Share

Bab 4

Penulis: Krisna
"Kak Mawar, semoga kamu tidak kenapa-napa!"

Baru saat itu Dhana teringat Mawar.

Dengan satu lompatan, dia tampak memperkecil jarak dan tiba di air terjun hanya dalam beberapa detik.

Sayangnya, tidak terlihat Mawar maupun Anton di mana pun.

Saat itu, langit sudah mulai gelap.

Dhana mencari-cari di sekitar, tapi tidak menemukan jejak keduanya. Dia hanya bisa mengambil keranjang bambunya dan kembali ke Desa Mawar.

Mungkin Mawar sudah pulang. Dia harus pergi ke rumahnya dan memastikan.

Semoga wanita itu baik-baik saja.

...

Setengah jam kemudian, dia tiba di Desa Mawar.

Begitu memasuki gerbang desa, dia melihat Bima Suseno berjongkok di bangku batu di depan pintu rumah, merokok dengan wajah muram.

Sebelum Dhana bisa bicara, Bima bertanya, "Dhana Bodoh, ke mana saja kamu? Kamu kotor sekali."

Dhana menurunkan keranjang dan menepuk-nepuk bekas tanah yang menempel di pakaiannya.

"Cari jamur di gunung. Hampir tersesat."

Bima mengambil keranjang bambu itu, melirik isinya tanpa minat.

"Lumayan juga."

Wajahnya kembali muram saat mengatakan itu.

Empat tahun lalu, pernikahannya dengan Puspita Karsa si cantik jelita telah menimbulkan kegemparan di desa, menarik iri dari semua orang.

Sayangnya, masa-masa indah itu tidak berlangsung lama. Masalah segera datang bertubi-tubi.

Setahun kemudian, karena Puspita masih belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, pasangan itu pergi ke rumah sakit untuk periksa kesuburan.

Hasilnya...

Bima ternyata mandul.

Dengan kata lain, hampir mustahil bagi pasangan itu untuk hamil, dan dokter menyarankan agar mereka menjalani bayi tabung.

Bima bersedia melakukan apa saja untuk memiliki anak.

Selama tiga tahun berikutnya, pasangan itu bekerja sangat keras, berhemat dan menabung untuk menjalani bayi tabung dua kali, menghabiskan total 300 juta.

Sialnya, meski sudah mengeluarkan uang sangat banyak, program bayi tabung itu tetap gagal.

Semua orang menertawakan mereka, mengatakan mereka telah ditipu oleh rumah sakit tidak bermoral itu.

Karena patah semangat, pasangan itu hanya bisa menyerah.

Dua bulan lalu, mereka bertengkar hebat.

Puspita mengancam Bima. Jika Bima tidak bisa memenuhi kewajibannya, dia akan mencari pria lain agar punya anak atau menceraikannya.

Puspita sangat cantik, mana mungkin Bima mau bercerai?

Di zaman sekarang, mencari istri bukanlah hal yang mudah, apalagi yang secantik Puspita.

Semua orang di desa tahu dia mandul. Jika dia bercerai dengan Puspita, dia tidak akan pernah bisa menemukan istri lain.

Melihat si bodoh Dhana, Bima mendapat ide di luar nalar.

Karena Puspita ingin punya anak dengan pria lain, kenapa tidak suruh si bodoh ini saja? Dia bodoh dan tidak akan bicara macam-macam setelahnya.

Melihat ekspresi muram Bima, Dhana bertanya, "Bertengkar lagi dengan istrimu?"

Terlarut dalam kesedihannya sendiri, Bima tidak menyadari bahwa Dhana berbicara dengan lancar dan tidak bodoh lagi.

Dia mengembuskan asap, melempar rokok yang masih setengah terbakar ke tanah, menginjaknya, lalu mendesah panjang.

"Iya. Bahkan kamu saja tahu."

Lalu nada suaranya berubah. "Dhana Bodoh, bantu aku buat Puspita hamil. Nanti aku belikan semua makanan enak dan kukasih uang banyak."

