Detik berdetak begitu lambat bagi Kiara, namun waktu sebenarnya berlari tanpa belas kasihan.
Begitu Julian meninggalkan meja dan berdiri menghadap jendela lagi, ponsel Kiara yang tergeletak di pangkuannya bergetar keras.
Layar menyala dan menampilkan pesan dari dokter yang membuat seluruh darahnya seolah berhenti mengalir.
“Nona Kiara, mohon maaf, tapi kami harus mencabut alat bantu pernapasan ibu Anda malam ini jika pembayaran tidak segera dilakukan. Kami menunggu keputusan Anda.”
Tangannya gemetar hebat. Pandangannya kabur. Pesan itu seperti hukuman mati bagi ibunya—dan bagi dirinya.
Tubuhnya kehilangan tenaga, hingga ponsel itu hampir terlepas dari genggamannya.
“Tidak, jangan sekarang,” bisiknya dengan suara serak.
Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya yang pucat. Ia mencoba mengetik balasan, tapi jari-jarinya gemetar hebat.
Julian yang berdiri tak jauh darinya akhirnya berbicara. “Sudah aku bilang, kau tidak punya banyak waktu, Kiara,” ucapnya dengan tenang tapi menyayat hati Kiara.
Kiara mengangkat wajahnya. Setelah menimbang-nimbang tawaran itu, yang awalnya ingin menolak, justru akhirnya dia menerimanya.
“Aku … aku menerima tawaran Anda, Tuan,” katanya akhirnya dengan suara bergetar.
“Tapi tolong, tidak malam ini. Aku harus ke rumah sakit dulu. Aku ingin memastikan ibuku aman, baru setelah itu ….”
Julian menatapnya datar. Tidak ada emosi dan tidak ada belas kasihan—hanya sorot tajam yang membuat dada Kiara semakin sesak.
“Tidak malam ini?” ulang Julian pelan. “Kau baru saja mengatakan ibumu hampir kehilangan nyawanya. Dan kau masih berani menawar waktu denganku?”
Kiara tercekat. “Bukan itu maksudku, Tuan … aku hanya—”
“Kau pikir aku punya waktu untuk menunggu seseorang yang bahkan tidak tahu cara menghargai kesepakatan?” potong Julian dengan nada tenang namun tegas.
Kiara menggigit bibirnya sambil menahan isak. “Tolong, Tuan, hanya satu jam. Satu jam saja. Aku akan pergi ke rumah sakit, membayar semuanya, lalu aku akan datang. Aku janji akan datang!”
Suara Kiara pecah di akhir kalimat. Teleponnya kembali bergetar di meja. Kali ini bukan pesan, tapi panggilan masuk. Nama Hospital Heart terpampang di layar.
Suara bergetar dari speaker terdengar begitu panik ketika Kiara menjawab dengan tangan gemetar.
“Nona Kiara? Kami butuh keputusan sekarang. Ibu Anda makin melemah. Mohon segera selesaikan pembayaran malam ini.”
“Ya, ya … aku akan ke sana sekarang,” sahut Kiara terburu-buru dengan suara parau.
“Tolong jangan lakukan apa pun pada ibuku. Aku mohon, tunggu sedikit lagi!”
Begitu panggilan berakhir, Kiara menatap Julian dengan mata penuh kecemasan.
“Tuan, tolong izinkan aku pergi sekarang. Hanya satu jam. Setelah itu aku akan ke mana pun Anda minta.”
Sunyi.
Julian tidak menjawab. Ia berdiri di depan meja dengan tangan bersedekap di dada.
Tatapan matanya dingin, tajam, seolah tengah menilai setiap kata yang keluar dari bibir gadis itu.
Kiara merasa seolah sedang diadili.
Detik terasa panjang. Napas Kiara tersengal. Ia menatap kartu hitam yang masih tergeletak di atas meja, seolah itu adalah satu-satunya harapan yang tersisa untuk menyelamatkan hidup ibunya.
Akhirnya, Julian menarik napas panjang, menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca.
“Satu jam,” katanya datar. “Jika telat satu menit saja, kau akan habis di tanganku, Kiara!”
Jantung Kiara hampir lepas usai mendengar kalimat terakhi tersebut. Namun, dia sudah tidak punya waktu untuk meratapi nasibnya.
Dia mengangguk dengan cepat. “Ya. Aku janji akan datang setelah semuanya selesai!”
Julian menatapnya sekali lagi sebelum menarik sesuatu dari laci meja—selembar kertas kecil yang berisi alamat.
Ia menuliskan beberapa baris cepat dengan pulpen, lalu menggeser kertas itu ke arah Kiara.
