Ran turun dari bus tepat di depan sekolah. Jantungnya berdegup kencang, ketika mendapati gerbang sekolah yang mulai ditutup oleh satpam. Namun, siswa yang bergerombol dan berdesakan masuk, mengakibatkan gerbang susah ditutup.
Ran diam sejenak untuk mencari cara agar bisa menembus gerombolan itu.
Kemudian Ran berlari menuju gerbang, dengan pikiran bisa membuat gerombolan siswa itu tumbang. Naasnya, Ran terjatuh akibat menginjak tali sepatunya sendiri, hingga lututnya berdarah. Namun Ran tidak ada waktu untuk meratapi rasa perih di lututnya, dan langsung bangkit untuk menerjang gerombolan itu.
Perkiraannya salah, ia malah terjebak diantara gerombolan itu. Bau keringat langsung menyengat hidungnya, tidak tertahankan lagi.
Ran berjongkok untuk mencari jalan di sela – sela kaki para siswa yang juga terlambat itu. Ia merangkak, tidak memperdulikan lututnya yang sakit karena terkena kerikil. Tujuannya hanyalah bisa lolos dari gerbang itu, sebelum guru BK darang.
Setelah berhasil menembus gerombolan itu, Ran mengehmbuskan napas lega sembari merapikan seragamnya.
“Uwek!!! Gak enak banget baunya,” tukasnya kesal ketika sisa-sia bau keringat yang tercium dari seragamnya.
Seketika ia tersentak ketika mendapati seorang guru BK yang melirik kearahnya, bersamaan dengan suara bel yang dibunyikan.
Mati aku, batin Ran.
Peraturannya, jika bel sudah dibunyikan, tidak boleh ada siswa yang masih berkeliaran di area sekolah, karena doa pagi bersama di kelas dilaksanakan tepat setelah bel berbunyi. Bagi siswa yang tertangkap masih di luar kelas, akan dihukum bersama siswa yang terlambat.
Hukumannya pun cukup menguras jam pertama pelajaran. Akan dibagi beberapa kelompok untuk membersihkan area sekolah seperti kebun, kamar mandi, halaman sekolah, dan green house yang jumlahnya ada 3. Belum lagi hukuman dari guru yang mengajar di kelas. Mereka yang tidak beruntung, dan mendapatkan guru disiplin akan mengerjakan tugas tambahan di rumah seperti mengerjakan soal – soal atau merangkum buku, dengan deadline keesokan harinya.
Tidak banyak juga siswa yang kabur, atau memilih membolos demi menghindari hukuman-hukuman itu.
Ran mencoba mencari tempat sembunyi untuk menghindari ketiga guru BK itu. Namun setelah memperhitungkan jarak kamar mandi dengan posisinya sekarang, ia lemas.
Siapa sih yang membangun lapangan sekolah selebar itu, rutuknya dalam hati.
Dalam keputusasaannya, Ran mulai merasakan perih pada lututnya. Lalu ia menunduk untuk memastikan seberapa parah luka yang ia dapatkan tadi. Tidak seperti yang ia bayangkan, luka di lututnya sangat besar. Bahkan darah masih mengucur meskipun waktu telah berlalu lama, dari ia mendapatkan luka itu.
Ran menarik napas panjang, siap dihukum.
Namun, kedua matanya l berbinar ketika menangkap sosok seorang guru yang ia yakini dapat membantunya. Aksa, guru sejarah yang juga wali kelasnya dan hari itu beliau mengajar di kelasnya.
Aksa yang sedang berjalan santai tersentak mendapati kehadiran Ran. Gadis itu mengedipkan mata beberapa kali padanya, seperti memberi isyarat. Ia sebenarnya sudah tidak terkejut lagi dengan tingkah salah satu muridnya itu. Begitu ceroboh dan tidak disiplin. Beberapa kali juga ia mendapat teguran dari guru BK untuk mengingatkan Ran agar berangkat lebih pagi lagi.
“Pak, tolong bantu saya kali ini,” kata Ran dengan wajah memelas.
Aksa melirik kearah rekan kerjanya yang sedang mendisiplinkan para murid di gerbang, kemudian beralih menatap Ran. Ia tersenyum.
