Share

Cerita Lama

🌹🌹🌹🌹

Sepulang dari tempat kerja, Naira ingin menenangkan hati lebih dulu. Perasaan tak karuan begitu menjadi beban. Sepanjang sore ini yang ada dalam pikirannya hanya ingatan tentang Andika dan Meli. Beribu cara dia coba untuk menghapus ingatan itu, tapi masih saja terlintas. Tatapan Andika yang begitu lembut membuatnya cemburu dan sakit. Berulang kali ia menyadarkan diri bahwa cintanya hanyalah pungguk yang merindukan bulan. Namun semakin kuat ia coba melupakan tapi semakin kuat pula perasaan cinta itu.

"Apa hidupku seburuk ini! Mengapa banyak orang selalu memandangku sebelah mata, apa aku sehina itu." keluhnya. Ia tak menyesali takdir hidupnya ia hanya ingin satu tiket bahagia saja. Apa keinginan itu terlalu berat untuknya. 

"Hikz ... Hikz" isak tangisnya semakin terdengar. Gadis itu tak lagi mampu menahan cobaan hidupnya. Tapi ia harus bertahan demi Ibunya.

"Aku harus tetap semangat untuk Ibu!" bisik Naira pelan. 

Gadis itu pun meninggalkan tempat itu dan melangkahkan kaki menuju rumahnya. 

"Ibuu ... Aku datang" serunya sambil membuka pintu rumah.

Ia mencari keberadaan wanita yang melahirkannya itu.  Matanya tertumpu pada sosok wanita yang sedang sibuk menenun. 

"Ibu ... Ibu aku merindukanmu" sendu Naira seraya memeluk wanita itu.

"Seperti anak kecil saja" ejek Ibunya. Wanita itu sadar betapa Naira selama ini begitu menderita hidup bersamanya. Tapi wanita itu tak mampu berbuat apa-apa karena iapun tak sanggup berpisah darinya.

Andai saja dulu ia mengijinkan Naira hidup bersama ayahnya mungkin gadis itu tak akan ikut tenggelam dalam deritanya.

"Ibu..." panggil Naira lagi.

Ibunya hanya berdehem. Lalu menatap wajah anak semata wayangnya itu.

"Ijinkan aku ke Jakarta, Bu" ucap Naira perlahan takut Ibunya akan terkejut. Dan kenyataannya wanita itu langsung menjatuhkan jarum tenunnya.

"Ibu ..." Naira menatap sayu pada Ibunya.

"Apa kamu yakin, Anakku! Di sana kamu tak punya siapa-siapa!" sahut wanita itu akhirnya.

"Aku ingin mencari ilmu dan pengalaman di kota itu, Ibu! Dengan restumu, aku akan membahagiakanmu kelak!" jelas Naira diiringi keyakinan yang mantap.

"Pikirkan terlebih dahulu, Sayang!" pinta Sulastri pada anaknya.

Naira mengangguk iapun terlelap dalam pangkuan wanita yang telah susah payah membesarkannya itu.

"Maafkan Ibu, Nak! Andai saja Ibu bisa mengembalikan waktu!" Bisik wanita tua itu lembut seraya mengelus kepala anaknya. 

Terbayang kembali kejadian silam, saat kata talak yang terucap dari suaminya. Seketika itupun hidupnya berubah. Semakin hari derita yang di rasakan semakin besar.

***

"Ayaah ..." Teriak seorang gadis kecil sambil mengejar pria yang telah jauh meninggalkannya.

Nafasnya terengah-engah, betapa ia merindukan pria yang selalu hadir dalam mimpinya itu. 

"Kamu mimpi buruk lagi, Nai?!" tanya Sulastri lembut sambil membelai rambut anaknya. 

Naira mengangguk, air matanya tumpah di pangkuan wanita yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya seorang diri.

Masih terlalu kecil untuk Naira mengingat semua kejadian silam itu. Wajah ayahnya pun kini sudah samar-samar dalam ingatannya. 

Yang ia tahu ayahnya pergi untuk mencari uang. Namun hingga kini sang ayah tak pernah pulang. 

"Aku merindukan ayah, Bu!" bisik Naira

Sulastri hanya terdiam batinnya begitu perih, selama ini begitu banyak alasan yang di berikan pada anaknya. Apakah saat ini Naira cukup dewasa untuk mengetahui sosok laki-laki yang di panggil ayah.

Sulastri menarik nafas dalam.

"Naira ....!" Ucapannya menggantung. 

Naira memandangi wajah teduh Ibunya. Ia tahu pasti wanita ini menyimpan begitu banyak beban. Sekarang ia cukup dewasa untuk mengerti keadaan, ia tak ingin lagi memaksa untuk tahu dimana ayahnya. 

"Jikalau berat untukmu, tak usah kau ceritakan padaku, Bu!"

Nafasnya terengah-engah, betapa ia merindukan pria yang selalu hadir dalam mimpinya itu. 

"Kamu mimpi buruk lagi, Nai?!" tanya Sulastri lembut sambil membelai rambut anaknya. 

