Mobil Daniel melesat jauh meninggalkan mobil Puspita yang baru keluar dari parkir basement gedung kantornya. Tiara duduk di samping sopir, tidak seperti biasanya.
“Aku tahu mengapa kamu melakukan itu, tapi sekarang, aku memerintahmu untuk pindah ke belakang!” Perintah Daniel sangat jelas di dengar supir pribadinya. Pria berusia empat puluh tahun itu segera menepikan mobil itu, menunggu Tiara pindah ke belakang. Namun, Tiara bergeming.
“Mbak…”Dengan setengah berbisik, Budi mengingatkan Tiara akan perintah Daniel.
Tiara menghembuskan napasnya dengan berat. Dengan berat hati, ia pindah ke belakang, duduk di samping Daniel.
“Seharusnya dari awal kamu duduk di situ.”
Tiara menghiraukan ucapan Daniel. Ia justru menatap ke luar lewat jendela di sebelah kirinya. Daniel berdeham, dan seketika turun sekat yang membatasi antara supir dan penumpang. Budi sangat paham dengan arti di balik dehaman Daniel.
“Jika pembicaraan nanti berjalan begitu alot, maka kamu tahu yang harus kamu lakukan, bukan?”
Tiara mengangguk lalu kembali menatap jalan di sampingnya, sedangkan Daniel memilih memeriksa email. Ada beberapa pesan baru yang masuk. Dilihatnya waktu pengiriman email. Sembilan puluh menit yang lalu. Itu artinya, Tiara masih berada di mejanya. Hal yang seharusnya ia kerjakan, melaporkan email penting itu kepadanya, tapi asistennya itu justru sibuk melamun di mejanya.
“Apa yang kamu lakukan hingga tidak melaporkan jika ada email sepenting ini?”
“Eh?” Tiara terkejut mendengar teguran itu. Ia cepat-cepat mengeluarkan tabletnya, memeriksa email perusahaan. Pupil Tiara melebar. Meeting dibatalkan. Diganti minggu depan di jam dan tempat yang sama. Rutukan kesal ia tujukan pada dirinya. Mengapa ia begitu lalai hari ini, sampai ada email penting yang tidak ia periksa.
“Maafkan saya, Pak. Saya-" Tiara menjadi gugup.
“Tidak ada gunanya kita kembali ke kantor. Kita sudah jalan sejauh ini. Lagipula, aku lapar.”
Tiara terpaksa menelan salivanya. Kesalahan yang berakibat fatal, bahwa ia harus duduk berhadapan dengan sang atasan. Hal yang seharusnya bisa ia hindari jika saja dirinya tidak sibuk memikirkan buket-buket bunga itu.
‘Semua gara-gara …’
“Jangan pernah menyalahkan sesuatu atas apa yang telah terjadi! Semua ada dalam kendali diri kamu sendiri. Salah kamu sendiri, mengapa tidak bisa memilah hal penting mana yang harus mendapat perhatian lebih saat bekerja!”
“Iya, Pak.” Tidak ada kata lain yang bisa Tiara ucapkan untuk membuat Daniel tidak memperpanjang masalah ini. “Saya akan segera membalasnya.”
Daniel tidak menjawab. Mobil hitam itu mulai memasuki area parkir restoran tempat pertemuan yang semula akan diadakan. Akibat kelalaian Tiara yang tidak membaca email dadakan yang menyatakan jika pertemuan itu diundur, acara siang itu berubah menjadi acara makan siang bersama dengan sang bos.
Setelah diam cukup lama, senyum Daniel tiba-tiba mengembang. “Setelah aku pikir-pikir, kamu tidak salah sepenuhnya.”
“Hah?” Tiara menatap Daniel dengan tatapan tidak mengerti.
“Memang Tuhan sudah mengatur semua ini. Dengan begini, kita bisa makan siang bersama sebagai sepasang kekasih.”
Tiara langsung terbatuk. Betapa percaya dirinya atasannya itu. Ia sudah terang-terangan menolak lamaran aneh pria itu, tapi mengapa masih saja keras kepala begini?
“Pak! Tolong!” pinta Tiara penuh harap.
“Apa? Aku tidak melakukan apa-apa,” jawab Daniel santai. Ia justru keluar dari mobil sambal bersiul penuh bahagia. Entah mengapa rasanya hari ini begitu indah, meski wajah Tiara sepanjang hari ini selalu cemberut ketika bertemu dan saat bersamanya.
‘Bodo amat!” batin Daniel. Dalam benaknya saat ini adalah bagaimana caranya ia dapat segera membawa asisten pribadinya itu ke istananya secara sah, meski ia harus menghadapi begitu banyak sikap masam yang Tiara tunjukkan padanya.
Tiara menyusul di belakang dengan menghentak-hentakkan kakinya. Mengapa dirinya harus terjebak dalam urusan asmara yang salah sasaran seperti ini? Ia sama sekali tidak pernah membayangkan jika atasannya akan jatuh cinta padanya. Hal yang mustahil bagi seorang karyawan kecil seperti dirinya.
