“Ri? Anak-anak Ibu sudah datang?” tanya Ibu Saida begitu beliau keluar dari kamar mandi.
Riri mengangguk, “Sudah, Bu.”“Apa yang bisa Ibu bawa? Sekalian Ibu ke depan.” Beliau menghampirinya yang tengah membuat teh. Namun wajahnya mendadak berubah tatkala takut sengaja melihat mata anaknya sembab. “Loh, kok kamu seperti menangis?”“Oh, iya, tadi Riri kelilipan, Bu.”“Owalah, hati-hati kalau begitu. Ini gelasnya Ibu bawa, ya.”“Iya-iya, silakan, Bu.”Riri kembali melanjutkan pekerjaannya membuat kopi hitam kesukaan Mas Hamdan. Kakak yang paling ia sayangi dan juga paling menyayanginya. Namun itu dulu—karena keadaannya sekarang sudah sangat berbeda.Terlebih setelah dia menikah.Usai membuat minum, Riri kembali ke depan dan menghidangkan minuman yang baru saja di buatnya.“Terima kasih, Riri,” ucap Hamdan.“Sama-sama, Mas,” jawab Riri berusaha tersenyum.“Anak-anakmu mana? Kok nggak kelihatan?”“Fadly dan Fadlan sedang main di rumah tetangga, Mas.”Nur lela langsung menyahuti, “Ajari anak kamu yang benar dong, Ri.”Riri mengerutkan dahi, apa yang salah dengan anaknya? Batinnya demikian.“Masa ada Om dan Tantenya datang dari jauh mereka nggak mau mendekat. Kami ini sengaja menyempatkan waktu di sela-sela kesibukan kami, loh. Harusnya kamu tahu itu.”“Tadi saya sudah bilang ke mereka, Mbak. Tapi namanya juga anak-anak. Mungkin mereka lagi seru bermain tadi,” jawab Riri dengan ramah. Tidak ketus seperti Mbaknya yang satu ini.“Sudahlah, masalah begini jangan dibahas,” kata Ibu Saida. “Benar apa kata Riri, namanya juga anak-anak. Nanti juga pasti ke sini, menyusul ibunya.” Beliau mencoba mengalihkan pembicaraan, “Ada kendala nggak tadi kalian di jalan?”“Alhamdulillah nggak ada, Bu,” jawab Hamdan sambil mengemil kue kering yang tersedia di meja. “Ini kue nastar bikinan siapa? Kok enak?” tanyanya kemudian setelah menelan satu kue tersebut.“Bikinan adikmu lah, Dan. Memangnya siapa lagi?” jawab Ibu Saida. “Di sini hanya ada Riri yang selalu setia menemani Ibu setiap saat.”Nur Lela langsung menyambar, “Kalau kamu pintar bikin beginian, kenapa nggak dijadikan usaha saja, Ri? Kan lumayan, uangnya bisa buat tambah-tambah pemasukanmu. Daripada mengandalkan gaji suamimu yang pas-pasan itu.Ya nggak, Ti?” dia bertanya kepada adik ipar perempuannya.Di senggol membuat Tian ikut berkomentar, “Iya, Ri. Nanti kue-kuenya bisa kamu titipkan di warung-warung. Tahap utama perkenalanlah. Barangkali nanti jadi jalan rezekimu.”Riri mengangguk, “Kebetulan memang usaha ini yang sedang Riri jalani sekarang, Mbak,” jawabnya dengan suara tenang.“Oh, gitu?” jawab Nur Lela agak merasa tertohok dengan ucapan Riri barusan. Ternyata dia tidak seawam yang ia kira. “Sudah berapa lama?”“Belum lama, sih, Mbak. Doakan, ya, semoga dagangan Riri laris.” Riri tetap menanggapinya dengan santai meskipun dihadapkan dengan orang-orang ketus. Mereka adalah saudaranya, jadi Riri mengenal betul siapa mereka yang pada dasarnya mempunyai gaya berbicara nyelekit hati.“Ya sudah, Mbak pesan kue nastarmu ini sepuluh stoples,” kata Nur Lela. Kemudian menoleh kepada adik iparnya, “Kamu mau pesan sekalian, nggak? Kasihan, biar anak Si Riri bisa jajan.”“Iya, deh,” jawab Tian. “Aku juga sepuluh.”