Dalam hidup, kita tidak bisa menentukan takdir yang akan kita jalani. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa untuk hidup kita, meski terkadang semua itu tidak seperti yang kita harapkan. Seperti yang dialami oleh Nadia, seorang gadis cantik di desanya. Gadis penurut dan selalu patuh kepada orang tuanya, bahkan perihal jodoh sekalipun. Sifatnya yang polos dan pendiam, membuat dia semakin teraniaya.
"Hidup mu akan terjamin! Jika kamu menikah dengan Marvel!" ujar Inez memaksa.
Inez adalah ibu tirinya, sedangkan ibu kandung Nadia sudah lama meninggal. Ayahnya yang bernama Hendra memutuskan menikah lagi, setelah ibunya pergi.
"Bagaimana mungkin, aku menikah dengan orang yang sama sekali tidak ku kenal?" Nadia mencoba memberikan pengertian kepada ayah dan ibu tirinya.
"Bagaimanapun... Kamu harus menurut apa kata Ayah, Nadia!" bentak Ayahnya.
'Percuma, aku menjelaskan semuanya. Ayah juga tidak akan mungkin mendengarkan ku,' pikir Nadia. Nadia sudah tidak tahan dengan perlakuan ayah dan ibu tirinya, hatinya begitu sakit. Bahkan air matanya yang sedari tadi dibendung, kini jatuh perlahan membasahi pipinya.
Semenjak ayahnya menikahi Inez, ayahnya berubah. Ayah yang begitu menyayangi gadis semata wayangnya, justru tega memaksa. Hanya karena harta, ayahnya rela anaknya menikah dengan laki-laki yang buruk perilakunya.
Ayahnya sudah gila harta, semenjak istrinya Inez, suka menghabiskan uang ayahnya. Keluarga Nadia adalah keluarga yang begitu harmonis dahulu, namun semenjak ayahnya terpikat oleh Inez, semuanya berubah.
Nadia dengan pasrah mengikuti apa yang dikatakan oleh ayahnya, dia berlalu pergi ke kamarnya dan menangis sejadi-jadinya.
"Kenapa ayah begitu tega kepadaku, begitu juga kepada ibuku." Nadia menangis dengan memegang bantal guling kesayangannya.
Tidak lama kemudian, Nadia terlelap dalam tidurnya. Batin yang sudah lelah, harus dia istirahatkan.
Jam baru menunjukkan pukul 01.00 dini hari, Nadia terbangun dalam tidurnya. Dia menyempatkan untuk sholat malam dan berdo'a.
"Ya Allah ya rabb, hamba yakin bahwa Engkau tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan. Hamba yakin, bahwa Engkau sudah menulis semua takdir manusia di bumi ini. Hamba juga yakin, bahwa Engkau juga maha tahu yang terbaik untuk hamba. Maka, berikanlah hamba kekuatan ya Allah, agar hamba bisa melewati semua ini." Tidak terasa air mata Nadia bercucuran kembali, dia sudah tidak kuasa menahan segala rasa. Dia terus teringat akan Almarhumah ibunya, ibu yang begitu dia sayangi. Nadia tidak lupa untuk mendoakan sang ibunda yang mungkin sudah bahagia di alam sana.
"Jujur aku rindu, Bu," kata Nadia sembari memegang foto ibunya satu-satunya, setelah semua foto yang dia punya sudah tiada, sebab Inez telah membakarnya.
"Sungguh kejam ibu Inez, Bu." Nadia terus saja memeluk foto ibunya.
Dia sudah tidak kuat menjalani hari demi hari, semua cita-citanya musnah. Padahal dulu, ketika ibunya masih hidup. Nadia berjanji akan menjadi seorang dokter, Nadia ingin menyembuhkan segala luka. Termasuk penyakit kanker, sebab ibunya yang sudah lama menderita penyakit itu.
Ayahnya berselingkuh dengan Inez, ketika ibu Nadia sakit-sakitan. Ayahnya juga kerap kali marah kepada ibunya, lantaran ibunya sakit dan tidak bisa menjaga kesehatannya sendiri.
Ayahnya begitu egois, ayahnya yang hanya memikirkan kesenangannya saja.
"Andai aku bisa memilih, aku akan memilih bersamamu, Bu." Nadia begitu sedih malam ini. Sehingga tidak terasa, dia kembali terlelap dengan mukenah yang sedari tadi dikenakannya.
Azan subuh berkumandang, Nadia kembali melaksanakan kewajibannya. Dia bersiap-siap mandi, setelah itu dia sholat. Dia juga tidak lupa membaca Al-Quran, seperti hari-hari biasanya. Dirumah peninggalan dari ibunya, Nadia berperan selayaknya pembantu. Nadia yang harus mengurus semuanya, Inez yang berperilaku bagaikan ratu, selalu semena-mena kepadanya.