Begitu banyak perbedaan membentang di antara mereka. Secara fisik saja, sudah sangat jelas. Daniel, pria cerdas yang begitu tampan, tinggi dengan proporsi tubuh yang sangat ideal. Soo sexy. Begitu ungkapan yang sering ia dengar setiap kali karyawan wanita di kantornya berpapasan secara tidak sengaja dengan bosnya itu.
Belum lagi latar belakang keluarganya yang cukup terkenal dan terpandang di kota A. Berbanding terbalik dengan keluarga Tiara yang hanya seorang peternak di kampong halamannya di kota D. Bagai bumi dan langit, yang tidak akan mungkin bersatu. Kecuali jika memang takdir berjalan di atas mereka berdua.
Tiara melihat Daniel memilih tempat di sudut restoran bergaya kolonial dengan cat serba putih yang memberi kesan luas dan lega. Daniel setia menanti Tiara. Pria itu lantas menarik kursi, mempersilakan Tiara untuk duduk, lalu kembali ke kursinya.
Seperti biasa, Tiara memanggil pelayan dan memilihkan makanan untuk Daniel dengan persetujuan Daniel tentunya.
“Mengapa tidak ajak Ibu sekalian, Pak?” Tanya Tiara setelah pelayan membawa pergi catatan pesanan mereka.
“Untuk apa? Kami sudah pisah ranjang sejak satu tahun yang lalu.”
Tenggorokan Tiara terasa kering. ‘Benarkah?’ gumamnya dalam hati. Tiara berdeham mengusir rasa kagetnya. “Bapak pasti sedang bercanda.” Tiara tertawa kecil.
“Kamu tidak percaya?”
Tiara menggeleng. Jelas saja ia tidak percaya. Selama ini ia melihat tidak ada yang aneh dengan hubungan atasan dan istrinya. Semua tampak baik-baik saja. Ia selalu melihat Puspita melangkah riang keluar dari ruangan Daniel, setiap kali wanita cantik itu datang mengunjungi atasannya. Tidak terdengar juga adu mulut yang biasanya terjadi antara orang yang sudah tidak ada lagi kecocokan dalam pernikahannya.
“Aku sudah menjatuhkan talak padanya dua bulan yang lalu. Sudah tidak ada lagi alasan kami untuk bertemu. Semua sudah selesai.”
Tiara tercenung mendengar semua pengakuan Daniel. Sebuah kabar yang begitu mengejutkan baginya.
Ponsel Daniel berkedip. Sebuah pesan singkat dari pengacaranya.
“Tuan Daniel. Besok adalah keputusan pengadilan atas pengajuan perceraian Anda dan Nyonya Puspita. Harap datang besok pagi pukul sembilan pagi.”
Daniel mengangsurkan ponselnya kepada Tiara. “Kamu baca. Biar kamu tahu, aku mengatakan yang sebenarnya atau sekedar isapan jempol.”
Tiara mengambil ponsel Daniel lalu membaca pesan singkat itu, lalu mengembalikan lagi kepada Daniel.
“Sekarang kamu percaya?” Daniel menatap Tiara yang kini menatap ke arah jalanan di depannya.
Tiara memilih untuk tidak menjawab. Perasaannya berkecamuk tidak karuan. Yang ia takutkan, jika Puspita mengira dirinya telah menggoda suaminya selama ini.
“Saya-…”
“Aku tahu. Kamu takut jika dia menuduhmu menjadi penyebab perceraian kami.” Daniel menggelengkan kepalanya.
“Bukan hanya itu, Pak. Hubungan saya dengan Bu Puspita selama ini baik-baik saja. Saya takut, semua akan berubah, mengingat …” Tiara ragu untuk meneruskan kalimatnya.
“Mengingat apa?” Daniel tertarik dengan pertanyaan menggantung Tiara.
