Putri Lukman melirik kursi tamu yang terlihat mahal, dipersiapkan untuk para tamu pimpinan ARS Corporation. Gadis itu sedikit ragu, pula mata hitamnya menyapu ke seluruh ruangan, lebih tepatnya menghindar mata coklat terang di sana.
Wira meminta sekretaris pergi melalui gerakan mata. Tidak perlu lama untuk menyisakan mereka berdua saja. Kiran menelan ludah seketika, tubuh kecil ini bergerak gelisah, dia benar-benar dilanda kegugupan.
“Apa urusan dengan temanmu sudah selesai?” Pertanyaan berbeda dari yang dipikirkan putri Lukman. Lelaki di balik meja berkata lembut. Berputar dengan kursi kerjanya membentuk setengah lingkaran, sehingga menghadap sang istri yang duduk tegap.
“Be-belum.” Sahut lawan bicara.
“Belum?”
“Ya,” Kiran langsung menyambar. “Tadi Bayu menjemput sekretarismu buru-buru, kemudian aku dibawa mereka ke sini, awalnya aku sudah meminta ditinggalkan di rumah temanku saja. Aku… mengganggu pekerjaanmu, ya?” Putri Lukman menundu
dukung author dengan menaikkan cerita ini berupa review 5 bintang dan berikan permata sebanyak-banyaknya
Pertanyaan-pertanyaan terakhir yang bisa ia dengar sebelum ambruk pada sisi sofa.Seketika Wira berdiri, “Aris. Bawa istriku ke rumah sakit sekarang!” Bersamaan langkah cepat ia menyambar kunci mobil. Mereka meninggalkan pria paruh baya itu sendirian. Meski tanpa diminta, Lukman pasti mengkhawatirkan putrinya. Wira tak ada waktu untuk sekedar berbasa-basi pada mertua, Lukman sudah tahu apa yang harus dilakukan.“Biar aku yang mengemudi.” Wira membuka pintu kursi belakang, menyuruh sekretaris masuk lebih dulu.Kali ini Range Rover melesat di bawah kendali atasan ARS Corporation. Ada mobil lain mengikuti, dipastikan Lukman yang ingin melihat kondisi putrinya.‘Sial, baru kali ini aku khawatir dengan orang lain selain mama’. pikir Wira.“Aris, coba kau lihat, apa dia masih bernapas?” Sangat polos sekretaris menuruti perintah konyol atasan. Sejujurnya ia mencemaskan sang istri, hanya saja pertany
“Aku mau ke kamar kecil.” Ia tetap berjalan, menghiraukan lelaki di sofa ujung, ia tahu kalau Wira tidak ingin disentuh bahkan mendekat.Laki-laki berkemeja biru tua – dia belum pulang sejak Kiran pingsan dan setia menunggu – tak kunjung melihat perempuan itu kembali, setelah sekian menit ia memantau pintu toilet. Bahkan saat ini ia mondar-mandir di depan pintu tersebut, sebenarnya Wira sedang tidak tenang. Apa Kiran di dalam sana baik-baik saja, bagaimana kalau ada masalah kecil dan sejenisnya? Sesaat lalu dia belum menanyakan apapun untuk memastikan keadaan sang istri.Wira mengetuk pintu setelah ke sana ke mari selama lima menit, “Apa kau baik-baik saja?” raungnya. “Kalau selesai cepatlah keluar, kau belum makan dari siang.” Tidak ada jawaban dari Kiran.Wira mengetuk lagi pintu itu lebih keras, rasa di dadanya semakin besar. Membuatnya menghitung detik dari arloji mahal di pergelangan tangan. Ah, persetan denga
Rakin dengan sikap semaunya mendatangi Wira yang sedang serius mengamati bacaan-bacaan aneh – julukan dari Rakin pada setiap buku kakaknya. Kalau disandingkan, jelas mereka dua manusia berbeda dalam segi keahlian, sifat dan keinginan. Hanya saja, orang lain bisa mengatakan kalau mereka saudara dengan wajah yang memiliki kesamaan. Rakin duduk tak jauh dari sang kakak, melihat laki-laki di depan dari ujung kepala hingga ujung tangan. Jangan harap Wira memberikan suara pertamanya. Lebih baik dia membaca lusinan buku daripada meladeni bocah nakal. “Tidak usah pura-pura, kak. Aku tahu kau memikirkan kakak ipar.” Senyum mengejek mulai ia keluarkan. Lalu ia menggeserkan tubuh agar bersandar pada sofa. “Adikmu siap mendengar curahan hati seorang kakak, tuh.” Rakin kembali mengeluarkan omong kosong seraya mata itu mengamati gerak-gerik Wira. Lelaki di balik meja menghela napas, “Aku mengaku kalah. Benar aku sedang memikirkan Kiran, tapi tidak ada urusannya denganmu. Sekarang