“Total 20, ya. Nanti kalau sudah selesai kamu langsung kirim aja pakai gosen. Nanti aku yang bayar, aku tahu kamu kan susah sekarang. Ngeyel sih, dibilangin suruh nikah sama Putra nggak mau, malah milih nikah sama Ilham yang Cuma—”“Nur!” sela Ibu Saida. “Jangan dilanjutkan, tidak baik mengungkit-ungkit yang sudah lalu. Bikin sakit hati orang yang mendengarnya. Apalah yang mau disesalkan, Riri sudah punya dua anak sekarang. Mereka baik-baik saja meskipun hidupnya sederhana.”Seketika semua perempuan-perempuan di sana terdiam. Begitu juga dengan Riri yang terus menunduk. Menahan rasa sesak di dadanya.Tanpa Riri ketahui sebelumnya, ternyata kedatangan Ustaz Syarif datang ke sini selain menjenguk muridnya yang baru saja di khitan, beliau juga mempunyai maksud lain. Yakni mengantar keponakannya untuk melamar sang pujaan hati. Apabila ada yang bertanya, di mana orang tua Panji, mereka sudah tiada semenjak lama. Oleh karenanya, Panji menggandeng Pamannya sebagai wakil orang tua satu-satunya. Hmm. jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Riri dan keluarga. Terkejut? Ya, tentu saja. Itu sudah pasti.Riri tidak menyangka bahwa dia dilamar secara dadakan seperti ini tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, mereka memang sempat berkomunikasi lewat pesan singkat. Namun Panji hanya menanyakan kesediaannya jika ia datang ke rumah. Tetapi sungguh, Riri tidak paham karena ternyata inilah yang dimaksud oleh pria itu. Jangankan bertanya bagaimana perasaannya atau kesiapannya untuk menikah lagi setelah bercerai dengan Ilham—dekat saja—rasanya tidak pernah. Dia ma
Tidak ada gairah hari ini, yang dilakukan Riri hanyalah menangis, menangis dan menangis setelah suaminya itu benar-benar pergi dari rumah. Berkali-kali dia menyadarkan dirinya agar tidak terlalu berlebihan menyikapi sejumlah permasalahan yang sedang ia hadapi. Namun berkali-kali juga kenangan indah terbayang di pikirannya. Tidak mudah baginya menghapus semua kenangan yang biasa ia lakukan bersama selama enam tahun belakangan ini bersama Ilham. Di sini, di tempat ini.Bagaimana mungkin seorang Ilham yang ia kenal begitu lembutnya mencintai dirinya tega berbuat demikian? Riri sama sekali tidak menyangka.Betapa awal pertemuan mereka sangat indah. Bekerja sambil menjalin cinta. Pulang pergi berboncengan bersama. Tak lama kemudian menikah, bulan madu, pindah rumah sendiri, lewat satu bulan setelanya ia langsung hamil Fadly. Mereka merasakan kebahagiaan luar biasa saat pertama kali menjadi orang tua. Selang beberapa tahun kemudian, mereka kembali di anugerahi seorang anak laki-laki lag
(Dobel upini lho...🥰🌺🤭)‘Lihatlah, Mas. Anak-anak kita yang jadi korban keegoisanmu sekarang, apa kamu nggak kasihan sama mereka?’Riri cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya, sebelum Ilham bertambah marah dan membuat anaknya menjadi semakin takut. “Kita langsung makan saja, ya, Nak. Nanti habis itu, bobo siang sama Adek di rumah Nini, Okay?”Fadly mengangguk, anak itu tak membantah sama sekali perintah ibunya. Tapi dalam hati ia telah menyimpan benci kepada ayahnya karena pria itu telah memperlakukan wanita yang dicintainya dengan cara tidak baik. “Bu, Fadly sama Fadlan di sini dulu, ya. Aku masih ada urusan,” kata Riri setelah ia berada di rumah Ibu Saida.“Iya, nggak papa, Nak. Toh, di sini juga ada Mbakmu yang jagain mereka,” jawab Ibu Saida tersenyum. Sebagai seorang ibu sekaligus orang yang rumahnya paling dekat, beliau paham apa yang sedang terjadi dengan rumah tangga putrinya. Namun, beliau enggan mengikut campuri hubungan mereka. Sebab, mereka sudah sama-sama dewasa dan t
