Share

BAB : 4

Diperjalanan, keduanya tak banyak bicara. Ziel yang fokus pada jalanan, sedangkan Karel malah tidur di sampingnya. Sesekali ia mengarahkan pandangan pada dia, mengecek apa dia baik baik saja.

Ponsel miliknya berdering, membuat Ziel menghentikan laju kendaraannya. Mengambil benda pipih itu ... terlihat kalau yang sedang menelepon adalah Leo, papanya Karel.

"Hallo, Om," jawab Ziel.

Mendengar percakapan itu, membuat Karel terbangun dari tidurnya. Mendapati Ziel sedang bicara dengan seseorang di telepon.

"Zi, Om bingung mau cari Karel. Dia kabur lagi dari rumah tanpa ijin. Dan berkali kali Om telepon, dia nggak menjawab."

Laki laki paruh baya itu bicara dengan suara yang menunjukkan kalau dia khawatir akan keadaan putrinya.

"Om nggak usah khawatir, dia bersamaku." Mengarahkan pandangan pada gadis yang terlihat raut cemas, seakan tahu yang bicara dengannya adalah Leo.

"Karel sama kamu?"

"Iya," jawabnya. "Dia ada tugas sekolah yang nggak dipahami. Makanya menemuiku."

Karel menghela napasnya dengan lega saat Ziel ternyata tak mengatakan kalau dirinya memang kabur ke pesta.

"Kenapa dia nggak bilang sama Om?"

"Mungkin, takut nggak diijinkan."

"Sekarang dia di mana, Zi?"

"Setelah belajar tadi, dia ketiduran ... jadi Mama minta buat nginap saja," terangnya lagi lagi harus berbohong.

Karel dibuat mati kutu dengan kebohongan yang dilakukan Ziel. Karena sepengetahuannya cowok ini tak pernah melakukan kebohongan, tapi sekarang malah berkali kali.

"Yasudah, Om lega. Titip Karel, ya, Zi."

"Iya, Om. Besok pagi aku antar dia pulang ke rumah."

"Baik."

Percakapan berakhir ... Ziel meletakkan ponselnya di samping kursi kemudi. Kemudian mengarahkan pandangan pada gadis yang sedang fokus melihatnya seakan tak berkedip.

"Jadi, setelah ini apakah kamu masih berniat untuk kabur malam malam dari rumah?" tanya Zel.

Karel menggeleng cepat.

Ziel mengacak rambut Karel dengan lembut. Berniat melanjutkan perjalanan, tapi niatnya seketika terhenti saat gadis ini malah memeluknya.

"Aku tahu kamu nggak pernah berbohong dalam hal apapun. Tapi kenapa barusan berbohong pada papaku?"

"Setidaknya untuk yang terakhir," jawab Ziel. "Karena kamu," lanjutnya.

Karel makin dibuat terharu akan sikap Ziel yang terlalu baik padanya dalam hal apapun. Bahkan saking baiknya, ia meyakini kalau Ziel tak memiliki keburukan dalam hal apapun. Baginya, cowok yang sedang ia peluk ini terlalu sempurna.

Ia mendongakkan kepalanya, menatap fokus cowok yang ada dihadapannya.

"Lain kali, kalau aku ada masalah bantuin lagi, ya," harapnya sambil mengerjap ngerjapkan matanya

Ziel mencubit pipi Karel karena gemas. "Nggak akan lagi, Rel. Awas saja kalau sampai ini terjadi lagi, bukan papamu saja yang akan kamu hadapi. Tapi juga aku. Kamu pikir aku nggak kesal dan marah dengan kelakuan dan tingkahmu ini?"

"Kakak marah padaku?"

"Sangat marah."

Karel beranjak dari posisinya yang masih memeluk Ziel.

"Beneran marah?"

"Tindakanmu tak benar, menurutmu apakah aku nggak marah?"

"Maaf," ucapnya. "Aku janji padamu nggak akan berbuat salah lagi. Atau, lain kali kalau mau lakuin sesuatu, aku minta ijin padamu saja."

"Pada papamu, bukan padaku minta ijinnya, Rel. Karena beliau adalah orang tuamu."

"Aku lebih butuh kamu daripada papaku."

"Nggak baik bicara begitu."

"Karena kenyataannya memang begitu, Kak," sambarnya langsung. "Papa itu nggak menyayangiku, tapi kamu sayang padaku. Ngapain aku berburu kasih sayang yang tak ku dapatkan, mending yang ada di depan mata saja." Perkataan yang bertolak berlakang dengan apa yang tengah ia rasakan.

"Rasa sayang itu nggak harus diungkapkan dengan kata kata ataupun perbuatan."

"Kamu menyayangiku baik dalam perbuatan ataupun kata kata, kenapa Papa nggak bisa melakukan itu?"

"Jangan membandingkan status papamu denganku, Karel."

"Terserah! Yang jelas untuk saat ini aku lebih meyanyangimu daripada papa."

Memasang wajah kesal dan menghindari tatapan Ziel. Iya, kesal karena setiap ia mengutarakan rasa kekecewaannya akan sosok papanya, Ziel selalu saja tak membenarkan apa yang ia lakukan.

Jujur saja, ya ... menghadapi gadis sejenis Karel itu butuh kesabaran ekstra. Dia pintar, bahkan sangat pintar. Tapi untuk masalah perasaan, dia seperti kebingungan.

Sampai di rumah, lebih tepatnya di rumah orang tua Ziel, keduanya turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah.

"Hayoo ... kabur lagi, Rel."

Pernyataan itu membuat Karel tak harus berpikir panjang, siapa yang sedang bicara. Berbalik badan, kemudian tersenyum sumringah pada wanita paruh baya yang sedang menatapnya.

Menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tante, aku ..."

"Jangan bicara yang aneh aneh, ya," ujar Ziel pada Karel.

"Ish, bicara yang aneh aneh apaan, sih, Kak," gerutunya saat Ziel masih saja membuatnya kesal.

"Aku tidur dulu, Ma. Udah larut malam. Gara gara dia, nih." Mencubit pipi Karel. Saat gadis itu mengaduh, dengan cepat ia kabur berlalu pergi menuju kamar.

"Kak Ziel!" teriak Karel saat Ziel mencubitnya dengan begitu kuat. Pipinya pasti merah, nih.

Segera meninggalkan Karel dengan mamanya. Kemudian lanjut menuju lantai atas ke kamarnya. Kepalanya sampai sakit, di jam segini belum tidur.

"Tante, aku nginep, ya," ujarnya pada wanita paruh baya bernama Kiran itu.

Kiran mengangguk. "Besok sekolah, kan?"

"Iya, Tante."

"Sana, tidur," suruhnya.

"Hmm ... Tante nggak mau introgasi aku dulu? Nggak mau nanya nanya aku darimana, habis ngapain gitu?"

Kiran malah tersenyum menanggapi kata kata Karel.

"Ziel udah nanya, kan, Sayang. Masa sekarang Tante juga nanya lagi."

Karel mengeluh. "Dia bukan hanya menginterogasiku, tapi mengomeliku," berengutnya

"Karena dia mengkhawatirkanmu. Paham, kan?"

Karel mengiyakan perkataan Kiran dan mencium pipi wanita paruh baya itu sekilas.

"Makasih, Tanteku tersayang." Langsung ngacir menuju kamar. Saking seringnya menginap, tak menunggu si pemilik rumah memberi arahan pun ia sudah tahu di mana kamar yang di maksud.

Sampai di kamar, ia hempaskan badannya di kasur. Tak butuh waktu lama untuk terlelap, karena memang rasanya sungguh mengantuk dan kepalanya pusing. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status