Sambil berbicara, Bima merogoh sakunya dan mengeluarkan 400 ribu, lalu menyerahkannya kepada Dhana. "Ini, ambil buat beli permen."

Dhana tercengang.

Di Desa Mawar, Puspita adalah kembang cantik.

Jika memang bisa, tentu saja dia menantikannya.

Tapi begitu pikiran itu terlintas, dia mengutuk dirinya sendiri.

Bisa-bisanya dia berpikiran seperti itu?

Puspita adalah istri Kak Bima. Bisa-bisanya dia memikirkan hal yang tidak pantas, apalagi melakukan tindakan yang keterlaluan?

"Kak Bima, aku tadi jatuh di gunung dan pikiranku tiba-tiba jadi jernih. Aku bukan orang bodoh lagi. Jangan gegabah begitu Kak, nggak baik."

Mendengar ini, Bima tertawa gembira. "Otakmu kembali normal? Syukurlah!"

"Dhana, kamu beneran sembuh?"

Dhana mengangguk dengan tegas. "Beneran sembuh. Lagian, aku kuliah kedokteran. Aku bisa bantu menyembuhkan penyakitmu. Jadi tolong, jangan minta aku melakukan yang nggak-nggak."

Mendengar jawaban Dhana, Bima semakin gembira. Dia mengulurkan tangan kekarnya dan merangkul bahu Dhana dengan erat.

"Baguslah kalau kamu sembuh. Kamu harus bantu aku. Nanti pasti kukasih imbalan banyak."

Bima mengatakan itu, lalu melirik ke dalam rumah. Melihat tidak ada tanda-tanda Puspita, dia merangkul Dhana semakin dekat dan berbisik dengan nada misterius, "Ayo kita bicara di sana."

Dhana mengikuti Bima ke sudut yang sepi dengan agak enggan.

"Kak Bima, ini nggak benar."

Bima berkata dengan sedih, "Sejak beberapa bulan yang lalu, Puspita mulai ribut mau cari laki-laki lain biar bisa hamil."

"Daripada cari laki-laki lain, mending kamu saja."

Dhana tampak sangat canggung.

Tapi, otaknya tidak bisa menahan pikiran tentang tubuh menggoda Puspita. Setiap senyum dan kerutan di dahi wanita itu adalah pemandangan yang indah.

"Kak, aku bisa sembuhkan penyakitmu. Jangan minta yang macam-macam. Ayo aku obati sekarang, biar kamu bisa cepat sembuh."

Bima tidak percaya sepatah kata pun. Meskipun Dhana kuliah kedokteran, dia belum pernah bekerja di rumah sakit.

Lagi pula, Bima selama ini selalu mengonsumsi obat tanpa ada peningkatan sama sekali. Bagaimana mungkin Dhana bisa menyembuhkannya?

Bima tidak menghiraukan saran Dhana.

"Jangan bahas soal obat lagi. Jawab saja, kamu mau bantu atau nggak? Kalau nggak, aku nggak menganggapmu teman lagi!"

Nada Bima tegas, tidak mau mendengar penolakan dari Dhana.

"Dhana, aku mohon. Kamu nggak akan rugi sedikit pun. Kalau berhasil aku kasih kamu 4 juta."

Bukan karena Bima keras kepala, tapi Puspita telah menyebutkannya berulang kali dan mungkin akan benar-benar melakukannya.

Jika tidak, mereka mungkin akan benar-benar bercerai.

Bima merasa lebih baik mati daripada bercerai.

Daripada melakukan itu, lebih baik meminta bantuan Dhana.

Dhana sebenarnya agak tergoda.

Apalagi, dia masih perjaka di usia 23 tahun.

"Kak, ini bukan masalah uang. Apa Kak Puspita setuju? Jangan sampai ini jadi masalah di antara kalian."

Mendengar bahwa Dhana sepertinya setuju, Bima menghela napas lega.

Dia mengulurkan tangan kekarnya dan menepuk bahu Dhana.

