Share

6. Awal Sebuah Kekacauan

Andai ada alat yang bisa memutar waktu. Andai Sena memiliki teman seperti Doraemon, yang bisa memunculkan barang apa saja dari kantong ajaibnya. Andai Sena tidak gegabah, dengan masuk ke rumah Quin tanpa izin. Andai … andai … dan andai. Segala pengandaian kini berputar di pikiran Sena, dengan tubuh yang lemas dan tak mampu berlari.

Sena tahu, dia pasti akan mendapat masalah. Yang dia lihat saat ini jelas bukan sesuatu yang sepatutnya dia lihat. Di depannya, ada puluhan laki-laki berjas hitam dengan otot yang rasanya ingin meledak keluar dari lengan jas. Lalu, ada pula Quin yang tampak seperti orang kesetanan dan seorang laki-laki tak berdaya yang kini tubuhnya dipenuhi darah segar.

Apa yang Quin lakukan? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkan Quin memukuli orang hingga sekarat seperti itu? Wajah orang itu bahkan sudah tak terlihat bentuknya karena tertutup dengan darah dan bekas pukulan. Sena yang pada dasarnya tidak bisa melihat darah, seketika merasa mual dan lemas. Belum lagi ketakutannya melihat semua orang yang menatapnya dengan tatapan membunuh.

Mimpi apa dia semalam? Bukankah semalam dia memimpikan hal yang baik? Sena bahkan bangun dengan tubuh segar dan bersemangat untuk pulang. Lalu, kenapa sekarang dia terjebak situasi yang kemungkinan besar tidak akan menyelamatkan nasibnya?

Oh, ada satu hal lagi yang tidak bisa Sena lewatkan. Di antara orang-orang berbadan besar itu, ada satu orang yang sangat Sena kenali. Orang itu sering sekali muncul di TV. Seseorang yang tidak seharusnya membiarkan Quin melakukan hal itu. Salah satu kandidat calon Presiden tahun depan!

Hibram Wigar Adiyaksa, seorang pengacara yang memutuskan berkarier dalam bidang politik dengan mengawali menjadi seorang DPD hingga menjadi ketua staf untuk Presiden, sebelum akhirnya digadang-gadang menjadi calon kuat pada pemilihan Presiden tahun depan. Namun, apa yang sedang Wigar lakukan di sini?

Sena menatap Quin. Bukankah laki-laki itu sebelumnya terlihat tertarik dengan Sena? Jadi, mungkinkah Quin akan berbaik hati pada Sena? Sena selalu bisa menjaga rahasia. Apa yang dia lihat hari ini, dia pastikan tidak akan bocor ke luar. Dia bahkan tidak akan mengatakan pada siapapun bahwa Wigar ada di sini. Dia janji. Namun, apa yang Sena lihat dari Quin, mematahkan segala harapannya.

Sorot mata Quin tak melembut sedikitpun saat menatap Sena. Langkah kakinya yang perlahan mendekat, terlihat sangat mengancam. Seharusnya Sena lari sekarang juga! Tidak peduli apakah orang-orang itu akan mengejarnya atau tidak, dia tetap harus berusaha kabur. Toh, ini masih siang. Pasti akan ada satu dua orang yang lewat di depan. Namun, sial! Mulut, kaki, dan tangannya sekongkol tak mau bergerak. Yang Sena lakukan hanyalah menatap Quin dengan air mata yang perlahan mengalir tanpa beban

“Qu—in,” panggil Sena lirih. Kata itu berhasil lolos dari mulutnya setelah Sena berjuang menggerakkan mulutnya.

Quin yang telah tiba di depan Sena, menangkup wajah Sena.

“Usil seperti biasanya, Sena? Atau rindu padaku?”

Ucapan dan tatapannya sangat jauh berbeda. Wajah Quin tetap mengerikan walau ucapannya terdengar santai. Ketakutan yang Sena rasakan sudah ada di puncaknya. Dia pasrah. Kalau nanti dia juga harus berakhir seperti laki-laki yang Quin pukuli, ya sudah! Memang sudah nasib Sena. Walau Sena tetap berharap, Quin akan mengampuninya.

“Di sini bukan tempat main, Sena. Tapi, karena kamu sudah terlanjur datang ke sini, aku nggak masalah. Mulai sekarang kita bisa main-main di sini.” Nada bicara Quin semakin merendah bersamaan dengan wajahnya yang semakin dekat dengan wajah Sena.

“Quin!”

Suara berat Wigar membuat Quin merasa terusik.

“Sudah nggak ada urusan lagi, kan? Kalau begitu, Ayah bisa pergi. Sekalian bawa orang yang istri Ayah kirim untukku. Katakan padanya, aku nggak akan mati. Sampai kapanpun!”

