Share

6.

Misha berjalan cepat dengan langkah panik.

"Kau kabur!" sebuah suara sinis menghentikan langkah gadis itu.

Misha mengernyit melihat Alan berdiri di pintu keluar rumah baru Andreas.

"Aku tidak tahu selain materialistis ternyata penolong saudaraku itu seorang pembohong," sinis pria itu.

Misha merangsek maju dengan ekspresi marah.

"Bisakah kalian berhenti menghinaku? Kau sama saja dengan saudaramu!" ujar Misha jengkel.

Alan mendengkus kesal.

"Kami sudah tahu pelaku penusukan Andreas. Dan kau jelas tidak akan kuat melukai saudaraku," kata pria itu.

Misha memalingkan wajahnya.

Dia tidak ingin berinteraksi dengan orang-orang yang membuatnya kesal di hidip barunya ini.

"Aku pernah menyumpahinya celaka. Dan dia benar-benar celaka di depan mataku! Kau puas?!" desis Misha frustasi.

Alan mengerjap kaget, lalu sorot sinis di matanya perlahan melunak.

"Kau... Merasa bersalah ternyata," gumam Alan seolah baru saja menyadari sesuatu.

Misha menghindari tatapan pria berwajah tampan itu.

Suara langkah kaki mendekat ke arah mereka.

Andreas perlahan mendekat dengan mata lekat pada Misha dengan tatapan yang tak terbaca.

Misha mundur tanpa sadar. Aura laki-laki itu terlalu mendominasi hingga tanpa sadar gadis itu selalu menghadapinya dengan sikap defensif.

"Aku memang pantas disumpahi di pertemuan pertama kita, Misha. Aku minta maaf," ucap Andreas Maxwell dengan nada yang terdengar tulus.

Misha mendelik kesal.

"Kau menghinaku tanpa sebab waktu itu," ucap Misha mengingatkan.

Andreas meringis terlihat menyesal.

"Kurasa begitu. Kau sangat mengganggu konsentrasiku saat itu, Misha," jawab pria itu dengan pelan.

Misha mengernyit bingung.

"Apa maksudmu? Aku hanya bekerja." Misha menatap Andreas dengan bingung

Mata biru gelap Andreas nyaris tak lepas dari Misha dengan seulas senyum ramah memikat yang membuat Misha nyaris saja terpana.

"Sejujurnya, kau tampak lebih lezat dari makanan yang waktu itu kau bawa, Misha," jawab Andreas dengan sorot tertarik yang terlihat sangat jelas.

Misha merasa pipinya memanas seketika.

"Berhentilah, kau menjengkelkan," gumam gadis itu berusaha agar tidak salah tingkah.

Andreas tertawa pelan dengan suara yang terdengar menyenangkan di telinga Misha.

"Aku serius. Aku mengingatmu, Misha. Kau berdiri melotot padaku dengan mata biru dan rambut kemerahanmu waktu itu. Percayalah, aku butuh berhari-hari untuk berhenti memikirkanmu," ucap pria itu nyaris berbisik.

Misha mengerjap sekilas, lalu dengan cepat berusaha memulihkan diri dari ungkapan kekaguman Andreas yang tak pernah dia duga.

Bagaimanapun pria itu sudah biasa menghadapi media. Jadi Misha yakin rasa kagum yang dikatakannya itu bersikap umum dan mungkin berlaku untuk semua wanita.

"Aku harus kembali bekerja." Misha beranjak dari sana dengan tergesa-gesa.

"Tanganmu terluka." Andreas jelas berusaha mencegah Misha pergi dari sana.

Misha melihat luka memanjang yang tidak besar di punggung tangan kirinya.

"Yang benar saja! Aku tidak akan mati karena luka sekecil ini," gumam Misha.

Sebuah tangan kekar menyentuh pinggiran luka di tangannya.

"Sebesar apapun lukamu, kau akan tetap kesakitan," ucap pria itu dengan lembut.

Misha mendongak dan berhadapan dengan sepasang mata indah yang memandangnya penuh kekhawatiran.

Sebuah getaran kecil terasa di lubuk hatinya.

"Sudahlah, aku harus bekerja lagi." ujar Misha dan bergegas pergi dari sana.

Andreas menatap punggung gadis cantik itu dengan tajam.

"Dia cantik," sinis Andreas.

"Apapun niatmu, semoga tidak kau lakukan, Andre," desis Alan dengan cemas.

Andreas menatap sepupunya tanpa bicara.

"Dia sedikit menjaga jarak sepertinya," gumam Andre pelan.

"Maxwell! Hentikan! Apapun yang akan kau lakukan, aku tidak akan pernah menyetujuinya!" ujar Alan dengan tegas.

