Share

Run Away

Lala terbangun karena mendengar deringan ponselnya. Dengan setengah terpejam dia meraih ponsel itu. Tubuhnya langsung beku ketika tante dengan suara bergetar menyapanya lebih dulu.

“Halo, La. Maaf Tante ganggu. Tante cuma mau ngasih tahu kalau besok tenggat terakhir pembayaran biaya rumah sakit mama kamu.”

Lala terdiam. Memijit pelipis sejenak sebelum berkata, “Iya, makasih Tante,” dengan lirih.

“Kamu sudah ada uangnya?”

“Eeemmm … belum,” jawab Lala hati-hati.

Terdengar tantenya mendesah pelan di ujung telepon. Hal itu sukses membuat Lala tidak nyaman. Merasa sangat merepotkan adik mamanya itu, yang sudah rela merawat mama selama tiga tahun ini tanpa diberi upah sepeserpun. Tak jarang tante malah memberinya uang untuk menebus obat dan keperluan mama yang lain. Padahal, tantenya sama tidak punya uangnya seperti mereka.

“Halo? Kamu masih di sana, La?”

“I-iya, Lala dengar, Tan. Lala belum gajian. Tapi Lala usahain minta bayaran di awal sama bos Lala. Semoga dia mau ngasih.”

“Kamu masih kerja di sana, di kelab malam itu?”

“Masih, Tan.”

“Bukannya mama kamu sudah melarang? Kerja di kelab malam, kan, bahaya, La. Takutnya kamu diapa-apain sama cowok hidung belang. Kamu nggak mau, kan?”

Sumpah, Lala tidak mau itu terjadi. Tapi dia bisa apa? Hanya pekerjaan itu yang mampu memberinya upah besar. Meskipun masih tidak cukup untuk biaya makannya sehari-hari karena saat dia menerima gaji bulanan, uang itu langsung disetorkan ke tantenya. Lala bahkan harus mencari kerja sambilan lain untuk biaya hidupnya di kota besar ini.

Masalah digoda cowok hidung belang memang sering dia dapatkan, tapi mereka hanya sebatas menggoda. Tidak ada niatan lebih karena pelayan di kelab malam tempat Lala bekerja, pekerjaannya memang untuk mengantarkan minuman ke pelanggan. Tidak lebih dari itu. Jika pengunjung kelab ada yang nekat, siap-siap ditendang penjaga kelab dan di-banned.

Dengan adanya peraturan itu Lala merasa sangat terbantu. Merasa aman. Bosnya juga sangat baik pada karyawan.

“Lala bisa jaga diri kok, Tan,” katanya berusaha menghibur kekhawatiran tante.

Tante terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Tante bisa aja pinjam sama pak Damar, La. Jadi kamu nggak perlu repot lagi kerja di sana.”

“Jangan!” sergah Lala. “Tante tahu, kan, pak Damar kayak gimana? Lala nggak mau Tante kena dampaknya nanti. Tolong jangan, ya, Tan.”

Pak Damar dengan segala kelicikannya hanya akan mencekik Lala dan ibunya sampai mati. Lintah darat itu tidak akan segan-segan membunuh orang yang tidak bisa membayar hutangnya tepat waktu.

“Lala masih sanggup cari uang Tan. Tante tenang aja. Pokoknya akhir bulan ini, Lala kirim uangnya ke Tante, ya. Tolong jangan pinjam ke pak Damar,” pinta Lala, memelas.

“Oke, Tante nggak akan pinjam ke dia. Kamu tenang aja. Tante tutup, ya. Mama kamu baru aja bangun dan nyariin Tante.”

Lala mengangguk tanpa sadar. “Iya, makasih banyak sudah jagain mama, Tan.”

Setelah menutup telepon, Lala duduk meringkuk di ranjang. Menatap nanar lantai kayu kamar kos sederhana ini. Sepatu berhak tinggi dengan warna merah menyala terletak di samping pintu kamar. Gaun-gaun kurang kain tergantung begitu rapi di dekat jendela. Jumlahnya tidak banyak, paling hanya lima buah dan warnanya menyala semua. Gaun-gaun itu sama sekali bukan gaun kesukaan Lala. Pekerjaan sebagai pelayan kelab malam itu pun juga bukan keinginannya.

