🌹🌹🌹🌹
Bel waktu pulang pun berdenting. Naira yang di ruang Uks telah bersiap mengantar Tasya untuk pulang.
"Kamu bisa jalan sendiri, kan?!" tanya Naira pada sahabatnya itu.
Tasya mengangguk diiringi senyum manisnya.
"Kenapa kamu begitu bodoh sih. Sampai mau mengorbankan dirimu untukku," kata Naira sambil memakaikan sepatu di kaki Tasya.
"Aku menyayangimu, Tolol!" runtuk Tasya sambil menjitak kepala Naira.
"Ya ampun sadisnya dirimu ini!" sungut Naira mengelus kepalanya yang dijitak oleh sahabatnya.
"Ayo, aku akan mengantar kalian pulang!" ucap Bisma yang baru saja muncul di depan pintu.
Naira dan Tasya menatap sejenak lalu berjalan ke arah Bisma.
"Mari kubantu!" usul Bisma membantu memapah Tasya. Merekapun tiba dimana mobil Bisma terparkir.
"Tunggu.... Aku melupakan sesuatu di ruang Uks tadi" celetuk Naira tanpa menunggu pendapat Bisma gadis itu berlari menuju Uks.
Ia menyusuri lorong demi lorong dan tibalah dipersimpangan sayup-sayup terdengar orang yang sedang tenggelam dalam perbincangan. Tak sadar Naira mengintip gerangan suara siapa tersebut. Betapa tersayat dan menohok hatinya pemandangan itu. Dimana Meli sedang menggengam tangan Andika.
"Aku mencintaimu dari sejak dulu, And! Aku tak bisa membohongi diriku lagi." kata Meli sedang pria itu tersenyum sambil membalas genggaman tangan Meli.
"Mel..."
Naira tak sanggup lagi untuk mendengar kelanjutan perkataan Andika. Ia tak mau hatinya semakin sakit, melihat betapa lembutnya Andika mengelus rambut Meli sudah membuat hatinya tersakiti.
"Aku tahu, aku tak pantas mengagumimu. Tapi cinta ini hadir dengan sendirinya tanpa kuminta!?" isak Naira dalam tangisnya.
Dengan langkah gontai Naira kembali ke tempat dimana sahabatnya menanti. Di sana terlihat Bisma yang sudah tak sabar menantinya.
"Apa lagi yang kau tunggu, ayo cepat masuk. Aku malas jika ada yang melihat aku pulang bersama kalian." Seru Bisma dengan kesal nya melihat Langkah malas Naira.
"Aku juga tak akan mau pulang bersamamu, jika bukan karena sahabatku." ketus Naira.
Tasya yang mendengar ucapan Naira jadi terkejut. Yang dia tahu selama ini gadis itu tak pernah berucap kasar meski sedang kesal sekalipun.
"Kamu baik-baik saja, Nai!" tanya Tasya khawatir. Naira menatap sekilas.
Bisma tak memusingkan masalah mereka yang terpenting saat ini segera mengantar pulang kedua gadis ini agar tanggung jawabnya segera selesai.
"Aku turun di sini" ucap Naira pelan.
"Tapi inikan masih jauh dari rumahmu, Nai!" Tasya berkerut keningnya mendengar permintaan sahabatnya.
"Tak apa, aku mau langsung ke kedai"
"Aku bisa mengantarkan mu!" seru Bisma tapi gadis itu tetep keukeh untuk turun. Tasyapun hanya mampu berdesah melihat sikap Naira. Iapun melambaikan tangannya.
***
"Ada apa dengan sahabat anehmu itu???" tanya Bisma setelah cukup jauh dari tempat Naira turun.
"Maksudmu??"
"Naira!!"
Bisma mengangguk.
"Entahlah... Sepertinya ada masalah? Tapi tunggu kamu bilang apa tadi? Sahabat ANEH!? tidak! Dia sahabat terbaikku bukan aneh seperti perkiraanmu itu" sungut Tasya tak suka mendengar Bisma mengatai Naira sebagai gadis aneh.
"Maaf, aku tak sengaja!" cengir Bisma.
"Apa! Tak sengaja, tapi kelihatannya menghina!" Cibir Tasya.
Bisma tersenyum manis.
Suasana pun kembali hening. Mereka terdiam entah apa yang ada dalam benak masing-masing.
****
Naira masih dengan hati yang pilu memikirkan kejadian yang di lihatnya tadi. Andai saja dia tidak kembali, mungkin pemandangan menyakitkan itu tak akan menghantui pikirannya.
"Apa mencintai sesakit ini?" Bisiknya pelan.
"Ah ...!" Naira menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Ada apa, Nai?" Tanya rekan kerjanya yang dari tadi terusik melihat sikap diam Naira.
"Aku ... Hehe!" Naira hanya tertawa kecil menggapi pertanyaan rekannya.
