Share

Chapter 6

Ratih mengerjapkan matanya berkali-kali, suara alarm yang semakin lama semakin kencang membangunkannya dari tidurnya. Ya, tidak ada suara azan yang lantang seperti biasanya. Ia sudah mengatur waktu di ponselnya sesuai dengan tempatnya sekarang yang selisih waktu sekitar satu jam dari Indonesia. Ia bergegas bangun, mengambil air wudhu dan melaksanakan Shalat di kamarnya sendiri. Setelah Shalat, Ratih tak lupa melakukan kebiasaan rutinnya yaitu tadarus Al Quran. Ratih memang perempuan yang agamis. Setelah selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 waktu Hongkong. Ratih keluar dari kamar dan siap melakukan pekerjaannya. Ia terkejut saat membuka pintu dan melihat Vero dan Very sedang berdiri berjajar di depan kamarnya.

“Halo, perkenalkan nama kami Vero dan Very. Kami anak kembar.” Kata salah satunya.

“Bibi sudah tau dari oma dan tante kalian, tuan muda.” Jawab Ratih.

“Hey, jangan memanggil kami seperti itu. Panggil saja Vero dan Very.” Jawabnya lagi.

“Baik Vero, baik Very.” Jawab Ratih menurut.

“Kamu pasti bingung mencari perbedaan antara kami ya.” Kata yang satunya lagi.

Ratih mengangguk, dua anak itu tertawa kecil. Mereka berdua memang kembar identik, dan seperti tak ada satu pun yang membedakan mereka.

“Kami tidak punya perbedaan, tapi kalau kamu dengarkan baik-baik suara kami maka kamu akan mengenal kami.” Kata mereka berdua bersamaan kemudian kembali tertawa.

Suara mereka memang terdengar berbeda, yang satu memiliki suara yang rendah dan halus sementara yang satunya memiliki suara yang sedikit lebih besar dan tegas.

“Apakah kamu sudah menemukan perbedaannya? Aku Very.” Kata salah satu yang memiliki suara halus.

“Sudah, aku sudah memahaminya.” Jawab Ratih sambil mengelus rambut kedua anak itu. Mengingatkannya pada Syena, anak yang selalu dia sayangi.

“Oh ya, aku dan Very mendengar kamu membaca sesuatu dan terdengar indah sekali. Apa itu? Aku tidak pernah mendengarnya dari Oma maupun Tante.” Kata Vero.

Ratih paham bahwa yang dimaksud adalah suaranya saat bertadarus, kamar mereka cukup dekat jadi wajar kalau mereka mendengarnya. Lagi pula, Ratih juga tidak terlalu kencang saat bertadarus tadi.

“Tadi saya mengaji. Bertadarus Al Quran.” Jawab Ratih lagi.

“Kami juga beragama Islam, melaksanakan shalat. Oma dan Tante juga, tapi tidak pernah mengaji sepertimu.” Kata Very.

“Kami menyukai suaramu tadi, terdengar indah dan menenangkan.” Kata Vero, Very mengangguk tanda setuju.

“Maukah kamu mengajari kami?” Tanya Very, giliran Vero yang mengangguk.

“Pasti, saya akan mengajari kalian.” Jawab Ratih.

“Horeee.” Kata mereka serentak.

Ratih hanya bisa tertawa melihat tingkah lucu mereka. Vero dan Very kembali ke kamarnya, sedangkan Ratih bergegas menuju dapur hendak menyiapkan sarapan. Tapi lagi-lagi ia melihat Vania sudah terlebih dahulu ada disana.

“Bersiaplah.” Kata Vania saat menyadari kehadiran Ratih.

Ratih mengernyitkan dahi, tak paham dengan maksud perkataan Vania.

“Iya, kamu bersiaplah. Kita akan ke pasar pagi ini. Semua bahan makanan sudsh habis. Soal sarapan, aku sudah memesannya. Nanti diantar. Nanti kita berdua sarapan di pasar.” Kata Vania lagi.

Ratih mengangguk kemudian kembali ke kamar untuk bersiap. Setelah selesai, ia keluar dan mendapati Vania menggunakan jilbab sepertinya dan bahkan memakai cadar. Mungkin Vania memang berpakaian seperti itu ketika hendak keluar rumah.

“Jangan terkejut begitu. Ayo kita pergi, aku sudah ijin pada Ibu.” Kata Vania.

Ratih lagi-lagi hanya mengangguk.