“Ke sini,” katanya singkat. “Penthouse-ku. Tingkat tertinggi di Romanov Tower. Pastikan kau datang sebelum jarum jam menyentuh angka sembilan lewat tiga puluh menit.”
Kiara menatap alamat itu dengan tangan bergetar.
Kata penthouse saja sudah cukup membuat dadanya bergetar hebat. Bukan karena tempat itu megah, tapi karena dia tahu arti sebenarnya dari kesepakatan yang baru sajad ia setujui.
Namun, waktu tidak memberinya kesempatan berpikir lebih jauh.
Ia mengangguk cepat dan mengambil kartu hitam yang masih tergeletak di meja, lalu berdiri.
Kiara langsung berlari keluar dari ruangan itu.
Langkah-langkahnya bergema di sepanjang lorong sepi. Air matanya masih mengalir, tapi dia tidak berhenti. Dia tidak punya waktu untuk menangis. Tidak malam ini.
Begitu lift tertutup, napasnya memburu dan tangannya memegangi dada yang terasa sesak.
Ia menatap kartu hitam di tangannya—kilau logamnya memantulkan wajahnya sendiri yang hancur.
Dalam hati, ia berdoa, ‘Tuhan, tolong jangan biarkan aku menyesal.’
Lift berhenti di lantai bawah. Kiara berlari menembus udara malam yang dingin, memanggil taksi, dan mengucap alamat rumah sakit dengan suara terburu-buru.
Sementara itu, di lantai 45, Julian masih duduk di kursinya.
Jari-jarinya mengetuk meja perlahan dan tatapannya mengarah ke jendela.
Dia masih tampak tenang. Namun, matanya tak lepas dari langkah Kiara yang begitu tergesa sebelum akhirnya masuk ke dalam taksi.
Tak lama kemudian, dia menekan tombol di interkom. “Max,” panggilnya dengan suara datar.
Suara asisten pribadinya terdengar di ujung sana. “Ya, Tuan?”
“Dia baru saja pergi,” ujar Julian tanpa ekspresi. “Ikuti dia.”
“Maaf, Tuan? Maksud Anda—”
“Ke rumah sakit tempat ibunya dirawat,” potong Julian. “Pastikan dia benar-benar membayar tagihan itu. Setelah selesai, bawa dia langsung ke rumahku.”
Kiara tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan sampai di titik ini—menjadi barang, menjadi sesuatu yang bisa dilihat, diperintah, bahkan dimiliki oleh seorang lelaki yang telah “membelinya” dengan uang.Semua yang terjadi begitu cepat. Baru beberapa hari lalu dia hanyalah seorang karyawan magang biasa di Romanov Group, dengan seragam lusuh dan pikiran penuh kekhawatiran tentang tagihan rumah sakit ibunya.Kini, tubuhnya berdiri di depan cermin besar dalam kamar mandi mewah, dengan pakaian yang bahkan tak pantas disebut sebagai kain.Cahaya lampu berwarna keemasan memantul di permukaan kaca besar di hadapannya. Kiara menatap refleksi dirinya yang nyaris tidak ia kenali.Tubuhnya terbalut lingerie merah transparan yang membalut ketat di setiap lekuknya.Gaun tipis itu terlalu kecil untuknya, sehingga setiap inci kulitnya terekspos dengan gamblang. Dada padatnya tampak menyembul, nyaris keluar dari belahan kain yang seolah menolak menutupi apa pun.Jari-jarinya gemetar saat menyentu
“Ma-maksud, Tuan?” ucap Kiara dengan suara kecil. Ia tidak mengerti dengan pertanyaan barusan.Julian menatapnya tanpa ekspresi, kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sorot matanya gelap, dalam, seolah bisa menelusup masuk ke dasar jiwa Kiara.“Aku hanya ingin tahu,” katanya datar namun tegas, “bahwa apa yang sudah kubeli di hadapanku kini masih original.”Kata-kata itu membuat tubuh Kiara seketika menegang. “Original?” gumamnya pelan, mencoba mencerna arti di balik kalimat sinis yang baru saja diucapkan Julian.Namun sebelum sempat ia berpikir lebih jauh, langkah kaki berat lelaki itu mendekat.Julian maju satu langkah, jaraknya kini hanya beberapa jengkal dari wajah Kiara.Tubuh tinggi tegapnya menutupi sebagian cahaya lampu gantung di ruang itu, membuat bayangannya jatuh menutupi tubuh Kiara yang tampak mungil di hadapannya.“Belum tersentuh oleh siapa pun,” lanjut Julian, suaranya lebih rendah, bergetar dengan nada yang sulit didefinisikan—antara ancaman dan godaan.Kiara men
