Sore hari Zaid mengajar di masjid dekat rumah. Luka memar masih menghiasi pelipis dan tungkai lengannya.
"Assalamualaikum," ucap Zaid saat bertemu anak-anak yang sudah berkumpul di dalam masjid.
"Waalaikumsalam," sahut mereka bersamaan.
"Maafkan Ustad telat hari ini," pintanya.
"Iya Ustadz," sahut seorang santri.
"Ustadz kenapa itu," seorang dari mereka menunjuk pelipis Zaid yang memar.
" Oh, ini, ini Ustadz jatuh." Tangannya menunjuk pelipis. Namun Ia tak ingin membahas mengenai peristiwa itu dengan anak-anak karena akan memperpanjang cerita dan mengurangi waktu mengaji mereka yang juga sudah telat.
"Ternyata Ustadz kayak anak kecil. Bisa jatuh juga." Celetukan itu membuat tawa menggema sementara waktu hingga Zaid menegur mereka untuk berhenti.
Saat pengajian selesai. Ustadz Hafiz teman Zaid menemuinya.
"Kamu kenapa, Za?" Netranya penuh selidik pada bagian memar di tubuh Zaid.
"Aku kecelakaan," jawabnya.
"Kok, bisa sih. Kamu ngebut?"
"Aku ditabrak dari belakang," jawab Zaid memegang tungkai lengannya yang nyeri ditepuk Hafiz.
"Loh, motormu gimana? Jadi kamu ke mari nggak pake motor?" Cecar Hafiz sambil celingukan ke halaman masjid yang tak begitu luas.
Zaid menggeleng. " Rusak. Sekarang di bengkel."
"Tapi ada ganti rugikan?"
Zaid tersenyum dan menggeleng.
"Gimana sih. Mana bisa begitu!" ucap Hafiz.
"Nggak tanggung jawab udah nabrak orang." Keningnya berkerut dan matanya memindai tubuh Zaid. Ia khawatir ada tubuh yang lain lagi yang memar namun temannya itu tak sadar.
"Wajah gantengmu jadi rusak begini," gerutunya lagi.
Zaid hanya tersenyum melihat sahabatnya yang terus mengoceh.
"Apa tabrak lari?" tanya Hafiz masih penasaran dengan kejadian sebenarnya.
"Bukan. Aku ditabrak mobil dari belakang."
"Lalu yang punya mobil ganti rugi?" Ia masih mencecar.
" Dengar dulu, dong. Ceritanya belum selesai." Pemuda tampan dengan luka di pelipis itu menenangkan temannya
"Gadis itu tidak tahu minta maaf, dia malah menjejaliku dengan uangnya. Aku tidak bisa terima kelakuan begitu. Tidak punya perasaan. Walaupun ia minta maaf saja itu sudah cukup bagiku. Tak perlu ia memamerkan hartanya di depan orang miskin sepertiku."
Hafiz tertawa mendengar cerita Zaid hingga semua mata tertuju pada mereka dan membuat Zaid salah tingkah.
"Hei, apanya yang lucu? Kau pun sama dengan gadis itu. Tidak berperikemanusiaan. Kurasa semakin banyak orang yang tak waras di dunia ini, kalau seorang guru ngaji seperti kau pun tak waras," ledeknya kesal pada Hafiz.
"Jadi, yang menabrakmu seorang gadis?" Ia tidak menggapai ocehan Zaid.
Kulit wajah Zaid yang putih bersih kini nampak merah padam karena emosi.
Mata yang sipit bak aktor Korea itu memicing ke arah Hafiz.
"Kau makin marah makin tampan. Kurasa gadis itu bakalan jatuh cinta padamu."
"Ah, sudahlah. Aku pulang dulu." Zaid memutus obrolan mereka. Ia mulai terganggu dengan godaan Zaid.
Memang tak dipungkiri hatinya terus saja terusik oleh wajah gadis itu. Gadis itu tampak seperti boneka barbie yang dipakaikan jilbab dalam pandangannya. Seumur hidup, baru kali ini ia bertemu gadis seperti. Tak dipungkiri jantungnya sedikit berdegup lebih cepat saat melihat gadis itu membuka jendela mobilnya. Bibir mungil dipoles merah merona. Alis mata yang tertata rapi berwarna hitam pekat, mata bulat kecil dengan bukunya yang lentik dan hidung bangir terpasang serasi di wajahnya yang juga imut itu.