Lamunannya buyar ketika di pagi minggu ini pintu kamar kosnya diketuk. Dengan langkah gontai Lala membuka pintu dan langsung memasang senyum ketika tahu yang mengetuk pintu adalah ibu kosnya sendiri.

“Silakan masuk, Bu Meida.”

Bu Meida mengangguk. Dia langsung duduk lesehan di lantai disusul Lala setelahnya.

“Maaf, ibu ganggu kamu pagi-pagi.”

“Ah, nggak pa-pa, Bu. Ibu nggak ganggu kok.”

Bu Meida lalu duduk bersila. “Jadi gini, kemarin ada orang tua siswa ibu yang lagi nyari guru privat buat ngajar anaknya calistung. Ibu mau nawarin pekerjaan itu ke kamu. Kamu mau, kan? Mereka orang kaya, La. Ibu yakin mereka bakalan ngasih kamu uang banyak. Lumayan buat tambah uang jajan kamu. Kamu mau, kan, ya?”

Lala diam. Bukannya bermaksud menolak. Di zaman sekarang, manusia mana yang tidak perlu uang? Dia bahkan sangat-sangat membutuhkannya sekarang. Setiap bulan malah. Dia hanya bimbang. Baginya menjadi guru privat anak-anak bukan masalah jika dia memegang ijazah S-1 atau paling tidak ijazah SMA. Sayang, dia tidak punya keduanya.

“Ibu tahu sendiri, kan, saya nggak lulus SMA. Sa-.”

“Nggak masalah, La,” potong bu Meira sambil menepuk punggung tangannya. “Cuma ngajarin membaca, menulis, sama berhitung aja kok. Kamu lulusan SD pun nggak masalah karena yang kamu ajar anak TK.”

Lala menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. “Gimana, ya Bu. Mereka orang kaya, pasti maunya guru privat yang berpendidikan juga, kan? Lala nggak memenuhi kriteria itu, Bu.”

Wanita paruh baya itu menggeleng. “Mereka nggak mengutamakan pendidikan kok, La. Asal kamunya suka sama anak-anak aja dan Ibu tahu kamu sayang banget sama anak-anak. Siapapun mereka. Kamu sudah memenuhi kriteria mereka, La. Makanya Ibu mohon kamu ambil pekerjaan ini, ya. Bantu Ibu karena Ibu nggak bisa ngajar dia. Kerjaan Ibu banyak.”

Oke, kalau memang mereka tidak keberatan dengan status pendidikan Lala, dia mau mencoba. Lala mengangguk lamat-lamat sambil berkata, “Ya, Bu.”

“Syukurlah ….” Bu Meira lega. Dia merogoh saku dan menyerahkan secarik kertas ke Lala. “Ini alamat rumahnya, La. Kalau bisa kamu ke sana sore ini, ya. Orang tuanya mau ketemu kamu dulu. Mau bahas kontrak kerja, katanya.”

Lala menerima kertas itu dengan ragu. Melihat sekilas tulisan itu, Lala tahu alamat yang akan ditujunya sore ini berjarak jauh dari kosnya. Akan perlu uang lumayan banyak untuk membayar taksi sementara dia hanya punya beberapa lembar uang dua ribuan di dalam dompet.

“Ah, ini ada biaya transportasi kamu ke sana nanti.” Bu Meira menyodorkan dua lembar uang seratus ribu. Karena Lala yang tak kunjung menerimanya, Bu Meira menjejalkan uang itu ke telapak tangan Lala.

“Ini bukan dari Ibu, La, tapi dari orang tua anak murid Ibu. Terima, ya.”

Bu Meira berdiri. Berjalan menuju pintu. Lala mengantarkannya sampai di teras kos. Tak lupa mengucapkan terima kasih banyak. Lalu setelah ibu kosnya itu pergi dengan motornya, Lala kembali masuk ke dalam kamar.

