Share

6. Setuju Menikah

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi kedua matanya masih saja terjaga. Apalagi kata-kata Fattan tadi sore membuatnya gelisah, meskipun di dalam hati masih ada rasa itu. Rasa yang pernah dia rasakan untuk cinta Fattan tapi dia harus menguburnya dalam-dalam karena waktu itu tidak ingin menjadi duri dalam rumah tangga mereka.

Namun, sekarang sangat berbeda kini Falisha harus memutuskan apalagi surat wasiat kakak angkatnya itu. Selain itu dia juga ingin bertemu dengan putranya yang pernah dia tinggalkan untuk mereka. Dia ingin melihat wajah anak itu dan dia pun harus membuat anak itu tidak nakal seperti apa yang dikatakan mereka.

Falisha mengambil ponselnya yang tergeletak di pinggir ranjang. Lalu membuka galeri foto. Foto yang sempat dia ambil saat anak itu masih bayi.

“Bagaimana wajah kamu sekarang, Sayang, apakah kamu juga merindukan, Mama? Ah, sangat konyol, mana mungkin anak itu merindukan aku, karena dia pun tidak tahu siapa aku sebenarnya. Kita akan bertemu, Sayang, dan aku pastikan kamu menjadi anak yang baik dan akan membuat papa dan keluarga Papa kamu akan menerimanya,” ucapnya sambil menatap foto itu sedikit lama.

Namun, sesaat kemudian dia kembali teringat dengan surat wasiat Farah yang diberikan dari Mbok Ijah.  Wanita cantik itu pun beranjak dari tempat tidurnya dan membuka lemarinya. Sebuah amplop putih yang diberikan oleh Mbok Ijah untuknya dari Farah.

“Syakira Nabila Putri? Teman masa kecilnya Mas Fattan? Aku tidak pernah mendengarnya. Apakah dia baru pulang dari luar negeri atau apa ya? Apakah dia cantik dan mungkin saja Mas Fattan juga menyukainya tapi surat wasiat itu ... ah sangat menyebalkan, lama-lama aku bisa gila jika seperti ini, lebih baik aku coba bawa tidur deh,” gerutunya dan kembali menyimpan surat wasiat itu.

Falisha kembali ke ranjang dan berusaha untuk memejamkan matanya. Lambat laun akhirnya Falisha pun tertidur.

 

***

Sedangkan di tempat lain. Fattan masih disibukkan dengan rutinitas pekerjaannya. Pria tampan itu seperti tak mengenal lelah. Hampir separuh hidupnya banyak dihabiskan untuk bekerja sehingga perhatian untuk Fahri dan Farah teralihkan.

“Dia harus menikah denganku, bagaimana pun caranya. Kenapa sih sangat susah membujuk wanita itu? Atau dia sudah mempunyai pacar atau tunangan? Tidak ...meskipun Falisha sudah memiliki pacar atau tunangan orang itu harus menyingkir atau kalau perlu disingkirkan!” gerutunya kesal.

Pikirannya langsung tak fokus sehingga Fattan pun menghentikan aktivitasnya. Dia lalu pergi ke kamar tidur. Di rumah besar itu hanya ada beberapa pembantu dan dia sendiri. Sunyi senyap seperti kuburan itu yang mungkin dirasakan oleh dirinya setelah kepergian Farah.

Dulu dia sangat mencintai Farah, bahkan tak ingin berpisah darinya, sampai akhirnya dia menyerah dengan keadaan setelah temakan hasutan dari seseorang di masa lalu yang kini mengisi hari-harinya. Atas anjuran wanita itu pula Fahri anaknya pun harus diasingkan. Sempat melarikan diri dari sekolah asrama berlalu-kali sehingga Fattan memutuskan untuk membawanya ke rumah papanya yang penuh disiplin.

Fahri kecil sungguh terkekang hidupnya bahkan dia tidak diperbolehkan untuk keluar rumah. Jika melanggar maka akan mendapatkan hukuman. Fahri pernah melakukannya dan Ayah Fattan pun bertindak kejam sehingga mental anak itu sedikit terganggu.

Farah pun menjadi pelampiasan untuk kemarahan keluarga Fattan, karena tidak bisa mengurusnya dengan baik dan dirinya pun menjadi sakit-sakitan.

Saat ingin memejamkan  matanya terdengar suara ponsel berbunyi. Fattan terlihat kesal karena sudah mengganggu tidurnya tapi dia juga penasaran siapa yang telah menghubunginya tengah malam begini.

Fattan melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. Dengan berat hati dia pun menerima panggilan itu tanpa melihat siapa yang telah menghubunginya.

“Hallo, siapa ini, kenapa menghubungi saya tengah malam begini?”