Lelaki mana sih yang takkan terpesona melihat wanita cantik. Namun bukan berarti Zaid telah jatuh cinta begitu saja padanya. Bagi Zaid, cinta itu tidak memandang rupa dan penampilan. Ia lebih suka wanita yang biasa saja tetapi memiliki akhlak terpuji dan berhati mulia. Gadis seperti itu bukanlah tipenya.
"kau jadi pulang? Atau kau sedang melakukan gadis itu sekarang," seloroh Hafiz membuat Zaid gerah. Kupingnya menjadi merah karenanya.
"Ayolah cerita. Gadis itu cantik, tidak?" rajuk Hafiz. Zaid sudah bersiap-siap berdiri dan beranjak pergi.
"Kau sudah menikah masih bertanya tentang gadis lain. Ingat, jaga hati dan pandanganmu."
Hafiz terkekeh mendengar perkataan Zaid.
"Aku bertanya bukan untukku. Aku tak mungkin cari wanita lain. Tapi kamu, Mblo. Kamu." tunjuk Hafiz di dada Zaid.
"Ah, sudahlah. Perempuan binal seperti itu tak berharga bagiku." Zaid mengibaskan tangannya.
Ia pergi meninggalkan Hafiz yang masih larut dalam tawa. Rasanya tak pernah puas ia menggoda Zaid tentang wanita. Sahabatnya yang satu itu sangat pemilih. Pantas saja, ia pun punya wajah yang cukup tampan. Zaid memang sangat berkelas. Mesti ia tidak punya pekerjaan tetap, ia enggan merendahkan diri depan orang lain. Penampilannya tetap terjaga, mesti ia tak hanya memakai pakaian itu-itu saja. Namun bersih dan rapi. Ketika ia memakai pakaian takwa banyak gadis-gadis yang terpesona karenanya. Masjid jadi ramai oleh gadis-gadis saat jadwal Zaid azan dan mengajar ngaji anak-anak. Hafiz tidak bisa memungkiri bila Zaid cukup memiliki pesona di depan para gadis. Terutama pada remaja belasan tahun.
"Bang, Bang Zaid!" panggil seorang gadis tanggung usia SMP.
"Sebentar!" teriaknya lagi.
"Bang, Mila melihat pelipis Abang memar. Mila punya plester luka keren untuk Abang," ujarnya.
Ia langsung mendekati wajah Zaid dan mengganti plester luka yang melekat di pelipis Zaid dengan plester miliknya tanpa sungkan. Zaid jadi serba salah dibuatnya. Namun, ia tak dapat menghindar dari gerakan gadis itu yang begitu cepat di wajahnya.
"Nah, sudah. Terlihat lebih tampan." Gadis itu menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah.
"Lekas sembuh ya, Bang. Biar wajah Abang lebih tampan lagi," ucapnya malu-malu dan berlalu dari hadapan Zaid.
Di kejauhan teman-teman Mila tertawa-tawa melihat ulah gadis itu mendekati Zaid.
Hafiz yang sedari tadi memerhatikan, makin tergelak dalam tawa. Ia sulit berhenti tertawa melihat peristiwa di hadapannya tadi.
"Kau harus segera menentukan siapa pasanganmu, Mblo. Gadis yang menabrakmu atau gadis yang memasang plester di wajahmu," tawanya makin menggema, hingga ia tak tahan dan memegang perutnya sendiri.
"Kau ini tak puas juga menggodaku, hah!"
"Antar aku pulang. Semakin lama aku di sini makin gerah dengan ulah makhluk macam kau dan Mila," serunya lagi.
Hafiz menuju ke parkiran dengan tawanya yang masih membahana. Sementara Zaid yang malu memindai sekeliling. Ia ingin memastikan bila ada para santriyang memperhatikan kondisinya yang sedang ditertawakan Hafiz sehabis Mila menempelkan plester di luka memarnya.
