Share

BAB 9 - Bingkisan Untuk Ibu

“Ibu!!!” teriak Ran di depan pintu rumah.

Seketika, pintu yang tertutup itu terbuka, memunculkan sosok seorang wanita berumur tiga puluh tahun yang wajahnya terlihat letih.

“Ini semua, apa Ran?” tanya wanita itu yang terkejut melihat tas belanjaan tergeletak di tanah.

“Aku akan ceritakan nanti Bu, ayo bantu aku memasukkan barang – barang ini ke dalam, segera sembunyikan sebelum Ayah datang.”

Kemudian, dua perempuan itu saling bekerja sama untuk menyimpan barang di area yang sulit dijangkau. Namun ketika mereka menemukan frozen food, mereka bingung akan diletakkan dimana. Mereka tidak punya lemari pendingin, dan frozen food adalah jenis makanan yang cepat basi jika tidak diletakkan di suhu dingin.

“Sepertinya kita harus menjual ini sebagian Ran, uanngnya kita tabung. Daripada basi disimpan lama – lama. Kalo dititipkan di tetangga, tidak enak,” ujar Ibunya memberi saran.

Ran mengangguk setuju. Apapun yang ibunya ucapkan, Ran akan selalu menurut. Selama ia hidup, ia tidak pernah membantah ibunya. Hidup mereka sudah cukup sulit, jika ibunya dibebankan oleh kenakalan atau ketidak patuhannya, itu akan tambah membebani.

Setelah selesai menata barang – barang itu, Ran bergegas ke kamarnya untuk membersihkan diri dan membawa perlengkapan sekolah serta pakaian pemberian Raka. Seharian ia terpapar polusi dari debu kendaraan yang membuatnya bau dan sangat kotor. Tubuhnya juga terasa gatal dan tidak nyaman. Sedangkan Ibu Ran, tengah sibuk di dapur menyiapkan masakan dengan bahan yang dibawa putri semata wayangnya.

Beberapa menit kemudian, masakan sudah jadi bersamaan dengan Ran yang telah selesai mandi. Bau minyak telon dan aroma beri dari bedak bayi menguap di seluruh ruangan. Bau khas, yang disukai Ran.

Kemudian, Ran dan Ibunya duduk untuk menyantap masakan bersama. Entah sudah berapa lama mereka tidak merasakan malam yang nyaman tanpa kekurangan bahan seperti itu. Setelah dua hari hanya makan umbi – umbian, mereka bisa merasakan nasi yang hangat di meja.

“Ran, ayo cerita, bagaimana kamu mendapatkan itu semua?”

Ran lekas menelan makanan yang dia kunyah, lalu menjawab, “Aku bertemu seorang pria yang begitu baik Bu, dia yang membelikan itu semua. Tadi ketika aku mengamen, aku bertemu dengan dia. Dia mengajakku mengunjungi swalayan yang dulu pernah kita kunjungi. Sebenarnya aku ingin menolak, namun dia bilang aku tidak boleh menolak pemberian orang. Dan hari ini aku hanya mendapat sedikit uang untuk membeli beras, jadi aku terima saja pemberiannya itu.”

Ibu Ran, meraih tangan mungil putrinya dan mengusapnya pelan. “Ran, maafkan Ibu membuatmu berada dalam kesulitan. Membuatmu harus menanggung masalah yang seharusnya ditanggung orang tua. Maaf kamu harus lahir dari rahim dari orang seperti diriku,” katanya terdengar putus asa.

Ran bangkit dari duduknya dan memeluk wanita yang paling ia cintai itu. Ia mengusap punggung Ibunya dengan penuh kasih yang tengah meneteskan air mata. “Ibu, aku sudah dewasa. Kita keluarga, dan sudah menjadi kewajibanku menjaga Ibu, karena sejak dulu Ibu sudah merawatku. Jangan khawatir,” katanya.

Hal yang paling murah hati diciptakan oleh Tuhan adalah kebahagiaan. Rasanya begitu manis, seperti gulali yang menghangatkan hati setiap anak kecil. Sesederhana itu, sampai tidak memerlukan bentuk apapun untuk menciptakan sebuah kebahagiaan. Cukup ada seseorang disisimu yang menanggung beban bersamamu untuk menuju satu tujuan bersama. Ketika lelah saling menguatkan, dan ketika bahagia saling merangkul.