Suara berat Fattan yang tidak mengubah posisinya yang masih terlentang dengan mata sedikit terpejam.

“Mas Fattan?”

Suara wanita itu langsung membukakan matanya lebar. Dia lalu duduk sambil melihat ke layar ponsel. Dan senyuman khas langsung terbit saat nama wanita itu tertera di sana.

“Katakan apa keputusanmu!”

“Aku setuju.”

“Hemm ... Apa maksud kamu, setuju dengan hal apa?”

Falisha mendesak kesal.

“Kamu sengaja atau bagaimana? Bukankah kamu bilang aku harus menikah denganmu sesuai dengan surat wasiat itu?”

“Oh ya aku sampai lupa. Baiklah, besok akan aku siapkan semuanya termasuk surat kesepakatan kita.”

“Secepat itu? Tidak menunggu selama empat puluh harinya Mbak Farah, kenapa nggak dua bulan atau tiga bulan lagi?”

“Tidak, lagi pula pernikahan kita dirahasiakan dari orang lain, kamu ingat kan itu?”

“Tapi ...

“Aku yang menentukan semuanya lebih cepat lebih baik, dan urusan kantor secepatnya segera dilaksanakan, bukan?”

“Baiklah, Ter ...”

Belum juga Falisha selesai bicara sambungan telepon itu langsung terputus membuat wanita cantik itu menggerutu kesal. Sedangkan Fattan entah kenapa hatinya begitu bahagia saat Falisha mengatakan setuju dengan surat wasiat itu. Terukir sebuah senyuman sehingga dia pun bisa memejamkan matanya.

Namun, belum juga sampai lima menit tiba-tiba ponsel Fattan kembali berbunyi. Seperti biasa dia pasti tidak melihat siapa yang telah menghubunginya.

“Ada apa Sayang, apakah kamu masih kangen dengan suaraku?”

“Aku juga sangat merindukan kamu, Sayang.”

Mata Fatta langsung terbelalak saat mendengar suara wanita itu. Fattan lalu duduk kembali dan melihat dengan jelas nama Syakira yang tertulis di sana.

“Syakira?”

“Iya Sayang, kenapa? Kamu tidak merindukan aku?”

“Tum—tumben kamu telepon, biasanya kamu lupa atau bahkan aku mencoba menghubungi kamu malah nggak bisa?”

“Iya maaf Sayang, sekarang aku begitu banyak waktu untukmu, karena sebentar lagi aku akan pulang ke Indonesia dalam beberapa hari ini.”

“Oh ...

“Oh ... hanya itu? Tidak ada yang lain?”

“Maksud kamu?”

“Sya, aku tutup dulu ya, sudah malam soalnya besok ada meeting penting dan aku harus berangkat pagi-pagi. Oke?”

“Tapi aku  masih ...”

Lagi-lagi Fattan selalu mematikan sambungan telepon secara sepihak sebelum orang itu lanjut bicara. Pria itu langsung membuang ponselnya ke ranjang setelah mematikan baterai ponselnya agar tidak mengganggu waktu tidur.

 

***

Menjelang pagi Falisha sudah bersiap. Hari ini dia sudah disibukkan dengan telepon dari Pak Agus pimpinannya dan mengharuskan dia pergi ke bandara.

Untung saja Ibu kost berbaik hati untuk meminjamkan mobil pribadinya untuk pergi ke bandara. Tepat jam delapan pagi mobil itu meluncur keluar dari halaman kost berpapasan dengan mobil Fattan yang hendak menjemput Falisha.

Wanita cantik itu tidak melihat mobil Fattan karena terlalu fokus untuk menyetir. Fattan pun mengikuti mobil Falisha yang ternyata mengarah ke jalan bandara.

Sampai di sana pun Fattan ikut masuk dan mengikuti Falisha, sampai akhirnya seorang pria yang keluar dan langsung melambaikan tangan kepada Falisha. Wanita cantik itu pun membalasnya sambil tersenyum.

“Itu kekasih atau pacar atau tunangan Falisha? Sangat keterlaluan, tadi malam dia bilang setuju menikah denganku tapi pagi ini dia tersenyum dengan pria lain?” umpat Fattan berdecak kesal dengan tangan mengepal kuat.

 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Anggra
lhooo..fahri kan baru umur 6 tahun kok ufah msuk asrama..ya jrlas lah anak usia 6 thn ufh msuk asrama dan akhirnya jd anak nakal..lah di asrama udah jelas kehilangan ksiah syang ortu
goodnovel comment avatar
icher
lanjut terus bacanya ah
goodnovel comment avatar
Safiiaa
keren banget Kak ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status