MasukTiara diam membeku di tempatnya berdiri. Ia tidak berani membalas tatapan Daniel yang begitu dingin. Suasana ruangan yang sebelumnya tidak pernah secanggung ini, membuat Tiara ingin segera meninggalkan ruangan itu.
“Apakah aku membayarmu hanya untuk duduk diam menatap buket-buket itu?”sindir Daniel. Sebenarnya bukan itu yang ingin ia katakan, tapi melihat wajah datar Tiara yang sama sekali tidak terlihat bahagia karena buket-buket kirimannya, membuat Daniel mengatakan sebaliknya.
Tiara menunduk, melihat ujung pantofelnya yang tingginya hanya tiga sentimeter.
“Sepatu kamu rusak?”
“Tidak, Pak.”
“Mereka lebih menarik daripada aku?”
Tiara mau tidak mau mengangkat wajahnya dan mulai menatap wajah sang atasan yang tampak menahan kesal entah pada siapa. Tiara tidak tertarik untuk tahu.
“Kamu sudah membaca tulisan di buket itu?”
Ingin rasanya Tiara menggeleng, tapi sayangnya ia justru menganggukkan kepalanya.
“Lalu?”
Tiara memandang Daniel dengan perasaan sebal. ‘Dia seharusnya tahu jika itu salah!’ gumam Tiara dalam hati.
“Lalu?” Daniel mengulangi pertanyaannya. Berusaha sabar, menekan rasa ingin tahu yang sangat besar.
Tiara kembali diam. Ia tidak mengatakan apapun.
Daniel tersenyum smirk. Ada sesuatu yang melintas di benaknya yang mendadak membuatnya merasa di atas angin. “Kamu tahu, diam tidak selamanya emas. Diam sering diartikan sebagai persetujuan atas suatu usul atau permintaan, karena biasanya, yang bersangkutan malu untuk mengutarakan pendapatnya atau memberi jawaban atas suatu permintaan.”
Deg. Tiara disadarkan sesuatu, dan itu tidak boleh terjadi. Ia harus menolak dan sampai kapan pun tidak akan mengabulkan permintaan itu.
“So?” Senyum Daniel semakin lebar melihat sikap spontan Tiara yang langsung mengangkat kepalanya. Rasa puas jelas terlihat di wajah pria dengan tinggi seratus delapan puluh senti itu. Sangat jelas, hingga membuat Tiara ketakutan sendiri.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Ada hati yang harus saya jaga,” jawab Tiara penuh kebohongan. Menjaga hati siapa? Kekasih saja ia tidak punya, boro-boro calon suami.
“Benarkah?” Daniel menyangsikan jawaban Tiara. Ia sangat tahu kehidupan Tiara selama menjadi asisten pribadinya. Gadis itu tidak punya kekasih. Malam minggu yang biasanya digunakan untuk berkencan, sering kali dilewatkan Tiara dengan membaca buku atau sekedar menonton film di rumahnya, jika tidak menemaninya rapat atau bertemu klien.
Tiara mengangguk mantab, meski itu semua hanya khayalan ciptaannya saja. Ia sudah bertekad untuk bersandiwara demi menggagalkan rencana sang atasan untuk meminangnya menjadi istri pengganti sang mantan istri.
Raut wajah Daniel langsung berubah. Kekecewaan kini menggelayuti wajahnya. Bukan jawaban itu yang membuatnya kecewa tapi karena Tiara sudah berani berbohong padanya. Ya. Untuk pertama kalinya, Tiara berbohong padanya.
“Kamu sudah berani berbohong padaku, rupanya.”
Tiara diam sesaat, lalu menggeleng. “Saya mengatakan yang sebenarnya, Pak.”
“Jangan pernah mengatakan hal yang tidak-tidak. Aku tahu semua tentangmu, Tiara,” tandas Daniel dengan nada penuh penekanan.
Tiara tersenyum. “Bapak hanya mengetahui kulit saya saja. Saya tidak sebaik yang Bapak kira. Saya adalah gadis jahat, yang penuh tipu muslihat. Jadi, sangat tidak pantas untuk bersanding dengan seorang Daniel White, yang begitu tampan sekaligus cerdas.”
