Share

Part 6

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2023-08-11 18:06:02

"Memangnya berapa hutang Ayah ke kamu, Van?" tanyaku, mengulik informasi dari menantu karena selama ini Mas Abi tidak pernah cerita apa-apa tentang hutangnya.

"Nggak banyak, Bun. Hanya tiga puluh lima juta, tapi kan Bunda tahu sendiri uang saya sudah habis dipakai untuk renovasi rumah, jadi tabungan saya sudah habis, sisa yang dipinjam Ayah saja karena memang uang tersebut dialokasikan untuk biaya persalinan Zarina!" jawab Revan terdengar sungkan.

"Yasudah, tolong kamu jaga baik-baik Zarina, sebentar lagi Bunda ke rumah sakit sekalian bawa uangnya!"

"Baik, Bun. Kalau bisa jangan lama-lama, ya Bun. Soalnya Zarina nanyain Bunda terus."

"Iya, Van. Ini Bunda sudah mau siap-siap."

"Terima kasih. Sekali lagi saya minta maaf karena sudah merepotkan Bunda.

"Tidak sama sekali, Sayang."

"Assalamualaikum, Bun!"

Aku menutup sambungan telepon setelah menjawab salam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya menahan kesal karena diam-diam Mas Abi meminjam uang kepada menantunya tanpa sepengetahuan dariku.

Membuka blokiran, aku pun segera menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi pria itu tidak jua menjawab panggilan.

Aku pun memutuskan untuk menghubungi Revi karyawati kami, menanyakan keberadaan Mas Abi, dan rasa sesak kembali memenuhi rongga dada ketika tahu saat ini ia sedang tidak berada di restoran.

Pasti laki-laki itu sedang bersama selingkuhannya. Astaghfirullahaladzim ... kalau terus menerus seperti apa aku bisa terus merahasiakannya dari anak-anak?

Gontai mengayunkan kaki menuju lemari, mengambil kerudung lalu segera memakainya, menatap wajah dalam pantulan cermin dan jika diperhatikan aku tidak terlalu terlihat tua karena rajin merawat diri, bahkan banyak yang mengira kalau aku lebih muda dari Elfira. Tetapi kenapa Mas Abi sampai berpaling?

Kembali mengucap istighfar, menyambar kunci mobil lalu segera menyusul Zarina ke rumah sakit.

Awalnya ingin menggerebek suami di rumah selingkuhannya, akan tetapi karena Revan kembali menghubungi dan mengatakan kalau Zarina terus mencariku lebih baik menanggalkan rasa penasaran juga kesal demi anak sulungku.

[Saya tunggu di rumah sakit. Zarina mau melahirkan dan jangan lupa bawa uang tiga puluh lima juta yang Mas pinjam ke Revan.]

Mengirimkan pesan kepada suami, berharap dia segera membaca lalu menyusul kami di rumah sakit.

Sepanjang perjalanan aku terus mencoba berkonsentrasi mengemudi, terkadang sesekali air mata lolos tanpa permisi jika mengingat semua yang dilakukan Mas Abi.

Allahu Akbar ... rasanya cobaan yang Tuhan berikan terlalu besar, sampai-sampai aku hampir menyerah juga mengeluhkan apa yang terlah ditakdirkan.

“Hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wani'mannasir." Aku membaca zikir tersebut berkali-kali, supaya beban yang tengah mengimpit dada perlahan berkurang.

Hingga mobil yang dikemudikan menepi di depan Instalasi Gawat Darurat, Mas Abi belum juga membaca pesan yang aku kirimkan.

Sedang apa dia dengan Elfira? Pasti mereka sedang bersenang-senang sampai mengabaikan panggilan dariku.

Mas Abi memang sudah benar-benar berubah. Hanya gara-gara seorang wanita yang baru dikenalnya rela mengorbankan rumah tangga yang telah begitu lama kami bina, memuliakan seorang janda sampai lupa dengan istri sahnya.

Mengayunkan kaki lebar-lebar menuju ruang operasi, menghampiri Zarina serta Revan yang sedang menungguku.

"Alhamdulliah akhirnya Bunda datang juga!" ucap Revan seraya menyalami tanganku lalu mencium bagian punggungnya dengan takzim.

Aku pun segera menyambut uluran tangan Zarina, mencium setiap inci wajah bidadariku dan memberi dia semangat agar tidak lagi merasa takut.

Menit berikutnya perawat mendorong brankar masuk ke ruang operasi, sementara aku terus menunggu dengan perasaan resah bercampur gelisah bersama Revan.

Lampu indikator menyala, menandakan bahwa tindakan bedah telah dimulai. Hanya doa yang bisa aku ucapkan, berharap Allah melancarkan proses persalinan cucu pertamaku.