Sebuah informasi baru masuk ke dalam telinga Sena. Dia tidak salah dengar, bukan? Quin memanggil Wigar dengan sebutan ayah? Walau saat ini otak Sena dipenuhi dengan ketakutan, tapi Sena masing ingat dengan jelas kalau anak Wigar hanya ada dua dan dua-duanya perempuan! Sena yakin sekali karena anak pertama Wigar baru saja menikah bulan lalu dan pernikahannya ditayangkan di televisi. Di sana tidak ada Quin. Tidak pula ada penjelasan jika Wigar memiliki anak laki-laki.

Wigar pergi tanpa mengatakan apapun, disusul tiga orang berbadan besar. Beberapa orang lainnya mengangkut orang yang sudah tak berdaya dengan tindakan yang tidak manusiawi. Disiram dengan air agar sadar sebelum akhirnya diseret menjauh. Sungguh mengerikan di mata Sena. Namun, Sena tidak bisa memikirkan orang lain di saat nyawanya kini terancam.

Quin kembali menangkup wajah Sena. Ditatapnya wajah itu sebelum sebuah tamparan keras mendarat di pipi Sena. Rasa sakit menjalar dari pipi hingga kepala Sena sebelum akhirnya dia tak sadarkan diri.

***

Ini mimpi!

Ya, Sena yakin dia sedang bermimpi! Namun, matanya yang terasa begitu berat, tak mau terbuka. Sekeras apapun Sena berusaha, kelopak matanya tetap menutup. Namun, sebuah suara membuat Sena seolah berpindah ke suatu tempat.

“Sena? Sena, Sayang? Ini ibu, Sena.”

Suara yang sangat Sena rindukan, terdengar begitu lembut di telinga Sena. Lalu, muncul lah ibu yang tersenyum ke arah Sena.

“Sena, lagi apa?”

Dan tiba-tiba saja Sena menyadari di mana dia sekarang. Kamarnya! Dia sekarang sudah ada di kamarnya sendiri. Kamar yang sekarang hanya dia gunakan dua atau tiga kali dalam satu bulan, setiap kali dia pulang ke kampungnya.

Mendadak Sena berlari dan memeluk ibunya. Rindu. Sangat rindu. Bayangan saat dia melihat sorot mata Quin, membuat pelukan Sena semakin erat. Lega rasanya melihat ibunya. Dia selamat. Dia tidak dibunuh oleh Quin.

“Sena, ada yang nungguin kamu di luar.”

“Siapa, Ibu?”

“Ibu nggak tau. Katanya teman kamu. Dia bilang, dia rindu keusilanmu.”

Sena mengerutkan keningnya. Perkataan ibu terdengar aneh. Namun, Sena sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun. Dia hanya ingin memeluk ibunya.

“Temui teman kamu dulu, Sayang.”

Sena menggeleng dan tetap memeluk ibunya, tapi ibunya justru berusaha melepaskan pelukan Sena.

“Ayo, Sena, jangan buat teman kamu nunggu kelamaan. Ayo, cepat temui sekarang. Ibu nggak suka kalau anak ibu manja seperti ini. Ayo, Sena, jangan usil.”

Sena meregangkan pelukannya agar bisa melihat wajah ibunya. Ibunya tak lagi tersenyum.

“Temui teman kamu sekarang!”

Dan pada akhirnya Sena melepaskan pelukannya.

“Sekarang, Sena.”

Ibunya benar-benar aneh. Mereka baru bertemu setelah sekian lama, kenapa ibunya bersikap seperti itu.

“Orangnya ada di ruang tamu.”

“Iya.”

Sena keluar dari kamar dengan diikuti ibunya. Langkahnya terlihat perlahan saat menuruni tangga. Begitu tiba di ruang tengah, Sena berjalan ke depan, menuju ruang tamu. Langkahnya seketika terhenti saat dia melihat seorang laki-laki yang duduk dengan menaikkan kakinya di atas meja dan dua tangan terlihat di depan dada. Senyumnya sinis dan sorot matanya tampak sangat menakutkan.

“Sena?”

Quin jelas memanggil namanya, tapi rasanya terdengar seperti bisikan.

“Sena?”

Suara bisikan itu lagi.

“Sena yang usil, bangunlah.”

Dan seketika tubuh Sena tersentak dan kelopak matanya terbuka. Bukan! Bukan rumahnya! Dia tidak sedang ada di rumahnya. Ruangan yang dia lihat sekarang, terlihat sangat asing. Dan lebih dari itu, seorang laki-laki menakutkan yang terus memanggil Sena dengan bisikan, duduk sambil menunduk ke arah Sena. Wajahnya begitu dekat, hingga Sena bisa merasakan hembusan napasnya.

“Sena, putri tidur yang usil.”

Dan baru kali ini Sena berharap, dia tetap berada dalam dunia mimpi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status