“Kamu salah! Sangat salah! Kamu yang terbaik.” Daniel mengucap kalimat itu dengan tegas dan penuh keyakinan.
Tiara menggelengkan kepalanya, lalu terkekeh menertawakan ucapan Daniel yang sangat ngawur menurutnya.
“Tidak, Pak. Ada wanita yang sangat pantas untuk Pak Daniel dan dia sudah ada di samping Pak Daniel selama ini. Dia, Bu Puspita. Puspita Anggraina. Istri sah Daniel White. Tidak ada yang lebih pantas berada di sisi Bapak, selain beliau.”
Adu mulut itu terus berlangsung, dan baru berhenti ketika suara ketukan terdengar begitu nyaring. “Daniel! Apakah kamu ada di dalam?”
Suara Puspita mengejutkan Tiara tapi tidak dengan Daniel. Pria itu menanggapi dengan dingin. Tidak terlihat sama sekali rasa bahagia menyambut kedatangan sang istri.
Tiara bergegas membuka pintu, lalu mempersilakan Puspita untuk masuk. “Silakan, Bu. Sudah ditunggu Pak Daniel sejak tadi.”
Daniel menggeram. Pernyataan Tiara sama sekali tidak benar. Wanita yang sekarang selalu dinantikan seorang Daniel White adalah Tiara, bukan lagi Puspita.
“Benarkah?” Senyum Puspita terbit tapi penuh kesangsian. Setelah dua bulan yang lalu menerima talak dari Daniel, ia tidak pernah lagi bertemu dengan Daniel. Suaminya itu selalu saja menghindar. Selalu saja mengatakan jika sudah tidak punya kepentingan lagi dengannya.
“Saya permisi dulu, Bu.” Tiara melangkah cepat.
“Tunggu dulu!” seru Puspita mengagetkan Tiara.
“Ya? Ada yang Ibu perlukan?”
Puspita tersenyum penuh misteri. Ia menghampiri Tiara lalu menatap tajam Tiara. “Ada banyak buket bunga yang begitu cantik di meja kerjamu. Apakah kamu akan segera melepas masa lajangmu? Siapa laki-laki yang beruntung itu?"
Tiara merasakan pertanyaan itu mengandung sindiran. Bukan pertanyaan yang tulus.
“Oh, itu. Buket-buket itu salah alamat, Bu. Orang yang dimaksud bukan saya. Kebetulan nama penerima sama dengan nama saya,” kilah Tiara.
“Betulkah?” Puspita pesimis. Merasakan aura yang tidak bersahabat di ruangan Daniel, ia tidak sependapat dengan Tiara. Sepertinya, kecurigaannya benar.
Tidak ingin terlibat pembicaraan terlalu dalam, Tiara kembali berpamitan dan sesegera mungkin meninggalkan ruangan atasannya.
Ruangan itu menjadi hening sepeninggal Tiara.
“Apa yang membuatmu berani datang kemari?” tanya Daniel tanpa menatap Puspita. Seluruh rasa cinta, sayang dan kagum pada wanita itu, sudah tidak ada lagi, meski hanya seujung kuku jari kelingking kakinya.
Puspita tidak menjawab. Ia melangkah menuju sofa berwarna krem lalu mendudukkan dirinya tanpa seijin Daniel. Ia menyapu pandangannya ke seluruh bagian ruang yang beberapa tahun lalu sering ia datangi dengan penuh semangat, napsu dan cinta.
Tatapannya lantas terpaku pada meja kerja Daniel. Ia diam sesaat. Hatinya mencelos, mencoba mengobati rasa sedih dan kecewa yang tiba-tiba datang menyergap. Foto pernikahan mereka yang dulu terpampang besar di dinding yang terletak tepat di belakang meja Daniel, sudah tidak ada lagi. Frame-frame foto yang ukurannya lebih kecil, yang terletak di atas buket di bawah foto pernikahan pun sudah tidak terlihat lagi.
Benarkah semua itu hanya tinggal kenangan? Benarkah pernikahannya sudah tidak dapat diselamatkan?
“Aku ada pertemuan dengan klien satu jam lagi. Jika tidak ada hal penting yang ingin kamu sampaikan, silakan keluar dari ruangan ini.”
