Malam hari itu Mardian melewati setiap menit yang berlalu dengan gelisah, disela oleh kenangan masa lalu yang menyakitkan. Dia bangkit dan mulai mondar-mandir di kamar tidurnya. Mengapa kedua kelopak mataku bergetar? Mengapa kedua tanganku mengepal kuat? Dia mengatupkan rahang, terus mondar-mandir membentuk lingakaran kecil.
Bagaimana mungkin ayah tega menyimpan rahasia sebesar ini dariku? Apakah aku tidak berarti baginya, apakah ayah tak mempercayaiku? Apa pun itu, ayah benar-benar kejam padaku. Tapi, apa salahku? Mardian mengepalkan tangan semakin kuat. Kemudian dia melangkah dengan gontai menghampiri jendela, membukanya lebar-lebar. Dia mencondongkan tubuhnya keluar. Pandangannya menyapu lorong jalanan sempit yang sunyi dan gelap. “Apa yang sebenarnya mau-Mu, Tuhan?!” dia berteriak. “Kau telah mengambil masa mudaku, kemerdekaanku, kebebasaanku, dan sekarang Kau ingin menghancurkanku dengan kekecewaan tak bertepi ini? Jangan licik! Kau ingin berperang? Ke marilah, aku siap betempur sampai mati dengan-Mu. Tapi, jika aku menang, Kau harus menjauhiku. Kau tidak boleh mengusik hidupku lagi! Bagaimana? Apa kau berani menerima tantanganku?” kelopak mata Mardian bergetar semakin kuat, kedua tangannya mengepal penuh kemarahan. “Aku tahu ini semua ujian hidup untukku. Tapi, kenapa Kau menguji sesuatu yang Kau ciptakan sendiri? Kenapa Kau menghancurkan hidupku padahal aku tak berbuat kesalahan yang berarti, kenapa?!” Mardian jatuh meringkuk, lututnya tertarik hingga ke dagu. Dia menangis tersedu-sedu.
Bayangan Prmoedya muncul di kepala Mardian, mentertawakan kelemahan hatinya.
“Jangan menjadi Kain yang terus menyalahkan Tuhan atas pembunuhan yang dia lakukan terhadap Habel, Kawan,” ejeknya. “Kau dan aku tahu dengan baik jika nasib buruk sering kali mempermainkan kita dengan saangat kurang ajar. Tapi, cobalah menjadi orang yang bijak dengan melihat dan mengambil sikap dari berbagai sudut dalam setiap keadaan. Aku yakin sekali kau akan takjub dengan apa yang kau temukan.”
Mardian tidak menyahut, tidak menghiraukan sama sekali.
“Kau memang keras kepala!” seru Pramoedya. “Dengar, Mardian. Di dunia ini tak ada tempat untuk orang yang lemah. Ini bukan soal keadilan atau apa pun. Ini soal bagaimana seseorang harus bertanggung jawab atas dirinya masing-masing.”
Mardian tidak bergerak, tidak bereaksi.
“Hidup seseorang tidak akan berakhir hanya karena dia mati, Mardian. Tapi, hidup orang itu berakhir saat dia kehilangan keyakinan atas dirinya sendiri.”
Mardian masih seonggok batu.
“Aku tahu, Mardian. Ketika kita melihat hidup ini tidak ada artinya dan memuakkan, sandiwara dalam cermin sekalipun tak akan lagi sanggup menghibur. Namun, sekalipun begitu, kau tidak boleh membiarkan keputusasaan menggerogoti jiwamu. Ini memang pergulatan yang sangat sulit dilakukan dalam sepanjang sejarah keberadaan manusia. Meski demikian, penciptaanmu sama sekali tidak sia-sia. Saat kau menyadari kepedihan hidup, mengalami rasa sakit yang tak terperi, menemui kesendirian, saat itulah, tanpa kau sadari, kau sedang bertemu secara langsung dengan seni kehidupan.”
