Diperjalanan, keduanya tak banyak bicara. Ziel yang fokus pada jalanan, sedangkan Karel malah tidur di sampingnya. Sesekali ia mengarahkan pandangan pada dia, mengecek apa dia baik baik saja.
Ponsel miliknya berdering, membuat Ziel menghentikan laju kendaraannya. Mengambil benda pipih itu ... terlihat kalau yang sedang menelepon adalah Leo, papanya Karel.
"Hallo, Om," jawab Ziel.
Mendengar percakapan itu, membuat Karel terbangun dari tidurnya. Mendapati Ziel sedang bicara dengan seseorang di telepon.
"Zi, Om bingung mau cari Karel. Dia kabur lagi dari rumah tanpa ijin. Dan berkali kali Om telepon, dia nggak menjawab."
Laki laki paruh baya itu bicara dengan suara yang menunjukkan kalau dia khawatir akan keadaan putrinya.
"Om nggak usah khawatir, dia bersamaku." Mengarahkan pandangan pada gadis yang terlihat raut cemas, seakan tahu yang bicara dengannya adalah Leo.
"Karel sama kamu?"
"Iya," jawabnya. "Dia ada tugas sekolah yang nggak dipahami. Makanya menemuiku."
Karel menghela napasnya dengan lega saat Ziel ternyata tak mengatakan kalau dirinya memang kabur ke pesta.
"Kenapa dia nggak bilang sama Om?"
"Mungkin, takut nggak diijinkan."
"Sekarang dia di mana, Zi?"
"Setelah belajar tadi, dia ketiduran ... jadi Mama minta buat nginap saja," terangnya lagi lagi harus berbohong.
Karel dibuat mati kutu dengan kebohongan yang dilakukan Ziel. Karena sepengetahuannya cowok ini tak pernah melakukan kebohongan, tapi sekarang malah berkali kali.
"Yasudah, Om lega. Titip Karel, ya, Zi."
"Iya, Om. Besok pagi aku antar dia pulang ke rumah."
"Baik."
Percakapan berakhir ... Ziel meletakkan ponselnya di samping kursi kemudi. Kemudian mengarahkan pandangan pada gadis yang sedang fokus melihatnya seakan tak berkedip.
"Jadi, setelah ini apakah kamu masih berniat untuk kabur malam malam dari rumah?" tanya Zel.
Karel menggeleng cepat.
Ziel mengacak rambut Karel dengan lembut. Berniat melanjutkan perjalanan, tapi niatnya seketika terhenti saat gadis ini malah memeluknya.
"Aku tahu kamu nggak pernah berbohong dalam hal apapun. Tapi kenapa barusan berbohong pada papaku?"
"Setidaknya untuk yang terakhir," jawab Ziel. "Karena kamu," lanjutnya.
Karel makin dibuat terharu akan sikap Ziel yang terlalu baik padanya dalam hal apapun. Bahkan saking baiknya, ia meyakini kalau Ziel tak memiliki keburukan dalam hal apapun. Baginya, cowok yang sedang ia peluk ini terlalu sempurna.
Ia mendongakkan kepalanya, menatap fokus cowok yang ada dihadapannya.
"Lain kali, kalau aku ada masalah bantuin lagi, ya," harapnya sambil mengerjap ngerjapkan matanya
Ziel mencubit pipi Karel karena gemas. "Nggak akan lagi, Rel. Awas saja kalau sampai ini terjadi lagi, bukan papamu saja yang akan kamu hadapi. Tapi juga aku. Kamu pikir aku nggak kesal dan marah dengan kelakuan dan tingkahmu ini?"
"Kakak marah padaku?"
"Sangat marah."
Karel beranjak dari posisinya yang masih memeluk Ziel.
"Beneran marah?"
"Tindakanmu tak benar, menurutmu apakah aku nggak marah?"
"Maaf," ucapnya. "Aku janji padamu nggak akan berbuat salah lagi. Atau, lain kali kalau mau lakuin sesuatu, aku minta ijin padamu saja."