Kalimat itu membuat Kiara membeku. “Pertunangan?” ulangnya dengan suara pelan.“Ya,” jawab Max. “Sebuah pernikahan bisnis yang sudah lama direncanakan keluarga Romanov. Dan Tuan Julian membencinya.”Kiara menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelebat cepat dan memantulkan warna kuning dan biru di permukaan matanya yang masih basah.“Jadi …,” katanya pelan, “aku hanya alat baginya untuk melarikan diri dari sesuatu yang dia tidak mau?”Tidak ada jawaban dari Max. Hanya keheningan yang tebal di antara mereka. Tapi diam itu sudah cukup menjelaskan segalanya.Kiara menunduk dan memejamkan matanya. Sebuah rasa pahit merayapi tenggorokannya.Dia telah menjual dirinya bukan untuk cinta, bukan untuk harapan, tapi untuk menjadi pelarian seorang pria yang bahkan tidak mengenalnya.Namun, di balik semua itu, dia tahu: keputusan itu menyelamatkan ibunya. Dan mungkin itu satu-satunya alasan yang bisa membuatnya tetap kuat.Mobil berhenti di depan gedung tinggi berlapis kaca, Romanov Tower —
Beberapa menit kemudian, Kiara tiba di halaman rumah sakit.Ia berlari kecil menuju bagian administrasi sambil memeluk tasnya erat-erat agar tidak basah.Napasnya terengah-engah, rambutnya berantakan, tapi dia tidak peduli dengan penampilannya. Yang penting, ibunya harus tetap hidup.Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang memanggil dari belakang.“Kiara.”Kiara menoleh dengan cepat. Napasnya tercekat ketika melihat sosok pria jangkung dengan jas hitam berdiri di bawah naungan payung besar.Wajahnya familier — rapi, tenang, dan terlalu profesional.“Tuan Max?” Kiara bergumam dan sedikit terkejut. “Kenapa Anda ada di sini?”Max menatapnya dengan ekspresi datar tapi sopan. “Tuan Julian memintaku untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.”Kiara membeku. Seketika hatinya mencelos. “Maksud Anda … Anda mengikutiku?”“Perintah langsung dari Tuan Julian,” jawab Max dengan tenang.Kiara langsung menghela napasnya mendengar ucapan Max tadi.Dalam hati, Kiara menggerutu. ‘J
Detik berdetak begitu lambat bagi Kiara, namun waktu sebenarnya berlari tanpa belas kasihan.Begitu Julian meninggalkan meja dan berdiri menghadap jendela lagi, ponsel Kiara yang tergeletak di pangkuannya bergetar keras.Layar menyala dan menampilkan pesan dari dokter yang membuat seluruh darahnya seolah berhenti mengalir.“Nona Kiara, mohon maaf, tapi kami harus mencabut alat bantu pernapasan ibu Anda malam ini jika pembayaran tidak segera dilakukan. Kami menunggu keputusan Anda.”Tangannya gemetar hebat. Pandangannya kabur. Pesan itu seperti hukuman mati bagi ibunya—dan bagi dirinya.Tubuhnya kehilangan tenaga, hingga ponsel itu hampir terlepas dari genggamannya.“Tidak, jangan sekarang,” bisiknya dengan suara serak.Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya yang pucat. Ia mencoba mengetik balasan, tapi jari-jarinya gemetar hebat.Julian yang berdiri tak jauh darinya akhirnya berbicara. “Sudah aku bilang, kau tidak punya banyak waktu, Kiara,” ucapnya dengan tenang tapi menyayat
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam.Malam itu kantor Romanov Group sudah sepi. Lampu-lampu di lantai 45 menyisakan hanya satu ruangan yang masih menyala—ruang kerja Julian Romanov.Kiara berdiri di depan pintu kaca itu dengan jantung berdetak cepat. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul delapan tepat, sesuai dengan perintah pria itu.Tangannya sedikit bergetar saat mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat dan datar terdengar dari dalam.Kiara menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Ruangan itu tampak luas, dindingnya kaca, dan memperlihatkan panorama langit malam kota.Di balik meja besar dari marmer hitam, Julian duduk dengan tegak tengah memeriksa beberapa berkas dengan wajah tanpa ekspresi.Ia tidak langsung menatap Kiara, hanya berkata tanpa mengangkat kepala, “Duduk.”Kiara menurut. Tapi, jantungnya seolah ingin meloncat keluar dari dada.Rasanya sulit bernapas di bawah tatapan pria itu, bahkan sebelum dia memulai pembicaraan apa pun.Beberapa menit berlalu dalam