'Pagi juga sudah hampir, akankah tidak ada keajaiban untuk ku. Agar Marvel tidak jadi menikahi ku.' Nadia bergumam sembari memasak di dapur.
"Nadia... cepat! Aku sudah lapar, lama sekali sih!" teriak Inez dari ruang makan.
Nadia terus saja melamun, hingga teriakan ke tiga kalinya, Nadia tersadar.
"Iya, Bu. Sebentar lagi matang," jawab Nadia dengan buru-buru memasak.
"Ini sarapannya, Bu." Nadia meletakkan nampan dan masakannya di atas meja.
Belum sempat Nadia kembali ke dapur, tiba-tiba masakannya di lempar begitu saja.
"Tiarrr...." Suara piring pecah.
"Masakan apa ini, kamu mau membunuhku!?" Inez naik pitam.
"Ti-da-k, Bu." Nadia gugup.
"Coba kamu cicipi, biar kamu juga tahu rasanya seperti apa!" Inez mendorong Nadia ke lantai, tepat di posisi piring yang berserakan. Perlahan tangan Nadia tergores, kali ini jari jemarinya yang indah itu telah penuh dengan sayatan luka dari belahan piring yang pecah.
"Ada apa ini?" tanya Ayahnya ketika melihat adegan yang tidak baik itu.
"Ini lo yah, anakmu ingin meracuniku," ucap Inez, Inez yang memang suka membesar-besarkan masalah.
"Tidak, Ayah. Aku tidak bermaksud seperti itu," ucap Nadia menjelaskan. Akan tetapi, usaha Nadia sia-sia. Tetap saja, ayahnya lebih membela Inez.
"Kamu ini, anak yang tidak tahu di untung. Kamu harusnya bersyukur, ibu Inez telah baik hati menggantikan ibumu yang penyakitan itu."
Mendengar kata-kata yang begitu kasar dari ayahnya, Nadia kembali menangis tersedu-sedu.
'Ayah memang sudah berubah. Aku tidak menyangka, kalau ayah akan seperti ini.' Tetesan air mata Nadia kali ini menunjukkan, bahwa begitu dalam sakit hati yang dia rasakan. Dia hanya bisa terdiam dan menikmati rasa yang ada.
Setelah adegan menyedihkan itu terjadi, akhirnya jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi.
_Tok tok tok_
Ada suara ketuk pintu.
Inez yang membuka pintu, ternyata Marvel datang. Dari tatapan wajah Marvel, dia sudah tidak sabar ingin menikahi Nadia.
"Jadi kan, aku menikah dengan Nadia," kata Marvel.
"Jelas jadi," ucap Inez tampak bersemangat.
Ruang tamu sudah dihias sebagus mungkin, tampak bunga-bunga warna putih disetiap tembok. Meja sudah berjejer rapi dan penghulu juga segera menyusul untuk datang ke lokasi, semua itu sudah direncanakan dan diatur oleh Inez sedari pagi sebelum jam 07.00. Pesta pernikahan kecil-kecilan ini memang sengaja Inez persembahkan kepada Nadia, selain mengirit biaya, pernikahan ini juga dapat diselesaikan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya. Padahal, uang dari Marvel begitu banyak untuk mempersiapkan pesta itu. Namun, karena keserakahan Inez membuat dia melakukan hal ini. Para tamu undangan juga tidak banyak, hanya tetangga terdekat saja. Tidak lupa juga dihadiri ayah dan ibu tirinya sebagai wali dari Nadia. Tiga puluh menit berlalu, akhirnya Nadia menikahi seorang duda beranak satu itu.
Marvel tidak hanya laki-laki yang kasar dan penuh dengan ambisi kepadanya. Namun, Marvel juga laki-laki yang suka memukul Nadia semenjak awal berkenalan dengannya.
'Bagaimana dengan ku nanti, sebelum menikah saja. Marvel begitu kasar kepada ku.' Nadia berpikir begitu panjang.
Kali ini, Nadia semakin tertekan. Nadia yang selalu mencoba untuk tegar, dia yang mencoba untuk tidak menceritakan kesedihannya kepada siapapun. Nadia yang selalu di tindas oleh orang-orang di sekitarnya, mencoba untuk terlihat ceria dan baik-baik saja.
Mungkin karena begitu banyak luka yang dia terima, sehingga dia begitu mahir dalam berpura-pura.
Nadia yang masih saja mencari cara, agar dia bisa terlepas dengan segala kesulitan yang di hadapinya.