"Pada papamu, bukan padaku minta ijinnya, Rel. Karena beliau adalah orang tuamu."
"Aku lebih butuh kamu daripada papaku."
"Nggak baik bicara begitu."
"Karena kenyataannya memang begitu, Kak," sambarnya langsung. "Papa itu nggak menyayangiku, tapi kamu sayang padaku. Ngapain aku berburu kasih sayang yang tak ku dapatkan, mending yang ada di depan mata saja." Perkataan yang bertolak berlakang dengan apa yang tengah ia rasakan.
"Rasa sayang itu nggak harus diungkapkan dengan kata kata ataupun perbuatan."
"Kamu menyayangiku baik dalam perbuatan ataupun kata kata, kenapa Papa nggak bisa melakukan itu?"
"Jangan membandingkan status papamu denganku, Karel."
"Terserah! Yang jelas untuk saat ini aku lebih meyanyangimu daripada papa."
Memasang wajah kesal dan menghindari tatapan Ziel. Iya, kesal karena setiap ia mengutarakan rasa kekecewaannya akan sosok papanya, Ziel selalu saja tak membenarkan apa yang ia lakukan.
Jujur saja, ya ... menghadapi gadis sejenis Karel itu butuh kesabaran ekstra. Dia pintar, bahkan sangat pintar. Tapi untuk masalah perasaan, dia seperti kebingungan.
Sampai di rumah, lebih tepatnya di rumah orang tua Ziel, keduanya turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah.
"Hayoo ... kabur lagi, Rel."
Pernyataan itu membuat Karel tak harus berpikir panjang, siapa yang sedang bicara. Berbalik badan, kemudian tersenyum sumringah pada wanita paruh baya yang sedang menatapnya.
Menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tante, aku ..."
"Jangan bicara yang aneh aneh, ya," ujar Ziel pada Karel.
"Ish, bicara yang aneh aneh apaan, sih, Kak," gerutunya saat Ziel masih saja membuatnya kesal.
"Aku tidur dulu, Ma. Udah larut malam. Gara gara dia, nih." Mencubit pipi Karel. Saat gadis itu mengaduh, dengan cepat ia kabur berlalu pergi menuju kamar.
"Kak Ziel!" teriak Karel saat Ziel mencubitnya dengan begitu kuat. Pipinya pasti merah, nih.
Segera meninggalkan Karel dengan mamanya. Kemudian lanjut menuju lantai atas ke kamarnya. Kepalanya sampai sakit, di jam segini belum tidur.
"Tante, aku nginep, ya," ujarnya pada wanita paruh baya bernama Kiran itu.
Kiran mengangguk. "Besok sekolah, kan?"
"Iya, Tante."
"Sana, tidur," suruhnya.
"Hmm ... Tante nggak mau introgasi aku dulu? Nggak mau nanya nanya aku darimana, habis ngapain gitu?"
Kiran malah tersenyum menanggapi kata kata Karel.
"Ziel udah nanya, kan, Sayang. Masa sekarang Tante juga nanya lagi."
Karel mengeluh. "Dia bukan hanya menginterogasiku, tapi mengomeliku," berengutnya
"Karena dia mengkhawatirkanmu. Paham, kan?"
Karel mengiyakan perkataan Kiran dan mencium pipi wanita paruh baya itu sekilas.
"Makasih, Tanteku tersayang." Langsung ngacir menuju kamar. Saking seringnya menginap, tak menunggu si pemilik rumah memberi arahan pun ia sudah tahu di mana kamar yang di maksud.
Sampai di kamar, ia hempaskan badannya di kasur. Tak butuh waktu lama untuk terlelap, karena memang rasanya sungguh mengantuk dan kepalanya pusing.
Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El … masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di
Dari jam pagi sampai jam pelajaran akhir, serasa benar-benar panjang. Biasanya ada Puja dan Karel. Sekarang ia hanya sendirian. Ada Puja, tapi malah sedang kesal padanya. Setiap diajak bicara, malah seolah menghindar.Sampai di dalam mobil, Giska menelepon mamanya.“Hallo, Ma.”“Ya, Nak?”“Aku pulangnya agak telat, ya, Ma. Soalnya mau main kerumahnya Karel. Tadi dia nggak masuk karena nggak enak badan, jadi aku mau jenguk.”“Iya, hati-hati, ya. Titip salam dari Mama buat Karel.”Selesai meminta izin, barulah Giska memutuskan untuk segera berlalu dari sana … meninggalkan area parkiran sekolah menuju rumah keluarga Ziel.Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Terlihat nama Davian yang tertera. Benar-benar malas rasanya untuk menjawab, apalagi setelah peperangannya dan Puja tadi.Pada akhirnya ia biarkan benda pipih itu diam dengan sendirinya. Mau meriject, malah nggak enak. Ntar dikira sengaja. Kalau dibiarkan, kan dia pasti menyangka kalau dirinya masih ada kelas.Pak satpam membukakan
Pagi harinya, Ziel bergegas turun dan langsung menuju ke arah meja makan. Tak duduk, tapi justru hanya menyambar satu lembar roti tawar dan meneguk segelas green tea.“Loh, Aden nggak sarapan?” tanya Bibik.“Udah, Bik. Aku buru-buru,” jawabnya.“Loh, kok nggak makan?” Giliran Kiran yang baru datang dari arah teras samping bertanya. “Karel mana?”“Aku ada pertemuan pagi ini, Ma. Semalam juga sudah bilang bisa sama Davi. Karel masih di kamar, masih tidur … jangan dibangunin. Aku kasih izin libur hari ini.”“Tapi, Zi …”Ziel menyambar dan mencium punggung tangan Kiran.“Dah, Ma … aku berangkat.”Kiran hanya bisa menarik napas panjang, menatap kepergian putranya hingga keluar dari rumah.“Ada apa?” tanya Arland yang baru keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di meja makan.“Ziel, udah berangkat.”“Tumben pagi-pagi.”“Katanya ada pertemuan pagi ini dan semalam udah mastiin sama Davi.”“Karelyn?”“Dia kasih izin libur satu hari,” jawab Kiran dengan senyuman.Sementara Karel di kamar
Keduanya menuju rumah sakit. Seperti yang sudah dijanjikan, bahwa hari ini Karel akan melakukan cek-up secara menyeluruh. Lebih cepat mengetahui seberapa parah sakit yang dia alami, itu justru semakin baik. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati saat semua sudah berada di titik parah.“Nanti kalau lulus, aku boleh lanjut kuliah, kan?” tanya Karel.“Tentu saja. Kalau kamu nggak maupun, akan aku yang paksa.”Karel sampai tertawa mendengarnya. “Suami macam apa yang melakukan tindakan pemaksaan pada istrinya.”“Kan aku memaksa ke jalan yang benar, bukan pada kesesatan, Sayang. Ilmu itu penting. Dan aku nggak mau hanya karena status pernikahan, membuatmu sampai stop untuk lanjut kuliah.”Dengar, kan. Orang pinter ngomongnya gitu, ya. Apa-apa bahasannya pasti perkara menuntut ilmu, belajar, dan perkara otak. Udah nikah saja masih tetap membahasa perkara pendidikan.“Boleh ke luar negri?” tanya Karel langsung pada titik pertanyaan yang paling inti.Seketika Ziel menghentikan laju kend
Karel menyodorkan sebuah map pada Ziel yang langsung dia terima.“Kakak dari mana? Katanya mau tidur, mau istirahat. Tetap aja pas aku nyampe rumah, kamunya baru balik.” langsung mengomel mode emak-emak.“Nganterin tante ke bandara.”“Lah, udah balik?”“Udah,” jawab Ziel.“Padahal aku belum ngobrol banyak. Malah udah pada bubar semua,” gerutunya dengan wajah cemberut. Kemudian berlalu dari hadapan Ziel dan langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang tampak terbuka lebar.“Kenapa, sih … pulang sekolah langsung cemberut?” tanya Kiran yang baru datang dari arah teras samping.Karel yang tadinya berniat langsung menuju ke arah kamar, beralih menghampiri Kiran. Menyambar dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.“Kenapa semua udah pada balik? Kan kita belum ngobrol banyak.”“Ngobrolnya ntar denganku saja,” sahut Ziel terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.“Jangan ke ruang kerja ya, Kak … aku beneran mau bicara loh!”Tak ada sahutan dari Ziel. Oke, itu ar
Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan … tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.
