Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam, itu artinya sudah nyaris lebih dari satu jam dirinya berada di cafe ini. Tak melakukan apa-apa, hanya mengobrol dengan Giska dan Puja. Karena jika diam di rumah, justru membuatnya semakin sedih dan kepikiran akan masalahnya.“Balik sekarang?” tanya Puja.“Iya, Rel. Ntar Om Leo bisa marah kalau lo telat pulang,” tambah Giska.“Tadi gue juga nggak pamit waktu pergi, ya udah ketebaklah pulangnya gimana,” respon Karel santai.Padahal Puja dan Giska pikir tadi dia sudah mendapatkan izin keluar, tapi ternyata kabur tanpa izin.“Auto diamuk lagi lo ntar.”“Minta Kak Ziel jemput aja,” usul Giska.Seperti biasa, jika Ziel yang turun tangan, posisi Karel lebih aman. Karena Leo seolah melepaskan Karel begitu saja jika sudah bersmaa Ziel tanpa rasa takut ataupun curiga.“Kak Ziel nggak di rumah. Dia lagi pergi ke Sulawesi.”“Dih, pantesan lo rada-rada sensi juga perkara pembahasan kita tentang Kak Ziel. Efek ditinggal LDR toh,” ledek Puja.“Siapa yan
Ziel mengantarkan Karel pulang. Sebenarnya Ziel berat melepaskan gadis ini meskipun pulang ke rumah dia sendiri, hanya saja ia tak bisa memaksa lagi jika pilihan inilah yang dia ambil.Sampai di halaman rumah, Ziel hendak turun dari mobil. Namun, Karel menahan niat cowok itu.“Kenapa?”“Kak, apa aku membuatmu terbebani?”Ziel menatap Karel dengan fokus. “Kenapa masih saja membahas hal itu? El, kamu masih belum yakin padaku, tapi mengatakan ingin melanjutkan hubungan itu denganku.”“Kakak hari ini ada kerjaan penting, kan. Bahkan begitu jauh posisinya. Tapi gara-gara aku menghubungimu, malah membuat kerjaan itu kamu tinggalkan dan kembali ke sini. Bagaimana kalau nanti kita ...”Ziel meletakkan jemarinya di antara dua bibir Karel, membuat kata-kata gadis itu terhenti seketika.“Sudah ku katakan, kan … kamu itu segalanya buatku. Bahkan demi kamu, pekerjaan bukanlah apa-apa. Jadi, ketika kamu sedih, apa mungkin aku akan mengabaikanmu?”“Kamu yang selalu ada untukku,” sahut Karel.“Sampai
Setelah bicara panjang lebar dengan kedua orang tuanya, Ziel segera menuju kamar. Melepaskan kemeja yang masih ia kenakan dan bersiap menuju kamar mandi. Jam sudah menunjukkan nyaris pukul 12 malam. Kantuknya sudah hilang jika jam segini masih belum tidur. Ya, apalagi kalau bukan memilih bergelut dengan kerjaan.Segera mandi dan membersihkan diri. Perjalanan sekian jam, membuat tulangnya berasa remuk. Selesai mandi, kembali mengecek ponselnya yang ada di kasur.“Sudah jam segini dia masih online saja,” gumam Ziel langsung menelepon gadis itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Karel.“Udah jam berapa ini, Rel. Kamu masih belum tidur juga. Katanya besok mau sekolah,” ujar Ziel langsung memberondongi Karel dengan omelannya.“Tahu tidak, Kak. Aku barusan habis perang dunia sama Papa. Rasanya seperti otakku mau meledak saat ini. Jadi, aku nggak akan bisa tidur. Kantukku seakan hilang seketika.”Sontak mendengar pengakuan dia, membuat Ziel ikutan snewen. Ini kalau dekat, suadah ia samperin dia. M
“Apa, Sayang!? Tante di teras samping!” balas Kiran sedikit berteriak, membalas panggilan Karel dari arah dalam rumah.Karel menghampiri Kiran yang posisinya berada di teras samping. “Tante, bantuin,” ujarnya pada Kiran yang saat itu sedang menyiram beberapa pot pohon bunga mawar kesayangannya.“Zi, bantuin Karel bentar, Nak!” teriak Kiran memanggil Ziel, dengan posisinya yang masih membelakangi Karel.Ziel yang tiba-tiba muncul, malah tersenyum mendengar perkataan mamanya.“Mama yakin memintaku untuk membantu Karel ganti baju?” tanya Ziel sambil bersidekap dada, meminta kepastian pada mamanya.Seketika Kiran langsung balik badan, terlihat Karel yang datang masih mengenakan tanktop dan hot pants.“Masa Kak Ziel yang bantuin aku, Tan?” Karel memastikan perintah Kiran pada Ziel, sambil menunjukkan semua tetengannya yang berupa seragam sekolah juga.“Sebagai seorang anak yang patuh pada mamanya, aku bisa lakuin kok, Ma. Serius,” tambah Ziel menggoda mamanya.Kiran menggeplak lengan putra
