Share

BAB 8 - Dua Kali Ke Swalayan

“Ran ayo turun bentar, aku mau cari sesuatu,” katanya sembari keluar dari mobil.

Ran keluar dari mobil itu sembari menggendong biola dan tas ranselnya. Kemudian, ia berjalan mengikuti Raka memasuki swalayan. Ia ingat tempat itu. Dulu ibunya pernah mengajaknya mengunjungi tempat itu, untuk membeli bahan – bahan makanan. Kala itu, ibunya mendapat banyak bonus dari pelanggan karena idul fitri. Lebaran yang dirayakan oleh umat islam setahun sekali, tiap usai puasa ramadhan. Ini kedua kalinya ia mengunjungi tempat itu.

Ran menyaksikan keramaian swalayan dengan kagum. Rata – rata pengunjung adalah sepasang pasutri yang memiliki seorang anak. Anak – anak dari para pasutri itu pun terlihat bahagia menghampiri tempat mainan dan snack. Dan, orang tua mereka tidak keberatan ketika anaknya meminta salah satu barang dari sana. Ia berhenti melihat pantulan diri sendiri di cermin, yang berada di bagian peralatan rumah tangga. Penampilan lusuh dan kotor, terlihat menyedihkan. Ia menundukan wajah murung.

Raka yang tidak menemukan Ran di sampingnya, lantas menengok ke arah belakang. Ia mendapati gadis itu berdiri dalam diam dan menatap jauh entah kemana. Kemudian ia berjalan menghampiri gadis itu, dan berjongkok di depannya.

“Ran, ada masalah?” tanya Raka dengan lembut.

Ran menggeleng dan berkata, “Bang, sepertinya aku buru – buru, ibu sendirian di rumah aku khawatir.”

“Okee, aku akan cepat, ikutlah denganku,” jawabnya.

Raka menggandeng tangan mungil Ran dan berjalan menuju bilik sembako. Disana, Raka meraih sebuah keranjang yang kemudian diisi dengan minyak goreng, beras, satu kilo telur, mie instan dan frozen food yang disukai anak – anak.

Ran yang berjalan di samping Raka, hanya memperhatikan dalam diam. Ia berharap agar cepat tumbuh besar, dan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dengan umpah besar.

Mereka menuju ke tempat pakaian dan alat tulis anak – anak.

“Ran, pilihlah baju dan sepatu yang kamu suka. Ambil keperluan sekolah yang kamu mau juga,” kata Raka.

Rak terkejut mendengar pernyataan Raka barusan. Kedua bola matanya sampai membuat sempurna. “Aku tidak mengerti, Bang,” katanya.

“Tahun ini, setiap anak akan memiliki perlengkapan sekolah yang baru, kamu juga harus punya,” balas Raka.

“Aku tidak punya cukup uang untuk membelinya.”

“Abang akan memberimu. Dan yang kita belanjakan hari ini, untukmu dan ibumu,” jelas Raka.

“Maaf bang, aku tidak bisa menerimanya. Abang juga masih kuliah, lebih baik itu untuk kebutuhan abang. Aku juga tidak bisa membalasnya,” balas Ran panik saking terkejutnya.

Raka tertegun dengan kalimat gadis berusia sembilan tahun itu barusan. Bagaimana mungkin dalam kondisi seperti itu dan diumur yang masih belia bisa berpikir jauh untuk orang lain?

Raka berjongkok sembari meletakkan keranjang belanjanya di lantai. Kemudian, dia menyentuh pundak Ran dan berkata, “Ran kalo ada rezeki yang datang padamu, jangan ditolak. Karena itu adalah pemberian Tuhan, perantaranya lewat manusia. Abang lebih dari mampu untuk membiayai diri sendiri, dan masih bisa berbagi untuk orang lain. Harta yang banyak percuma Ran, jika dinikmati sendiri. Akan lebih berguna, jika orang lain bisa merasakannya juga, dan ikut bahagia karenanya. Suatu saat, jika kamu dewasa dan dilimpahkan rezeki yang banyak oleh Tuhan, jangan lupa berbagi dengan orang lain. Jika kamu menemukan anak sepertimu nanti, bantulah. Insyaallah Tuhan akan memberkati setiap jalanmu, melalui doa – doa mereka yang kamu bantu.”

Perlahan senyum Ran menghiasi wajah manisnya. Ia merasa tenang mendengarkan kalimat Raka. Rasanya seperti mendengar khotbah saat beribadah setiap minggu. Ia sampai mengira bahwa Raka adalah seorang malaikat berwujud manusia, yang Tuhan kirim karena doa – doanya.

Setelah menyelesaikan belanjaannya, Ran dan Raka kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Ran. Adzan maghrib sudah terdengar, tanda bahwa malam telah menggantikan sore. Suasana tak jauh beda, karena langit mendung sejak tadi. Hujan juga masih menguasai bumi dengan kelembabannya.