Sebentuk rasa jijik tiba-tiba melingkupi seluruh tubuh Mardian. Perlahan-lahan, dari kepala hingga kaki. Dia tak paham apa yang sedang terjadi pada dirinya, apa yang tiba-tiba mengaduk-aduk, melonjak-lonjak minta dibebaskan. Dia memejamkan mata, berserah kepada kekuatan maha dahsyat yang membutakan yang mengalir deras dari dalam tubuhnya. Kekuataan itu menerobos keluar, pecah bagai bendungan ambrol yang menyeretnya tanpa ampun. Serta-merta Mardian menarik kepala membenturkannya ke dinding. Gigi geliginya gemeretak seperti orang gila, dua sungai air mata yang hangat mengalir di pipinya. Sedetik kemudian dia tertawa kuat-kuat, tawa yang membekukan darah, menghentikan denyut nadi. Topeng kesendirian yang menyekatnya dengan dunia dengan kenyataan dengan kehidupan. Lalu getaran dari kedalaman waktu menyadarkannya. Mardian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. “Apa yang telah kulakukan dengan hidupku, aku telah mencinta dan dibuat menderita; aku telah menerima dan diberi; berharap dan kehilangan harapan; mengecewakan dan dibuat kecewa. Bagaimana mungkin aku akan terus hidup setelah berkali-kali dihancurkan, setelah melihat sekilas garis batas antara harapan dan keputusasaan? Seandainya aku bertahan, masih sanggupkah aku menahan berbagai gempuran dan tetap berharap akan datangnya kebahagiaan, memimpikan hari esok yang lebih baik jika bukan kedamaian?” dia menyeka air matanya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia masih hidup, dan dia akan tertawa lebih keras lagi dengan sebentuk gairah yang melebihi keputusasaan, ketidakberdayaan, juga kelemahan di esok hari. Namun begitu, kemarahan masih bergejolak dalam hatinya, tapi bukan kebencian. Hanya saja setelah beberapa lama….
Mardian telah tiba pada batas akhir kekuatannya. Di hadapannya malam mengundurkan diri seperti yang terjadi di atas gunug menjelang fajar. Rohana berdiri duduk di sampingnya. Sosoknya semakin nyata, semakin utuh, semakin abadi. "Tepat pada saat ini, Ana, akhirnya aku mengerti sudah rahasia alam semesta. Aku tahun jalan setapak jiwa terkadang tumbuh dengan begitu cepat, kerap hanya mengenal malam. Malam yang sangat luas nyaris tak terbatas, gersang dan hampa. Namun, aku katakan padamu : kita akan lolos, Ana.Kita berdua akan terus hidup. Meskipun, ya, pasti dalam situasi yang sangat jauh berbeda.""Maha karya yang luar biasa selalu lahir dari kelam malam. Keindahan yang menakjubkan terinspirasi dari bintang-binta di langit dan rembulan yang menggantung rendah. Kelam mala. Kadang menenggelamkan jiwa manusia dalam lubang keputusasaan yang dalam, yang tak berdasar. Kelam malam membuat manusia sampai menutup mata dan menggadaikan idealismenya sendiri. Kelam malam melahirkan manusia menjadi
"Tunggu dulu, Bung. Jangan pergi dulu. Ada satu kisah yang ingin saya ceritakan kepada Anda sebelum Anda pergi." "Baiklah, Ana. Kalau begitu silakan bercerita." Aku lahir dan dididik menurut agama Islam. Bahkan saat masih kecil dan sepanjang masa remajaku, aku di sekolahkan di sekolah-sekolah Islam. Aku mengaji ilmu agama di sore dan malam hari. Dan lebih sering lagi ketika datang bulan suci. Namun saat berusia sembilan belas tahun aku meninggalkan kegitaan keagamaanku itu, aku mulai kehilangan kepercayaan atas apa yang telah diajarkan padaku. Dilihat dari apa yang bisa kuingat, aku tak pernah benar-benar memiliki kepercayaan yang sungguh-sungguh. Aku sekadar percaya pada apa yang telah diajarkan padaku dan pada hal-hal yang berlaku di masyarakat luas. Namun, saat usiaku menginjak dewasa dan aku mulai mampu memahami kehidupan, kepercayaan ini perlahan mulai goyah. Aku melihat bahwa mayoritas ajaran-ajaran agama yang diterima tanpa pertanyaan dan ditopang ole