Suara tangis bayi memecah keheningan juga mengurai ketegangan. Revan mengucap takbir sambil bersujud di lantai, menangis terharu apalagi ketika dokter anak membawa cucuku kepadanya, meminta sang ayah untuk mengazani malaikat kecil yang baru terlahir ke dunia itu.

"Assalamualaikum, selamat hadir di dunia, Cucu Neda. Semoga kamu kelak menjadi anak yang salih, panjang umur, sehat terus dan semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan kepadamu dan memperluas rezeki kamu, dan Neda berharap supaya kamu selalu tumbuh menjadi anak yang berbakti," ucapku sambil menatap penuh haru putra pertama Zarina.

Rasanya gemas sekali, ingin mencium pipi kemerah-merahannya, akan tetapi belum diperbolehkan oleh dokter, sebab bayi yang baru lahir memiliki daya tahan tubuh yang masih lemah, dan hal ini membuat tubuh bayi rentan terinfeksi kuman serta virus yang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan.

***

Gema suara azan ashar terdengar begitu merdu di mushala rumah sakit. Aku segera pamit kepada Revan untuk melaksanakan ibadah salat asar, lalu setelahnya kembali berusaha menghubungi Mas Abi.

Tidak aktif. Nomor pria berusia empat puluh tujuh tahun itu malah berada di luar jangkauan. Aku tidak akan membiarkan ini berlarut-larut. Harus menyelesaikan masalah secepatnya, menjemput Mas Abi di rumah Elfira lalu meminta uang Revan yang telah dipinjam olehnya.

"Sayang, Bunda pamit pulang dulu ya? Kamu jangan lupa istirahat, nanti kalau ada apa-apa langsung hubungi Bunda saja!" pamitku sambil mencium pipi Zarina, disambut anggukan serta senyuman manis oleh si sulung.

"Hati-hati, Bun!" ucapnya kemudian.

"Terima kasih sudah mau direpotkan, Bun!" sambung Revan sambil menyalami tanganku.

"Bunda tidak pernah merasa direpotkan, Revan. Zarina itu anak Bunda, jadi sudah menjadi kewajiban Bunda untuk membantu menjaga dia. Titip anak Bunda, ya Van. Untuk masalah uang yang Ayah pinjam, nanti malam insya Allah Bunda transfer ke nomor rekening kamu!"

"Iya, Bun!"

Aku melambaikan tangan sambil mengucapkan salam, mengukir senyum lebar walaupun sebenarnya hati terasa hambar. Entah kapan sandiwara ini akan diakhiri, sebab ternyata hatiku tidak sekuat baja dan mudah sekali terluka.

Deru mesin mobil membawaku menjauh dari parkiran rumah sakit. Tujuanku kali ini yaitu ke rumah Elfira, ingin menemui suami bila perlu menikahkan mereka berdua supaya tidak terus menerus menyelami samudra dosa. Jika sekarang kebahagiaan suami adalah selingkuhannya, aku pun lebih memilih menyerah. Walau berat harus kulepas, sebab tetap bersama pun akan terus dibayang-bayangi oleh Elfira.

Perputaran keempat roda mobilku berhenti tepat di depan rumah yang dulu dibeli oleh Restu dengan bantuanku juga Mas Abi. Sambil mengayunkan langkah hati ini tidak henti-hentinya mengucap basamalah, mencoba menahan amarah yang perlahan mulai membuncah.

Pelan kuayunkan tangan, mengetuk pintu rumah Elfira sambil mengucapkan salam hingga terdengar suara sahutan dari dalam.

"Hai, Dek? Mas Abi ada? Saya mau bertemu dengan suami saya?" sapaku sambil tersenyum, sementara Elfira terlihat begitu tegang melihat kedatanganku yang secara tiba-tiba.

"Mas Abi tidak ke sini, Mbak!" jawabnya sambil menunduk, sepertinya dia malu, atau karena sedang menyembunyikan sesuatu dariku.

"Dia nggak ke sini, Dek? Apa jangan-jangan ke rumah selingkuhan yang lainnya?"

Spontan kepala wanita berusia tiga puluh dua tahun itu terangkat, dan bisa dilihat dengan jelas ada ketakutan yang berusaha dia sembunyikan. Takut dicampakkan Mas Abi mungkin?

"Tolong panggilkan Mas Abi, Dek. Soalnya saya ada penting sama dia. Pokoknya kamu tenang saja, saya tidak akan membawa dia pulang, karena saya kan sudah menyerahkan dia ke kamu?"