Melihat senyuman gurunya itu, Ran merasa seperti disengat lebah dan membuatnya tidak dapat menggerakkan tubuh. Jantungnya yang tadinya mulai tenang karena berhasil lolos dari desakan di gerbang, kini kembali berdesir dengan cepat. Namun, ada rasa hangat yang menggilitik, berbeda dari degup jantung ketika panik. Mungkin terdengar kurang ajar, namun Ran tidak bisa menyangkal bahwa senyuman Aksa sungguh menawan.
Aksa memiliki postur tubuh yang tinggi dan atletis. Garis rahangnya yang tajam membuat sosoknya terlihat maskulin. Ditambah dengan alis tebal dan mata elangnya yang mampu menyihir para wanita. Aksa merupakan guru termuda di sekolah itu. Selain paras rupawannya, ia adalah seseorang yang sangat genius. Di umurnya yang masih dua puluh tiga tahun ia berhasil menyelesaikan studi S3 nya.
Aksa adalah seseorang yang pandai dalam banyak hal, tidak hanya mengusai satu bidang saja. Sains, matematika, filsafat, astronomi, olahraga dan seni semua ia tampung di kepalanya. Dan yang menjadi pertanyaan besar bagi sebagian penghuni sekolah adalah kenapa Aksa lebih memilih untuk mengajar di sekolah biasa. Padahal, ia sering ditawari untuk mengajar di sekolah negeri dan sekolah swasta yang lebih baik daripada sekolah saat ini tempat ia mengajar. Ia juga bisa menjadi dosen di salah satu universitas ternama Indonesia, dengan kemampuannya itu. Namun tidak pria itu lakukan.
Banyak orang yang berpikir, dalam tubuh Aksa mengalir darah seorang ningrat atau konglomerat, melihat pembawaannya yang elegan. Tutur kata, dan sikap sangat berbeda dari orang kebanyakan. Pemikiran Aksa selalu lebih maju daripada guru lain. Itu juga yang menyebabkannya banyak diidolakan. Tidak hanya dari kalangan siswi dan guru wanita, tetapi para siswa. Dan, dari banyaknya wanita yang mengagumi pria itu, belum diketahui kepada siapa Aksa melabuhkan hatinya.
“Ran, kenapa bengong? Pengen dihukum guru BK?” tanya Aksa, menyadarkan Ran dari lamunannya.
Ran memukul kepalanya dan merutuki diri sendiri karena bertindak konyol barusan. Gila kamu Ran, inget dia gurumu, batinnya.
“Kamu terlambat? Ayo ikut saya,” kata Pak Gatot.
“Maaf Pak, Ran tadi saya minta mengambil soal – soal ini di percetakan depan sekolah sehingga menyebabkannya terlambat masuk. Seharusnya Ran sudah ada di sekolah sejak lima belas menit lalu sebelum bel berbunyi,” sahut Aksa sembari menunjukan setumpuk kertas hvs yang berada dalam plastik, masih terlihat baru.
“Iya Pak, tadi antri percetakannya lama sekali, jadi saya terlambat deh masuk ke sekolah lagi,” kata Ran menambahi alibi guru itu.
Pak Gatot berdehem, “Hmmm yasudah kalo gitu, segera masuk kelas,” katanya.
“Pagi ini, jam pertama pelajaran Ran bersama saya Pak,” balas Aksa.
“Baiklah, saya permisi dulu Pak Aksa, selamat beraktivitas,” ujar Pak Gatot sembari meninggalkan Ran dan Aksa.
Ran menghembuskan napas lega. Badan yang beberapa saat lalu terasa kaku akibat gugup, menjadi lemas seolah beban berat telah terangkat dari bahunya.
Lalu ia menatap Aksa dan berkata, “Terimakasih Pak.”