“Bung masih belum menjawab pertanyaan saya, mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”“Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”“Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati. Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.“Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapati ketinggian sejati. Aku mencoba mencapainya. Tapi aku tak cukup kuat mendaki. Kakiku terkilir dan aku jatuh berguling-guling.“Kembali lagi ke bawah, aku menangis. Aku tak bisa mencapai ketinggian itu dan aku tidak tahu cara mencapainya. Dala
“Kami meninggalkan Pada Suka dengan sepeda. Pak Mantri yang memboncengku. Sepanjang perjalan Pak Mantri menjelaskan bahwa Paman Darto baik-baik saja.“ ‘Kau jangan cemas. Pamanmu baik-baik saja. Sekarang dia masih berada di Pada Suka. Yang terpenting sekarang kau harus pergi sejauh mungkin. Jendral Sudarto berencana mengarakmu di alun-alun.’“Aku menjelaskan pada Pak Mantri bahwa aku tidak tahu harus pergi ke mana dan bagaimana. Aku tidak punya teman dan keluarga selain pamanku.“Jangan cemas. Aku sudah mengatur keberangkatanmu. Kau akan naik mobil yang membawa gula kelapa ke kota. Setelah itu, carilah kereta jurusan Cirebon. Tunggulah pamanmu di sana.’“Aku berterima kasih pada Pak Mantri. Aku memeluknya saat mengucapkan selamat tinggal dan berjanji akan mengirim telegram begitu tiba di Cirebon nanti.“Tapi apa yang terjadi kemudian, yang kudengar dari bisikan angin, ternyata ada persekongkolan—sebuah drama—yang telah direncanakan untuk menghancurkanku. Lebih kejam lagi, pamanku send
"Ana apa kau masih di dalam aku?""Ya, Bung, saya masih di dalam Bung.""Aku ingin menyelesaikan ceritaku. Aku terbangun untuk memberitahumu bagian terakhir dari ceritaku.""Saya akan mendengarkan Bung. Saya akan selalu mendengarkan Bung. Bung juga masih belum menjawab pertanyaan saya, mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”“Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”“Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati. Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.“Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapat
Saya melihat semuanya. Apa yang tidak orang lihat saya menyaksikannya. Dunia benar-benar gelap waktu itu. Harapan seperti kabut tipis yang mudah menguap. Saya adalah saksi bisu dari ketidak adilan tanah moyang saya. Jika saya bisa berseru, saya pasti akan berteriak paling nyaring. Waktu itu, adalah pagi yang biasa. Benar-benar tak ada satu pertanda apa pun dari malam harinya. Saya membuka pintu. Tak ada yang asing di udara, tak ada yang ganjil di langit. Tapi, dunia kemudian berubah dengan sangat cepat, tanpa aba- aba , tanpa peringatan , tanpa pertanda. Hanya salakkan anjing. Itulah awal mulanya. Salakkan anjing terdengar dari arah hutan Pada Suka. Tapi, apa yang salah dengan salakkan anjing? Tentu saja tidak ada. Di hutan itu memamng masih banyak binatang liar. Babi hutan, anjing liar, monyet, dan yang lain-lain. Karena itulah, hampir atak ada yang sepesial dengan anjing yang menyalak pagi hari itu. Kecuali saya yang merasa aneh, yang lainnya sama sekali tidak peduli."Ayah, ada apa