoti jiwamu. Ini memang pergulatan yang sangat sulit dilakukan dalam sepanjang sejarah keberadaan manusia. Meski demikian, penciptaanmu sama sekali tidak sia-sia. Saat kau menyadari kepedihan hidup, mengalami rasa sakit yang tak terperi, menemui kesendirian, saat itulah, tanpa kau sadari, kau sedang bertemu secara langsung dengan seni kehidupan.”

            Sebentuk rasa jijik tiba-tiba melingkupi seluruh tubuh Mardian. Perlahan-lahan, dari kepala hingga kaki. Dia tak paham apa yang sedang terjadi pada dirinya, apa yang tiba-tiba mengaduk-aduk, melonjak-lonjak minta dibebaskan. Dia memejamkan mata, berserah kepada kekuatan maha dahsyat yang membutakan yang mengalir deras dari dalam tubuhnya. Kekuataan itu menerobos keluar, pecah bagai bendungan ambrol yang menyeretnya tanpa ampun. Serta-merta Mardian menarik kepala membenturkannya ke dinding. Gigi geliginya gemeretak seperti orang gila, dua sungai air mata yang hangat mengalir di pipinya. Sedetik kemudian dia tertawa kuat-kuat, tawa yang membekukan darah, menghentikan denyut nadi. Topeng kesendirian yang menyekatnya dengan dunia dengan kenyataan dengan kehidupan. Lalu getaran dari kedalaman waktu menyadarkannya. Mardian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. “Apa yang telah kulakukan dengan hidupku, aku telah mencinta dan dibuat menderita; aku telah menerima dan diberi; berharap dan kehilangan harapan; mengecewakan dan dibuat kecewa. Bagaimana mungkin aku akan terus hidup setelah berkali-kali dihancurkan, setelah melihat sekilas garis batas antara harapan dan keputusasaan? Seandainya aku bertahan, masih sanggupkah aku menahan berbagai gempuran dan tetap berharap akan datangnya kebahagiaan, memimpikan hari esok yang lebih baik jika bukan kedamaian?” dia menyeka air matanya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia masih hidup, dan dia akan tertawa lebih keras lagi dengan sebentuk gairah yang melebihi keputusasaan, ketidakberdayaan, juga kelemahan di esok hari. Namun begitu, kemarahan masih bergejolak dalam hatinya, tapi bukan kebencian. Hanya saja setelah beberapa lama….

            

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status