***
Aksa berbelok ke koridor menuju tempat fasilitas sekolah berada. Seperti perpustakaan, lab komputer, lab sains, green house, dan UKS. Tempat populer yang selalu ramai dikunjungi kebanyakan murid disana. Selain dekat dengan kantin sekolah, area itu banyak ditumbuhi pepohonan rindang dan sebuah taman kecil yang terdapat beragam jenis bunga di wilayah tropis, hingga menghadirkan suasana sejuk. Ran berjalan mengekor di belakang Aksa, sembari mengamati bunga-bunga itu. Meskipun bukan pertama kali ia melihatnya, pesona yang dikeluarkan oleh bunga-bunga itu tidak pernah membuat bosan. Terlebih lagi ia juga seorang penikmat bunga. Kondisi UKS sekolah kosong, dan tidak ada guru piket yang biasanya menjaga ketika jam pelajaran berlangsung. Ketika Ran melangkah masuk ke dalam UKS, langsung tercium bau karbol yang menyengat penciumannya. Karbol sendiri adalah pembersih non detergen yang mengandung disenfektan. Cairan ini hampir mirip dengan sabun pembersih lantai, namun
Ran duduk di bangkunya dengan lemas, setelah membagikan soal dan mengumumkan pesan Pak Aksa.Kinan yang sejak tadi khawatir pada Ran ketika mendapati gadis itu lantas bertanya, “Pagi ini kasusnya apalagi? Sepatu hilang sebelah? Buku ketinggalan? Atau kaos kaki lupa dicuci? Itu lukamu kenapa?”Kinanthi Anggun Kertajasa. Gadis bermata sipit dan lesung pipi yang populer dikalangan anak laki – laki. Tubuhnya mungil semampai, berambut ikal sebahu. Ia memiliki kulit berwarna putih gading. Ia berdarah campuran chinese dari ibunya, dan manado dari ayahnya.Ran dan Kinan bertemu ketika masa orientasi siswa berlangsung. Mereka ada dalam satu kelompok saat tengah menyiapkan pensi. Ketika berbicang, mereka ada beberapa kesamaan yang membuat mereka nyaman satu sama lain. Hubungan mereka mangalir begitu saja, hingga akhirnya mereka berada dalam satu kelas yang membuat mereka semakin dekat.Ada satu gadis lagi yang juga berteman dengan mereka. Gadis it
BRAK!“Lemah! Bangun gak lu!” bentak Grace, setelah mendorong sesorang gadis yang kini badannya basah kuyup karena terjerembab ke dalam genangan air.Grace adalah seorang siswi kelas sebelas. Dilihat dari seragamnya, Grace satu sekolah dengan Ran. Ia memiliki rambut panjang yang digelung ke atas dengan jedai. Seragamnya terlihat acak – acakan. Ia menggunakan sepatu berwarna, khas anak pemberontak dari kalangan elit.Grace tidak sendrian karena di belakangnya ada lima orang yang merupakan anggota gengnya. Terdiri dari tiga cowok dan dua cewek.Gadis pendek sedikit gendut yang menggunakan bandana sebagai hiasan rambut, bernama Jessica. Pria dengan tinggi kira – kira 175 cm mengenakan kaos hitam dipadukan bawahan seragam sekolah, dan berambut keriting bernama Edo.Di sebelah Edo, berdiri Anton yang masih berseragam rapi. Anton memiliki tinggi yang sama dengan Edo.Terakhir adalah Ben. Pria yang mengenakan seragam dengan kancing terbuka, dipadukan kaos putih polos
Ran berdiri di depan papan tulis untuk menerima pengumpulan tugas dari teman – temannya, seperti pesan si pemberi tugas, yaitu Pak Aksa. Beruntung kelasnya bisa diajak kerjasama dan rata – rata semua sudah menyelesaikan tugas itu tepat waktu. Jadi ia tidak harus keliling kelas menagih satu persatu, seperti bendahara kelas ketika meminta pembayaran kas.Kinan yang sudah mengumpulkan lebih dulu karena duduk di sebelah Ran, langsung pulang. Biasanya ia akan pulang bersama Ran dan Sunny, namun sopirnya menjemput lebih awal dikarenakan ada acara keluarga.“Ran hari ini pulang sama siapa?” tanya Adit, petugas piket yang tengah memegang penghapus papan tulis yang tiba - tiba menghampiri Ran.Ran menegakkan badannya sembari merapikan tumpukan tugas yang ia bawa. Lalu ia menatap kearah Adit. “Seperti biasa sama Sunny, kenapa Dit?” tanyanya.“Kalo kamu mau menungguku, mau pulang bareng?”Ran menengok ke a