Sempat-sempatnya para gadis itu memberikan perhatian kecil padanya. Sebenarnya sudah banyak santriwati yang terang-terangan menunjukkan rasa suka pada Zaid. Bahkan ada yang sudah meminta Zaid melamar mereka tanpa malu-malu. Namun Zaid tak mengindahkanya. Ia merasa belum sanggup bertanggung jawab dengan ikatan pernikahan sebelum hutang-hutangnya lunas terlebih dahulu. Walaupun usianya sudah cukup matang untuk menikah. Bahkan Hafiz pun menasihatinya agar tak menunda pernikahan. Menurutnya wajah Zaid yang ganteng bisa mengundang banyak fitnah di kalangan wanita.
Bersambung...
Sheila turun dari mobil dengan penuh amarah. Ia berteriak-teriak menceracau tak jelas sepanjang perjalanannya menuju kamar dan merusak beberapa pajangan yang ada di ruang tengah. "Kenapa dia?" tanya Mak Cik Limah pada seorang pelayan di dapur. Pelayanan itu menggelengkan kepala. Jelas saja dia tak tahu apa yang terjadi, karena Sheila baru pulang setelah pergi tanpa pamit dari rumah dan menginap di rumah Aisha. Pak Banta melewati Mak Cik Limah yang memandang kepergian Sheila dari bawah tangga. "Ada apa, Pak?""Anak itu sungguh terlalu Limah." "Apa yang telah dia lakukan sebenarnya?"Pak Banta merebahkan tubuh di sofa." Buatkan aku kopi Limah." Pintanya. Makcik Limah bergegas ke dapur. Mengambil cangkir dan menuangkan kopi ke dalamnya dengan kening mengkerut. Limah membawa nampan berisi kopi dan juga sedikit camila ke meja Pak Banta."Aku kehabisan cara menasihati Sheila. Menikah dengan Damar pun kurasa belum tentu efektif menjadikannya lebih baik. Sebagai ayah aku benar-benar ta
"Assalamualaikum," terdengar suara salam di ambang pintu. Daun pintu masih terbuka lebar. Di sana ada sesosok pemuda berdiri dan menatap ke arah Aisha dan Sheila dengan raut khawatir. "Kamu kok kemari? ""Huss. kok gitu tanyanya?" Celutuk Aisha. Damar menunduk. Kemudian menatap Sheila. "Masuk Damar," ajak Aisha. Damar mengangguk dan melangkahkan kakinya masuk. Ia duduk di samping Aisha dan Sheila. Sheila segera melipat kakinya seakan tak terjadi apapun. "Aww!" jerit Sheila. "Kakimu kenapa? Sini aku lihat." Damar mengarahkan tangannya hendak meraih kaki Sheila. Namun Sheila menepis tangan Damar. "Kenapa?" tanya Damar. "Sakit tau!" bentak Sheila. "Oh, maaf." "Kita ke dokter, ya" ajak Damar. "Enggak! " Tolak Sheila. "Sheila di sini aja,""Kakimu terluka, bagaimana aku membiarkan kamu di sini?" Damar kembali membujuk. "Hanya luka kecil. Nanti juga sembuh."Aisha memberi kode dengan kedipan mata pada Sheila agar ia menurut. Aisha tahu kondisi kaki Sheila tidak baik-baik saja
"Kami dan Damar baik-baik saja, kan?" Zaid bertanya kembali."Kenapa aku harus bercerita padamu?" Kilah Sheila."Lalu kamu mau cerita sama siapa? Memangnya kamu punya teman selain aku?" "Not your business," kilah Sheila lagi."Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Zaid mohon izin."Eh, Zaid kamu mau kemana?" "Kamu nggak mau cerita ke aku. Untuk apa lagi aku berada di sini?" "Kamu mau mendengar ceritaku?" "Tentu saja, Sheila. Sampai kapanpun, walaupun aku bukan supirmu lagi aku tetap mau mendengar ceritamu." "Kamu mau kuajak ke suatu tempat?" Mereka berdua pun mampir di sebuah waduk yang indah dekat masjid. Mereka duduk di rerumputan di tepi waduk."Dulu, ibuku sering mengajakku main di tepi waduk ini." Cerita Zaid. "Ketika mulai remaja, aku sering menghabiskan waktu membaca dan menulis di tepi waduk ini. Bagiku waduk ini adalah taman bermain yang tak pernah dapat kuraih seperti anak-anak lain." Zaid mulai bercerita."Dan keindahan waduk ini masih sama seperti dulu." Zaid men
