Share

Part 5

Tidak ada yang berubah di setiap pagi. Sambil menunggu anak-anak pulang dari musala aku selalu menyiapkan teh hangat juga sarapan untuk semua, lalu berjibaku dengan pekerjaan lainnya karena kebetulan Asisten Rumah Tangga di rumah ini sedang cuti melahirkan.

Meskipun dalam hati menyimpan luka begitu dalam aku harus tetap tersenyum, menjalani peran seperti biasa tanpa menunjukkan bahwa saat ini keadaanku sedang tidak baik-baik saja.

Aku harus menunggu waktu yang tepat untuk bercerita, mengungkapkan segalanya kepada anak-anak sebab tidak mungkin selamanya menyimpan luka ini sendiri. Aku tidak akan sanggup.

"Bun!"

Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lembut bahu ini, menoleh lalu tersenyum saat melihat Zafran anak keduaku.

"Sudah pulang, Anak Saleh?" tanyaku kemudian, dengan senyum terukir di bibir.

Zafran tidak menjawab, dia malah menghambur memelukku.

Ah, ada apa ini?

"Kenapa, Sayang?" Aku bertanya seraya membelai rambutnya yang sudah sedikit memanjang.

"Nggak tahu kenapa setiap kali melihat Bunda rasanya kepingin peluk terus!" jawabnya tanpa melepas dekapan.

Mata ini terpejam, sejenak membiarkan Zafran terus merengkuh karena sejujurnya aku pun membutuhkan dekapan dari anak-anak yang selalu menjadi sumber kekuatan.

"Ehem!"

Mendengar deheman sang ayah Zafran segera mengurai pelukan, memutar badan lalu masuk ke dalam kamar tanpa berkata apa pun kepada Mas Abi.

"Zafran kenapa?" tanya lelaki dengan gelar suami itu seraya menatap tajam.

"Kenapa apanya? Dia terlihat baik-baik saja?" Aku balik bertanya, memalingkan wajah menghindari tatapannya yang terlihat semakin berubah. Tidak ada kehangatan serta kasih sayang, hanya rasa kesal serta prasangka yang terus ia tunjukkan.

"Dia tidak menghormati saya loh? Bahkan pulang dari musala bukannya cium tangan ayahnya malah nyelonong begitu saja. Pasti ini ajaran kamu kan? Kamu sengaja mendoktrin otak anak-anak, menceritakan semua keburukan saya kepada mereka supaya mereka membenci ayahnya!" tudingnya.

Aku mengucap istighfar, menggeleng tidak percaya mendengar apa yang telah ia tuduhkan.

"Dan satu lagi, Bun. Untuk apa kamu membeberkan semuanya ke Fira, memberitahu masalah hutang-hutang saya juga. Kamu sengaja ingin mempermalukan saya?"

"Memangnya kenapa kalau saya memberitahu dia masalah hutang?"

"Ya jelas salah, karena ini rahasia kita berdua, bahkan anak-anak pun tidak perlu tahu masalah ini, apalagi orang lain?"

"Fira itu selingkuhan kamu, Mas. Jadi biar dia tahu pahitnya hidup kamu, bukan hanya tahu enaknya doang!"

"Bukannya istri itu pakaian suami, jadi seorang istri itu wajib hukumnya menyembunyikan aib suaminya?"

Rasanya ingin tertawa mendengar dalil yang ia keluarkan. Sok agamis, tetapi berani melakukan dosa besar, dan sekarang malah menyalahkan aku atas semua. Egois memang.

"Istri itu memang pakaian suaminya, tetapi terkadang sebagai suami sering sekali mengoyak pakaian itu, hingga akhirnya si istri menelanjangi suaminya sendiri!" jawabku sambil mendaratkan bokong secara perlahan, mengaduk gula yang ada di dalam teh supaya cepat larut lalu menyesapnya sedikit demi sedikit.

Menit berikutnya Zafir datang dengan senyum terkembang. Aku memberi kode supaya Mas Abi duduk di sebelahku, bersandiwara seperti biasa supaya dia tidak curiga kalau sebenarnya rumah tangga kedua orangtuanya tengah berada diambang kehancuran.

Demi anak-anak aku akan berusaha menjadi setegar karang, tetap berdiri kokoh walau terus saja dihempas sang ombak.