Nadia yang juga masih bersikeras untuk mencoba bangkit dan meraih cita-cita yang sudah dia rencanakan ketika ibunya masih ada.
Nadia yang begitu kuat menjalani badai kehidupan yang dia sendiri tidak mengerti, apa yang akan terjadi padanya.
Sekarang, Nadia telah sah menjadi istri Marvel, laki-laki yang dipilihkan oleh ibu tirinya. Nadia berusaha agar bisa melewati badai hidup yang akan dia lewati, Nadia harus menguatkan hatinya sendiri. "Nadia, kamu sudah sah menjadi milik ku." Laki-laki kasar itu menatap Nadia begitu tajam. 'Aku tidak bisa kabur hari ini, bagaimanapun aku sudah sah menjadi istrinya. Mau tidak mau aku harus melayaninya, walau batinku sebenarnya tidak terima.' Nadia bergumam dengan menitikkan air mata. "Tidak usah lah kau menangis, hidupmu itu sudah enak," Inez mengulang kembali perkataan nya, perkataan yang dari awal dibuatnya senjata agar Nadia tidak berontak. Memang ibu tirinya itu wanita yang tidak punya hati, hatinya di penuhi oleh harta yang selalu dia cari. Tidak jarang ibu tirinya meminta uang kepada Marvel, sebelum Nadia di jodohkan dengannya. Inez yang dengan sengaja menukarkan Nadia hanya demi uang dan kesenangannya saja. Sejumlah uang sudah diberikan ke Inez dan
Nadia dan Marvel berjalan menuju ke mobil, mereka berdua sama-sama khawatir tentang Sherina. Sherina yang malang, yang ditinggalkan oleh ibunya. Dari kejauhan, mereka melihat Sherina sudah terbangun dari tidurnya. "Dari mana, Ayah?" tanya Sherina. "Dari belanja, Sherina ingin beli apa?" Marvel bertanya dengan jiwa yang mencerminkan sebagaimana seorang ayah. "Aku ingin ice cream, Ayah," kata Sherina berbicara manja. "Sebentar, biar Ayah belikan dulu." Marvel segera masuk kembali ke dalam pusat perbelanjaan. Sedangkan Nadia duduk di dalam mobil bersama Sherina, sambil mengobrol. "Ibu, apakah ibu menyukai Ayah?" tanya Sherina dengan wajahnya yang begitu lugu. "Memang kenapa? Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Nadia justru kembali bertanya. "Aku takut, jika ibu meninggalkan ayah, seperti ibuku dulu," ucap Sherina. Kali ini air mata Sherina menetes, dia teringat akan ibu
Nadia dan Sherina akhirnya bermain, Sherina begitu senang. Sherina yang semula tidak pernah merasakan kasih sayang, justru sekarang sudah bisa merasakannya."Sherina, jadilah anak yang selalu ceria dan bahagia seperti ini ya," Nadia mengucap dengan penuh perasaan kasih sayang dan lemah lembut."Baik, Bu. Terimakasih telah menjadi ibu yang baik untuk ku." Sherina memeluk erat Nadia.Mereka melanjutkan bermain, mulai dari bermain boneka dan juga permainan yang lainnya."Di rumah ini, Sherina hanya tinggal berdua sama Ayah?" tanya Nadia, ketika dia melihat rumahnya begitu sepi."Tidak, Bu. Ada bibi juga, bibi Inem. Bibi Inem yang membantu aku mandi dan makan sedari dulu," jawab Sherina."Sekarang, bibi Inem ke mana? Dari tadi aku lihat tidak ada orang," Nadia bertanya."Iya, bibi Inem pulang kampung. Katanya sedang merindukan keluarganya, paling besok pagi pulang ke sini lagi, Bu," jawab S
Sore sebentar lagi akan menjelma menjadi malam, matahari sudah mulai terbenam. Senja sudah mulai tertutup oleh awan dengan perlahan-lahan. Nadia mengajak Sherina untuk masuk ke dalam rumah, sebelum Azan magrib di kumandangkan."Sherina, Ayok masuk.!" ajak Nadia."Iya, Bu." Sherina memang anak yang begitu sholihah, dia menurut saja apa yang dikatakan oleh Nadia."Bu, kenapa harus masuk?" tanya Sherina kemudian, ketika mereka berdua sudah melangkahkan kakinya ke dalam rumah."Iya, dulu nenek pernah berkata. Kalau sudah petang, syaiton lebih mudah masuk ke dalam rumah-rumah," Nadia menjelaskan segalanya, yang pernah ibu Nadia katakan."Seram ya, Bu," Sherina berkata dengan ekspresi ketakutan.Nadia menatap wajahnya sembari berkata,"Tidak usah takut, syaiton akan hilang kalau kita baca ayat suci Al-Quran.""Kalau begitu, aku lebih giat lagi untuk belajar ngajinya," ucap Sherin