Sarapan bersama dengan Kiran dan juga Arland. Yap, sebuah keluarga impian yang begitu didamba oleh Karel. Meskipun mamanya sudah tiada, padahal berharap bisa makan bareng dengan papanya. Namun itu seolah hanya jadi impian yang entah kapan akan terwujud.Makan bareng mungkin memang pernah terjadi, hanya saja seolah berada di dunia masing-masing. Tak ada efek kekeluargaan, ataupun sikap normal seorang ayah dan anak.“Ingat apa yang Tante bilang, kan, Karel. Nanti pulang sekolah kamu ke sini. Daripada ntar kamu bingung lagi siapa yang bisa bantuin ganti perban, gantiin baju, nyisirin rambut.”Karel tak menjawab ataupun membalas perkataan Kiran, tapi malah mengarahkan pandangannya pada Ziel yang duduk di kursi sampingnya.“Lah, kenapa malah Ziel yang dilirik. Kan Tante yang lagi ngomong,” ujar Kiran pada Karelyn.Ziel menyelesaikan makannya, kemudian meneguk minumannya. Kini fokusnya tertuju pada kedua orang tuanya.“Maaf, Ma, Pa. Bukannya aku nggak setuju jika Karel di sini, tapi bukanka
Apa sekarang ini yang dinamakan sebuah karma? Tadi kesal karena Ziel dekat dengan seorang cewek selain dirinya, padahal dia bilang tak ada hubungan apa-apa. Sekarang justru dirinya yang kena tulah. Ya siapa lagi ‘dia’ yang di maksud oleh Ziel kalau bukan Arga. Heran banget, kenapa dia selalu dan masih ngintilin dirinya.“Ngapain aku minta tolong sama dia,” berengutnya.Karel akhirnya memutar posisi duduknya jadi membelakangi Ziel. Daripada dia mikir kalau antara dirinya dan Arga masih ada hubungan. Di tak dan pikirannya, Ziel lebih baik dari cowok manapun yang ia kenal.Ziel menyibak rambut panjang Karel ke arah depan dia. Mambuat dirinya lebih mudah kembali memasang kancing rok itu.“Sepertinya kamunya yang gemukan deh, Rel. Makanya kancingnya lepas,” ujar Ziel ketika memasang kembali benda itu.“Ih, enak aja. Berat badan ku masih seperti biasa,” berengut Karel tak terima ketika Ziel mengatakannya dirinya gemuk. Bukan gemuk lagi, tapi terlalu kurus gara-gara tekanan bathin malah. K
Seperti yang sudah direncanakan tadi, kini Karel sedang berjalan melewati lorong kelas hendak menuju ke ruangan kepala sekolah. Sedangkan Giska dan Puja menunggunya di kantin.Mengetuk pintu itu perlahan. Setelah ada balasan dari dalam, barulah ia melangkah masuk ruangan itu.“Silakan duduk,” ujar laki-laki paruh baya yang berstatus sebagai kepala sekolah.Karel langsung duduk di kursi yang posisinya berhadap-hadapan dengan meja.“Hmm, maaf, Pak. Kata Giska dan Puja, Bapak meminta saya untuk datang ke sini. Kalau boleh tahu, ada masalah apa ya Pak?”Laki-laki itu menarik napasnya singkat, kemudian memulai percakapan.“Begini, Karel. Sebenarnya ini bukan masalah yang besar, apalagi sampai berpengaruh dengan nilai-nilai kamu di sekolah. Tapi Bapak hanya ingin jika orang tua kamu bisa sesekali datang atau ikut serta dalam pertemuan para wali murid. Ya, Bapak tahu betul jika papa kamu adalah tenaga pengajar, tapi setidaknya bisa kan menyempatkan datang di acara-acara penting sekolah. Toh
Jam terakhir adalah mata pelajaran olah raga. Karena otomatis usai pelajaran berakhir, para siswa dan siswi bisa langsung pulang karena kecapean.Karel dan Giska sudah berada di lapangan, menunggu guru olah raga yang datang. Sementara Puja kembali ke kelas untuk mengambil botol minum miliknya yang ketinggalan di kelas. Tak lama, mungkin hanya kisaran lima menit, gadis itu sudah tampak kembali sambil berlari menghampiri Karel dan Giska.“Mana cuaca panas banget lagi. Ini apa nggak ada toleransi gitu, Pak … buat basket aja gitu. Atau renang,” keluh salah satu siswi pada guru.“Kalian ini. Baru juga panas dikit aja udah ngeluh. Dahulu, para prajurit perang mau hujan badai, panas terik, angin topan puting beliung, tetap saja mereka semangat juang untuk membela negara!” “Adoh, Bapak … ini tuh mapel olah raga anak SMA. Masa disamain sama prajurit perang, sih,” tambah Giska yang ikutan protes saat mendengar balasa si guru.“Betis saya auto membengkak nanti, Pak … kalau dipaksa lari-lari ka