Mereka diantar oleh sopir. Jarak dari rumah ke pasar ternyata cukup dekat, hanya menempuh perjalanan sekitar 10 menit. Sekarang mereka sudah sampai di pasar.

“Kita sarapan dulu, aku sudah lapar. Mari Pak Hadi, ikut sarapan bersama kami.” Kata Vania pada sopir juga berasal dari Indonesia.

Setelah mobil terparkir dengan baik, mereka turun dan berjalan menuju warung makan yang terlihat sangat ramai.

“Pak Hadi ini sopir keluarga kami sejak di Indonesia. Dia kami tawarkan untum ikut ke Hongkong dan menjadi sopir kami lagi, dia bersedia.” Cerita Vania pada Ratih ketika mengantri di warung.

Pak Hadi tersenyum dan mengangguk. Ratih membalasnya dengan senyuman juga. Pak Hadi sudah terlihat tua, bahkan lebih tua dari Bude Rima di kampung.

Setelah mendapatkan makanan, mereka memilih tempat duduk dan menyantap sarapan pagi mereka. Untuk Ratih, makanan itu terasa aneh seperti kurang bumbu.

“Tidak enak ya?” Tanya Vania seperti paham dengan raut wajah Ratih.

Ratih tersenyum malu-malu.

“Dulu aku dan Mama juga sepertimu, mungkin Pak Hadi juga seperti itu. Tapi nanti pasti juga akan terbiasa.” Kata Vania.

Setelah itu mereka fokus menghabiskan makanan masing-masing. Setelah selesai dan sudah membayar, Pak Hadi kembali ke mobil sedangkan Ratih dan Vania masuk ke pasar untuk belanja.

“Kita akan belanja untuk makan satu minggu. Silakan kamu mau belanja apa saja, ini uangnya.” Kata Vania menyerahkan beberapa lembar uang pada Ratih.

“Baik, Vania. Kamu mau kemana?” Tanya Ratih.

“Aku mau beli jajanan pasar, setahun terakhir aku selalu ikut ke pasar setiap satu minggu sekali untuk beli jajanan pasar disini. Banyak macamnya dan rasanya juga enak. Kamu nanti coba ya. Sekarang kita berpisah disini dulu, nanti kita langsung ketemu di mobil saja.” Kata Vania kemudian pergi meninggalkan Ratih yang masih bingung mau memulai dari mana.

Ratih mencoba berjalan menyusuri pasar, sekarang ia berada di tempat jualan aneka perabot, ia masuk lagi dan menemukan tempat jualan pakaian, mencoba belok kanan dan menemukan tempat jualan sayuran. Ia belanja beberapa jenis sayuran untuk satu minggu. Sebenarnya sudah ada daftar belanja yang harus ia beli yang sudah ditulis di kertas yang diberikan bersamaan dengan uang tadi oleh Vania. Itu sedikit memudahkan Ratih karena ia belum tahu selera makanan yang disukai oleh para majikannya. Setelah belanja sayur, ia sempat bertanya tempat jualan ikan pada pedagang disana. Ia menuju ke tempat ikan dan membeli beberapa jenis ikan. Lebih banyak ikan yang harus ia beli daripada sayuran tadi.

“Hey.” Sapa seseorang sambil menepuk bahu Ratih membuatnya terkejut.

Saat menoleh ia mendapati Diana dengan dandanan menor dan pakaian minim sedang berdiri dan tersenyum padanya.

“Ternyata kamu, Diana. Kukira siapa. Mengagetkan saja.” Kata Ratih sambil mengelus dadanya.

Diana tertawa terbahak-bahak.

“Bagaimana majikanmu? Apa mereka baik?” Tanya Diana pada Ratih, kini mereka berjalan bersama sambil berbelanja.

“Sangat baik. Mereka orang Indonesia.” Jawab Ratih.

“Apa? Beruntung sekali kamu.” Kata Diana.

Ratih hanya tersenyum. Masih ada beberapa jenis ikan lagi yang harus ia beli.

“Bagaimana denganmu? Majikanmu juga baik kan?” Tanya Ratih balik bertanya.

“Baik sih, tapi ternyata keluarga mereka sangat banyak. Aku pusing, pasti aku harus masak sangan banyak. Mencuci sangat banyak. Pokoknya pasti harus bekerja ekstra.” Kata Diana mulai meracau.

Ratih hanya senyum-senyum melihat Diana yang memang banyak bicara.

“Aku sudah selesai beli ikan. Harus ke tempat bumbu dan buah sekarang. Kamu ikut?” Tanya Ratih pada Diana.

