Share

5.

"Apa yang akan kau lakukan?" Alan menerobos masuk ke dalam kamar Andreas yang memang sudah biasa tidak terkunci.

Andreas yang tengah mengancingkan kemejanya dengan tubuh yang masih terasa sedikit nyeri melirik sepupunya itu dengan santai.

"Selamat pagi, Sepupu!" sapa Andreas dengan senyum lebar yang bagi Alan terlihat mencurigakan.

"Jawab aku, Maxwell!" desak Alan terdengar jengkel.

Andreas mengangkat alisnya dengan senyum kecil.

"Aku akan mulai menyusun cara untuk menyingkirkan Eddie dari kursinya," jawab pria itu.

Alan bertolak pinggang dengan raut cemas.

"Bukan itu. Kau memasukkan kunjungan ke Divine hari ini," ujar laki-laki berkulit kecoklatan itu pada atasan sekaligus saudaranya.

Andreas bergeming. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi.

"Aku harus berterima kasih, bukan?" ucap Andreas datar.

Alan menghela nafas panjang.

"Tidak, kita tahu tujuanmu bukan itu kesana." desak Alan seraya melipat lengannya di dada.

Kekehan Andreas terdengar di kamar yang hening itu.

"Aku pernah bertemu gadis itu sebelumnya, Alan," ucapnya tiba-tiba.

Alan berusaha menetralkan ekspresinya. Malah sebisa mungkin dia ingin mencegah sepupunya itu menyinggung apapun tentang orang yang menyelamatkannya.

"Benarkah? Apakah aku juga pernah bertemu dengannya?" tanya Alan mencoba hati-hati.

"Dia pernah melayani pesananku di The Classy beberapa minggu lalu," jawab Andreas dengan senyum miring yang tampak ceria.

Alan mengernyit gelisah. Entah apa penyebabnya, takdir seolah bersikeras mempertemukan sepupunya dengan orang yang harus dihindarinya.

"Sudahlah, aku bisa memberinya bonus yang besar, Andre. Jaman sekarang uang lebih baik dari ucapan terima kasih," bujuk Alan sedikit gagal menyembunyikan kecemasannya.

Andreas mengencangkan rahangnya. Selintas ekspresi kelam penuh kebencian terlihat di sorot matanya sebelum kembali mengurai senyum ramahnya.

"Aku tahu. Tapi itu tidak sopan, Sepupu." ujar Andreas dengan senyum lebarnya yang menyenangkan.

Sayangnya Alan jelas tidak berhasil terkecoh dengan senyum publik andalan saudaranya itu.

Laki- laki itu memicing penuh kecurigaan.

"Sudahlah, Alan. Kau ikut saja denganku jika itu bisa menenangkan fikiran negatifmu yang selalu menyebalkan," ejek Andreas jengkel.

Alan membuang nafas kasar.

"Baiklah. Aku memang akan ikut," pungkas Alan dengan tegas.

Andreas mendengkus kecil namun tak berkomentar apapun pada sepupunya itu.

***

"Lenganmu berdarah!"

Misha yang sedang membersihkan jendela besar ruang makan rumah Andreas terperanjat mendengar sebuah suara bariton yang tiba-tiba terdengar di sampingnya.

Gadis itu menoleh lalu membelalak seketika.

Andreas yang tempo hari terlihat sekarat kini berdiri dengan senyum lebar yang tampak memikat.

"Kau hidup?" pekik Misha pelan tanpa sadar.

Andreas sekilas tampak mengerjap.

"Tentu saja. Apa kau pikir aku mati hari itu?" tanya pria itu terdengar tertarik.

Misha mencebik tak menjawab.

"Aku baik-baik saja, Misha. Berkat kalian. Terima kasih banyak," ucap Andreas terdengar begitu tulus.

Misha tersenyum kecil, membuka sarung tangan tebal yang dipakainya untuk bekerja.

"Sama-sama. Kami senang bisa membantu," jawab gadis itu.

Andreas balas tersenyum ramah.

Misha sedikit terpana. Mungkin ini pertama kalinya dia melihat pria menjengkelkan itu tersenyum semenarik itu.

"Kita pernah bertemu sebelumnya, Misha. Apa kau ingat?" tanya Andreas tiba-tiba.

Ekspresi Misha berubah kesal seketika.

Hal itu membuat Andreas langsung tertawa cukup kencang.

"Dari ekspresimu, kurasa kau ingat." ujar pria itu dengan geli.

Misha terdiam terlihat canggung.

Bukan pertemuan mereka yang menjengkelkan yang melekat di ingatannya, tapi justru sumpah serapahnya pada Andreas yang beberapa waktu lalu benar-benar menjadi kenyataan.

Misha sangat terkejut karena ucapan buruknya tempo hari benar-benar terjadi.

