Share

Part 7

Sambil menahan air mata aku memilih pulang ke rumah, ingin menenangkan hati yang terasa begitu sakit luar biasa.

Katanya jodoh itu cerminan diri. Tetapi kenapa jodohku ternyata memiliki sifat asli seperti ini? Apa sembah sujudku selama ini tidak diterima, Ya Rabb?

Bertahun-tahun lamanya aku selalu berusaha menjadi manusia yang baik serta bertaqwa, menjalankan perintah Allah tanpa ada satu pun yang dilanggar, tidak pernah lalai melakukan ibadah baik yang wajib maupun sunah supaya mendapatkan ketenangan hidup juga jodoh terbaik, namun nyatanya jurang terjal tetap menghalangi kebahagiaan yang aku pikir akan kekal abadi.

Apa mungkin cerminku retak sehingga bayangannya tidak sesuai dengan apa yang selalu dilakukan, atau sebenarnya selama ini aku terlalu sombong, terlena dengan kehidupan dunia sampai merasa menjadi orang paling baik juga taat hingga Allah mengirimkan cobaan seberat ini sebagai teguran agar aku mengoreksi diri?

Mobil milik Mas Abi sudah terparkir di halaman rumah, menandakan bahwa sang empunya telah kembali dari petualangannya.

Lekas kutepikan kendaraan roda empatku, mengayunkan kaki cepat sambil menahan amarah yang terasa kian membuncah.

"Bunda baru pulang? Dedeknya Kak Zarina sudah lahir ya, Bun? Apa saya boleh menjenguk Kakak? Soalnya saya kepingin lihat adik bayi!" sambut Zafir sambil mengulurkan tangan, lalu kusambut dan kupeluk jagoanku itu.

"Sudah, Sayang. Kalau Zafir mau pergi silakan, tapi hati-hati!" sahutku memberi izin, supaya bisa leluasa berbicara dengan ayahnya.

"Yasudah kalau begitu saya jalan sekarang, ya Bun!" pamitnya kemudian.

"Iya, Sayang. Hati-hati di jalan, jangan lupa salat magrib!" pesanku sambil tersenyum.

"Iya, Bun."

"Omong-omong, ayah ada di mana?"

"Di kamar. Tapi saya sudah pamit, katanya boleh!"

"Yasudah, hati-hati!" Menepuk pundak Zafir.

Pemuda berusia delapan belas tahun itu kemudian menunggangi kuda besi miliknya, menekan klakson sambil mengucap salam lalu lekas melajukan kendaraan roda dua tersebut dengan kecepatan rendah.

"Tolong lindungi buah hati hamba, ya Allah!" pintaku dalam hati, kemudian segera menutup pintu, menguncinya rapat dan menemui Mas Abi di dalam kamar.

"Sudah pulang, Bun? Bagaimana keadaan cucu kita?" tanya pria bergelar suami itu.

"Kenapa Mas tidak menjawab panggilan saya, dan kenapa Mas selalu menolak panggilan dari Revan?" Bukannya menjawab aku malah bertanya hal itu kepadanya.

Rasanya malas sekali jika harus berbasa-basi, bahkan hanya berdua di dalam saja rasanya jijik sekali, mengingat apa yang selama ini telah ia lakukan. Berselingkuh, melakukan zina, berhutang dimana-mana, dan sekarang ada yang lebih menyakitkan lagi, karena ternyata selingkuhan suami tengah mengandung benih cintanya.

Surgaku telah retak, cintaku telah terkoyak, dan benteng rumah tangga yang telah dibina selama dua puluh lima tahun lamanya sedang berada di ambang kehancuran, sebab pondasi cinta yang selama ini tertanam telah terpatahkan. Tinggal menunggu waktu untuk roboh, lalu hancur lebur hingga rata dengan tanah.

"Ta--tadi Ayah lagi mengemudi, Bun. Jadi tidak berani menjawab panggilan dari kalian!" jawabnya tergagap, dan seperti biasanya ia tidak mau menatap.