"Demi Allah Mas Abi sedang tidak berada di sini, Mbak. Bahkan sudah beberapa hari ini dia nggak datang ke rumah, panggilan saya saja tidak pernah dijawab, bahkan pesan yang saya kirim selalu diabaikan!"

Aku terus menatap dua bulat beningnya, dan sepertinya kali ini ia sedang berkata jujur.

"Yasudah kalau begitu saya permisi, assalamualaikum!" Lekas memutar badan meninggalkan rumah perempuan itu, karena masih diselimuti rasa penasaran tentang keberadaan Mas Abi sekarang.

Apa jangan-jangan dia memang memiliki selingkuh lain selain Elfira?

Astagfirullah ... kenapa jadi berprasangka buruk seperti ini.

"Mbak Hanin!"

Langkah yang tengah terayun mendadak berderap kaku ketika mendengar Elfira memanggil namaku.

"Tolong bantu saya membujuk Mas Abi untuk menikahi saya, Mbak!" pintanya benar-benar sudah melampaui batas. "Saya hamil, tetapi Mas Abi tidak mau menikahi saya. Dia tidak mau bertanggung jawab!"

Bagai tertusuk ribuan belati aku mendengar ucapan Elfira kali ini. Mata ini terpejam, hati menjerit perih mendengar pengakuan wanita yang kini tengah berdiri di belakangku.

"Saya berjanji akan menjadi adik yang baik jika Mas Abi bersedia menikahi saya, akan tetap menghormati Mbak Hanin dan menganggap Mbak sebagai kakak sendiri!" katanya lagi, begitu enteng tanpa rasa bersalah sama sekali.

Lekas kuambil udara sebanyak-banyaknya, mencoba menguatkan diri, agar tidak terlihat lemah di depan selingkuhannya Mas Abi.

"Kamu tahu ini apa, Dek?" Mengambil mainan usang Sabrina yang sudah tidak lagi dipakai. "Kamu itu sama seperti mainan ini. Kalau masih dibutuhkan pasti akan dicari-cari, dianggap spesial, tetapi kalau sudah bosan ... dibuang!" Kembali melempar mainan tersebut ke dalam tong sampah, sambil tersenyum manis walau hati rasanya ingin menangis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Harsa Amerta Nawasena
Abi ternyata suka ganti-ganti selingkuhan, nggak nyangka ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Surga yang Telah Retak    Part 87 (Ending)

    Esok harinya, aku kembali datang ke rumah sakit menyusul Zafran yang sejak kemarin masih setia menunggui Mas Abi, ditemani oleh Safania, karena aku berniat mengenalkan dia dengan calon ayah mertuanya sebagai bentuk ikhtiar, siapa tahu setelah melihat calon menantunya Mas Abi bisa memiliki semangat hidup kembali.“Tadi dokter baru saja memeriksa, dan kata dokter keadaan Ayah semakin bertambah parah, Bun. Dokter juga sudah angkat tangan,” ujar Zafran ketika aku baru saja sampai.“Innalillahi, ya Allah. Terus, apa kata dokter lagi?” tanyaku.“Tidak ada. Dokter hanya menyuruh kita untuk terus berdoa supaya ada keajaiban dari Allah,” jawab anakku, membuat dada ini terasa semakin sesak karenanya.Kupandangi wajah pucat Mas Abi, ekspresinya terlihat begitu sedih juga kelelahan.“Mas, saya minta maaf karena belum berhasil membuat anak-anak datang ke sini menjenguk Mas Abi. Tetapi lihat, saya bawa calon menantu kita. Namanya Safania. Dia adalah ca

  • Surga yang Telah Retak    Part 86

    Aku menatap lekat wajah Zafran yang tengah berdiri di sebelahku.“Maaf, Dokter. Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan ini, karena saya yakin kalau ayah saya masih bisa sembuh,” tolak anakku kemudian.“Untuk masalah itu terserah Mas dan Ibu, karena keputusan mutlak ada di tangan kalian,” kata dokter lagi. “Tapi sebagai sesama muslim, saya hanya ingin mengingatkan supaya Bapak ditunggui, minimal oleh putra-putrinya jika memang beliau sudah bercerai dengan Ibu, karena di saat seperti ini Bapak juga butuh dukungan dari orang-orang terdekat. Dan jika pun beliau tidak panjang umur, beliau akan merasa bahagia karena ketika sedang sakaratul maut semua anaknya mendampingi dan mendoakan beliau,” imbuhnya, benar-benar mengena di hati.Sepertinya aku harus terus berusaha membujuk Zarina dan Zafir untuk menjenguk ayahnya, sebab takut kalau Mas Abi memang sudah hendak pergi, hanya saja merasa berat karena sedang menunggu mereka berdua.“Ya sudah, kalau