"Seperti orang patah hati aja! Atau jangan-jangan, kamu lagi patah hati beneran, Ya!" Tebaknya lagi.
"Hah ...! Patah hati? Aah, aku lagi baik-baik saja!" Kilah Naira terperangah, apa begitu tergambar di wajah kalau saat ini hatinya benar-benar kacau.
Rima tertawa
"Kamu tak bisa mengelak lagi, Nai! Wajahmu menggambarkan!"
"Wah, kalian lagi ngobrolin apa? Kelihatan serius sekali!" Celetuk satu suara.
Naira dan Rima segera tunduk hormat saat melihat Ibu tempat kerjanya tiba-tiba muncul.
"Maaf, Bu!" Ucapnya bersamaan.
Bu Brata tersenyum, lalu mengajak mereka untuk memulai kerja, karena di depan sudah banyak pelanggan yang harus di layani. Tapi Bu Brata tak urung juga khawatir melihat wajah lesu Naira, gadis itu terlihat tak bersemangat.
"Ada apa dengan anak itu?" Batinnya.
🌹🌹🌹🌹Sepulang dari tempat kerja, Naira ingin menenangkan hati lebih dulu. Perasaan tak karuan begitu menjadi beban. Sepanjang sore ini yang ada dalam pikirannya hanya ingatan tentang Andika dan Meli. Beribu cara dia coba untuk menghapus ingatan itu, tapi masih saja terlintas. Tatapan Andika yang begitu lembut membuatnya cemburu dan sakit. Berulang kali ia menyadarkan diri bahwa cintanya hanyalah pungguk yang merindukan bulan. Namun semakin kuat ia coba melupakan tapi semakin kuat pula perasaan cinta itu."Apa hidupku seburuk ini! Mengapa banyak orang selalu memandangku sebelah mata, apa aku sehina itu." keluhnya. Ia tak menyesali takdir hidupnya ia hanya ingin satu tiket bahagia saja. Apa keinginan itu terlalu berat untuknya."Hikz ... Hikz" isak tangisnya semakin terdengar. Gadis itu tak lagi mampu menahan cobaan hidupnya. Tapi ia harus bertahan demi Ibunya."Aku harus tetap semangat untuk
🌹🌹🌹Bisma tersenyum, lalu pergi meninggalkan Tasya yang berdiri mematung melihatnya."Woy ...." Panggil Naira saat melihat sahabatnya hanya diam tanpa mengikuti langka kakinya."Awas Kecoak ...!" Seru Naira. Al hasil Tasya segera melompat dan berlari menghampirinya."Ah, Nai! Kau membuat hayalanku buyar seketika!" Sungut Tasya memanyunkan bibirnya."Hayalan tentang pangeran Buaya, Ya!" Ejek Naira merasa lucu.Tasya menceritakan pertemuannya dengan Bisma dan perjalanan mereka kemarin. Pancaran bahagia tak luput dari amatan Naira. Dalam hati gadis itu merasa lucu. Cinta sahabatnya begitu nampak."Sekalipun, Aku mencintainya aku tak segila dirimu!" Celetuk Naira."Ah, kapan lagi aku dapat kesempatan seperti itu, Nai! Ini kesempatan langka, dan mungkin tak akan pernah terjadi lagi!" Ungkap Tasya masih dengan
🌹🌹🌹Entah angin apa yang membawa Meli tiba-tiba sudah berada tepat di depan meja Naira.Wajah sinisnya begitu nampak, kebencian begitu tergambar jelas."Buang jauh-jauh mimpimu untuk merayu Andika! Pria itu tak akan mungkin jatuh cinta padamu! Dasar gadis tak tahu malu!" Ucapnya tanpa basa-basi lagi.Naira terkejut mendengar apa yang diucapkan Meli. Namun gadis ini berusaha tenang. Andai saat ini Tasya di sampingnya mungkin gadis itulah yang lebih dulu melawan Meli."Apa maksudmu, Mel?""Jangan pura-pura bodoh, Nai! Semua orang tahu bahwa kamu adalah salah satu pengagum rahasia Andika! Yang tiada henti menerornya dengan surat-surat cinta tiap pagi!" Cemoh Meli dan membuat suasana ruangan kelas menjadi riuh."Dasar tak tahu malu!""Dimana harga dirimu, Nai!""