Entahlah. Aku merasa kalau laki-laki di hadapanku ini bukan sosok Mas Abi. Dia terlihat berbeda dari segi segalanya.

"Mengemudi mobil yang bisa bicara? Siapa lagi selingkuhan kamu selain Elfira?" Terus menyoroti wajah suami, ingin tahu segala kecurangan yang diam-diam ia lakukan di luaran sana.

"Astagfirullah, Bun. Maksud Bunda apa? Bunda menuduh ayah berselingkuh?!"

"Memang nyatanya kan?"

"Tapi hanya sama Fira, Bun. Dan itu pun sudah berakhir, karena Ayah sudah memutuskan hubungan dengan dia. Ayah memilih kamu sama anak-anak, memilih mempertahankan rumah tangga kita!"

"Lalu bagaimana dengan anak yang ada di dalam rahim Fira, Mas? Dia tidak berdosa tetapi harus terkena imbasnya. Kelak jika besar akan dijuluki si anak haram, padahal anak itu tidak tahu apa-apa, sebab semua murni kesalahan orang tuanya!"

Bibir Mas Abi terkatup rapat, sementara matanya mulai berembun. Entah apa yang dia tangisi, mungkin karena sakit hati dengan apa yang aku katakan tadi.

"Ayah tidak mungkin menikahi dia, Bun. Karena Ayah sangat mencintai Bunda dan tidak mau kehilangan kalian semua. Ayah ingin bertaubat sebelum semuanya terlambat."

Rasanya ingin sekali tertawa, kala dia mengatakan cinta. Kalau tidak mau kehilangan semuanya kenapa berani bermain api? Jika tidak rela ditinggalkan mengapa tidak menjaga pandangan, mengkhianati pernikahan yang telah dikaruniai tiga orang anak bahkan sudah memiliki seorang cucu.

"Bun!" Mas Abi berjalan mendekat, mengambil tanganku sambil menatap mengiba. "Tolong maafkan Ayah. Ayah mohon!"

"Simpan kata maaf kamu, Mas!" Menyingkirkan tangannya yang dulu selalu memberikan kehangatan. Semuanya terasa sulit, karena hati sudah terlalu sakit.

"Beri Ayah kesempatan kedua!"

"Nikahi Elfira, lalu pergi jauh dari kehidupan saya dan anak-anak!"

"Ayah tidak mencintai dia, Bun. Ayah hanya mencintai Bunda."

"Itu hanya omong kosong!"

"Demi Allah."

"Tidak usah bawa-bawa nama Allah."

"Astaghfirullahaladzim, Bunda!" Mas Abi menangis tersedu, duduk terpekur di bibir ranjang dengan tubuh bergetar.

Aku memilih memalingkan wajah, tidak mau terperdaya, apalagi sampai merasa iba. Biarlah dia menanggung sendiri nasibnya. Sudah berani bermain api, maka dia juga harus siap terbakar hingga menjadi arang.

"Sekarang sebaiknya Mas kembalikan uangnya Revan, sebab dia sedang membutuhkan!" titahku kemudian.

"Ayah tidak punya uang, Bun. Tadi Ayah sudah keliling kemana-mana, mencari pinjaman tetapi tidak ada yang mau memberikan. Teman-teman Ayah sudah tidak ada lagi yang mau membantu!" Tangisannya semakin menjadi, sudah seperti seorang bayi.

"Kenapa Mas sampai meminjam uang ke Revan?!" Kembali menyoroti wajahnya yang sudah terlihat kacau berantakan.

"Sekali lagi Ayah minta maaf!" jawabnya, membuat diri ini menjadi tidak sabar.

"Saya tidak mau mendengarkan kata maaf dari Mas, tetapi ingin mendengar alasan mengapa Mas sampai meminjam uang ke Revan?" Terus mendesaknya.

"Ayah meminjam uang itu untuk menutup pendapatan restoran, karena takut Bunda marah!"

