Beberapa menit kemudian, Kiara tiba di halaman rumah sakit.
Ia berlari kecil menuju bagian administrasi sambil memeluk tasnya erat-erat agar tidak basah.
Napasnya terengah-engah, rambutnya berantakan, tapi dia tidak peduli dengan penampilannya. Yang penting, ibunya harus tetap hidup.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang memanggil dari belakang.
“Kiara.”
Kiara menoleh dengan cepat. Napasnya tercekat ketika melihat sosok pria jangkung dengan jas hitam berdiri di bawah naungan payung besar.
Wajahnya familier — rapi, tenang, dan terlalu profesional.
“Tuan Max?” Kiara bergumam dan sedikit terkejut. “Kenapa Anda ada di sini?”
Max menatapnya dengan ekspresi datar tapi sopan. “Tuan Julian memintaku untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.”
Kiara membeku. Seketika hatinya mencelos. “Maksud Anda … Anda mengikutiku?”
“Perintah langsung dari Tuan Julian,” jawab Max dengan tenang.
Kiara langsung menghela napasnya mendengar ucapan Max tadi.
Dalam hati, Kiara menggerutu. ‘Jadi dia benar-benar tidak percaya padaku?’
Matanya panas menahan emosi. Di antara rasa malu dan kecewa, ada juga rasa sakit — karena pria itu bahkan tidak memberinya kesempatan untuk menunjukkan bahwa dia bukan pembohong.
“Baiklah,” katanya singkat dan berusaha terdengar tenang meski suaranya serak.
“Kalau begitu, tolong jangan menghalangiku. Aku harus membayar tagihan sekarang.”
Max mengangguk dan berjalan di belakangnya tanpa banyak bicara.
Mereka menuju meja administrasi. Petugas rumah sakit yang mengenali Kiara langsung berdiri.
“Ah, Nona Kiara, kami baru saja hendak menghubungi Anda lagi. Apakah pembayaran sudah—”
Kiara menaruh kartu hitam itu di atas meja sebelum kalimat itu selesai. Tangannya gemetar saat menyerahkannya.
“Gunakan ini. Tolong lunasi semua tagihan atas nama pasien Melisha Louis. Semuanya,” ucapnya cepat.
Petugas menatap kartu itu dengan mata membesar. “I-ini black card unlimited?”
“Ya,” jawab Kiara singkat. “Tolong cepat, aku mohon.”
Petugas itu segera memproses transaksi dengan hati-hati. Sementara itu, Max berdiri di belakang dengan diam seperti bayangan gelap yang mengikuti setiap langkahnya.
Beberapa menit kemudian, petugas mengembalikan kartu itu sambil menunduk hormat.
“Semua sudah beres, Nona. Tagihan sudah lunas. Termasuk biaya obat, perawatan, dan ruang ICU selama tiga hari ke depan.”
Kiara menunduk dengan lega. Bahunya bergetar dan napasnya keluar berat. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, beban besar di dadanya terasa sedikit berkurang.
“Terima kasih,” bisiknya dengan pelan.
Namun, rasa lega itu tak bertahan lama. Begitu dia hendak berbalik menuju ruang rawat ibunya, tangan seseorang menahan pergelangan tangannya.
“Maaf, Kiara,” kata Max pelan tapi tegas. “Kita harus pergi sekarang.”
Kiara menatap tangannya yang digenggam. “Apa maksud Anda? Aku ingin melihat ibuku dulu. Hanya sebentar. Lima menit saja.”
Max menggeleng. “Tuan Julian meminta saya membawa Anda segera setelah pembayaran selesai.”
Kiara menatapnya tidak percaya. “Apa? Sekarang? Tapi aku baru saja—”
“Perintahnya sudah jelas, Kiara,” potong Max lembut tapi tak memberi ruang untuk negosiasi.
Rasa marah dan sedih bercampur jadi satu di dada Kiara. “Dia bahkan tidak memberiku waktu untuk memeluk ibuku?” suaranya meninggi dan bergetar.
“Dia pikir aku ini apa? Barang kiriman yang bisa dibawa semaunya?”
Max menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dibaca. Ada sedikit rasa iba di sana, tapi wajahnya tetap profesional.
“Saya mengerti perasaan Anda, tapi saya tidak bisa melanggar perintah. Tuan Julian tidak suka menunggu. Ayo.”Kiara hanya bisa terdiam. Rasa lelah dan putus asa membuatnya tak mampu melawan. Ia menarik tangannya perlahan dari genggaman Max, tapi tidak berkata apa-apa lagi.
