Share

Bab 2

“Ri? Anak-anak Ibu sudah datang?” tanya Ibu Saida begitu beliau keluar dari kamar mandi.

Riri mengangguk, “Sudah, Bu.”

“Apa yang bisa Ibu bawa? Sekalian Ibu ke depan.” Beliau menghampirinya yang tengah membuat teh. Namun wajahnya mendadak berubah tatkala takut sengaja melihat mata anaknya sembab. “Loh, kok kamu seperti menangis?”

“Oh, iya, tadi Riri kelilipan, Bu.”

“Owalah, hati-hati kalau begitu. Ini gelasnya Ibu bawa, ya.”

“Iya-iya, silakan, Bu.”

Riri kembali melanjutkan pekerjaannya membuat kopi hitam kesukaan Mas Hamdan. Kakak yang paling ia sayangi dan juga paling menyayanginya. Namun itu dulu—karena keadaannya sekarang sudah sangat berbeda.Terlebih setelah dia menikah.

Usai membuat minum, Riri kembali ke depan dan menghidangkan minuman yang baru saja di buatnya.

“Terima kasih, Riri,” ucap Hamdan.

“Sama-sama, Mas,” jawab Riri berusaha tersenyum.

“Anak-anakmu mana? Kok nggak kelihatan?”

“Fadly dan Fadlan sedang main di rumah tetangga, Mas.”

Nur lela langsung menyahuti, “Ajari anak kamu yang benar dong, Ri.”

Riri mengerutkan dahi, apa yang salah dengan anaknya? Batinnya demikian.

“Masa ada Om dan Tantenya datang dari jauh mereka nggak mau mendekat. Kami ini sengaja menyempatkan waktu di sela-sela kesibukan kami, loh. Harusnya kamu tahu itu.”

“Tadi saya sudah bilang ke mereka, Mbak. Tapi namanya juga anak-anak. Mungkin mereka lagi seru bermain tadi,” jawab Riri dengan ramah. Tidak ketus seperti Mbaknya yang satu ini.

“Sudahlah, masalah begini jangan dibahas,” kata Ibu Saida. “Benar apa kata Riri, namanya juga anak-anak. Nanti juga pasti ke sini, menyusul ibunya.” Beliau mencoba mengalihkan pembicaraan, “Ada kendala nggak tadi kalian di jalan?”

“Alhamdulillah nggak ada, Bu,” jawab Hamdan sambil mengemil kue kering yang tersedia di meja. “Ini kue nastar bikinan siapa? Kok enak?” tanyanya kemudian setelah menelan satu kue tersebut.

“Bikinan adikmu lah, Dan. Memangnya siapa lagi?” jawab Ibu Saida. “Di sini hanya ada Riri yang selalu setia menemani Ibu setiap saat.”

Nur Lela langsung menyambar, “Kalau kamu pintar bikin beginian, kenapa nggak dijadikan usaha saja, Ri? Kan lumayan, uangnya bisa buat tambah-tambah pemasukanmu. Daripada mengandalkan gaji suamimu yang pas-pasan itu.Ya nggak, Ti?” dia bertanya kepada adik ipar perempuannya.

Di senggol membuat Tian ikut berkomentar, “Iya, Ri. Nanti kue-kuenya bisa kamu titipkan di warung-warung. Tahap utama perkenalanlah. Barangkali nanti jadi jalan rezekimu.”

Riri mengangguk, “Kebetulan memang usaha ini yang sedang Riri jalani sekarang, Mbak,” jawabnya dengan suara tenang.

“Oh, gitu?” jawab Nur Lela agak merasa tertohok dengan ucapan Riri barusan. Ternyata dia tidak seawam yang ia kira. “Sudah berapa lama?”

“Belum lama, sih, Mbak. Doakan, ya, semoga dagangan Riri laris.” Riri tetap menanggapinya dengan santai meskipun dihadapkan dengan orang-orang ketus. Mereka adalah saudaranya, jadi Riri mengenal betul siapa mereka yang pada dasarnya mempunyai gaya berbicara nyelekit hati.

“Ya sudah, Mbak pesan kue nastarmu ini sepuluh stoples,” kata Nur Lela. Kemudian menoleh kepada adik iparnya, “Kamu mau pesan sekalian, nggak? Kasihan, biar anak Si Riri bisa jajan.”

“Iya, deh,” jawab Tian. “Aku juga sepuluh.”

“Total 20, ya. Nanti kalau sudah selesai kamu langsung kirim aja pakai gosen. Nanti aku yang bayar, aku tahu kamu kan susah sekarang. Ngeyel sih, dibilangin suruh nikah sama Putra nggak mau, malah milih nikah sama Ilham yang Cuma—”

“Nur!” sela Ibu Saida. “Jangan dilanjutkan, tidak baik mengungkit-ungkit yang sudah lalu. Bikin sakit hati orang yang mendengarnya. Apalah yang mau disesalkan, Riri sudah punya dua anak sekarang. Mereka baik-baik saja meskipun hidupnya sederhana.”

Seketika semua perempuan-perempuan di sana terdiam. Begitu juga dengan Riri yang terus menunduk. Menahan rasa sesak di dadanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status