"Menutup pendapatan restoran? Bukannya saat ini usaha kita dalam keadaan baik-baik saja?!"

"Waktu itu Fira minta dibelikan kalung berlian, dan Ayah menggunakan uang restoran untuk memenuhi permintaannya, lalu menutup pemasukan dengan meminjam uang kepada Revan!"

Kini aku diam tanpa kata, kembali menikmati lara yang mencabik-cabik jiwa. Mas Abi benar-benar sudah keterlaluan, rasa cintanya kepada Fira membuat dia berani melakukan segala cara demi membahagiakan selingkuhannya.

"Ayah minta maaf, Bun. Secepatnya pasti Ayah ganti uang itu!" ujarnya lagi, menundukkan wajah semakin dalam.

"Revan membutuhkannya saat ini, Mas. Dia butuh buat biaya persalinan Zarina!"

"Tapi Ayah tidak punya uang sama sekali, Bun?"

"Saya tidak mau tahu, pokoknya Ayah ganti, bila perlu Ayah minta kembali apa yang sudah Ayah berikan ke Elfira!" Memutar badan meninggalkan Mas Abi sendirian, merema* dada yang terasa nyeri luar biasa karena pengakuannya.

Dosa apa aku sehingga dia bisa berbuat setega itu, ya Allah?

Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan magrib. Segera menggelar sajadah setelah mengambil wudu, bertafakur diri memohon ampunan kepada Illahi Rabbi agar diberikan ketenangan hati.

Air mata tumpah membasahi sajadah, ketika sedang berzikir agar tidak selalu menyalahkan takdir.

***

Malam kian merangkak larut, sementara kesunyian semakin terasa menyelimuti. Berkali-kali Mas Abi mengajak berbicara, akan tetapi aku enggan meresponsnya. Untuk saat ini diam ku jadikan pilihan, karena berbicara pun mungkin semua yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata dusta.

Tidak lama kemudian bel rumah terdengar berbunyi. Aku yang tengah bertilawah menjeda kegiatanku sebentar, karena sepertinya Zafran yang datang.

Sebelum membukakan pintu untuk dia kupastikan dulu tidak ada jejak air mata, karena Zafran pasti akan curiga.

Setelah semuanya aman kuayunkan langkah menuju pintu utama, namun langkah ini berderap kaku ketika melihat putraku sedang adu mulut dengan Mas Abi.

"Ajaran siapa hah? Kamu sudah berani pulang malam, juga berani melawan Ayah yang sudah membesarkan kamu. Mau jadi apa kamu, Zafran?!" Terdengar suara bariton suami tengah membentak putranya.

Tanpa menghiraukan omelan sang ayah Zafran berjalan melewatinya, tidak mengindahkan ucapan laki-laki yang sejak kecil sudah memberi dia limpahan kasih juga cinta.

"Zafran!" teriak Mas Abi memanggil namanya, dan pemuda berusia dua puluh satu tahun itu menoleh secara paksa ketika sang ayah menarik kasar bahunya.

"Lepas, nggak usah teriak-teriak karena saya tidak tuli!" jawabnya, membuatku syok luar biasa karena ini kali pertamanya Zafran melawan.

"Astaghfirullahaladzim, Kakak. Kamu kenapa berani seperti ini sama Ayah? Tolong hormati ayah kamu, Nak!" protesku seraya menghampiri mereka, melerai ayah dan anak yang hampir saja berduel di ruang tamu.

"Kenapa saya harus menghormati dia, Bunda. Rasa hormat saya sama Ayah itu sudah lenyap karena dia sudah mengkhianati Bunda. Dia telah berzina dengan Mbak Elfira, melakukan hubungan secara diam-diam selama satu tahun lamanya!" ucapnya sambil menunjuk ke arah Mas Abi, menatap wajah pria yang menyandang gelar ayah dengan tatapan marah.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mimih Minih
bohong tidak cinta berkali2 kali buat buang la semua dia .au hidup enak saja sbp hutang2 dia terlalu banyak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status