  • Surga yang Telah Retak    Part 85

    Dua hari sudah berlalu setelah acara pertunangan Zafran dengan Safania, dan sekarang mereka sudah mulai mencicil barang-barang yang akan dijadikan seserahan.Sebagai seorang ibu aku menyarankan supaya Zafran membawa calon istrinya saat berbelanja barang yang akan dibawanya nanti, supaya menyesuaikan selera Safania dan tidak salah beli. Takut mubazir jika hanya kami yang berbelanja.“Calon istrinya Zafran cantik banget, ya Bunda Zarina. Anak orang kaya tapi kelihatan kalem, sopan, juga kelihatan sayang banget sama Bunda Zarina,” komentar salah seorang tetangga ketika tanpa sengaja bertemu di warung sayur.“Alhamdulillah, Bu. Doain ya, semoga pernikahan mereka berdua lancar nantinya. Jangan lupa juga nanti pada ikut ngebesan,” jawabku sambil mengukir senyum.“Iya. Omong-omong tapi kok Pak Abi nggak ikut nganter ya? Padahal kemarin sebelum kita jalan beliau ada loh, malah nanya ke saya ada acara apa, saya jawab ada acara lamaran, tapi habis itu

  • Surga yang Telah Retak    Part 84

    POV Hanina.“Fran, coba kamu lihat ke depan. Ayah sudah sampai apa belum?” Aku meminta anak keduaku untuk mencari Mas Abi di antara para tamu yang datang, karena sebentar lagi rombongan akan berangkat menuju rumah Pak Sadewa untuk melamar Safania putrinya.“Iya, Bun.” Zafran yang sudah terlihat gagah dengan kemeja berwarna abu-abu segera mengayunkan kaki ke depan, akan tetapi katanya tidak melihat sang ayah dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya.Aku pun segera menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi nomor mantan suami malah sedang berada di luar jangkauan.Apa dia lupa kalau hari ini aku mengundangnya datang untuk mendampingi sang anak melamar pujaan hatinya?“Abi belum datang, Mbak?” tanya Mas Rendi sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.“Belum, Mas. Nomornya juga enggak aktif,” jawabku.“Ke mana dia kira-kira. Tapi Mbak Hanina udah kasih tahu kalau hari ini ada acara kan?” tanyanya lagi.

  • Surga yang Telah Retak    Part 83

    Hari ini, aku datang menjenguk Elfira sekaligus membawakan makanan kesukaannya. Kupandangi dari kejauhan wajah cantiknya, karena semenjak menjadi pasien rumah sakit jiwa dia selalu berpenampilan rapi, selalu memoles wajahnya dengan make-up dan kata dokter yang menangani dia selalu mengatakan kalau saat ini sedang menunggu aku pulang dari restoran.“Kalau menurut saran dan pendapat saya, Pak. Sebaiknya Bapak merujuk Ibu, siapa tahu dengan cara kembali hidup bersama Bapak beliau memiliki semangat hidup, karena obat penyakit jiwa yang sesungguhnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat. Soalnya kalau saya perhatikan, Ibu itu sangat mencintai Bapak, sementara Bapak setiap membesuk saja selalu bersembunyi, tidak mau menemui Ibu dengan alasan trauma dianiaya. Padahal, bisa jadi jika Bapak melakukan pendekatan, membantu kami tim medis untuk mengobatinya mungkin penyakit Bu Elfira tidak akan separah sekarang,” ujar dokter panjang lebar ketika aku hendak pamit setelah s

  • Surga yang Telah Retak    Part 82

    “Mas?” Aku yang sudah terpejam membuka mata secara perlahan karena mendengar Elfira memanggil namaku.“Apa kita sudah berada di surga? Tadi Bina ngajak aku ke surga loh?” racunnya sambil mengedarkan pandang.“Ini rumah sakit, bukan surga!” ketusku.“Kenapa aku ada di rumah sakit?” Wajah wanita itu terlihat kebingungan. Entah dia sedang bersandiwara dan berpura-pura, atau memang akibat dari halusinasi.“Kamu mencoba mengakhiri hidup dengan cara memotong nadi.”“Bunuh diri?” “Iya. Lihat tangan kamu, diperban kan? Tolong jangan bertingkah konyol, Fira. Jangan bikin Mas tambah susah. Lagian bunuh diri itu bukan jalan keluar dari semua masalah, tetapi justru malah menambah masalah baru. Memangnya dengan bunuh diri semuanya langsung selesai dan kamu bakalan masuk surga? Yang ada kamu bakalan jadi kerak di neraka untuk selamanya,” nasihatku panjang lebar, siapa tahu Elfira paham dengan apa yang tengah aku katakan.“A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status