“Ya, tidak masalah. Aku akan memanggilmu ‘suamiku’.”Wira terheran sekaligus berpikir, memangnya tidak ada yang lebih mudah dari ini? Mengapa dia harus gugup segala tadi? Ia pun berasumsi Kiran akan menolak. Atau gadis itu sudah mengantuk setengah mati? Terserahlah. Terpenting mereka memiliki panggilan baru.Malam ini sang suami akan bergelut dengan sofa lagi sebagai pembaringan. Sebenarnya tubuh tinggi itu tak begitu nyaman tidur di sana, bergerak pun terbatas. Sesaat ia berbaring – gelisah menghadap ke kiri dan kanan. Akhirnya, bangkit dan keluar dari kamar. Wira memilih tidur di kamar kosong. Lama-lama menghabiskan malam di sofa bisa menyebabkan tubuh pegal-pegal.Kamar rapi yang belum pernah tersentuh terbentang dihadapan Wira, akan tetapi wangi kamar ini berbeda. Tidak ada harum bunga yang lembut bercampur kesegaran buah. Entahlah, dia mulai menyukai wangi khas Kiran dan mengenalinya.Belum sempat ia merebahkan tubuh, pa
“Anak asuhku dulu juga bernama sama denganmu. Semenjak diangkat sebagai putri keluarga kaya, dia tidak pernah berkunjung. Aku bahkan kehilangan alamat mereka. Kiran kecil kami mungkin sudah bahagia bersama papanya. Dia terus bermimpi memiliki keluarga yang melimpahkan kasih sayang padanya, bermain dengannya setiap saat. Kalau aku menolak adopsi itu, sama saja aku membunuh keinginan terbesar Kiran kecil kami.” Bunda Anna bersedih, mata keabuannya berkaca-kaca. “Nama pengadopsi tersebut… Lukman?” Anna terkejut. “Bisakah bunda Anna memberitahuku pohon besar yang di dekat pintu utama ketika masuk yayasan?” tambah Kiran, ia melihat bunda Anna belum bersuara. “Ka-kamu….” Anna terpusat pada nama pengadopsi. “Saya putri Lukman, bunda.” Tanpa ragu Anna mengambil tangan Kiran lalu menggenggamnya. “Bo-boleh bunda memelukmu, nak?” suara bergetar milik Anna – menahan haru. Gadis itu pun mengangguk pelan. Bunda Anna menumpahkan kasih sayang bercampur
“Aku ada urusan sedikit, berbeda denganmu. Aku usahakan pulang cepat. Lagi pula ada apa denganmu? Tidak biasanya menanyakan kepulanganku.”“Kau itu aneh, Wira. Aku tak mengerti mengapa kau jadi menakutkan hanya karena anak kecil mendekatimu. Kau takut mobil mahal ini lecet? Mereka berbeda denganmu, yang memiliki segalanya. Memangnya satu kata maaf bisa menghancurkan reputasi keluargamu? Katanya sering ke yayasan, menghargai anak kecil saja tidak bisa.” Kiran tersenyum getir – pria berkelas ini benar-benar tidak mengerti cara menghargai manusia.Kiran mengingat obrolan mereka ketika Wira mengatakan bahwa Lukman rela berlutut demi menikahi putri yang diadopsi dari yayasan Enfants. Bahkan kehidupannya saat ini lebih buruk dari kehidupan sebelumnya – sebagai Arina.“Sepertinya kau sudah terlalu jauh, Kiran. Kita tidak cukup dekat – untuk kau mengatakan itu.”Perempuan di belakang tertegun, ternyata perkira
“Tidak, ma. Kami hanya bercerita hal yang menarik.” Kiran menjawab cepat.Ibu mertua melanjutkan kunjungan terhadap bunga-bunga di sana, mengabaikan urusan si bungsu dan menantu. Peace lily putih dan merah menjadi tujuan pertama Ningrum. Berbeda dengan sang menantu, bukannya dia tidak menyukai tanaman itu, hanya saja ia enggan merawat bunga dan bermain tanah.“Kiran, bisakah kamu pegang ini?” Ningrum memberikan kumpulan peace lily yang ia potong. Segera istri Wira menyambutnya, bahkan dia sudah berada tepat di belakang ibu mertua. Kalaupun Ningrum memintanya, ia akan lebih sigap dari siapapun.“Ah, aku sangat jarang melihat mama melakukan hal ini.” kata Kiran. “Kukira Wira berbohong.” Ia mengecilkan suara. Seketika perempuan anggun itu berhenti – menoleh Kiran tak percaya.“Maksudmu Wira membicarakan Mama, Kiran?”Menantu mengangguk ragu, “Ya… setiap di
Tidak biasanya Wira mendengar suara berisik ketika menapakkan kaki di rumah besar, keheningan serta kesibukan para pekerja yang selalu menjadi penyambut putra tertua dan laki-laki paling disegani seisi kediaman, Wisnu. Tak salah lagi, suara cekikikan tersebut dari arah taman Ningrum. Wira keheranan, ibunya tidak pernah berbicara di saat menyiram atau merawat tanamannya. Pria bersama rasa penasaran menghampiri, di sana Rakin sengaja mengotori baju istrinya. Sedangkan sang istri menerima penuh kesenangan, sangat berbeda kala dengannya dua jam yang lalu. Wira membuat kepalan pada buku-buku jarinya, ‘Rasa aneh lagi. Aku ingin meninju Rakin tanpa ampun sekarang juga. Tapi penyebab pastinya aku tidak tahu’. Pria ini tak berpikir panjang atau memang lupa, bahwa meninju seseorang perlu bersentuh satu sama lain. Bukan dia yang menghabisi tetapi sebaliknya – pingsan dan sekretaris kaku akan menghubungi Jimmy. “Maaf, tuan. Pak direktur meminta anda menemuinya.”