Malam itu, hujan menjadi saksi kebahagiaan Ran dan Ibunya. Musim yang paling Ran sukai, dan momen yang Ran akan sukai berkolaborasi. Dan itu akan menjadi memori tak terlupakan bagi Ran.

Tak selang dari kebahagiaan anak dan ibu itu berlangsung, datang sebuah guntur yang berbunyi begitu keras. Guntur itu membawa seorang pria yang tiba – tiba mendobrak pintu rumah mereka dengan wajah penuh amarah.

“Ran dimana kau!” teriak pria itu.

Ran yang mendengar namanya dipanggil oleh sang ayah, lantas berlari menghampiri suara itu. Jika ia tidak bergegas, ayahnya akan lebih marah. Mendengar gertakan itu saja, membuat Ran tergagap dan tidak bisa menolak panggilannya.

Ran menuju ruang tengah yang sekarang berantakan karena diobrak – abrik oleh ayahnya. Itu adalah pemandangan yang tidak lagi mengejutkan. Barak rusak, luka lebam di badan dan bentakan sudah biasa dilakukan oleh pemabuk itu.

“Ada apa Ayah?” tanyanya.

Pria itu menghampiri Ran dengan perlahan, kemudian berdiri tepat di depan gadis itu. Tangan kanannya terangkat membelai pipi tembam Ran. “Anakku yang cantik sudah dewasa,” katanya.

Seketika Ibu Ran yang datang dengan nafas terengah – engah menarik Ran ke belakang tubuhnya. “Ran, kembalilah ke kamarmu.”

PLAKK!!

Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Ibu Ran, hingga wanita itu terjatuh di lantai.

“Wanita jalang!! Beraninya kau melawanku,” kata Ayah Ran sembari menginjak punggung Ibu Ran dengan kakinya yang masih beralaskan sepatu.

Ran berteriak histeris dan menghampiri ibunya. Namun, belum sempat ia membantu wanita itu berdiri, tangannya kembali ditarik oleh lengan kekar Ayahnya. Kemudian ia diseret menuju ke kamar, ruangan yang biasa menjadi saksi penyiksaan pria itu padannya dan Ibunya.

Ibu Ran lantas bangkit, dan berlari merebut Ran. “Jangan sentuh Ran, pukuli saja aku, jangan sakiti anakmu, aku memiliki sejumlah uang yang bisa kau pakai,” katanya.

Menyadari hal itu, Sudirman lantas menendang perut istrinya, hingga membuat wanita itu terjatuh lagi di lantai.

Hati Ran serasa diremuk melihat Ibunya diperlakukan seperti itu. Ia bahkan tidak membayangkan betapa sakit yang didapat oleh wanita itu.

“Tolong Ayah, jangan sakiti kami, ingatlah kami masih keluargamu,” kata Ran dalam isak tangisnya.

Sudirman tak menggubris ucapan anaknya. Keras kepalanya sudah berada di puncak dan tidak bisa diredakan lagi. Minuman keras yang ia konsumsi telah menjadi iblis, yang mengendalikan dirinya.

Ran mengikuti Ayahnya dengan pasrah. Kadang ketika sedang beribadah, ia bertanya kepada Tuhan kenapa di dunia ini harus ada orang jahat. Padahal, setiap manusia yang baru lahir adalah makhluk suci. Rahim yang menjadi rumahnya sejak dari embrio ke janin, juga dipenuhi doa. Begitu diberkati bagai mentari pagi yang memberi kehidupan pada bumi. Lalu kenapa iblis merasuki jiwa – jiwa suci itu?

Sudirman mengunci pintu dengan penuh amarah. Kemudian ia meleparkan semua barang yang ada di kamar itu dan melontarkan makian pada Ran.

Air mata Ran mengering. Kini ia hanya menatap Ayahnya dengan penuh rasa kasihan. “Kasihan dirimu, sampah!” katanya tiba – tiba.

Sudirman menatap Ran dengan tajam, kemudian ia melayangkan pukulannya ke pipi Ran dan membuat gadis itu terjatuh. “Sialan!! Aku akan menjual tubuhmu agar menghasilkan lebih banyak uang,” katanya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dito Adimia
ayah macam apa kau sudirman ?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status