Naira mengangguk, air matanya tumpah di pangkuan wanita yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya seorang diri.

Masih terlalu kecil untuk Naira mengingat semua kejadian silam itu. Wajah ayahnya pun kini sudah samar-samar dalam ingatannya. 

Yang ia tahu ayahnya pergi untuk mencari uang. Namun hingga kini sang ayah tak pernah pulang. 

"Aku merindukan ayah, Bu!" bisik Naira

Sulastri hanya terdiam batinnya begitu perih, selama ini begitu banyak alasan yang di berikan pada anaknya. Apakah saat ini Naira cukup dewasa untuk mengetahui sosok laki-laki yang di panggil ayah.

Sulastri menarik nafas dalam.

"Naira ....!" Ucapannya menggantung. 

Naira memandangi wajah teduh Ibunya. Ia tahu pasti wanita ini menyimpan begitu banyak beban. Sekarang ia cukup dewasa untuk mengerti keadaan, ia tak ingin lagi memaksa untuk tahu dimana ayahnya. 

"Jikalau berat untukmu, tak usah kau ceritakan padaku, Bu!"

Sulastri menimbang lagi keputusannya untuk menceritakan semua. Namun lidahnya masih saja terasa kelu.

"Maafkan Ibu, Nai!" Kata Sulastri rongga dadanya begitu sesak. 

Naira tersenyum lalu memeluk erat wanita di hadapannya itu.

"Maafkan Ibu! Ibu belum mampu menceritakan segalanya!" Batin Sulastri   air matanya mengalir deras. 

"Jangan menangis, Ibu! Aku tak akan pernah mengungkitnya, jika itu menyakitimu! Aku bahagia walau tanpa seorang ayah!" Jelas Naira saat merasakan tetesan air hangat pada punggungnya. 

Wanita itu tersenyum dan mengangguk. 

"Ayo kita lanjut tidur, hari masih malam!" Ajak Sulastri.

****

Keesokan paginya Naira terlambat datang ke Sekolah, matanya masih terlihat sembab. Langkah gontainya segera dikejutkan oleh suara nyaring Tasya yang bawel.

"Naairaa ....!" 

Gadis itu menoleh sekilas.

"Kamu habis menangis, Nai?" Tanyanya saat mata gadis itu tertumpu pada mata sembab Naira.

Naira menggeleng.

"Kamu terlalu bodoh! Kamu pikir aku anak kecil, yang tidak bisa membedakan mana mata abis menangis atau bukan!" Cerocos Tasya. Sedang Naira hanya menggedikkan bahunya.

"Nairaaa ....!" Teriak Tasya kesal. 

Naira meninggalkan Tasya yang masih cemberut. Dengan langkah tergesa gadis itu segera menyusul langkah sahabatnya yang semakin jauh.

"Dasar gadis aneh!" Celetuk satu suara di samping Tasya mengiringi langkah cepat nya. 

Tasya menghentikan langkah. Lalu melihat siapa yang ikut campur pada urusannya.

"Kamuu ....!" Tunjuknya seketika rasa kikuk menggelora di hatinya.

Sulastri menimbang lagi keputusannya untuk menceritakan semua. Namun lidahnya masih saja terasa kelu.

"Maafkan Ibu, Nai!" Kata Sulastri rongga dadanya begitu sesak. 

Naira tersenyum lalu memeluk erat wanita di hadapannya itu.

"Maafkan Ibu! Ibu belum mampu menceritakan segalanya!" Batin Sulastri   air matanya mengalir deras. 

"Jangan menangis, Ibu! Aku tak akan pernah mengungkitnya, jika itu menyakitimu! Aku bahagia walau tanpa seorang ayah!" Jelas Naira saat merasakan tetesan air hangat pada punggungnya. 

Wanita itu tersenyum dan mengangguk. 

"Ayo kita lanjut tidur, hari masih malam!" Ajak Sulastri.

****

Keesokan paginya Naira terlambat datang ke Sekolah, matanya masih terlihat sembab. Langkah gontainya segera dikejutkan oleh suara nyaring Tasya yang bawel.

"Naairaa ....!" 

Gadis itu menoleh sekilas.

"Kamu habis menangis, Nai?" Tanyanya saat mata gadis itu tertumpu pada mata sembab Naira.

Naira menggeleng.

"Kamu terlalu bodoh! Kamu pikir aku anak kecil, yang tidak bisa membedakan mana mata abis menangis atau bukan!" Cerocos Tasya. Sedang Naira hanya menggedikkan bahunya.

"Nairaaa ....!" Teriak Tasya kesal. 

Naira meninggalkan Tasya yang masih cemberut. Dengan langkah tergesa gadis itu segera menyusul langkah sahabatnya yang semakin jauh.

"Dasar gadis aneh!" Celetuk satu suara di samping Tasya mengiringi langkah cepat nya. 

Tasya menghentikan langkah. Lalu melihat siapa yang ikut campur pada urusannya.

"Kamuu ....!" Tunjuknya seketika rasa kikuk menggelora di hatinya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status