Share

04. Permintaan Siska

“Ada Mas, nih seribu!” ucap Susi enteng.

“Loh kok cuma seribu? Aku tadi kan ngasihnya seratus ribu, kok kembaliannya cuma seribu perak?” tanyanya dengan wajah yang sudah terlihat kusam dan jutek.

 

“Loh Mas Ratman ini bagaimana sih? Tadi ada nggak nyuruh aku kembalikan uangnya harus berapa kan nggak ada bilang, berarti bukan salah aku dong!” ucapnya sedikit kesal.

“Lagian katanya nggak boleh pelit-pelit sama saudara nanti nggak berkah loh, itu kan yang Mas, bilang?” jelas Susi mencoba mengingatkan kembali perkataan Suratman tadi.

 

“Memang tadi aku tadi ngomong seperti itu?” tanyanya yang masih tidak percaya dengan ucapannya sendiri.

“Iya, Mas, bukannya berbagi itu indah?” timpa Suratmin mengelabui saudara kembarnya yang sudah keterlaluan pelitnya.

“Sudah toh Man, nggak usah dipikirkan lagi  lebih baik nanti kita makan rujak, enaknya nampol loh panas-panas begini makan yang pedas-pedas,” sahut Bu Retno yang masih mengupas buah-buahan itu lalu mengirisnya dengan penuh semangat empat lima.

“Coba di rumah kontrakanmu yang kecil ini buka warung gitu, ya jual sembako, jajanan kek atau apalah yang menguntungkan, jadi nggak usah ke warung lagi, kan enak, daripada kamu nganggur di rumah nggak ngapain-ngapain, uangnya kan bisa dikumpulin untuk beli buat rumah!”

“Memang kamu nggak mau apa, punya rumah sendiri, suka banget ngontrak terus habisin uang saja, makanya kalau cari kerja itu yang sedikit ada wibawanya gitu, lah ini jadi cleaning service.”

“Kalau aku ya, Min, nggak mau kerja kasaran gitu menjadi pesuruh, ogah banget deh!” jelasnya yang terus memojokkan Suratmin di hadapan ibu-ibu lainnya.

 

Sedangkan Suratmin hanya mendengarkan celoteh saudara kembarnya itu dengan tersenyum. Baginya jika saudaranya bahagia dia kan turut bahagia.

 

Pemilik kontrakan sebenarnya  tidak mempermasalahkan kalau Susi ingin membuka warung sebagai hobi di rumah kontrakan itu. Bahkan tidak berniat untuk menaikkan uang kontrakan malah merasa kasihan jika saudara iparnya sering datang ke rumahnya hanya untuk meminta bantuan jasa dari Susi maupun Suratmin.

 

Namun, Susi masih berpikir dua kali lagi untuk berjualan, dia mulai ragu dengan saudara kakak iparnya itu yang sering bertamu ke rumahnya dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.

Baginya daripada membuat masalah, sehingga menjadi renggang mereka pun mengurungkan niatnya untuk membuka warung  berjualan di depan rumahnya.

“Iya, aku buka warung malah nanti ngutang ke aku lagi, lebih baik seuzon sekarang dari pada nanti,” gerutu Susi dalam hati sambil tersenyum.

“Bagaimana, Min, usulku bagus kan?” tanyanya lagi.

 

“Maaf Mas, aku nggak punya modal lagian bentar lagi anak kami lahiran, nanti kasihan dia keteteran kalau mengurusi antara warung dan bayi kami, nanti saja kalau sudah besar sedikit,” tolaknya dengan halus.

“Alah, kelamaan, contoh nih Mbak Siska mu ini, masih kerja sampai sekarang, belum juga cuti padahal sudah hamil besar masih bisa kerja , namanya juga wanita karier.”

“Makanya coba dari dulu cari istri itu yang kaya, yang bisa kerja kantoran jadi ngumpul duitnya cepat.”

“Lah kamu kerja cleaning service aja bangga amat, istri cuma jadi babu di rumah nggak menghasilkan apa-apa!” gerutunya kepada Suratmin, walaupun sedikit berbisik tetapi Susi masih bisa mendengar percakapan mereka.

Sedangkan Ibu-ibu yang lain ingin menanggapinya tetapi malah disuruh tetap diam, sehingga Siska pun merasa bahagia karena suaminya selalu menyanjungnya di depan Suratmin.

“Sus, dengar tuh apa yang dikatakan Mas Ratman, jadi istri jangan di dapur saja, gaul dong, tetapi karena kamu orang kampung pastinya kamu hanya lulusan SMA saja, iya kan?” ejaknya lagi bertambah membuat ibu-ibu mulai gerah, tetapi lagi-lagi Susi tidak ingin ada masalah dan memberi kode agar tidak terlalu meladeninya.

“Eh, Siska pedas banget mulutnya kayak cabe, terus kenapa kamu sering merepotkan Susi terus, hayo, apa lagi alasanmu, orang kaya itu nggak kayak kamu, atau jangan-jangan kamu OKB ya?” selidik Bu Retno kesal.

“Apa itu OKB?” tanya Siska bingung.

“Nah pantas saja kelihatan kok dari sana, kepanjangannya itu Orang Kaya Baru, hahaha ... tawa Bu Retno menggelegar sampai keluar membuat Suratman penasaran.

“Ada apa toh Ibu-ibu, ramai benar, loh kamu kenapa, Sayang, kok mukanya ditekuk gitu?” tanyanya sedikit khawatir.