“Padahal kita baru bertemu, kenapa abang begitu baik padaku?” tanya Ran, ketika mobil Raka sudah berada di area rumahnya.

“Oh ya, tolong diingat! Kamu jangan sembarangan percaya sama orang, apalagi mau jika diajak pergi ke suatu tempat. Seperti sekarang, harusnya tadi kamu menolak ikut denganku, untungnya kamu tidak bertemu orang jahat Ran, sekalipun aku tidak bisa menyebut diri sendiri baik. Tapi kamu harus waspada, apalagi kamu seorang perempuan,” kata Raka.

Ran tertawa, “Ibu juga selalu berkata begitu.. aku ternyata bodoh. Tapi sepertinya Tuhan sangat melindungiku. Nyatanya aku tidak bertemu penjahat, melainkan seorang malaikat tak bersayap,” katanya.

Raka ikut tertawa mendengar pernyataan Ran barusan. Membolos kuliah tidak terlalu buruk, karena ia menemukan hal yang luar biasa sore itu.

“Bang, berhenti dekat pohon mangga itu saja, dari situ aku akan berjalan,” kata Ran.

“Kenapa tidak sampai rumah?” tanya Raka.

“Ayahku tidak suka ada tamu,  jadi aku tidak ingin abang terkena semburan maut ayah yang lebih panas dari naga,” jawab Ran sembari terkekeh.

Raka tidak merespon tawa Ran barusan, karena tawa gadis itu terlihat sangat suram. Kemudian ia menghentikan mobil sedannya  di dekat pohon mangga, sesuai permitaan gadis yang sekarang duduk di sampingnya.

“Ran, tunggu sebentar, jangan pergi dulu.”

Ran mengernyitkan dahi penuh tanda tanya.

Raka mengeluarkan secarik kertas dari dasbor mobilnya dan sebuah pena. Kemudian dia menuliskan sesuatu disana, dan memberikannya pada Ran.

“Jika kamu butuh bantuan, atau sedang dalam masalah hubungi nomor ini ya, carilah telepon umum terdekat.”

“Terimakasih Bang, aku akan simpan ini dengan baik.”

“Besok kamu ada waktu senggang?” tanya Raka.

“Tidak ada Bang, mungkin aku akan mengamen sepulang sekolah,” jawab Ran.

“Syukurlah, besok maukah kau ikut denganku ke toko buku? Aku ingin membeli beberapa buku, mungkin kamu juga ingin membeli sesuatu?”

Ran menggeleng dengan cepat, lalu berkata, “Tidak perlu bang, apa yang hari ini Abang berikan padaku sudah lebih dari cukup. Aku sungkan menerima sesuatu yang lebih lagi.”

Raka berdeham. “Ingat tentang yang aku sampaikan tadi? Jangan menolak rezeki,” katanya memaksa.

“Emm kalo begitu baiklah, aku akan menemani Abang.”

Raka tersenyum sembari mengusap kepala Ran dengan lembut. “Gitu baru anak pintar,” katanya.

Ran ikut tersenyum. Kemudian ia melangkahkan kakinya keluar dari mobil, sembari mmebawa tas belanjaan yang berisi pemberian Raka.

“Ran, sepertinya aku harus mengantarmu, kamu tidak bisa membawa ini semua sendirian,” katanya.

“Tidak! Aku bisa kok, aku pernah membawa karung goni yang berisi padi ketika membantu kakekku dulu di desa. Aku juga pernah mengangkat gas tabung, jadi jangan meremehkan. Kekuatanku juga setara dengan anak laki – laki,” ujar Ran dengan bangga.

Raka tersenyum, lalu melipatkan kedua tangan di depan dada seolah menantang Ran. “Mari Abang lihat, kamu bohong atau tidak.”

“Siapa takut.”

Ran menggantungkan biola di tas ranselnya. Kemudian ia menyatukan tas belanja sembako, lalu ia gendong di bahu kanannya. Kemudian, ia membawa tas yang berisi sepatu, ransel baru, alat tulis di bahu kirinya dekat dengan biola. Di kedua tangannya ia bawa plastik yang berisi pakaian barunya. Ia menopang semua barang itu di tubuh kurusnya. Sekalipun merasa tidak kuat, ia bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.

“Li-lihat bang, a-aku bisa kan,” kata Ran sembari menahan berat.

“Tidak, aku akan membantumu,” ujar Raka khawatir.

“Aku pamit dulu bang, sampai bertemu besok ya, aku tunggu di pertigaan lampu lalu lintas,” balas Ran sembari berjalan dengan tergopoh – gopoh meninggalkan Raka.

Raka tersenyum menyaksikan kegigihan gadis kecil yang baru ditemuinya itu. Anak itu memang masih kecil, tapi rasanya aku seperti mengobrol dengan wanita dewasa.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dito Adimia
ran luar biasa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status