"Tenang saja, aku punya rencana."

"Tapi, menurutku ini tetap nggak benar."

"Nggak ada tapi-tapi!" seru Bima dengan gembira. "Percayalah padaku. Aku jamin dia pasti setuju."

Dengan itu, Bima menarik Dhana ke halaman rumahnya.

"Tunggu di sini. Biar kubicarakan dulu dengannya. Cuma beberapa menit, jangan pergi, oke?"

"Oke, aku tunggu kabar baiknya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 50

    "Kalian bertiga, kenapa nggak hajar dia?"Dhana menatap ketiga pria yang berlutut di tanah dan memberi mereka perintah dengan tenang. Tentu saja, Jono yakin Dhana tidak mungkin bisa memerintah anak buahnya.Tapi, peristiwa yang benar-benar mengejutkan kembali terjadi.Seperti kerasukan, tiga pria itu melompat berdiri secepat kilat. Mereka menyingsingkan lengan baju dan mengencangkan otot, melancarkan serangan brutal kepada Jono, menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tendangan.Tubuh Jono membeku kaku. Suaranya tersangkut di tenggorokannya. Tak peduli seberapa keras dia dipukuli, dia tidak bisa berteriak.Saat itulah Jono akhirnya mengerti.Kejadian kerasukan di pasar dan perkelahian barusan, semuanya ulah Dhana.Jono menatap Dhana, matanya memohon belas kasihan.Setelah satu menit, Dhana mencabut mantra hipnotisnya.Dalam sekejap, ketiga anak buah Jono kembali berlutut di hadapannya, masing-masing menampar wajah mereka sendiri."Bang Jono, kami beneran kerasukan.""Bang Jono, tolong a

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 49

    "Sialan, sedang apa kalian? Ah!"Jono berteriak, mengayunkan tinju ke arah salah satu anak buahnya. Dalam sekejap, dia membuat pria itu terjatuh ke tanah.Namun, anak buah yang terjatuh itu seperti kerasukan, langsung bangkit kembali begitu menyentuh tanah dan mengayunkan tinjunya lagi kepada Jono.Dua orang lainnya juga melancarkan serangan dengan keras.Akhirnya, keempat pria itu bergulat bersama.Suara pukulan, tendangan, serta jeritan ketiga pria itu datang silih berganti.Jono yang sendirian menghadapi tiga lawan, segera merasa kewalahan.Menyaksikan para pria itu berkelahi, Dhana hanya tersenyum dingin. 'Kalau kalian masih angkuh, biarkan saja kalian berkelahi lebih lama.'Ayo, pukul. Pukul sekeras-kerasnya.Ratna berdiri di belakang Dhana, wajahnya membeku karena ngeri.Dia benar-benar tidak mengerti mengapa empat orang itu tiba-tiba saling menyerang.Secara logika, ketiga anak buah Jono tidak akan pernah berani menyerang bos mereka sendiri.Tapi, nyatanya mereka terjebak dalam

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 48

    Suaranya manis dan sangat merdu.Berkat teriakan mereka berdua, beberapa orang berkumpul di sekitar.Dalam waktu sepuluh menit, mereka menghasilkan beberapa ratus ribu.Meskipun beberapa orang curiga tentang keaslian ikan karena harganya yang terlalu murah, mereka tetap membeli karena tergiur harga murah.Keadaan berangsur-angsur membaik. Dhana menghela napas lega.Saat Dhana sedang sibuk, Jono datang dengan anak buahnya, menyerbu dengan marah.Dhana mengerutkan kening saat melihat rombongan itu mendekat.Para pengganggu ini perlu diberi pelajaran. Kalau tidak, mereka akan terus mengganggunya tanpa henti.Peringatan sebelumnya tampaknya belum cukup.Meskipun Dhana telah menakuti mereka, Jono dan anak buahnya mungkin belum menyadari apa yang terjadi. Jika sudah sadar, mereka tidak akan berani mengejar ke sini."Gawat, Jono datang lagi."Ratna bergumam dengan gemetar melihat Jono dan orang-orangnya."Jangan khawatir, mereka nggak akan bisa bikin masalah."Dhana berbalik dan melindungi Ra