Uang dua ratus ribu itu dimasukkannya ke dalam dompet. Kertas bertuliskan alamat rumah itu dibacanya berkali-kali. Lalu dua sudut bibirnya terangkat ke atas. Dia mendekap kertas kecil itu ke dadanya. Mengucap syukur berkali-kali. Hatinya terus memanjatkan doa semoga urusannya dengan mereka lancar dan mereka menyukai Lala sesuka Lala dengan anak-anak.

* * *

Setelah memberikan uang kepada sopir taksi, Lala turun. Dia berdiri tepat di depan pagar besi bercat hitam yang menjulang tinggi. Setinggi dia berdiri. Lala langsung masuk karena pagar itu terbuka. Dia mengamati rumah itu. Mirip sekali dengan istana. Megah. Warnanya menyiratkan kekayaan pemiliknya.

Banyak tanaman anggrek langka tergantung di teras rumah. Lala yakin satu anggrek itu harganya lebih besar daripada gajinya bekerja di kelab selama setengah tahun.

Tangannya yang dingin dan gemetaran terulur memencet bel. Dia menunggu dengan gugup. Dia yakin setelah pintu terbuka nanti dia akan langsung ditendang keluar pagar. Diusir.

Pintu terbuka setelah dua kali bel dipencet. Seorang anak kecil yang membukanya. Lalu tanpa aba-aba, dia menubruk tubuh Lala. Cewek kurus itu terdorong tiga langkah ke belakang.

“Kak Lala!” Ruli mendongak. Tersenyum menampakkan giginya yang sebagian menghitam.

Lala terkesiap. Tubuhnya membeku sejenak. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Wajahnya mendadak pucat.

Kenapa ini bisa terjadi?

“Ruli … kamu tinggal di sini?” tanyanya lirih.

Senyum Ruli semakin lebar. “Iya, Kak. Masuk yuk. Ruli senang Kakak datang.”

Kenapa harus Ruli?

Lala menggeleng cepat. Dia berjongkok. “Maaf, ya, Kakak salah alamat. Kakak mau ketemu teman Kakak, katanya rumahnya di sekitaran sini. Ternyata malah ngetuk rumah Ruli. Kakak tinggal, ya. Ruli tutup aja pintunya,” kata Lala bohong.

Demi apapun Lala kasihan melihat wajah Ruli yang menyiratkan kecewa. Tapi dia lebih kasihan dengan hatinya. Ada Ruli di sini, berarti cowok itu ada di sini juga. Sampai kapanpun Lala tidak akan siap bertemu dengan Aiden. Tidak mau terlibat lebih dalam lagi. Masalahnya hatinya masih berdenyut sakit. Denyutannya sanggup membuat Lala putus asa menanggungnya dan memilih bunuh diri saja.

“Tapi … tapi … kata bu Meira, nama kakak yang akan ngajarin Ruli calistung adalah Lala. Kakak juga namanya Lala, kan? Kakak aja yang ngajarin Ruli, ya? Ruli cuma mau sama Kakak.” Anak kecil itu memeluk pinggang Lala.

Lala menggigit bibir.

Aku nggak sanggup!

Dia ingin berlari dari sini, tapi kakinya seberat batu kali.

Sampai akhirnya orang yang paling Lala hindari muncul di depan pintu dengan rambut basah dan acak-acakan.

Aiden memanggil lirih namanya. Membuat Lala semakin menunduk. Detik berikutnya, dia lari menuju pagar. Menyapu kasar pipinya yang mendadak basah.

“La.” Aiden mencekal lengannya saat dia sampai di depan pagar.

“Kenapa Tuhan sebegitu nggak adilnya sama aku? Kenapa Tuhan harus mempertemukan aku sama kamu lagi? Kenapa Tuhan memberikanku hati yang sangat rapuh kayak gini?”

Lala melepas paksa cekalan tangan Aiden. “Kalau aku ketemu kamu sekali lagi, aku bener-bener akan bunuh diri.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status