🌹🌹🌹🌹Saat itu di sebuah butik seorang gadis dengan cekatan merapikan penempatan barang-barang yang dianggap indah di matanya.Gadis itu nampak terlalu serius hingga tak menyadari seseorang telah di sampingnya."Maaf Nona, apakah di sini disediakan jas kantor yang berbahankan katun sutra?" tanya seorang pria tampan berkaca mata.Wanita itu mengangkat wajahnya melihat kearah suara yang mengganggu dan Hatinya tiba-tiba berdebar saat tahu yang berdiri di depannya itu."Bisma ...." kejutnya."Anda mengenalku?" tanya pria yang bernama Bisma itu.Gadis itu mengangguk."Dimana kau mengenalku?" tanya Bisma lagi. Ia begitu penasaran di mana wanita cantik ini mengenalnya."Kamu tidak mengingatku?" gadis itu balik bertanya. Bisma menggelengkan kepalanya. Wajah gadis itu nampak kecewa."Aku teman seSMA mu waktu dulu!" jelas Tasya pelan sambil memanyunkan bibirnya."Tunggu ... Sepertinya aku mulai
TAKDIRKU ADALAH KAMU🌹🌹🌹🌹Siang itu Naira mengajak Ibunya melihat rumah yang baru di beli dari gaji pertamanya."Terima kasih, Nai!" ucapnya berlinangan air mata."Maafkan aku, Bu! Belum bisa membahagiakan mu, aku hanya bisa memberikan rumah ini untukmu!" Naira memeluk ibunya. Wanita itu mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. "Ibu, masuklah! Aku harus berangkat kerja, maaf tidak bisa membantumu membereskan rumah ini!" ucap Naira sambil mencium pipi Sulastri dan Gadis itupun beranjak pergi meninggalkan ibunya.Pagi ini ia harus ke kantor tempat barunya bekerja. Setelah beberapa bulan mengabdi di Puskesmas Kecamatan kini dia ditugaskan untuk mengabdi di rumah sakit Umum Raha.Dengan kepandaian serta keuletannya kini telah membuktikan bahwa dirinya benar-benar mampu melawan kerasnya
🌹🌹🌹Saat ini Naira sedang memeriksa keadaan Ayah Andika. Dan kebetulan saat ini dalam ruangan itu tidak banyak yang menemani."Sudah dimakan buburnya, Tuan?" tanya Naira lembut."Belum, Dok!" jawab Ayah Andika.Naira lalu duduk di samping pria paruh baya itu."Kenapa tidak dimakan, Tuan, nanti Tuan akan lama sembuhnya!" jelas Naira pelan."Baiklah dok, sudah memperhatikan saya!"Naira mengangguk, lalu berpamitan untuk melihat pasien yang lain lagi."Dokter muda, tunggu! Siapa namamu?" panggil Husen mencegah kepergian dokter muda itu.Naira tersenyum lalu balik ke tempat pembaringan ayah Andika."Naira, Tuan! Nama saya Naira!" sahutnya Lembut."Nama yang cantik, maukah kau menjadi menantuku?!" Husen sudah terpikat pada kelembutan sikap Naira hingga b
🌹🌹🌹Setelah menjenguk ayah Andika, Tasya berniat untuk mengunjungi rumah sahabatnya yang telah lama tak ditemuinya itu. Iapun menatap Bisma dan ingin meminta persetujuan dari pria yang belakangan ini sering menghabiskan waktu bersamanya."Ada apa kau memandangiku seperti itu! Jangan bilang kau mulai mencintaiku?" ledek Bisma sambil tersenyum lebar."Kau terlalu percaya diri!" elak Tasya mengerucutkan bibirnya."Bisakah kau mengantarkan aku kerumah sahabatku, Bis!?" sambung Tasya lagi."Ke rumah Naira, maksudmu!"Tasya mengangguk cepat.Bisma tersenyum mengiyakan sambil berbisik dalam hati."Bagaimana aku akan menolakmu, Sya! Kau begitu berarti untukku."Tasya tersenyum senang. Merekapun segera menuju ke arah rumah Naira. Tapi betapa kecawanya hati mereka saat menemui rum
🌹🌹🌹 "Nai, kaukah ini?" tanya seorang gadis dalam keremangan senja. Naira mengangguk merekapun saling berpelukan diiringi tangisan yang mengharukan. "Mengapa kau setega ini padaku, Nai! Pergi tanpa berita, apakah kau tidak merindukanku, eoh!" ucap Tasya memandang tajam pada sahabatnya tersebut. "Maafkan aku!" lirih Naira tanpa berani menatap Tasya. "Aku kehilanganmu, Bodoh! Kamu kemana saja selama ini, tidak sempatkah kau memberiku kabar sedetik saja." "Maafkan aku!" Naira hanya mampu mengucapkan kata-kata itu. Dia merasa bersalah karena pergi tanpa berpamitan pada Tasya. "Tidakkah kau mengijinkan aku untuk duduk lebih dulu, sebelum aku bercerita?" tanya Naira sambil menekuk wajahnya menatap Tasya. "Tidak!!! Ini hukumanmu karena hilang tanpa kabar?" sungut Tasya berpura-pura marah pada Naira "Ayolah ... aku capek berdiri! Dan maafkanlah kesalahanku ini, kumohon," rajuk Naira sambil menarik kedua kupingnya