“Nanti aku kesana. Kamu duluan saja. Masih banyak ikan yang harus aku beli.” Jawab Diana.

“Baiklah, kamu hati-hati ya.” Kata Ratih.

“Iya, kamu juga hati-hati.” Jawab Diana sambil menepuk bahu Ratih.

Ratih bergegas menuju ke penjual aneka bumbu dan juga buah. Sudah cukup lama ia berbelanja. Masih ada beberapa daftar belanjaan yang belum ia beli.

Setelah sekitar lima menit, akhirnya ia selesai dan bergegas kembali ke mobil. Takut Vania menunggu lama. Namun sesampainya di mobil, ia tidak melihat Vania disana.

“Vania belum kembali, Pak?” Tanya Ratih pada Pak Hadi.

“Belum, kan tadi belanjanya sama Neng Ratih.” Jawab Pak Hadi.

“Tolong masukkan belanjaan ini ya, Pak Hadi. Aku akan mencari Vania.” Kata Ratih kemudian pergi mencari Vania.

Seperti yang ia katakan, ia mencari Vania ke tempat jualan jajanan pasar namun Vania tak ada disana. Ratih mulai khawatir. Ratih mencoba mencari di tempat sekitarnya namun tak juga menemukannya. Ratih mulai kebingungan. Ia menyusuri setiap bagian dari pasar. Beberapa menit mencari ia tak kunjung menemukan Vania. Ratih kembali ke mobil dan meminta Pak Hadi ikut mencari. Mereka berpencar mencari Vania. Kini Ratih berada di bagian sepi dari pasar itu, dekat WC umum. Tak terlihat ada orang disana, namun saat hendak meninggalkan tempat itu ia samar-samar mendengar perdebatan dan suara tangis. Ia mendekat ke sumber suara dan melihat Vania disana dengan seorang laki-laki yang berbicara kasar padanya. Vania terduduk di tanah, sedangkan laki-laki itu marah-marah sambil menunjuk-nunjuk wajah Vania. Sepertinya laki-laki itu juga orang Indonesia.

“Kamu pembunuh. Kamu sudah membunuh anakku.” Kata laki-laki itu.

Vania hanya menangis. Gang itu sangat sepi, orang lewat pun tak ada.

“Keluargamu kejam. Kamu pengkhianat.” Kata laki-laki itu lagi.

Tangis Vania makin kencang. Ratih tidak berani mendekat, sepertinya laki-laki itu bukan orang sembarangan..

“Wanita keji, wanita munafik.” Kata laki-laki itu lagi.

Melihat laki-laki misterius yang wajahnya juga tertutup itu mengangkat tangan dan hendak memukul Vania, Ratih spontan berteriak minta tolong dan berlari ke arah dua orang itu. Melihat keberadaan Ratih yang masih terus berteriak, laki-laki itu berlari tunggang langgang. Ratih memeluk dan menenangkan Vania. Terlihat beberapa orang mulai berdatangan karena mendengar teriakan Ratih, begitu juga dengan Pak Hadi. Mereka bertanya-tanya tentang apa yang terjadi namun tak mendapatkan jawaban. Pak Hadi mendekat. Tubuh Vania gemetar, ia masih menangis ketakutan.

“Bantu aku membawa Vania ke mobil, Pak.” Kata Ratih pada Pak Hadi.

Pak Hadi mengangguk dan membantu Ratih. Jajanan yang tadi dibeli Vania berceceran di sekitar sana. Entah apa yang sudah terjadi dan entah apa yang akan terjadi jika Ratih tidak ada disana. Ratih tidak berani bertanya apa pun. Vania terlihat masih sangat terguncang. Dia ketakutan. Kerumunan sudah mulai menghilang sepeninggal Ratih dan Vania.

Sesampainya di mobil, Vania menangis lagi. Ratih meminta Pak Hadi untuk segera melajukan mobilnya dan pulang ke rumah.

“Terima kasih sudah menyelamatkan aku, Ratih.” Ucap Vania setelah terlihat agak tenang namun air matanya masih mengalir.

Ratih hanya mengangguk dan mengelus pundak Vania. Ratih masih bingung dengan apa yang baru saja ia saksikan. Ia bertanya-tanya dalam hati. “Siapa sebenarnya laki-laki tadi? Kenapa ia sangat marah pada Vania? Dan mengapa ia mengatakan bahwa Vania adalah pembunuh ?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status