Mati-matian Riri menahan sebak di dadanya. Dalam keadaan demikian, wajah anak-anaknya membayang di pikiran, bagaimana nasib mereka nanti dan dengan cara apa Riri menjelaskannya?Ah, Ya Tuhan... seperti inikah Mas Ilham sebenarnya yang dia cintai selama ini?“Bukankah kamu tahu, Mas Ilham sudah beristri?” tanya Riri setelah dapat menguasai dirinya lagi.Perempuan yang bernama Lira itu mengangguk. “Maaf, Mbak... tapi hanya laki-laki seperti Mas Ilham yang dapat menerima sepenuhnya keadaanku. Kasihanilah aku, aku bukan wanita sempurna sepertimu yang bisa memiliki anak. Kelak, jika aku tidak menikah dengan Mas Ilham, aku akan hidup sendiri dan terlunta-lunta sampai tua.”“Apa pun alasannya, ini tidak bisa dibenarkan. Tidakkah kamu pikirkan perasaanku?” Riri bertanya dengan nada menyentak. “Apa kamu sadar, perbuatanmu ini tercela. Kamu merebut suami orang. Kamu bahagia di atas penderitaan orang lain. Coba kita ganti posisi. Aku yakin kamu nggak akan bisa berbicara seperti ini sekarang.”“A
“Ri, maaf, Ri... iya, aku salah aku tadi terlalu keras ke kamu. Buka pintunya, Sayang.” ‘Aku nggak peduli, Mas. Aku nggak peduli.’Riri kembali mematikan ponselnya dan menyembunyikannya di tempat yang paling susah dijangkau. Wanita itu duduk di ranjang, menghela napasnya dalam dan berusaha tenang meski tangis tetap tidak bisa ia cegah mencuat keluar dari tempat persembunyiannya. ‘Hancur sudah mimpi-mimpi yang pernah kita bangun, Mas. Aku sangat paham bahwa kamu ingin hidup lebih baik dari sebelumnya, agar tidak ada lagi yang menghina keluarga kita. Tapi cara yang kamu gunakan salah, karena kamu justru menghancurkan rumah tangga ini. Kamu telah menodainya.Aku percaya setiap pernikahan pasti akan di uji—seperti pernikahanku sekarang. Aku sempat mengira ujian ini sudah hampir selesai karena aku lihat saudaraku, Mbak Nur Lela sudah mulai berubah. Tapi masalah lain ternyata datang dari kamu.‘Tuhan... biarkan aku tidur dulu sejenak untuk menenangkan pikiran.’Riri merebahkan diri ke ran
“Mumpung aku lagi libur, aku mau main ke rumah Mama. Kamu mau ikut apa nggak?” ucap Ilham begitu Nur Lela pergi dari rumah. “Aku mau menginap di sana dua hari, kasihan mereka sudah lama nggak di tengok.”“Aku kan, sudah bilang tadi. Aku lagi banyak pesanan, Mas,” jawab Riri begitu sabar walau masih sangat dongkol dengan pria ini. Dia pun heran: ‘Kenapa sih, hampir semua orang di sekelilingku jadi toxic?’ Ilham kembali berujar, “Apa kamu nggak mau mengunjungi mertuamu? Sudah lama kita nggak ke sana.”“Yang pasti pengin, tapi bukan sekarang. Lagi pula besok anak-anak juga harus sekolah lagi, harus ngaji juga. Kasihan kalau sampai libur dua hari, nanti bisa ketinggalan pelajaran. Kalau memang Mas Ilham mau mengajak kami menginap boleh, tapi nanti kalau ada libur panjang,” jelas Riri dengan uraian panjang. “Ya sudah kalau begitu, aku juga nggak mungkin memaksamu. Tolong siapkan pakaianku, ya. Bawakan baju santai dua setel, baju formalnya satu setel saja,” titah Ilham yang diangguki oleh