Nadia membenarkan hijabnya dan membalas senyum."Kenalin, Bu. Ustadz Zacky," kata Sherina."Nadia, Ibunya Sherina," ucap Nadia tanpa jabat tangan seperti namaste."Zacky, guru lesnya Sherina." Zacky melakukan hal yang sama. Kemudian, Nadia kembali ke dapur, dia menyiapkan minuman untuk Zacky. Zacky dan Sherina belajar di ruangan yang sudah disediakan oleh Marvel. Mereka berdua terlihat begitu akrab, selayaknya om dan ponakannya. Nadia dari arah kejauhan sembari membawa segelas teh sedang memperhatikan mereka juga ikut senang."Di minum dulu, tehnya." Nadia mempersilahkan Zacky untuk meminum teh yang sudah diletakkan di atas meja."Terimakasih." Zacky langsung menyeruput teh.Nadia kembali masuk ke dalam, dia bingung mau ngapain. Beruntungnya masih ada televisi, akhirnya dia nonton. Dia tidak tahu, apa yang mereka lakukan di ruang belajar. Nadia begitu berharap Sherina akan sukses nanti, dia bisa menjadi wanita y
Setelah kejadian itu, Sherina datang menghampiri Marvel dan Nadia yang lagi di ruang makan, Sherina datang dengan wajah yang begitu pucat."Sherina, kenapa wajahmu pucat?" tanya Nadia khawatir."Aku menggigil, Bu," jawab Sherina lemas."Badan kamu panas sekali!" ujar Nadia dengan memegang dahi Sherina.Mendengar ucapan Nadia, Marvel yang tadinya duduk di sebelah Nadia mengambil Sherina yang telah duduk di pangkuan Nadia."Pergi kamu!" ucap Marvel mengusir Nadia."Kenapa panas sekali?" tanya Marvel dengan melihat wajah Nadia. Pertanda dia bertanya kepadanya."Aku tidak tahu," jawab Nadia.Marvel lagi-lagi memarahi Nadia, dia berkata."Kamu tidak becus mengurus anak.! Baru saja tinggal di rumah ini, Sherina sudah sakit." Marvel begitu marah, dia kemudian menggendong Sherina dan masuk ke kamarnya.Nadia mengikuti dari belakang, dia juga
Nadia kembali masuk ke dalam kamar rawat Sherina, setelah dia selesai berbicara dengan Ilham. Dia menemui Sherina yang masih bersama suster. Setiap langkah kakinya, Nadia terus saja merasa memang ada yang beda dari Ilham, Nadia juga tidak mengerti apa yang sedang Ilham rasakan."Bu, aku sudah sehat," ucap Sherina saat dia menelan bubur yang disuapi oleh suster."Alhamdulillah... Buburnya enak?" tanya Nadia."Enak, Bu. Aku suka," jawab Sherina."Mana, Sus. Biar aku saja yang menyuapi Nur." Nadia mengambil semangkok bubur yang di berikan oleh suster."Harus makan yang banyak, biar cepat pulang." Ucap Nadia sembari menyuapi Sherina.Sherina semakin semangat untuk memakan bubur itu, dia yang senang disuapi oleh ibunya. Perhatian Nadia kepada Sherina begitu besar, hati Nadia layaknya seorang ibu meski dia tak pernah melahirkan. Sekarang, suster sudah pergi meninggalkan mereka berdua, mereka pun bercanda bersama
"Assalamu'alaikum..." Terdengar suara Marvel dengan mendorong pintu kamar tempat Sherina dirawat."Waalaikumsalam..." Nadia, Sherina, Ilham menoleh dan menjawab salam."Kenapa lama, yah?" tanya Sherina."Tadi macet di jalan, ada kecelakaan beruntun. Maaf ya, Ayah lama." Ucap Marvel setelah Sherina dan Nadia menunggu sekitar setengah jam."Iya, Ayah tidak apa-apa?" Tanya Sherina khawatir."Iya, Alhamdulillah. Ayah tidak apa-apa," ucap Marvel."Syukur, Ayah tidak apa-apa." ucap Sherina dengan raut wajah yang gembira."Ayo, pulang!" Ajak Marvel tidak sabar."Ayok.." Sherina juga tampak bersemangat."Boleh pulang beneran, Dok?" Tanya Marvel memastikan."Iya," jawab Ilham."Nadia, bajunya sudah dikemas semua?" tanya Marvel."Sudah," jawab Nadia.Nadia sudah membereskan semua pakaian mereka siang tadi dan sekarang, Nadia m