Menghirup udara pagi ketika segala beban telah berlalu ternyata menyegarkan. Tidak ada tugas. Tidak ada ujian. Yang menantinya hanya liburan! Oh, indahnya menjadi mahasiswi. Setelah disibukan dengan tugas dan ujian, satu bulan lebih ujian telah menanti. Pulang kampung rasanya terdengar begitu merdu di telinga Sena.
“Packing, ke rumah Maura ambil oleh-oleh, dan ke stasiun! Oh, indahnya,” gumam Sena yang masih bergulat di balik selimut. Tetangga sebelah kamarnya sudah pulang sejak kemarin. Sena sengaja menunda kepulangannya satu hari karena ibu Maura yang minta. Katanya ibu Maura hendak menyiapkan sesuatu untuk orangtua Maura. Seperti kata Maura, rejeki tidak boleh ditolak. Tidak masalah kalau harus menunda pulang satu hari. Yang penting tidak menyakiti hati ibu Maura.
Sena menutup mulutnya yang sedang menguap. Di raihnya ponsel yang sejak tadi tidak ada bunyinya. Entah sejak kapan, tapi Quin sudah tidak menerornya dengan pesan dan panggilan telepon lagi.
“Kayaknya dia udah nyerah.”
Pesan terakhir Quin masuk empat hari yang lalu. Bukannya Sena merindukan rentetan pesan Quin. Hanya saja ponselnya jadi sepi. Sena tidak tahu jika ponsel Quin jauh lebih sepi dibanding ponsel Sena.
Ponsel milik Quin, yang kini tergeletak di atas nakas, tak pernah terdengar bunyinya sejak empat hari yang lalu. Bukan karena tidak ada baterai atau koneksi internet. Hanya saja ponsel itu memang sudah seperti ponsel yang tak dipakai. Isi kontak dalam ponsel itu pun hanya ada satu nama. Nama Sena.
Pemilik ponsel sepi itu kini sedang duduk di sofa dengan gaya angkuh dan rahang mengeras. Jelas sikapnya itu bukan tanpa alasan. Bukan tanpa alasan pula, Quin berhenti menghubungi Sena. Dia hanya sedang tidak bisa bermain. Ada masalah serius yang sedang dia hadapi.
“Cari orang itu!” perintah Quin dengan suara beratnya. Nadanya tidak terlalu keras, tapi sangat tegas. Sangat berbeda dengan Quin yang pernah Sena lihat. “Temukan dia dalam keadaan apapun. Hidup atau mati! Seret dia kalau berani melawan!”
Laki-laki yang berdiri tidak jauh dari Quin, mengagguk patuh. Dengan setelah serba hitam, laki-laki yang bisa dibilang kaki tangan Quin itu, tak pernah membuat Quin kecewa. Kesetiaannya sudah terbukti sejak laki-laki itu rela menyerahkan nyawanya demi melindungi Quin. Mungkin saat itu Quin akan hancur jika orang kepercayaannya benar-benar meninggal.
“Apakah Anda yakin, kali ini nyonya yang mengirimnya?”
Quin tampak berpikir. Dengan hanya mengenakan jubah mandi dan rambut basah yang disibakkan ke belakang, aura mendominasi Quin tetap terlihat kuat.
“Siapa lagi kalau bukan wanita itu?”
Quin melirik ke sebuah foto keluarga yang sumpah mati ingin Quin hancurkan. Lebih tepatnya, lirikan tajam itu jatuh pada seorang wanita yang tersenyum angkuh dengan dagu sedikit terangkat. Wajah angkuh itu menurun pada dua perempaun yang berdiri di belakangnya. Dibanding menganggap Quin sebagai keluarga, ketiga wanita itu lebih suka memusnahkan Quin dari dunia ini.
“Apa Tuan Wigar perlu tahu masalah ini?”
Sebagai orang yang sudah menemani Quin sejak Quin menginjak usia lima belas tahun, Antony atau yang sering dipanggil Sekretaris An, sangat paham bagaimana kehidupan kacau keluarga Quin. Terlahir di sebuah keluarga konglomerat dan menjadi satu-satunya anak laki-laki, nyatanya hanya membawa bencana untuk Quin. Segala tindak tanduknya selalu diawasi.
“Apa menurutmu, tua bangka itu tidak akan tahu?”
Sekretaris An menunduk. Benar. Ayah Quin sudah tentu lebih dulu tahu apa yang istrinya lakukan. Yang membuat Quin kesulitan, ayahnya itu lebih suka menyembunyikan tindakan licik istrinya, daripada memperingati Quin agar lebih hati-hati. Bahkan di rumah ini pun, Quin tetap harus waspada. Siapa yang tahu, istri dari ayahnya sudah mengirimkan orang untuk membunuh Quin.