Puspita terkekeh. Ia mengusap ke dua sudut netranya yang sudah penuh dengan gumpalan air mata, dengan tisu yang sejak tadi sudah ada dalam genggamannya.
“Aku tahu. Aku hanya mampir sebentar. Berharap dirimu masih memberi kesempatan untuk kita memulai semua dari awal.” Ucapan Puspita terdengar sungguh-sungguh.
“Itu dulu. Dan kesempatan itu sudah hilang. Kita sama-sama menunggu surat keputusan hakim untuk keabsahan perceraian kita. Kemudian, kita harus kembali ke kehidupan masing-masing. Aku dengan kehidupanku, dan kamu, kamu dengan kehidupanmu bersama teman-temanmu.”
Entah itu kalimat perpisahan atau sekedar sindiran yang diberikan Daniel kepada Puspita. Namun yang jelas, Daniel benar-benar sudah tidak ingin bertemu lagi dengan Puspita.
Suara ketukan kembali terdengar. Daniel tersenyum bahagia. Wajah yang sudah menawan hatinya, menyembul dari daun pintu yang hanya terbuka seperempat bagian.
“Pak. Waktunya berangkat ke Restoran X.”
Pemandangan yang sangat menyakitkan. Puspita tidak dapat melakukan apa-apa. Provokasi yang ia lakukan tidak berhasil memancing Tiara. Tiara justru mendapat dukungan dari Daniel yang tiba-tiba hadir diantara mereka."Sudah waktunya meninggalkan tempat ini. Ayo, kita pergi!" Daniel menarik tangan Tiara menjauh dari Puspita. Mereka meninggalkan Puspita yang masih syok dengan perlakuan mesra Daniel terhadap Tiara.Meski ada sedikit rasa bersalah di hati Tiara, tapi ia berusaha mengabaikannya. Sudah waktunya ia bersikap tegas terhadap siapa pun yang berusaha mengatur hidupnya, tidak terkecuali Daniel jika pria itu sudah melewati batasan yang ia buat.Mobil hitam Daniel meluncur meninggalkan tempat acara, menuju rumah kontrakan Tiara. Malam yang belum begitu larut, membuat Daniel merasa enggan meninggalkan Tiara sendirian di rumah. Ia masih ingin menghabiskan waktu dengan asisten pribadinya itu."Kamu sudah mengantuk?" Daniel menatap Tiara yang tengah memandang jalanan dari jendela samping.
"Bagaimana jika nanti malam kita langsung menikah?"Netra Tiara langsung membesar begitu Daniel menyelesaikan kalimatnya. Pria di depannya itu makin melantur saja bicaranya. Tiara berpikir cepat. Ia harus segera melakukan sesuatu agar bicara Daniel tidak semakin melantur."Pak?!""Ehm?" Ekspresi wajah Daniel berubah menjadi begitu lembut. Ekspresi teraneh yang pernah dilihat Tiara selama ia bekerja sebagai asisten pribadi Daniel."Bapak bicara sembarangan lagi, saya akan turun di sini dan pulang ke rumah saya!" ancam Tiara sambil mengambil ancang-ancang membuka pintu mobil."Aku tidak bicara sembarangan. Aku serius. Aku semakin tidak sabar untuk segera menikahimu."Tiara mendengus kesal. Ancamannya menguap begitu saja. Sama sekali tidak mengubah apa pun. Daniel masih dengan ajakannya mempercepat pernikahan mereka, hingga mobil yang dikemudian Budi berhenti di drop-off area."Kita di sini terus atau masuk ke dalam?" tanya Tiara melihat Daniel yang masih belum sadar jika mereka telah ti
Budi mengantar Monika dan Tiara ke apartemen Daniel. Mobil berwarma hitam itu melesat meninggalkan gedung Andromeda lebih awal dari seharusnya. "Kamu, apa yang kamu rasakan sekarang? Apakah kamu deg-degan, Tiara?" Monika menatap hangat Tiara yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Gadis itu sibuk memikirkan semua yang diucapkan Daniel. "Eh-Eng ... Apa?" Tiara terkejut. Ia tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti ini dari Monika. "Tampaknya kamu sedang banyak pikiran.""Ehmmm. Maaf.""Sepertinya kamu butuh yang segar-segar." Monika melirik mini market yang ada di deretan ruko, yang terletak tepat di samping lampu merah. Ia bersiap meminta Budi untuk menepikan mobil, tapi urung ia lakukan ketika sosok Puspita keluar dari mini market yang hendak ia tuju. Untung saja Monika belum memberi instruksi kepada Budi sehingga Tiara tetap tenang. Melihat jarak apartemen Daniel sudah dekat, Monika memutuskan untuk membeli minuman dan beberapa cemilan di supermarket yang ada di lantai