Makan Siang"Masuklah Zaid. Bang Hafiz di kamar mandi. Bentar lagi juga selesai." Aisha membujuk Zaid.Sheila beranjak ke belakang tanpa berkata apa-apa.Zaid diam sebentar."Yuk, masuk," ajak Aisha kembali.Zaid pun melangkahkan kaki ke dalam rumah petak Aisha dan Hafiz."Kamu ini. Kayak tamu aja," celutuk Aisha.Zaid terkekeh, wajahnya nampak memerah dan ia mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Duduk dulu ya, aku ke belakang." "Ada Zaid di depan. Sudah masuk?" tanya Hafiz begitu keluar dari kamar mandi."Udah. Malu, malu diatu." Aisha tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan.Mereka berdua melirik Sheila yang sedang berada di westafel dapur. Sheila membalas lirikan mereka."Kalian berdua mencurigakan, deh," usik Sheila."Sssst. Sini, sini. Kita makan dulu, yuk." Aisha merangkul bahu Sheila dan mengajaknya pindah dari dapur."Sheila belum siap nyupir, nih." "Nggak papa. Nanti aja. Kayak kamu rajin aja nyuci piring. Padahal nggak pernah. Alesan!" goda Aisha.Wajah
"Kamu mau cerita tentang pertunanganmu?" Aisha langsung menebak. "Iih. Rupanya kamu lebih nyebelin dari Pak Rahman." Mereka berdua pun tertawa lepas. "Aku ragu dengan Damar, Aisha," sungut Sheila. "Apakah kau tidak percaya pada Damar?" "Sepertinya aku dan Damar beda tujuan sekarang." Sheila menunduk. "Apakah kalian pernah memiliki tujuan yang sama?" Sheila memandang Aisha, lama. "Aku hanya ingin berubah Aisha. Menjadi perempuan yang lebih berharga. Mencintai diriku sendiri. Apa itu salah?" Aisha hanya tersenyum. "Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain jika diriku saja tak kuhiraukan. Bukankah itu katamu?" Aisha kembali tersenyum. "Aku memang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Namun bukan berarti aku boleh menghancurkan diriku sendiri. Aku sudah dewasa dan dapat memilah apa yang terbaik untukku." Aisha menunduk dan tersenyum. "Jalan hijrah memang tidak mudah Sheila. Kau akan menemui banyak tantangan. Jalan hijrah adalah jalan menuju Allah dan Ras
"Kamu ngapain kemari?" Sheila mempertanyakan keberadaan laki-laki yang telah menjadi tunangannya."Memang ya Aku nggak boleh ya, jenguk tunangan sendiri?" Pria itu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada Sheila yang duduk di sofa. Ia menyentuh ujung hidung Sheila."Ih, jangan sentuh-sentuh," rutuk Sheila menghapus bekas sentuhan di hidungnya."Sedikit aja pun." "Sedikit pun nggak boleh. Lihat si Zaid itu. Kalau aku tarik lengannya saja langsung ditepisnya. Padahal nggak bersentuhan langsung," ujar Sheila." Zaid. Dia itu kampungan." Damar tidak mau kalah."Lagi pula kamu sudah jadi tunanganku," sambungnya lagi."Aku, aku nggak mau jadi gadis murahan." Damar tertawa mendengar perkataan Sheila."Siapa yang bilang kamu gadis murahan?" Damar semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Sheila. Membuat Sheila mengkerut."Aku tidak akan melamarmu jika kamu murahan, Sheila. Aku menyentuhmu sedikit kupikir bukan masalah besar. Cepat atau lambat kita kan pasti menikah."Damar terus mencecar Sheila."S