“Saya akan segera kembali begitu menemukan orang itu.”
Quin mengangguk.
Sekretaris An menunduk hormat sebelum pamit pergi dengan dua orang berbadan besar yang selalu mengikutinya. Tinggal lah Quin, yang kini hanya bisa memijit pelipisnya yang terasa pening. Dia butuh hiburan atau minimal butuh sesuatu yang bisa melampiaskan amarahnya.
***
Sena menghentikan langkahnya di perempatan Jalan Sidodadi Timur. Kalau lurus ke Jalan Hawa IV, dia harus melewati rumah Quin. Kalau memilih belok kiri yang masih termasuk Jalan Sidodadi Timur, Sena harus melewati Jalan Maluku hingga tiba di Kelurahan Karang Tempal. Tentu itu sama saja dengan Sena berjalan memutar. Kalau belok kiri pun sebenarnya ada jalan untuk ke rumah Maura, hanya saja akan jauh lebih memutar lagi.
Pilihan satu-satunya hanya tetap berjalan lurus ke depan. Jalan yang lebih dekat dan tidak akan melelahkan. Sena hanya perlu menatap lurus ke depan tanpa perlu melirik ke kanan atau kiri.
Ketika langkah Sena hampir mendekati rumah Quin, dia melihat seorang anak yang menangis tersedu-sedu. Anak itu mungkin baru berusia enam tahun. Takut kalau ternyata anak itu tersesat, Sena mendekati anak itu.
“Adek? Adek kenapa nangis? Tersesat, ya?”
Masih dengan sesenggukan, anak itu menggeleng.
“Terus kenapa nangis?”
Anak itu menunjuk ke rumah Quin. Duh! Kenapa anak itu menunjuk ke sana? Perasaan Sena mendadak tidak enak. Jangan sampai dia terlibat dengan penghuni rumah itu lagi.
“Layang-layangku … layang-layangku di sana,” jawab anak itu, sesenggukan.
Mulut Sena mendadak kaku. Dia tidak salah dengar, bukan? Maksudnya layang-layangnya masuk ke dalam rumah atau diambil penghuni rumah itu? Entahlah. Yang jelas dua-duanya bukan berita yang bagus.
“Layang-layangku tersangkut di sana.”
Anak itu menunjuk lebih jelas ke sebuah pohon dengan layang-layang berkibar di atas sana. Mendadak Sena ngeri melihatnya. Kenapa pula layang-layang itu menyangkut di sana? Seperti tidak ada tempat mendarat lain saja!
“Oh, kayaknya bakal susah ngambilnya.”
Tangis anak itu semakin kencang. Sena sampai berjengit. Dia bimbang. Ingin rasanya dia berlari, kabur agar tidak usah diminta mengambilkan layang-layang, tapi dia juga kasihan dengan anak itu. Sialnya, kenapa jalanan sepi seperti ini?
Anak kecil itu menatap Sena dengan tatapan memohon. Tangannya juga memegang ujung kemeja Sena. Dengan menghela napas panjang, akhirnya Sena mengangguk.
“Ya, udah, nanti kakak ambilin. Jangan nangis lagi, ya.”
Anak itu langsung menghapus air matanya sambil mengangguk kencang.
Dengan menggandeng anak kecil itu, Sena berjalan ragu menuju gerbang rumah Quin. Selama berjalan, Sena memikirkan cara, bagaimana mengambil layang-layang itu? Namun, Sena sadar, pengawal di sana juga manusia. Pasti salah satu mereka ada yang mau berbaik hati mengambilkan layang-layang.
Sena mengangguk-angguk sambil tersenyum menenangkan dirinya. Namun, yang terjadi ketika dia sampai di gerbang, tidak ada satupun orang yang berjaga di sana. Bahkan orang yang biasanya berdiri di dekat pintu pun tidak ada.
“Kenapa sepi?”
“Orang-orangnya masuk ke dalem, Kak.”
“Kok kamu tau?”
“Aku lihat. Cepat kak, mumpung belum ada yang datang.”
“Aish!”
Ngomong memang mudah. Masalahnya layang-layang itu tersangkut pohon yang ada di samping rumah. Sena harus memutar dan dia tidak tahu di samping rumah ada yang berjaga atau tidak.
“Cepat, Kak.”
“Iya, bawel.”
