Share

Part 6

"Memangnya berapa hutang Ayah ke kamu, Van?" tanyaku, mengulik informasi dari menantu karena selama ini Mas Abi tidak pernah cerita apa-apa tentang hutangnya.

"Nggak banyak, Bun. Hanya tiga puluh lima juta, tapi kan Bunda tahu sendiri uang saya sudah habis dipakai untuk renovasi rumah, jadi tabungan saya sudah habis, sisa yang dipinjam Ayah saja karena memang uang tersebut dialokasikan untuk biaya persalinan Zarina!" jawab Revan terdengar sungkan.

"Yasudah, tolong kamu jaga baik-baik Zarina, sebentar lagi Bunda ke rumah sakit sekalian bawa uangnya!"

"Baik, Bun. Kalau bisa jangan lama-lama, ya Bun. Soalnya Zarina nanyain Bunda terus."

"Iya, Van. Ini Bunda sudah mau siap-siap."

"Terima kasih. Sekali lagi saya minta maaf karena sudah merepotkan Bunda.

"Tidak sama sekali, Sayang."

"Assalamualaikum, Bun!"

Aku menutup sambungan telepon setelah menjawab salam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya menahan kesal karena diam-diam Mas Abi meminjam uang kepada menantunya tanpa sepengetahuan dariku.

Membuka blokiran, aku pun segera menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi pria itu tidak jua menjawab panggilan.

Aku pun memutuskan untuk menghubungi Revi karyawati kami, menanyakan keberadaan Mas Abi, dan rasa sesak kembali memenuhi rongga dada ketika tahu saat ini ia sedang tidak berada di restoran.

Pasti laki-laki itu sedang bersama selingkuhannya. Astaghfirullahaladzim ... kalau terus menerus seperti apa aku bisa terus merahasiakannya dari anak-anak?

Gontai mengayunkan kaki menuju lemari, mengambil kerudung lalu segera memakainya, menatap wajah dalam pantulan cermin dan jika diperhatikan aku tidak terlalu terlihat tua karena rajin merawat diri, bahkan banyak yang mengira kalau aku lebih muda dari Elfira. Tetapi kenapa Mas Abi sampai berpaling?

Kembali mengucap istighfar, menyambar kunci mobil lalu segera menyusul Zarina ke rumah sakit.

Awalnya ingin menggerebek suami di rumah selingkuhannya, akan tetapi karena Revan kembali menghubungi dan mengatakan kalau Zarina terus mencariku lebih baik menanggalkan rasa penasaran juga kesal demi anak sulungku.

[Saya tunggu di rumah sakit. Zarina mau melahirkan dan jangan lupa bawa uang tiga puluh lima juta yang Mas pinjam ke Revan.]

Mengirimkan pesan kepada suami, berharap dia segera membaca lalu menyusul kami di rumah sakit.

Sepanjang perjalanan aku terus mencoba berkonsentrasi mengemudi, terkadang sesekali air mata lolos tanpa permisi jika mengingat semua yang dilakukan Mas Abi.

Allahu Akbar ... rasanya cobaan yang Tuhan berikan terlalu besar, sampai-sampai aku hampir menyerah juga mengeluhkan apa yang terlah ditakdirkan.

“Hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wani'mannasir." Aku membaca zikir tersebut berkali-kali, supaya beban yang tengah mengimpit dada perlahan berkurang.

Hingga mobil yang dikemudikan menepi di depan Instalasi Gawat Darurat, Mas Abi belum juga membaca pesan yang aku kirimkan.

Sedang apa dia dengan Elfira? Pasti mereka sedang bersenang-senang sampai mengabaikan panggilan dariku.

Mas Abi memang sudah benar-benar berubah. Hanya gara-gara seorang wanita yang baru dikenalnya rela mengorbankan rumah tangga yang telah begitu lama kami bina, memuliakan seorang janda sampai lupa dengan istri sahnya.

Mengayunkan kaki lebar-lebar menuju ruang operasi, menghampiri Zarina serta Revan yang sedang menungguku.

"Alhamdulliah akhirnya Bunda datang juga!" ucap Revan seraya menyalami tanganku lalu mencium bagian punggungnya dengan takzim.

Aku pun segera menyambut uluran tangan Zarina, mencium setiap inci wajah bidadariku dan memberi dia semangat agar tidak lagi merasa takut.

Menit berikutnya perawat mendorong brankar masuk ke ruang operasi, sementara aku terus menunggu dengan perasaan resah bercampur gelisah bersama Revan.

Lampu indikator menyala, menandakan bahwa tindakan bedah telah dimulai. Hanya doa yang bisa aku ucapkan, berharap Allah melancarkan proses persalinan cucu pertamaku.

Suara tangis bayi memecah keheningan juga mengurai ketegangan. Revan mengucap takbir sambil bersujud di lantai, menangis terharu apalagi ketika dokter anak membawa cucuku kepadanya, meminta sang ayah untuk mengazani malaikat kecil yang baru terlahir ke dunia itu.

"Assalamualaikum, selamat hadir di dunia, Cucu Neda. Semoga kamu kelak menjadi anak yang salih, panjang umur, sehat terus dan semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan kepadamu dan memperluas rezeki kamu, dan Neda berharap supaya kamu selalu tumbuh menjadi anak yang berbakti," ucapku sambil menatap penuh haru putra pertama Zarina.

Rasanya gemas sekali, ingin mencium pipi kemerah-merahannya, akan tetapi belum diperbolehkan oleh dokter, sebab bayi yang baru lahir memiliki daya tahan tubuh yang masih lemah, dan hal ini membuat tubuh bayi rentan terinfeksi kuman serta virus yang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan.