Tanpa banyak pilihan, dia mengikuti langkah pria itu menuju pintu keluar.
Di luar, sebuah mobil hitam mewah sudah menunggu di bawah hujan tipis.
Lampunya menyala lembut, dan interiornya terlihat hangat dari balik kaca.
Pintu belakang dibukakan untuknya.Kiara melangkah masuk tanpa sepatah kata pun, duduk di kursi kulit yang empuk tapi terasa seperti penjara.
Mobil mulai melaju menembus malam kota. Suasana di dalam mobil sunyi. Hanya suara mesin dan rintik hujan di jendela yang menemani.
Kiara menunduk, memandangi kartu hitam di tangannya yang kini terasa berat seperti dosa.
Ia meneguk ludahnya lalu berdehem pelan. “Tuan Max?”
“Ya?” suara Max terdengar lembut dari kursi depan.
“Aku boleh bertanya sesuatu?”
“Tentu.”
Kiara menarik napasnya sebelum bicara. “Apakah aku … wanita kesekian yang dijadikan teman tidur oleh Tuan Julian?”
Pertanyaannya meluncur begitu saja diiringi rasa ingin tahu yang sedari tadi menekan dadanya.
Max menoleh sedikit melalui kaca spion, lalu menggeleng pelan. “Tidak. Bahkan Tuan Julian belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya.”
Kiara mengernyit. “Maksud Anda … belum pernah?”
“Ya.” Max menatap lurus ke depan.
“Selama bekerja bersamanya, saya tahu beliau bukan pria yang tertarik menjadikan siapa pun seperti itu. Banyak wanita mencoba mendekat, tapi dia selalu menolak.”
Kiara terdiam, bingung. “Kalau begitu, kenapa dia melakukan ini padaku?” tanyanya lirih. “Apa yang membuatku berbeda?”
Max mengangkat bahu ringan. “Sepertinya hanya satu alasan yang bisa menjelaskan alasan dia mau membantumu, Kiara.”
“Apa itu?” tanya Kiara ingin tahu.
Max menatapnya dari spion, lalu menjawab datar, “Dia sedang berusaha lari dari pertunangan yang diatur oleh ayah dan ibunya.”
Kiara tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan sampai di titik ini—menjadi barang, menjadi sesuatu yang bisa dilihat, diperintah, bahkan dimiliki oleh seorang lelaki yang telah “membelinya” dengan uang.Semua yang terjadi begitu cepat. Baru beberapa hari lalu dia hanyalah seorang karyawan magang biasa di Romanov Group, dengan seragam lusuh dan pikiran penuh kekhawatiran tentang tagihan rumah sakit ibunya.Kini, tubuhnya berdiri di depan cermin besar dalam kamar mandi mewah, dengan pakaian yang bahkan tak pantas disebut sebagai kain.Cahaya lampu berwarna keemasan memantul di permukaan kaca besar di hadapannya. Kiara menatap refleksi dirinya yang nyaris tidak ia kenali.Tubuhnya terbalut lingerie merah transparan yang membalut ketat di setiap lekuknya.Gaun tipis itu terlalu kecil untuknya, sehingga setiap inci kulitnya terekspos dengan gamblang. Dada padatnya tampak menyembul, nyaris keluar dari belahan kain yang seolah menolak menutupi apa pun.Jari-jarinya gemetar saat menyentu
“Ma-maksud, Tuan?” ucap Kiara dengan suara kecil. Ia tidak mengerti dengan pertanyaan barusan.Julian menatapnya tanpa ekspresi, kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sorot matanya gelap, dalam, seolah bisa menelusup masuk ke dasar jiwa Kiara.“Aku hanya ingin tahu,” katanya datar namun tegas, “bahwa apa yang sudah kubeli di hadapanku kini masih original.”Kata-kata itu membuat tubuh Kiara seketika menegang. “Original?” gumamnya pelan, mencoba mencerna arti di balik kalimat sinis yang baru saja diucapkan Julian.Namun sebelum sempat ia berpikir lebih jauh, langkah kaki berat lelaki itu mendekat.Julian maju satu langkah, jaraknya kini hanya beberapa jengkal dari wajah Kiara.Tubuh tinggi tegapnya menutupi sebagian cahaya lampu gantung di ruang itu, membuat bayangannya jatuh menutupi tubuh Kiara yang tampak mungil di hadapannya.“Belum tersentuh oleh siapa pun,” lanjut Julian, suaranya lebih rendah, bergetar dengan nada yang sulit didefinisikan—antara ancaman dan godaan.Kiara men