Anak kecil itu bersembunyi di dekat gerbang saat Sena mulai melangkahkan kakinya. Pandangan Sena tidak tidak pernah lepas dari sekitar rumah, mengawasi kalau-kalau ada orang yang datang. Dia hanya berjalan, tapi jantungnya berdetak tak terkendali.
“Ya Tuhan, selamatkan aku,” gumam Sena lirih. Sepanjang jalan, dia terus merapelkan doa-doa. Namun, sepertinya Tuhan ingin memperlihatkan sesuatu pada Sena.
Tepat saat Sena berbelok ke sampingnya, terdengar sesuatu yang pecah bersamaan dengan bola mata Sena yang melebar, melihat pemandangan di depannya. Seperti orang yang kesetanan, Quin memukuli orang dengan kayu yang sudah hampir patah.
Kaki Sena seketika melemas hingga tubuhnya jatuh dan mengenai daun yang sudah kering. Orang-orang yang mendengarnya, menoleh ke arah Sena. Tak terkecuali Quin, yang mendadak menghentikan ayunan kayu di udara.
***
Andai ada alat yang bisa memutar waktu. Andai Sena memiliki teman seperti Doraemon, yang bisa memunculkan barang apa saja dari kantong ajaibnya. Andai Sena tidak gegabah, dengan masuk ke rumah Quin tanpa izin. Andai … andai … dan andai. Segala pengandaian kini berputar di pikiran Sena, dengan tubuh yang lemas dan tak mampu berlari. Sena tahu, dia pasti akan mendapat masalah. Yang dia lihat saat ini jelas bukan sesuatu yang sepatutnya dia lihat. Di depannya, ada puluhan laki-laki berjas hitam dengan otot yang rasanya ingin meledak keluar dari lengan jas. Lalu, ada pula Quin yang tampak seperti orang kesetanan dan seorang laki-laki tak berdaya yang kini tubuhnya dipenuhi darah segar. Apa yang Quin lakukan? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkan Quin memukuli orang hingga sekarat seperti itu? Wajah orang itu bahkan sudah tak terlihat bentuknya karena tertutup dengan darah dan bekas pukulan. Sena yang pada dasarnya tidak bisa melihat darah, seketika merasa mual dan lem
Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil. “Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.” Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima. Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yan
Sena menjerit sejadi-jadinya hingga membuat Quin menjauh sambil menutup telinga. Sungguh, teriakan Sena sangat memekakkan telingat. Umumnya Quin akan marah karena ada orang yang berani meneriakinya, tapi dia justru tertawa. Tawa yang terlihat menakutkan bagi Sena. Sena beringsut menjauh hingga berada di ujung kasur. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan lengan memeluk kakinya yang terlipat. Sorot matanya tak pernah lepas dari Quin, berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang membahayakan hidup Sena. Masih ingat dengan jelas di otak Sena, bagaimana menakutkannya Quin saat memukuli orang yang bahkan sudah tak berdaya. Lalu, Quin juga tanpa ragu menamparnya. Sebuah tamparan yang baru pertama kali Sena rasakan. Tamparan yang juga menghapus semua harapannya pada Quin, harapan bahwa Quin tidak mungkin memukul wanita. Memang benar apa kata ibu, bahwa tidak seharusnya kita berharap pada seseorang. Berharap pada seseorang hanya akan memberi kita kekecewa
Sena mendudukkan dirinya di lantai. Tubuhnya kembali terasa lemah. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia sekarang benar-benar tidak bisa keluar dari rumah ini? Kenapa? Kenapa dia harus tidak bisa keluar dari rumah ini? Memang apa yang terjadi dan apa kesalahannya terlalu fatal hingga Quin mengurungnya? Ah, apa karena Quin takut Sena akan lapor pada orang-orang bahwa Quin adalah anak Calon Presiden Wigar? Atau karena Sena melihat Quin memukuli orang hingga hampir meninggal? Entah sekarang orang itu sudah benar-benar meninggal atau justru mendapat pertolongan segera? Tidak peduli! Sena tidak mau peduli pada orang itu karena nasibnya sendiri saja masih tidak jelas. Sena menatap handle pintu. Selama beberapa saat dia cuma menatap handle itu sebelum akhirnya dia berdiri dan berusaha membuka pintu. Digedornya pintu itu dengan keras sambil berteriak minta pertolongan. Namun, sekeras apapun Sena berusaha, tidak ada tanda-tanda kalau akan