Andreas tersenyum lebar ke arah saudaranya.

"Kau berlebihan. Aku suka wanita cantik, Alan," jawab Andreas.

Alan mendengkus pelan. Dia kenal sepupunya yang selalu bertindak penuh perencanaan.

***

Andreas tersenyum ramah pada sekumpulan wartawan yang berbaris di depan kediaman pribadinya.

Berita insiden penusukan yang menimpa pria itu sudah didengar media dan cukup menimbulkan kehebohan.

Selain sebagai pengusaha, Andreas Maxwell yang juga berprofesi sebagai pembawa berita dan serial dokumenter populer itu cukup dicintai banyak orang.

"Aku baik-baik saja. Terima kasih atas kepedulian kalian," ucapnya dengan senyum tulus.

"Apa pelakunya sudah tertangkap, Mr. Maxwell?" Salah satu wartawan perempuan berambut pirang mengajukan pertanyaan.

Andreas mengernyit sekilas.

"Kami sedang berusaha," jawab pria itu serius.

"Apakah itu karena dendam pribadi?" tanya seseorang lagi.

Andreas mengernyit.

"Kita cari tahu nanti. Karena pasti cukup banyak yang membenciku, bukan?" gurau pria itu.

Suara tawa pelan berderai dari beberapa wartawan yang mengelilinginya.

"Apakah anda akan kembali ke dunia penyiaran setelah menjabat sebagai direksi Tv NewsOn?" tanya seorang wartawan lagi.

Andreas tersenyum misterius.

"Entahlah, mungkin saja aku akan beristirahat sebentar. Aku ingin mengejar resolusi tahun baruku," cetus pria tampan itu secara mengejutkan.

Alan yang berdiri dan menjaga saudaranya dengan waspada, mengangkat alis dengan penasaran dan penuh antisipasi.

"Wah, apa resolusi tahun baru anda, Tuan Maxwell?" tanya wartawan lagi.

Andreas tampak tersenyum malu ke arah para wartawan yang datang mewawancarainya secara mendadak itu.

"Aku berfikir untuk menikah akhir-akhir ini," ujar pria itu dengan tawa renyah yang terlihat memikat.

Sorakan serta dukungan terdengar riuh dari para jurnalis yang menyukai Andreas sebagai publik figur yang ramah dan menyenangkan.

"Hei... Kalian harus mendukungku," gurau Andreas dengan tawa salah tingkah.

Andreas tertawa ramah melihat ramainya dukungan pada keputusan besarnya.

"Kau selalu memberi kami kejutan, Maxwell," Seorang wartawan senior yang dikenal baik oleh Andreas bergurau kearahnya.

Andreas tergelak pelan mendengarnya.

"Aku juga terkejut, Mike. Tapi sepertinya aku memang menginginkannya," ucap Andreas Maxwell dengan mantap.

Alan memicing tajan ke arah saudaranya tanpa berkomentar.

Tapi sorot di mata gelap pria separuh latin itu tampak waspada sekaligus curiga.

"Siapa perempuan spesial itu, Tuan Maxwell?" tanya salah seorang wartawan perempuan yang disusul persetujuan dari yang lainnnya.

Andreas tertawa dengan ekspresi yang tak bisa ditebak.

"Berhentilah penasaran. Kalian bisa membuatku takut sebelum mulai berjuang," canda Andreas dengan tawa ramah.

"Kau bisa memberi kami sedikit bocoran," pinta beberapa wartawan.

Andreas menunduk salah tingkah.

"Baiklah, beberapa hari fokusku teralih oleh seorang bidadari berambut merah," jawab pria itu yang langsung disambut tawa dan sorakan dari para wartawan.

Di sebelahnya, Alan menegang kaget dan menatap saudaranya dengan penuh kemarahan.

"Apa yang kau rencanakan?" desis Alan.

Andreas mencondongkan badan ke arah staf pribadinya itu dengan ekspresi yang tak bisa ditebak.

"Menurutmu apa yang akan kulakukan....?" bisik Andreas dengan senyum tipis yang tampak menakutkan.

***

Beberapa jam kemudian Misha menatap potongan wawancara Andreas dengan ekspresi kesal dan ketakutan.

"Tidak, tidak. Pasti bukan aku yang dia maksud, kan?" gumam gadis itu dengan gusar.

Ting tong!

Bunyi bel pintu kamar apartemennya membuat Misha yang sedang melamun terperanjat kaget.

Gadis itu menghela nafas panjang berusaha menenangkan diri sebelum bergegas berjalan ke arah pintu.

Misha membuka pintu kamarnya, lalu tertegun dengan wajah memucat.

"Hai Misha! Apa kau mau makan malam denganku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status