"Apakah itu berarti lamaranku diterima?"Tiara menggeleng. "Tidak. Saya tidak pantas."Daniel mendengus. Ia menghembuskan napas dengan kasar. "Berarti, apa yang aku lakukan tadi belum bisa meyakinkan dirimu jika kamu sangat pantas untuk bersanding denganku?"Tiara bergeming. Daniel melepas dasinya. Ia membuka tiga kancing atas kemejanya dan menggulung lengan kemejanya hingga siku. "Baik. Sepertinya, kamu memang menginginkan bukti yang lebih nyata. Dan, jangan pernah salahkan aku, Tiara. Kamu yang meminta. Aku hanya memenuhi permintaanmu."Daniel mengikis jaraknya dengan Tiara. Ia menangkup pipi Tiara, lalu melabuhkan kecupan kasar ke bibir Tiara. Ia melampiaskan kekesalannya karena Tiara masih menolak niat baiknya."Hmmmph!" Tiara meronta. Ia memukul dada Daniel berulang kali dengan keras, meminta pria itu melepaskan bibirnya dan segera menjauh darinya."Bukankah ini yang kamu inginkah? Kamu ingin pembuktian jika kamu sangat pantas untuk menjadi istriku, bukan?" Daniel mulai bertind
Tiara langsung mengangkat kepalanya. Ia paham tapi tidak paham dengan yang didengarnya barusan. 'Mengenalkanmu sebagai istriku?' Lelucon apalagi ini? "Pak?" Tiara menuntut penjelasan."Aku tidak perlu mengulangi lagi perkataanku. Apa yang kamu dengar adalah apa yang aku ucapkan. Dan - ..." Daniel berhenti sejenak, menatap Tiara, mengamati wajah cantik yang beberapa hari ini tidak dapat ia pandangi dengan puas, yang terkejut mendengar ucapannya."Dan sebagai wanita dewasa yang sangat cerdas, aku sangat tahu kamu paham dengan yang aku maksud. Jadi, tidak akan ada kalimat penjelas yang mengikutinya setelah ini," lanjut Daniel.Batin Tiara sontak berteriak. Tangannya mengepal. Emosi yang beberapa hari ini tidak muncul, kini kembali menggelegak. Ia membuang napasnya dengan kasar."Kalau begitu - ...." Tiara menatap Daniel dengan dingin. "Jika kamu hendak menyinggung lagi soal pengunduran diri, maka aku tidak akan mendengarkannya. Opsi itu tidak pernah ada dalam kamusku." Daniel memotong k
Tiara diam seribu bahasa tatkala kedua orang tuanya mengantarkan kepergiannya sore itu. Lambaian tangan perpisahan dari Yanti dan Lukman, diabaikannya, sebagai bentuk protes atas pengusiran dirinya dari rumah masa kecilnya."Ibu akan sangat bahagia jika kamu bersedia mendengarkan perkataan ibu dan ayah. Ini bukan untuk kami, tapi ini semua akan kembali kepada dirimu sendiri. Hal yang besar tidak akan dapat diperoleh tanpa pengorbanan dan usaha yang besar pula. Jagalah diri baik-baik. Ibu dan ayah menitipkan kamu pada Daniel dan David. Mereka akan menjagamu."Kalimat pengantar tidur yang diucapkan Yanti, disaksikan dan didengarkan oleh dua sepupu yang bagi Tiara sangat menyebalkan itu, telah menjadi keputusan mutlak untuknya.Tiara kembali ke kota A, bersama Daniel dan David. Ia akan kembali bekerja di posisinya semula. Tidak ada yang dapat mengganti posisi Tiara, karena posisi itu dibuka oleh Daniel hanya untuk Tiara.Keesokan harinyaTiara datang bersama Daniel yang menjemputnya set