Sena meringis saat kapas yang sudah diberi alkohol menyentuh permukaan telapak kakinya yang terluka. Siapa yang sangka, Quin yang sebelumnya menampar dan membentak Sena, justru kini berjongkok untuk membersihkan luka Sena.“Bandel sekali kamu,” gumam Quin.Sebelum Quin bertindak bak pangeran yang menyelamatkan putri idamannya, Sena kembali merasakan panasnya tamparan di pipinya. Quin sepertinya gemas karena Sena tak mau mendengarkan perintahnya dan tetap membersihkan pecahan kaca tanpa peduli kakinya menginjak pecahan kaca juga.Dengan gerakan cepat, Quin menarik tangan Sena agar menjauh dari lantai yang terkena pecahan kaca. Perih. Sungguh perih kaki Sena, tapi dia sengaja membiarkan kakinya perih. Dia sengaja ingin memindahkan rasa perih di hatinya pada telapak kakinya. Setidaknya luka di telapak kaki lebih mudah diobati dibanding luka di hati. Ah, sudah seperti gadis yang baru patah hati saja dia.“Bodoh ya, Kamu? Lihat darah di kamu. Bodoh!”Sena ta
Sena tertidur! Tepat pukul enam pagi gadis itu baru membuka matanya. Padahal semalam dia hanya pura-pura tidur saja. Hanya agar Quin meninggalkan kamar ini. Namun, dia justru tertidur. Dia bahkan tidak tahu kapan Quin meninggalkannya. Semoga saja Quin tidak melakukan apapun saat Sena tertidur. Sena sedikit merintih saat merasakan sakit di perutnya. Bukan sakit yang berbahaya. Dia hanya lapar. Tidak! Sangat lapar! Seingat Sena, makanan terakhir yang masuk ke perutnya hanya roti dengan cream keju yang dia beli di indomart dan susu coklat yang sengaja dia habiskan karena akan pulang kampung. Setelahnya, tidak ada lagi makanan yang masuk sampai saat ini. Jadi, tidak heran jika kini perut Sena keroncongan. Sena mengelus perutnya. Bodoh! Dia memang bodoh! Di mana-mana orang yang berjuang juga butuh makan! Harusnya dia tidak sok memberontak dengan membuang makanan. Dia melupakan perkataan Maura, bahwa rejeki tidak boleh ditolak. “Terlanjur. Semua sudah terlanjur. Ak
Kamar Sena atau yang lebih tepat disebut sebagai rumah tahanan Sena, kini terasa lebih sesak dengan adanya dua kursi serta satu meja ukuran sedang. Pelayan Quin menyulap sisa ruang kosong di kamar menjadi meja makan untuk Sena dan Quin.Quin duduk dengan menyilangkan kaki. Tak lupa kedua tangannya saling melipat dengan punggung bersandar pada kursi. Cara duduk yang menunjukkan seolah dialah pemimpin di sana. Tidak ada yang boleh melawan perintahnya.Tatapan Sena jatuh pada makanan di atas meja. Perutnya yang sudah keroncongan, memaksanya untuk segera menandaskan semua yang bisa dia makan. Namun, harga diri Sena menuntut untuk tidak gegabah. Terlebih karena saat ini Quin sedang mengamatinya.“Nggak mau makan lagi?” tanya Quin. Dia sendiri hanya menyeruput kopi padahal sebelumnya pria itu mengajaknya untuk sarapan bersama. Apa dia pikir, minum kopi disebut sebagai sarapan?Quin mengambil cangkir berisi café au lait yang artinya kopi susu pahit, jenis minuman tr
Membawa orang lain dalam masalah, itulah yang baru saja Sena lakukan. Tindakan bodohnya yang berteriak pada anak sekolah yang lewat, telah membuat nyawa anak sekolah itu terancam. Kini, anak itu sedang dalam pengejaran pengawal Quin. Hanya tinggal menunggu waktu sampai anak itu tertangkap dan waktunya lebih cepat dari yang Sena bayangkan.Bukan hal yang sulit bagi pengawal Quin untuk menangkap anak itu. Sebagai pengawal terlatih, tentu berlari bukan hal yang sulit untuk mereka. Tenaga mereka bahkan tak mudah habis meski sudah berlari cukup lama.Dengan sedikit menyeret, salah satu pengawal Quin membawa anak itu kembali ke rumah Quin. Anak itu tampak ketakutan. Jelas, siapa yang tidak takut melihat beberapa orang berbadan besar dengan wajah garang, membawanya ke sebuah sarang yang katanya tempat penculikan.“Maaf, Om, saya nggak akan bilang sama siapa-siapa. Maaf, Om, saya nggak tau cewek tadi. Saya janji, aku nggak akan lapor sama siapapun, Om. Tolong, Om, jangan b