Aku tahu lambat laun semua ini pasti akan terdengar di telinga ketiga buah hatiku, akan tetapi sebisa mungkin akan kusimpan sendiri, walau jujur hati mulai tidak kuat menahan lara yang kian menikam sukma.

"Besok kamu libur kan, Dek?" tanyaku kepada Zafir, setelah dia selesai santap pagi.

"Iya, Bun. Alhamdulillah ujian saya sudah selesai, tinggal istirahatkan otak sambil menunggu nilai. Doin, ya Bun. Mudah-mudahan saya mendapatkan nilai terbaik supaya bisa masuk ke universitas favorit!" sahutnya terlihat senang.

"Aamiin. Berapa pun nilai Adek, Bunda tetap bangga karena Adek sudah berusaha semaksimal mungkin." Menggenggam jemari anakku.

"Adek mau minta hadiah apa dari Ayah?" sambung Mas Abi, menatap dengan aura teduh wajah si bungsu.

"Saya nggak minta apa-apa, Yah. Hanya mau Ayah tetap bersama kami, menyayangi Bunda dan jangan buat Bunda menangis, sebab setitik air mata Bunda yang mengalir karena disakiti oleh Ayah, itu sama dengan seribu luka yang Ayah tancapkan di hati saya!"

Kami berdua saling memandang mendengar jawaban dari Zafir. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa sebenarnya diam-diam dia tahu kalau ayah serta bundanya sering berseteru?

"Kenapa Adek bicara seperti itu?" Daripada penasaran aku pun menanyakan alasannya.

"Maaf kemarin saya dan Kak Zafran tanpa sengaja melihat Bunda menangis tetapi Ayah malah mengabaikan. Ayah pergi begitu saja, padahal biasanya Ayah selalu membujuk Bunda kalau sedang merajuk," akunya sambil menunduk.

"Oh, itu? Iya kemarin Bunda menangis karena minta dianterin ke makam Kumpi tapi Ayah nggak mau, soalnya Ayah sibuk. Bukan karena Ayah menyakiti Bunda. Ayah pergi ninggalin Bunda juga karena Bunda yang suruh kok!" terangku berdusta, padahal memang semua yang dikatakan oleh Zafir benar adanya. Akhir-akhir ini aku memang sering menangis karena merasa sakit hati kepada ayahnya, tetapi tidak menyangka kalau anak-anak sampai memergoki.

"Saya pikir Bunda dan Ayah ribut, makanya saya takut, apalagi akhir-akhir ini saya sering mimpi kalau Ayah pergi meninggalkan kami semua!"

"Mimpi itu cuma kembang tidur, Sayang. Mimpi juga bisa datang dari Allah, bisa juga datang dari syaitan. Makanya sebelum tidur jangan lupa baca doa supaya tidak mendapatkan mimpi yang aneh-aneh!" nasihatku.

"Iya, Bun. Yasudah kalau begitu saya mau ganti pakaian, mau berangkat sekolah!" pamit Zafir sambil beranjak dari duduknya lalu pergi meninggalkan aku dan Mas Abi.

"Semuanya gara-gara kamu, Bun. Coba kalau tidak membahas masalah ini terus terusan, pasti anak-anak nggak akan ada yang lihat kamu nangis!" protes suami, menyalahkan diri ini.

Astaghfirullahaladzim ... memang benar cerita orang-orang berpengalaman bahwa lelaki jika sudah selingkuh dan ketahuan bukannya mengaku salah lalu memperbaiki diri, tetapi malah akan semakin menyalahkan kita istrinya, seolah apa yang sudah dilakukan adalah suatu yang wajar juga harus dimaklumi.

Sabar, Hanin. Badai pasti segera berlalu, dan yakinlah bahwa Allah sedang menyiapkan skenario indah untuk kamu dan anak-anak.

Daripada kembali berdebat memilih pergi meninggalkan Mas Abi, sebab khawatir anak-anak semakin mencurigai keadaan kami.

"Sekarang kamu berani, ya Bun. Suami sedang bicara kamu malah ngeloyor pergi tanpa permisi. Di mana rasa hormat kamu ke saya, Bunda?" Tidak disangka Mas Abi malah mengejar lalu mencekal lenganku dengan kasar.

"Rasa hormat saya sudah hilang semenjak tahu kalau Mas sudah berkhianat, apalagi sampai melakukan zina!" jawabku setengah berbisik.