 

“Bu Retno, Mas, dia bilang kalau aku OKB!”

“Memang apaan OKB?”

“Orang Kaya Baru!” ucap mereka serempak sembari tertawa keras.

“Tuh kan kita diketawain, padahal memang iya sih kita kan baru kaya setelah kamu naik pangkat dan aku dapat warisan dari Bapak di kampung,” ucapnya pelan tetapi masih terdengar oleh ibu-ibu tadi.

“Hust ... jangan nyaring-nyaring, ketahuan dong,” ucapnya pasrah.

“Eh, Man, kami memang sangat bersyukur karena  kamu dermawan tetapi tidak juga ditunjukkan ke mana-mana, namanya kalau kamu masih ingat dalam pelajaran agama yaitu riya, tidak baik malah tidak ada pahalanya karena kamu selalu meminta imbalan.

“Kamu pernah dengar nggak sih jika tangan kanan memberi usahakan tangan kiri jangan sampai tahu, lah kamu nggak, ingin semua warga tahu kalau kamu itu kaya, jangan begitu Man,” jelas Bu Retno mulai tambah geram.

“Nggak juga kok, Bu, hanya perasaan Ibu saja kali,” kilahnya dengan santai.

“Lah yang waktu itu kamu bantu anaknya Pak Tejo, katanya ikhlas mau ngasih dua ratus ribu, eh tahunya besok minta dibuatkan nasi bungkus sebanyak 20 bungkus, untuk amal sekaligus katanya buat anak-anak yatim, karena kamu lihat dia dapat kiriman beras dari salah satu keluarganya untuk dijual lagi untuk biaya hidup, iya toh?” selidik Bu Retno lagi.

 

“Kok Bu Retno tahu, memang Pak Tejo mulutnya ember banget persis seperti emak-emak saja,” celetuknya kesal.

“Bukan dari Pak Tejo intinya ya, pokoknya dari sumber terpercayalah,”  sahut Bu Retno tersenyum.

“Siapa sih yang nggak kenal dengan Bu Retno, walaupun saya ini dikenal biangnya gosip tetapi gosipnya di jamin betul nggak sembarangan gosip, anggap saja berita berjalan, akurat, tajam dan terpercaya pastinya,” jelasnya dengan bangga kan dirinya sendiri.

 

“Harus ikhlas dalam hati, jangan diperlihatkan seperti saudara kembarmu ini, loh!”

“Bu Retno!” ucap Susi mengedipkan matanya.

“Apa maksud Bu Retno tadi, jangan bilang kalau Suratmin itu berbuat kebaikan bagi-bagi sembako kayak saya, mana bisa dia, orang gajinya saja kecil mana bisa berbagi sama yang lain, lagian malah dia yang harus dikasihani, iya kan Min?”

“Iya, Mas,” jawabnya merendah dan tersenyum.

 

Cuma butuh waktu sepuluh menit semua telah tersedia,  Bu Wulan yang membuat bumbu rujak membuat lidah bergoyang. Sedangkan Susi juga sedang membuat gorengan hasil jarahan uang Siska untuk membeli bahan makanan.

Akhirnya mereka pun makan bersama-sama, mereka menikmatinya apalagi Suratman dan Siska mengambil banyak rujak itu lalu makan gorengan yang tak habis-habinya  mereka mengunyah.

“Aku heran deh sama kalian berdua betah banget sih tinggal dikontrakan ini, coba cari kerja yang bagus dong, Min!”

“Bentar lagi kamu punya anak, mau dikasih makan apa anakmu nanti?”

“Iya tahu nih, dan kamu juga Susi jangan Cuma ngurus anak dan di rumah saja dong, cari kegiatan apa kek yang menghasilkan uang, contoh ini Mbak Siska, nanti kalau sudah melahirkan dua bulan setelahnya dia akan kerja kembali.

“Nah, aku punya usul, bagaimana kalau kamu saja nanti yang merawat anakku, Sus, ya hitung-hitung itu juga keponakanmu, cukuplah kalau aku kasih kamu seratus ribu rupiah.

“Benar Mbak, seratus ribu sehari gajinya?”

“Ya nggak lah, seratus ribu sebulan, kan itu keponakan kamu sendiri, masa mahal-mahal tekor dong aku,” jelasnya dengan santai.

“Bagaimana, mau ya dari pada cari orang lain, aku nggak berani, nih!”pinta Siska penuh harap.

“Maaf ya Mbak, ya nggak mau, aku ini orangnya pemalas kalau ngurus dua bayi sekaligus, capek, suruh yang lain saja, nanti malahan anakku nggak terurus lagi,” celetuknya sewot.

“Mas, kasih tahu Susi agar mau ya ngurus anakku nanti?” pintanya dengan manja.

“Min, tolong lah kasih tahu Susi agar dia mau mengurus anakku juga, aku nggak percaya dengan sama orang lain,” ucapnya dengan penuh harap.

 

“Kalau begitu Mbak Siska berhenti saja dari kerjaannya, saya nggak mau istriku capek hanya untuk mengurus anak-anak.”

“Dia kan juga butuh istirahat, saya nggak ngizinin dia juga, Mas Ratman juga harus ngerti dong,”sahut Suratmin menegaskan

“Tiba-tiba perut Susi merasa sakit, membuat dirinya berkeringat dingin, Aduh, Mas ...!”

“Mas, sepertinya aku mau melahirkan!” tariaknya dengan bahagia.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status