Kalimat itu membuat Kiara membeku. “Pertunangan?” ulangnya dengan suara pelan.“Ya,” jawab Max. “Sebuah pernikahan bisnis yang sudah lama direncanakan keluarga Romanov. Dan Tuan Julian membencinya.”Kiara menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelebat cepat dan memantulkan warna kuning dan biru di permukaan matanya yang masih basah.“Jadi …,” katanya pelan, “aku hanya alat baginya untuk melarikan diri dari sesuatu yang dia tidak mau?”Tidak ada jawaban dari Max. Hanya keheningan yang tebal di antara mereka. Tapi diam itu sudah cukup menjelaskan segalanya.Kiara menunduk dan memejamkan matanya. Sebuah rasa pahit merayapi tenggorokannya.Dia telah menjual dirinya bukan untuk cinta, bukan untuk harapan, tapi untuk menjadi pelarian seorang pria yang bahkan tidak mengenalnya.Namun, di balik semua itu, dia tahu: keputusan itu menyelamatkan ibunya. Dan mungkin itu satu-satunya alasan yang bisa membuatnya tetap kuat.Mobil berhenti di depan gedung tinggi berlapis kaca, Romanov Tower —
Beberapa menit kemudian, Kiara tiba di halaman rumah sakit.Ia berlari kecil menuju bagian administrasi sambil memeluk tasnya erat-erat agar tidak basah.Napasnya terengah-engah, rambutnya berantakan, tapi dia tidak peduli dengan penampilannya. Yang penting, ibunya harus tetap hidup.Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang memanggil dari belakang.“Kiara.”Kiara menoleh dengan cepat. Napasnya tercekat ketika melihat sosok pria jangkung dengan jas hitam berdiri di bawah naungan payung besar.Wajahnya familier — rapi, tenang, dan terlalu profesional.“Tuan Max?” Kiara bergumam dan sedikit terkejut. “Kenapa Anda ada di sini?”Max menatapnya dengan ekspresi datar tapi sopan. “Tuan Julian memintaku untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.”Kiara membeku. Seketika hatinya mencelos. “Maksud Anda … Anda mengikutiku?”“Perintah langsung dari Tuan Julian,” jawab Max dengan tenang.Kiara langsung menghela napasnya mendengar ucapan Max tadi.Dalam hati, Kiara menggerutu. ‘J
Detik berdetak begitu lambat bagi Kiara, namun waktu sebenarnya berlari tanpa belas kasihan.Begitu Julian meninggalkan meja dan berdiri menghadap jendela lagi, ponsel Kiara yang tergeletak di pangkuannya bergetar keras.Layar menyala dan menampilkan pesan dari dokter yang membuat seluruh darahnya seolah berhenti mengalir.“Nona Kiara, mohon maaf, tapi kami harus mencabut alat bantu pernapasan ibu Anda malam ini jika pembayaran tidak segera dilakukan. Kami menunggu keputusan Anda.”Tangannya gemetar hebat. Pandangannya kabur. Pesan itu seperti hukuman mati bagi ibunya—dan bagi dirinya.Tubuhnya kehilangan tenaga, hingga ponsel itu hampir terlepas dari genggamannya.“Tidak, jangan sekarang,” bisiknya dengan suara serak.Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya yang pucat. Ia mencoba mengetik balasan, tapi jari-jarinya gemetar hebat.Julian yang berdiri tak jauh darinya akhirnya berbicara. “Sudah aku bilang, kau tidak punya banyak waktu, Kiara,” ucapnya dengan tenang tapi menyayat
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam.Malam itu kantor Romanov Group sudah sepi. Lampu-lampu di lantai 45 menyisakan hanya satu ruangan yang masih menyala—ruang kerja Julian Romanov.Kiara berdiri di depan pintu kaca itu dengan jantung berdetak cepat. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul delapan tepat, sesuai dengan perintah pria itu.Tangannya sedikit bergetar saat mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat dan datar terdengar dari dalam.Kiara menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Ruangan itu tampak luas, dindingnya kaca, dan memperlihatkan panorama langit malam kota.Di balik meja besar dari marmer hitam, Julian duduk dengan tegak tengah memeriksa beberapa berkas dengan wajah tanpa ekspresi.Ia tidak langsung menatap Kiara, hanya berkata tanpa mengangkat kepala, “Duduk.”Kiara menurut. Tapi, jantungnya seolah ingin meloncat keluar dari dada.Rasanya sulit bernapas di bawah tatapan pria itu, bahkan sebelum dia memulai pembicaraan apa pun.Beberapa menit berlalu dalam