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 47

    Apa yang terjadi?Di luar pasar, tidak jauh dari sana.Dhana dan Ratna memarkir sepeda motor di tepi jalan dan mulai menjajakan barang dagangan mereka lagi. Meski tidak banyak orang di luar, mereka berhasil menjual beberapa ekor ikan.Dalam sepuluh menit, mereka menjual lima ekor ikan lagi.Namun, Dhana sangat tidak puas dengan kecepatan ini.Muatan mereka beratnya lebih dari 500 kilogram. Jika terjual seluruhnya, bisa menghasilkan setidaknya 20 juta.Tapi, jika penjualannya selambat ini, kapan seluruh muatan akan terjual? Sepeda motor mereka tidak dilengkapi dengan peralatan oksigenasi.Jika terlalu lama, ikan-ikan itu akan kehabisan oksigen dan mati. Lalu harganya akan anjlok drastis.Bahkan, mungkin saja tidak ada yang mau beli.Dhana sudah bekerja keras menangkap ikan-ikan berkualitas tinggi ini. Dia tidak ingin, hanya karena kejadian tak terduga tadi, dia gagal menjual ikan-ikannya.Ratna berdiri di samping, sama-sama merasa cemas.Dibandingkan dengan harga jual ikan, dia lebih kh

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 46

    Jono mengerutkan keningnya dan melirik para anak buahnya di samping, lalu menyadari bahwa mereka juga berdiri terpaku, sama sepertinya.Pemandangan itu membuat keringat dingin membanjiri punggung Jono sekali lagi.Kenapa situasinya jadi aneh seperti ini?Apa yang sebenarnya terjadi?Dia tidak bisa bergerak saja sudah gawat, kenapa anak buahnya juga sama, tidak bisa bergerak dan bicara?Sulastri ikut menyaksikan pemandangan mengejutkan itu.Apa yang sebenarnya terjadi?Dengan sikap biasanya, Jono tidak akan mungkin membiarkan dua orang itu pergi. Muatan sepeda motor itu berisi ikan senilai lebih dari 20 juta.Mana mungkin dia biarkan mereka pergi begitu saja?Sulastri memberi isyarat kedipan mata kepada Jono, tapi Jono dan anak buahnya tetap membeku, tidak bergerak sama sekali.Sulastri merasa cemas, tapi tidak bisa apa-apa.Dia tidak bisa mengingatkan Jono di depan semua orang untuk menghentikan sepeda motor itu dan lanjut memaksa meminta uang.Dhana duduk di atas sepeda motor roda tig

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 45

    "Sulastri yang dagang ikan itu sepupunya Bang Jono. Jelas, si Sulastri yang panggil Bang Jono ke sini.""Dua anak muda ini dalam masalah besar."Setelah menerima warisan, kondisi fisik Dhana mengalami transformasi total. Tulang-tulangnya digantikan oleh Tulang Naga Agung, dan darahnya menjadi darah Phoenix Emas Langit Sembilan.Oleh karena itu, indra penciuman dan pendengaran Dhana melampaui manusia biasa. Percakapan antara pedagang tetangga terdengar jelas di telinganya.Tidak heran Jono datang begitu cepat.Ternyata Sulastri yang memanggilnya.Bahkan di pasar kecil ini, politiknya sangat kuat.Memang, di mana-mana pasti ada politik.Menyaksikan Jono dan anak buahnya bersikap sangat angkuh, Dhana hanya tersenyum simpul. "Bang Jono, aku cuma jualan buat hari ini. Aku bisa kasih 40 ribu. Kalau kamu mau 14 juta, aku nggak punya."Jono bersandar pada bak muatan sepeda motor, memandang ikan-ikan di dalamnya. Matanya langsung berkilat dengan keserakahan.Lalu dia menatap Dhana."Nggak punya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status