Langit sore tampak kelabu ketika Auryn dan Lucien meninggalkan gedung tua itu. Mereka tak lagi berbicara; langkah mereka cepat, seolah menghindari sesuatu yang tak terlihat. Angin berdesir lembut, namun ketegangan di antara mereka begitu nyata, membungkus tubuh dan hati dengan rasa gelisah yang menusuk.Lucien menggenggam erat tangan Auryn. Dia tahu—dia tak bisa membiarkan gadis itu lepas lagi. Setelah semua yang terjadi, setelah dia menyadari betapa besar ancaman yang mengelilingi mereka, Lucien memilih satu hal: melindungi Auryn, bahkan jika itu berarti membakar segalanya.Mereka sampai di rumah persembunyian Lucien, bangunan bergaya industrial yang tersembunyi di balik gudang tua tak jauh dari pelabuhan kota. Begitu masuk, pintu ditutup rapat dan Lucien langsung mengaktifkan sistem keamanan di seluruh sudut ruangan.Auryn menjatuhkan dirinya ke sofa. Napasnya berat, dadanya sesak oleh kenyataan yang terus menghantamnya tanpa jeda. Dia menatap tangan kosongnya—dokumen yang tadi dire
Auryn tak bisa tidur malam itu. Suara dalam kepalanya terus berbisik, membisikkan pengkhianatan, kebohongan, dan rahasia yang selama ini disembunyikan. Nama itu, "Aurelia Vale", tak henti-hentinya bergema dalam pikirannya. Siapa dia? Kenapa wajahnya begitu mirip?Paginya, sebelum fajar menyingsing, Auryn pergi ke arsip kota. Sebuah bangunan tua dengan ratusan rak berisi dokumen berdebu dan buku-buku yang dilupakan. Dia menyamar, mengenakan hoodie abu dan masker, karena dia tahu: jika Lucien mencarinya, tempat ini pasti tak akan terpikir olehnya.Petugas arsip menatapnya dengan malas. “Cari apa?”Auryn berbisik, “Data siapa pun yang bernama Aurelia Vale. Kelahiran, kematian, kasus, apapun.”Petugas itu menatapnya lama sebelum menyerahkan sebuah kunci kecil dan menunjuk ke rak paling pojok.Butuh waktu dua jam sebelum Auryn akhirnya menemukan satu map yang membuat tubuhnya bergetar—map cokelat lusuh dengan nama Aurelia Vale tertulis dengan tinta merah.Tangannya gemetar saat membukanya.
Langit sore itu berwarna kelabu. Seolah tahu, bahwa badai yang sesungguhnya belum berakhir. Hati Auryn kembali dilanda kekacauan. Meskipun Lucien telah menjadi benteng terkuat di sisinya, bayang-bayang masa lalu dan serangan dari luar terus menyesakkan.Usai pertemuan dengan sang ayah, Auryn memutuskan untuk tidak kembali ke apartemennya. Ia menetap di rumah Lucien, dan anehnya... ia merasa aman. Bukan karena dinding-dinding megah rumah pria itu, tapi karena keberadaan Lucien di dalamnya.Lucien tak pernah membiarkannya merasa sendirian. Setiap pagi, ada secangkir kopi hangat di atas meja. Setiap malam, ada pelukan diam yang tak menuntut penjelasan. Tapi hari ini berbeda. Hari ini, semuanya kembali terancam.“Aku dapet info,” ujar Lucien pelan, memandang layar laptopnya, “Seseorang dari kantor media gosip ‘ExposeLife’ dapet kiriman email anonim. Isinya foto-foto kamu jaman SMA... dan beberapa video.”Auryn sontak menegakkan tubuhnya. “Video apa?”Lucien menghela napas berat. “Kayaknya
Angin malam berhembus pelan, menerpa wajah Auryn yang masih terpaku di balkon. Buku catatan tante Vera tergenggam erat di tangannya. Kata-kata terakhir dalam catatan itu terus terngiang di kepalanya:> “Maaf… aku gagal menyelamatkan yang satu lagi.”Satu lagi.Subjek A.Jika dirinya adalah anak yang ditukar—Lyra, maka siapa Subjek A?Perasaan aneh menyelinap dalam dadanya.Ada seseorang di sekitarnya yang selalu hadir… terlalu hadir. Terlalu tahu banyak.Terlalu… terlibat.Pikirannya langsung melayang ke satu nama.Roxie.Sahabat masa kecilnya. Orang yang selalu membelanya dari Reyna.Tapi juga yang tahu semua hal… bahkan sebelum Auryn tahu.Matanya membelalak.Bisa jadi Roxie adalah Subjek A.Tapi kenapa… kalau itu benar… dia nggak pernah bilang apa-apa?---Esoknya, Auryn datang ke apartemen Roxie tanpa memberi kabar.Hatinya berdebar keras. Tangannya gemetar saat menekan bel. Suara pintu otomatis menyala dan terbuka. Aneh… Roxie biasanya nggak pernah lupa kunci pintu.“Aku masuk ya
Pagi datang tanpa permisi.Tapi pagi itu terasa seperti malam yang belum berakhir bagi Auryn.Ia tak tidur semalaman. Matanya menatap monitor, wajahnya datar—kosong, tapi pikirannya penuh dengan potongan-potongan misteri yang mulai membentuk pola.Reyna.Lucien.Email misterius.Video pengkhianatan.Dan… satu file di flashdisk lama yang belum pernah ia buka:"Dossier Cermin"File itu tidak bisa dibuka begitu saja. Ada sandi.Auryn menatap layar, menekan beberapa kombinasi yang dulu ia ingat pernah digunakan sang mentor—mendiang tante Vera, satu-satunya yang pernah menganggapnya lebih dari sekadar alat dalam keluarga.Tiga percobaan.Gagal.Ia menutup matanya, mencoba mengingat suara tante Vera yang lembut. Dulu, saat ia menangis kecil karena diusir dari rumah utama dan harus tinggal di paviliun belakang, Vera sering mengelus rambutnya dan berkata:> “Kamu bukan bayangan, Auryn… Kamu adalah cerminnya. Kamu hanya belum tahu siapa yang asli dan siapa yang palsu.”Kalimat itu...“Cerminny
Matahari belum sepenuhnya terbit ketika suara pintu rumah sakit terbuka pelan. Auryn duduk di sisi ranjang Lucien yang masih terbaring lemah, selang infus tergantung di sisi ranjang, dan beberapa alat medis masih memantau kondisinya. Namun wajahnya yang teduh terlihat jauh lebih damai dari malam-malam sebelumnya. Rambut cokelatnya berantakan, tapi Auryn tetap memandanginya dengan tatapan yang tak pernah berubah: penuh cinta."Kamu tidur nyenyak?" tanya Auryn pelan sambil membelai tangan Lucien.Lucien membuka matanya perlahan, pupilnya menyesuaikan diri dengan cahaya samar dari jendela. Senyumnya lemah tapi tulus. "Aku mimpi kamu. Tapi ternyata kamu nyata."Auryn tertawa kecil. "Aku selalu nyata buat kamu. Dan nggak akan ke mana-mana."Mereka terdiam sejenak. Suara mesin pemantau detak jantung yang tenang menjadi satu-satunya irama yang mengisi ruangan. Hening itu tidak menakutkan. Justru terasa hangat, seperti tempat paling aman di dunia."Kamu tahu, kita udah nyaris mati lebih dari