Share

Sukses Setelah Dihina
Sukses Setelah Dihina
Penulis: Ana_miauw

Bab 1

“Ri, besok kakak-kakakmu mau datang. Sudah lama mereka nggak jenguk Ibu, jadi rencananya mereka mau ke sini. Biasalah, mau kumpul-kumpul,” ucap Ibu Saida kepada anaknya yang paling terakhir, dari ketiga bersaudara. “Tolong masakin Ibu rendang yang banyak, ya,” titahnya kemudian.

“Iya, Bu,” Riri menjawab. Meskipun dia orang yang paling sibuk jika kakak-kakaknya datang, namun Riri senang karena kedatangan mereka bisa membawa berkah baginya yang hidup dalam kekurangan. Sebab karena kedatangan merekalah dia dan anak-anaknya bisa ikut makan enak di rumah ini.

“Nanti uangnya Ibu kasih,” kata Ibu Saidah lagi

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Riri berangkat ke pasar. Dia membeli daging sebanyak tiga kilo untuk di rendang, sekaligus bumbu-bumbunya. Dia juga membeli daun singkong dan cabai hijau sebagai pelengkap. Tidaksempurna jika makan rendang tanpa sambal cabai hijau dan lalapan daun singkong.

Sepulang dari Pasar, Riri langsung mengolah daging tersebut. Memotongnya kecil dan tipis-tipis agar daging bisa cepat empuk. Kemudian menghaluskan bumbunya dengan blender. Dengan wajan yang besar, Riri memasak daging itu selama beberapa jam lamanya.

Kurang lebih jam 12 siang, semua sudah selesai. Dia terlebih dahulu mandi di rumahnya sendiri, beribadah dan menyuapi kedua anak-anaknya. Yang sulung berusia lima tahun, yang bungsu berusia tiga tahun. Belum ada yang sekolah.

“Belum datang, Bu?” tanya Riri begitu ia sampai ke rumah ibunya lagi. Kebetulan rumah mereka berdekatan. Hanya selang beberapa rumahsaja.

“Sepertinya sebentar lagi. Mereka bilang sih, sudah dekat,”jawab Ibu Saida.

Tak lama kemudian, muncullah dua mobil hitam dan putih muncul dari belokan gang masuk rumah ini. Mobil-mobil mewah dengan warna yang mengkilat, tampak seperti baru. Mereka adalah mobil kedua kakak-kakaknya yang hidupnya jauh lebih sukses daripada hidupnya yang cenderung pas-pasan.

Begitu kedua mobil terparkir di halaman rumah, Riri langsung menghampiri untuk menyambut kedatangannya.

“Assalamualaikum, Riri,” sapa kakak laki-lakinya bernama Hamdan.

“Assalamualaikum, Ri ...,” sapa kakak perempuannya bernama Nur Lela.

Riri menjawab salam dan menyalami satu-persatu saudara kandung dan saudara iparnya. Berikut dengan anak-anak mereka.

“Ibu di mana, Ri?” tanya Nur Lela sembari menuntun anaknya ke dalam rumah.

“Ibu ada di dalam. Tadi beliau sedang di kamar mandi.”

“Oh ....”

Ke semuanya masuk ke dalam rumah dan langsung duduk di sofa. Begitu juga dengan Riri yang masuk dan membawakan serta barang-barang mereka yang berupa oleh-oleh.

“Ri ... baju kamu kok jelek banget, sih. Lusuh begitu. Kayak gembel tahu, nggak?” ucap Nur Lela membuat Riri seketika terkejut dan sontak menatapnya pakaiannya sendiri yang dia pikir tampak masih bagus.

“Masa, sih, Mbak? Perasaan Riri ini bagus dan nyaman dipakai,” kata Riri.

“Bagus menurutmu. Bukan orang lain. Baju kayak gitu kok, masih saja dipakai. Baju kayak gitu pantasnya sudah jadi kain lap.”

Mata Riri mengembun. Cepat-cepat ia berbalik badan dan beralasan agar tangisnya tak kentara, “Aku ke belakang dulu, ya, Mbak. Mau ngambil minum,” ujarnya dengan mata yang sudah berderai.

“Kopinya dua, Ri! Buat laki-laki biar matanya melek, nih.Tadi di jalan Masmu mengantuk,” seru Nur Lela lagi dari depan.

“I-iya, Mbak!” jawab Riri dengan suara yang berbeda. Di dalam sana, dia masih memegangi dadanya yang terasa sesak. Apa begini nasi jadi saudara paling miskin? Dia seolah dijadikan babu oleh saudara-saudaranya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status