Tok tok tok!Pintu yang terdengar diketuk membuat Riri cepat-cepat mengusap air matanya. Dia terlebih dahulu merapikan wajahnya lagi sebelum akhirnya membukakan pintu. Meski perasaan dongkol tidak bisa ia sembunyikan, namun jika Ilham menyadari hal itu.“Kamu kenapa langsung masuk ke dalam?” tanya Ilham begitu melihat istrinya muncul dari balik pintu, “anak-anak belum kamu gantikan bajunya. Masa main pakai baju koko putih begitu, nanti kotor.”“Iya, Mas,” jawab Riri singkat dan menghindari kontak mata dengan pria ini. Sungguh ia benci sekali wajah suaminya yang entah kenapa dan semenjak kapan terlihat menyebalkan di matanya.“Kenapa wajahmu kusut begitu?” tanya Ilham yang ternyata peka dengan keadaan istrinya sekarang ini. “Nggak suka aku beli motor baru?” tebaknya kemudian.“Nggak, aku Cuma agak kurang enak badan aja, kok.”“Bohong,” Ilham beranggapan, “Apa kamu hamil lagi? Kok jadi sensitif banget akhir-akhir ini. Kebanyakan mikir yang enggak-enggak.”Riri menggelengkan kepala, baga
Panji langsung mengajak murid barunya masuk ke dalam Masjid. “Baru iqra kan? Kalau iqra mah insyaallah Om juga bisa.”“Ngajinya sama Ustaz Om?” tanya Fadly polos membuat kedua orang dewasa itu sontak tertawa karena terdengar lucu.“Panggil Om aja, Nak. Nggak usaha ada Ustaznya di depan. Kepanjangan.”“Yeaay!” Kedua anak itu sangat riang. Lantas mengaji seperti seharusnya.Namun siapa sangka mereka malah kecanduan, karena keesokan harinya, mereka pun meminta berangkat ke sana lagi untuk mengaji dengan Om Panji selama Ustaz Syarif masih sakit. Meski pada akhirnya Riri harus banyak minta maaf karena ini lumayan mengganggu waktu pria itu selepas ashar.“Nggak papa, Cuma setengah jam mengajarkan mereka,” kata Panji pada suatu sore besoknya. “Nggak terlalu mengganggu waktuku. Toh, aku juga kalau sudah pulang nggak mungkin berangkat lagi ke kantor.”“Bukan begitu, nanti dikira aku sama kamu... ya, kamu tahu sendirilah orang kampung itu kayak gimana. Semua pasti akan dikomentari.”“Jangan ter
Jangan lupa tekan love nya ya!Hppy reading!“Anak-anak ... mandi dulu, Nak! Fadly, Fadlan!” Riri berseru memanggil anaknya yang sedang main di belakang rumah. “Udahan dulu ya, mainnya.”Fadly yang notabenenya adalah seorang kakak, dia bisa bersikap lebih dewasa dan lebih mengerti dari pada Fadlan. Oleh karenanya, dialah yang menggiring adiknya tersebut pulang walau dia tahu, betapa susahnya untuk membujuk bocah ini sedang seru-serunya bermain. “Ade ... ayo, De ... mandi dulu, nanti kita bisa main lagi setelah mandi. Kasihan mamanya teriak-teriak dari tadi, De ....”“Ade kan masih mau main ini.” Fadlan menunjukkan mobil beko baru yang dibelikan oleh papanya kemarin. Mainan baru membuat anak ini lupa segalanya. Seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak lain ketika ia sedang menyukai suatu mainan, maka dia akan memainkannya sampai benar-benar bosan. “Ini nanti bisa dimainin lagi kalau kita sudah mandi. Nanti kita main yang lebih seru, tapi di dalam, ya!” bujuk Fadly lagi. Dia mengin