Tiara duduk membeku di samping Daniel yang menjalankan kuda besi berwarna hitam mengkilat sambil menahan rasa kesal."Tiara.""Ya, Pak David," jawab Tiara ramah.Daniel seketika melihat ke arah Tiara, melayangkan protesnya dalam diam karena Tiara menjawab panggilan David dengan begitu lembut."Apakah besok malam minggu kamu ada kencan?""Ada!" jawab Daniel secara reflek. Ia tidak akan pernah mengijinkan pria mana pun menghabiskan waktu bersama Tiara. Waktu Tiara hanya untuknya, tidak boleh dibagi dengan yang lain."Cih! Aku bertanya pada Tiara, bukan padamu!" "Memang kenyataannya begitu. Lebih baik aku memberitahumu lebih awal daripada kamu kecewa nantinya.""Bukannya malam minggu adalah waktu untukmu dan Puspita menghabiskan waktu bersama? Mengapa kamu justru pergi bersama Tiara?" David bersikap pura-pura bodoh. Sebenarnya, ia sudah tahu dari dulu jika Daniel sudah tidak lagi menyimpan perasaan pada Puspita. Cinta Daniel pada Puspita, istrinya sudah tidak ada lagi. Perasaan itu sud
“Mengingat apa?” Daniel mengulang pertanyaannya.“Ya mengingat saya adalah satu-satunya wanita yang selalu berada di dekat Pak Daniel, yang menghabiskan waktu lebih lama dari siapapun. Bahkan mungkin, saya lebih lama menghabiskan waktu bersama Bapak dibandingkan Bu Puspita sendiri.”Daniel menjentikkan jarinya. “Tepat sekali! Akhirnya kamu paham mengapa saya mengirimkan buket-buket itu kepadamu.”“Tapi, Pak Daniel. Itu tidak benar. Sangat tidak benar. Lagipula, berita tadi – Itu tidak benar’ kan, Pak? Saya hanya-Maksud saya, saya masih tidak percaya dengan kabar yang baru saja saya baca.”“Bukankah kamu sudah membaca sendiri pesan dari pengacaraku barusan?”Tiara mengangguk. “Tapi-Hubungan Pak Daniel dan Ibu sangat romantis. Tidak mungkin-…”“Tidak mungkin apa? Tidak mungkin bercerai maksudmu?” Daniel lantas tertawa, seakan menertawakan kenaifan Tiara.“Tiara. Apa kamu lupa, bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara? Dunia ini penuh dengan tipu muslihat. Jangan lupa, semua bisa saj
Mobil Daniel melesat jauh meninggalkan mobil Puspita yang baru keluar dari parkir basement gedung kantornya. Tiara duduk di samping sopir, tidak seperti biasanya.“Aku tahu mengapa kamu melakukan itu, tapi sekarang, aku memerintahmu untuk pindah ke belakang!” Perintah Daniel sangat jelas di dengar supir pribadinya. Pria berusia empat puluh tahun itu segera menepikan mobil itu, menunggu Tiara pindah ke belakang. Namun, Tiara bergeming.“Mbak…”Dengan setengah berbisik, Budi mengingatkan Tiara akan perintah Daniel.Tiara menghembuskan napasnya dengan berat. Dengan berat hati, ia pindah ke belakang, duduk di samping Daniel.“Seharusnya dari awal kamu duduk di situ.”Tiara menghiraukan ucapan Daniel. Ia justru menatap ke luar lewat jendela di sebelah kirinya. Daniel berdeham, dan seketika turun sekat yang membatasi antara supir dan penumpang. Budi sangat paham dengan arti di balik dehaman Daniel.“Jika pembicaraan nanti berjalan begitu alot, maka kamu tahu yang harus kamu lakukan, bukan?”
Tiara diam membeku di tempatnya berdiri. Ia tidak berani membalas tatapan Daniel yang begitu dingin. Suasana ruangan yang sebelumnya tidak pernah secanggung ini, membuat Tiara ingin segera meninggalkan ruangan itu.“Apakah aku membayarmu hanya untuk duduk diam menatap buket-buket itu?”sindir Daniel. Sebenarnya bukan itu yang ingin ia katakan, tapi melihat wajah datar Tiara yang sama sekali tidak terlihat bahagia karena buket-buket kirimannya, membuat Daniel mengatakan sebaliknya.Tiara menunduk, melihat ujung pantofelnya yang tingginya hanya tiga sentimeter.“Sepatu kamu rusak?”“Tidak, Pak.”“Mereka lebih menarik daripada aku?”Tiara mau tidak mau mengangkat wajahnya dan mulai menatap wajah sang atasan yang tampak menahan kesal entah pada siapa. Tiara tidak tertarik untuk tahu.“Kamu sudah membaca tulisan di buket itu?”Ingin rasanya Tiara menggeleng, tapi sayangnya ia justru menganggukkan kepalanya.“Lalu?”Tiara memandang Daniel dengan perasaan sebal. ‘Dia seharusnya tahu jika itu
Tiara menatap nanar buket bunga yang ia terima ketiga kalinya hari ini. Buket bunga mawar berwarna merah ikut memenuhi meja kerjanya, setelah sebelumnya datang buket bunga anggrek bulan dan bunga lily. Bukan rasa bahagia yang ia rasakan, melainkan rasa geram dan kesal.Kata-kata yang tertulis di kartu ucapan, meskipun hanya beberapa baris, tapi cukup membuat Tiara merasa malu. “Menikahlah denganku.”Ya. Tiara menjadi wanita idaman lain, atasannya sendiri. Daniel White, CEO Andromeda Grup. Pria berusia tiga puluh tahun itu, berdarah campuran Indonesia-Kanada, jatuh cinta pada asisten pribadinya sendiri. Rasa yang menurut Tiara salah sasaran karena Daniel masih menyandang status sebagai suami dari seorang Puspita Anggraina, seorang desainer terkenal.Tiara tidak tahu, jika Daniel sudah menjatuhkan talak pada Puspita dua bulan yang lalu dan telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan, setelah usahanya untuk mempertahankan rumah tangganya, tidak berhasil.Rasa cinta Daniel mengu