***

Gema suara azan ashar terdengar begitu merdu di mushala rumah sakit. Aku segera pamit kepada Revan untuk melaksanakan ibadah salat asar, lalu setelahnya kembali berusaha menghubungi Mas Abi.

Tidak aktif. Nomor pria berusia empat puluh tujuh tahun itu malah berada di luar jangkauan. Aku tidak akan membiarkan ini berlarut-larut. Harus menyelesaikan masalah secepatnya, menjemput Mas Abi di rumah Elfira lalu meminta uang Revan yang telah dipinjam olehnya.

"Sayang, Bunda pamit pulang dulu ya? Kamu jangan lupa istirahat, nanti kalau ada apa-apa langsung hubungi Bunda saja!" pamitku sambil mencium pipi Zarina, disambut anggukan serta senyuman manis oleh si sulung.

"Hati-hati, Bun!" ucapnya kemudian.

"Terima kasih sudah mau direpotkan, Bun!" sambung Revan sambil menyalami tanganku.

"Bunda tidak pernah merasa direpotkan, Revan. Zarina itu anak Bunda, jadi sudah menjadi kewajiban Bunda untuk membantu menjaga dia. Titip anak Bunda, ya Van. Untuk masalah uang yang Ayah pinjam, nanti malam insya Allah Bunda transfer ke nomor rekening kamu!"

"Iya, Bun!"

Aku melambaikan tangan sambil mengucapkan salam, mengukir senyum lebar walaupun sebenarnya hati terasa hambar. Entah kapan sandiwara ini akan diakhiri, sebab ternyata hatiku tidak sekuat baja dan mudah sekali terluka.

Deru mesin mobil membawaku menjauh dari parkiran rumah sakit. Tujuanku kali ini yaitu ke rumah Elfira, ingin menemui suami bila perlu menikahkan mereka berdua supaya tidak terus menerus menyelami samudra dosa. Jika sekarang kebahagiaan suami adalah selingkuhannya, aku pun lebih memilih menyerah. Walau berat harus kulepas, sebab tetap bersama pun akan terus dibayang-bayangi oleh Elfira.

Perputaran keempat roda mobilku berhenti tepat di depan rumah yang dulu dibeli oleh Restu dengan bantuanku juga Mas Abi. Sambil mengayunkan langkah hati ini tidak henti-hentinya mengucap basamalah, mencoba menahan amarah yang perlahan mulai membuncah.

Pelan kuayunkan tangan, mengetuk pintu rumah Elfira sambil mengucapkan salam hingga terdengar suara sahutan dari dalam.

"Hai, Dek? Mas Abi ada? Saya mau bertemu dengan suami saya?" sapaku sambil tersenyum, sementara Elfira terlihat begitu tegang melihat kedatanganku yang secara tiba-tiba.

"Mas Abi tidak ke sini, Mbak!" jawabnya sambil menunduk, sepertinya dia malu, atau karena sedang menyembunyikan sesuatu dariku.

"Dia nggak ke sini, Dek? Apa jangan-jangan ke rumah selingkuhan yang lainnya?"

Spontan kepala wanita berusia tiga puluh dua tahun itu terangkat, dan bisa dilihat dengan jelas ada ketakutan yang berusaha dia sembunyikan. Takut dicampakkan Mas Abi mungkin?

"Tolong panggilkan Mas Abi, Dek. Soalnya saya ada penting sama dia. Pokoknya kamu tenang saja, saya tidak akan membawa dia pulang, karena saya kan sudah menyerahkan dia ke kamu?"

"Demi Allah Mas Abi sedang tidak berada di sini, Mbak. Bahkan sudah beberapa hari ini dia nggak datang ke rumah, panggilan saya saja tidak pernah dijawab, bahkan pesan yang saya kirim selalu diabaikan!"

Aku terus menatap dua bulat beningnya, dan sepertinya kali ini ia sedang berkata jujur.

"Yasudah kalau begitu saya permisi, assalamualaikum!" Lekas memutar badan meninggalkan rumah perempuan itu, karena masih diselimuti rasa penasaran tentang keberadaan Mas Abi sekarang.

Apa jangan-jangan dia memang memiliki selingkuh lain selain Elfira?

Astagfirullah ... kenapa jadi berprasangka buruk seperti ini.

"Mbak Hanin!"

Langkah yang tengah terayun mendadak berderap kaku ketika mendengar Elfira memanggil namaku.

"Tolong bantu saya membujuk Mas Abi untuk menikahi saya, Mbak!" pintanya benar-benar sudah melampaui batas. "Saya hamil, tetapi Mas Abi tidak mau menikahi saya. Dia tidak mau bertanggung jawab!"

Bagai tertusuk ribuan belati aku mendengar ucapan Elfira kali ini. Mata ini terpejam, hati menjerit perih mendengar pengakuan wanita yang kini tengah berdiri di belakangku.

"Saya berjanji akan menjadi adik yang baik jika Mas Abi bersedia menikahi saya, akan tetap menghormati Mbak Hanin dan menganggap Mbak sebagai kakak sendiri!" katanya lagi, begitu enteng tanpa rasa bersalah sama sekali.

Lekas kuambil udara sebanyak-banyaknya, mencoba menguatkan diri, agar tidak terlihat lemah di depan selingkuhannya Mas Abi.

"Kamu tahu ini apa, Dek?" Mengambil mainan usang Sabrina yang sudah tidak lagi dipakai. "Kamu itu sama seperti mainan ini. Kalau masih dibutuhkan pasti akan dicari-cari, dianggap spesial, tetapi kalau sudah bosan ... dibuang!" Kembali melempar mainan tersebut ke dalam tong sampah, sambil tersenyum manis walau hati rasanya ingin menangis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status