Matahari mulai kehilangan kegagahannya dibalik mendung. Hari yang seharusnya diakhiri dengan keindahan senja, menjadi gelap gulita. Senja yang biasa menghangatkatkan hati para manusia, setelah seharian bergulat dengan kesibukannya. Para manusia yang pada pukul itu selalu memenuhi trotoar atau jalan raya menggunakan kendaraannya untuk pulang ke rumah. Seperti pelajar, buruh pabrik, pekerja kantoran, pedagang dan manusia dengan profesi lainnya.Di pertigaan jalan lampu lintas, berbaris rapi kendaraan bermesin seperti motor, mobil dan angkutan umum. Lampu – lampu kota yang berdiri dengan kokoh di pinggir jalan, mulai memancarkan sinarnya untuk menerangi kegelapan, menggantikan matahari. Seorang pengamen dengan alat musik biola terlihat menghampiri satu persatu kendaraan sembari memainkannya, berharap diberi imbalan. Beberepa orang yang berempati padanya, akan memberi sejumlah uang. Namun tidak sedikit juga orang yang acuh tak acuh padanya.Gadis bertopi merah dengan
“Ran ayo turun bentar, aku mau cari sesuatu,” katanya sembari keluar dari mobil.Ran keluar dari mobil itu sembari menggendong biola dan tas ranselnya. Kemudian, ia berjalan mengikuti Raka memasuki swalayan. Ia ingat tempat itu. Dulu ibunya pernah mengajaknya mengunjungi tempat itu, untuk membeli bahan – bahan makanan. Kala itu, ibunya mendapat banyak bonus dari pelanggan karena idul fitri. Lebaran yang dirayakan oleh umat islam setahun sekali, tiap usai puasa ramadhan. Ini kedua kalinya ia mengunjungi tempat itu.Ran menyaksikan keramaian swalayan dengan kagum. Rata – rata pengunjung adalah sepasang pasutri yang memiliki seorang anak. Anak – anak dari para pasutri itu pun terlihat bahagia menghampiri tempat mainan dan snack. Dan, orang tua mereka tidak keberatan ketika anaknya meminta salah satu barang dari sana. Ia berhenti melihat pantulan diri sendiri di cermin, yang berada di bagian peralatan rumah tangga. Penampilan lusuh da
“Ibu!!!” teriak Ran di depan pintu rumah.Seketika, pintu yang tertutup itu terbuka, memunculkan sosok seorang wanita berumur tiga puluh tahun yang wajahnya terlihat letih.“Ini semua, apa Ran?” tanya wanita itu yang terkejut melihat tas belanjaan tergeletak di tanah.“Aku akan ceritakan nanti Bu, ayo bantu aku memasukkan barang – barang ini ke dalam, segera sembunyikan sebelum Ayah datang.”Kemudian, dua perempuan itu saling bekerja sama untuk menyimpan barang di area yang sulit dijangkau. Namun ketika mereka menemukan frozen food, mereka bingung akan diletakkan dimana. Mereka tidak punya lemari pendingin, dan frozen food adalah jenis makanan yang cepat basi jika tidak diletakkan di suhu dingin.“Sepertinya kita harus menjual ini sebagian Ran, uanngnya kita tabung. Daripada basi disimpan lama – lama. Kalo dititipkan di tetangga, tidak enak,” ujar Ibunya memberi saran.Ran menganggu
Ran tertawa hingga suaranya menggema di ruangan itu. “Pria tidak becus, hanya bisa memeras dan kasar pada wanita,” balasnya. Kalimat barusan berhasil mendorong amarah Sudirman lebih jauh. Sehingga Sudirman mendorong Ran hingga terbentur dinding, dan melucuti pakaian putri semata wayangnya itu. “Kau akan tau rasanya, nikmatilah... sayang sekali jika tubuhmu tidak kunikmati lebih dulu sebelum diberikan pada para saudagar itu,” kata Sudirman. Kepercayaan diri yang tadi Ran bangun, menjadi porak – poranda atas perlakuan Sudirman barusan. Ia tahu apa yang akan dilakukan pria itu terhadapnya, karena ia pernah membaca kisah seorang anak yang dilecehkan oleh Ayah kandung sendiri. Ia bahkan tidak menyangka, dirinya akan mengalami hal serupa. Mungkin makian dan pukulan dari pria itu masih bisa ia terima. Namun, tindakan barusan telah melukai bagian terakhir dan paling berharga baginya. Tubuh Ran membeku, ketika angin yang masuk dari jendela kamar itu membelai s