"Andre! Aku mencarimu sejak tadi!" Suara laki-laki bernada cemas membuat keduanya menoleh ke arah pintu.

Misha mengerjap takjub melihat pria tinggi berkulit agak gelap yang baru datang itu.

"Kau membuatku cemas!" gerut pria yang baru tiba itu.

Misha nyaris menganga takjub melihat dua pria rupawan itu.

"Andreas, dia... Pacarmu?" tanya gadis itu dengan telunjuk ke arah Alan.

Andreas melotot kaget lalu tertawa terbahak-bahak hingga nyaris mengeluarkan air mata.

Sedangkan Alan menatap gadis montok berambut kemerahan itu dengan kesal.

"Hahahaha... Kau lucu sekali. Tentu saja bukan. Dia Alan saudaraku," jawab Andreas dengan geli.

Misha meringis malu.

"Kalian sedang memeriksa pekerjaan kami?" tanya Misha dengan gusar.

Alan menatapnya dengan datar.

"Tidak, Andreas ingin mentraktir kalian semua," jawab Alan.

Misha membelalak antusias.

"Bisakah aku mendapatkan uang makannya saja? Aku lebih butuh itu daripada makanan," ujar Misha.

Andreas maupun Alan sama-sama terperangah mendengarnya.

"Kau sangat terus terang," sindir Andreas.

Misha melirik sekilas, lalu matanya tertuju lagi ke lengan kirinya yang tadi tergores sisa kawat yang masih menempel.

"Aku hanya berusaha jujur, Sir. Jika kau ingin berterima kasih, maka lakukan dengan pantas. Bukankah begitu?" Kata Misha dengan ekspresi tak acuh.

Alan mendengkus kesal.

Dia langsung tidak suka pada sikap tak tahu malu gadis itu.

"Apa kau mempunyai hutang?" tanya Andreas penasaran.

Misha mendelik sekilas.

"Tidak. Aku hanya ingin uang, dan kau ingin berterima kasih. Bukankah itu cocok?" tanya gadis itu dengan senyum tipis.

Andreas menyunggingkan senyum misterius dengan mata lekat ke arah Misha.

"Kau benar. Tidak ada yg gratis, bukan? Semua hal ada harganya," gumam Andreas dengan nada melamun.

Misha sempat mengernyit tak nyaman melihat ekspresi aneh di wajah pria tampan itu, tapi dia memilih tak peduli dan dengan cepat mengangguk setuju.

"Tentu saja. Berbuat baik belum tentu membuatku kaya. Jadi aku memilih lebih realistis daripada humanis, Andreas." Jawab Misha dengan senyum yang terlihat sedikit sinis dan mengesalkan.

Alan menghela nafas panjang menahan rasa jengkelnya sendiri.

Gadis itu memiliki sikap keterbukaan mengerikan. Dan dia jelas tidak akan tahan untuk bersikap seramah sepupunya.

Andreas tampak sedang mengotak-atik ponsel barunya sebelum menyerahkannya pada gadis berambur kemerahan itu.

"Tuliskan jumlah ucapan terima kasih yang kau inginkan, Nona Bulat!" perintah pria itu dengan senyum menjengkelkan sama seperti yang Misha lihat saat melayaninya di restoran.

"Kau memang menyebalkan," rutuk gadis itu pelan.

Andreas terkekeh pelan.

"Lakukan saja, Misha. Khusus untukmu, aku akan membayar sesuai pertolongan yang kau berikan," ujar pria itu.

Misha terdiam muram.

"Maaf, Andreas. Tabungan lebih penting daripada kemanusiaanku sekarang ini," batin Misha dengan menyesal.

Gadis itu mengambil ponsel itu dan memasukkan jumlah yang tidak terlalu besar bagi seorang Andreas Maxwell.

"Kau yakin? Aku bisa memberimu lebih banyak jika kau mau," sinis Andreas.

Misha mendengkus kesal.

"Aku suka uang, tapi aku tidak suka serakah, Mr. andreas," jawab Misha dengan sama-sama sinis.

Alan berdecak kesal.

"Apa lagi yang kau inginkan? Benda mahal?" desak Alan tiba-tiba.

Misha menoleh ke arah pria itu dengan ekspresi berfikir.

"Kau boleh meminta lagi, Misha," ucap Andreas dengan senyum tipis.

Misha menatap mata biru pria itu dengan serius.

"Aku tidak ingin bertemu lagi denganmu. Kurasa itu cukup," jawab Misha dengan mantap.

Andreas memicing tajam.

"Kenapa?" tanya pria itu dengan nada tajan yang gagal dia sembunyikan.

Misha tersenyum misterius ke arah kedua pria itu.

"Bagaimana jika sebenarnya justru aku yang membuatmu celaka...?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status