"Bukannya saya sudah berkali-kali minta maaf? Saya sudah mengaku khilaf dan berniat memperbaiki semua tapi kamu malah mengungkitnya terus!"

"Kata maaf Mas tidak akan mengubah segalanya. Aku akan tetap menuntut cerai jika waktunya sudah tepat!"

"Ya Allah, Bunda. Tolong jangan egois. Saya sangat mencintai kamu dan tidak mungkin bisa hidup tanpa kamu, Bun. Ayah mohon jangan bahas perceraian terus. Demi Allah Ayah khilaf dan akan memperbaiki semua. Ayah mengaku salah, dan mulai detik ini saya tidak akan lagi menemui Fira!"

"Kamu bilang kalau saya egois? Lantas Mas sendiri apa?"

"Oke! Iya Ayah akui kalau Ayah salah, Ayah yang egois. Ayah sudah berselingkuh, sudah melakukan dosa besar, tetapi tidakkah Bunda mau memberikan kesempatan yang kedua bagi Ayah?"

"Entahlah, Mas. Saya sudah malas membahas itu. Saya mau pergi siap-siap dulu!"

"Memangnya Bunda mau ke mana?"

"Ke rumah temen. Mau jenguk cucunya!"

"Naik apa? Maaf Ayah nggak bisa antar, soalnya ada urusan penting!"

"Bukannya sudah sekitar satu tahunan saya memang sudah terbiasa kemana-mana sendiri? Bukannya akhir-akhir ini Ayah memang selalu beralasan sibuk jika saya meminta ditemani pergi?"

Perdebatan kami terhenti ketika Zafran keluar dari kamar sambil menggendong tas ransel di punggung, sepertinya dia mau berangkat kuliah.

Dia kemudian menghampiri kami berdua, menyalami serta mencium bagian punggung kedua orang tuanya tanpa berkata apa-apa.

***

Dua pekan kini telah berlalu, semua hari kujalani dengan begitu berat karena selalu bersandiwara di depan semua orang, menutupi kesalahan suami demi harga dirinya di depan anak-anak.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau pernikahan kami yang selalu harmonis harus melewati kerikil setajam ini, berada di ujung tanduk juga di ujung kehancuran. Orang yang selalu aku cintai berani mengkhianati, membagi raga juga cinta dengan cara yang tidak halal seperti itu.

Andai saja sebelumnya Mas Abi berbicara baik-baik, meminta izin untuk menikahi Elfira secara siri, meski sakit mungkin rasanya tidak sehancur ini.

Tetapi semuanya sudah terjadi, nasi yang sudah menjadi bubur tidak akan bisa diubah menjadi beras kembali. Kini tinggal aku memikirkan ke depannya, mencari kegiatan yang menghasilkan supaya tetap bisa menghidupi anak-anak setelah berpisah dengan suami, karena kebiasaan lelaki jika sudah tidak lagi hidup bersama dia seolah lupa dengan tanggung jawabnya, lebih fokus kepada keluarga barunya dan perlahan melupakan kewajiban yang sesungguhnya.

Suara dering ponsel membuyarkan lamunan panjangku. Terlihat di layar Revan memanggil, dan biasanya jika ia menghubungi pasti ada hal penting yang hendak ia sampaikan.

Apa jangan-jangan Zarina sudah mau melahirkan?

"Assalamualaikum, Van. Ada apa?" sapaku dengan salam.

"Waalaikumussalam, maaf apa Bunda bisa datang ke rumah sakit, soalnya Zarina harus dioperasi sekarang juga karena air ketubannya sudah pecah tetapi belum ada bukaan sama sekali!" Ia memberitahu keadaan anak sulungku saat ini.

"Iya, Van. Sekarang juga Bunda ke sana ya?"

"Baik, Bunda. Sekalian tolong bilangin ke Ayah ya, Bun. Uang yang dipinjam beliau mau dipakai buat bayar biaya operasi karena hanya itu sisa tabungan saya. Di rekening ada tapi cuma sedikit, takut tidak cukup!"

"Ayah punya hutang sama kamu, Van?"

"Iya, Bun. Saya dari pagi sudah berusaha menghubungi beliau tetapi panggilan saya selalu ditolak. Makanya saya lancang meminta tolong sama Bunda!"

Astaghfirullahaladzim ... ternyata Mas Abi juga punya hutang sama Revan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status