Jam pelajaran kedua selesai, guru juga sudah meninggalkan area kelas.“Ke kantin, yuk,” ajak Giska pada Karel dan Puja. Serius, ya … ia sebenarnya masih mode kesal pada Puja. Hanya saja berusaha jika masalahnya dan sobatnya tak terus berlanjut. Terserah dia mau marah atau apa, yang jelas ia sudah berusaha untuk tetap baik. Karena ia merasa tak salah.“Gue ikut, ya … tapi minum doang,” jawab Karel beranjak dari posisi duduknya. Peringatan dari Ziel dan papa mertuanya membuatnya harus pilah pilih makanan mulai sekarang, Apalagi makanan cepat saji.“Yok, Ja,” ajak Giska.“Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar,” respon Puja dengan wajah tak bersahabat, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Karel dan Giska.Tadinya masih tenang, tapi balasan dan sikap Puja barusan sukses membuat Giska seketika emosi.“Lo liat, kan, El. Dia kenapa, sih? Sumpah, ya. Paling kesal tuh kalau diacuhkan dan dicuekin tanpa tahu sebabnya apa. Perasaan gue nggak ada lakuin hal yang bikin dia kesal,
Langsung bergegas menuju ruang kelas, saat sampai sudah me dapati Giska dan juga Puja di sana. Mereka fokus pada buku dihadapan masing-masing.Melihat Karel yang datang, keduanya langsung heboh dan kegirangan. Ya apalagi, pasti keduanya akan membahas hal yang-tidak lagi.“El, gimana gimana?” tanya Puja bersemangat.“Heh, apanya yang gimana?”“Duh, sok lugu lagi. Yang kita berdua pertanyakan, gimana semalam. Lancar? Aman? Jebol nggak?”Seketika tangan Karel dengan cepat memberikan sentilan pada masing-masing jidat sobatnya itu. Bisa-bisanya mereka membahas hal yang sangat-sangat privasi itu di sekolah, bahkan di detik-detik menuju ulangan.“Kalian berdua ya ampun. Kenapa gue nyampe sekolah malah nanyain hal itu. Trus kalau gue bilang, kalian penasaran dan nyobain. Memangnya sudah ada objeknya?”“Dih, pelit amat sih, El. Kan buat berbagi pengalaman aja. Biar kapan-kapan kita berdua mau praktek, nggak kaget-kaget banget,” balas Puja dengan muka mesumnya.“Apa yang mau gue ceritain, kan k
“Aneh banget loh Kak Davian,” ujar Karel pada Ziel ketika keduanya turun menuju lantai bawah.“Aneh gimana?” tanya Ziel.“Masa dia nanyain alamatnya Giska.”“Buat apa?”“Katanya mau balikin ponsel milik Giska yang ketinggalan di cafe semalam.”Ziel mengarahkan pandangannya pada Karel, seolah ikut bingung dengan apa yang dikatakan oleh Karel.“Iya, Kak. Beneran gitu. Aku aja bingung. Pas ku tanya, kok bisa? Tapi dia nggak ngasih penjelasan.”Lanjut berjalan hingga keduanya sampai di bawah. Langsung menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada semuanya.“Ya ampun, masih pagi buta sudah bangun aja ini pengantin baru. Padahal kami pikir nggak bakalan bangun seharian,” ujar Linzy dengan sengaja meledek Karel dan Ziel yang baru datang.Alvin sampai memberikan pelototan tajam pada putrinya itu. Sudah jadi hal yang lumrah, dua putrinya memang rada ceplas-ceplos.“Aku juga berpikir demikian, masalahnya mataku mengantuk berat. Tapi tahu sendiri kalau hari ini sekolah dan …” Melirik sedikit ke