Ulat BuluSetelah menghancurkan isi lemari dan mengambil barang berharganya, kini aku dan Fika pun pergi dari rumah itu. Inginnya sih, tadi kami akan menghancurkan semua isi rumah itu, tapi kami urungkan. Karena jika itu dilakukan, maka bisa-bisa gagal rencana kami berikutnya, hahaha.Tetap wajib sabar terlebih dahulu, untuk mendapatkan kemenangan yang gemilang di belakangnya. Tinggal tunggu hitungan jam, maka aku kan bisa melihat sebuah parodi yang memalukan."Bagaimana, Ma? Apa Papa sudah mengirimkan uangnya?" tanya Fika, yang saat itu tengah menyandarkan kepalanya di jok mobil.Saat ini, kami masih berada di dalam mobil, dan tetap parkir di depan rumah yang ditempati Mas Hasan dan selingkuhannya itu."Belum, ada nih. Sabar Sayang, sebentar lagi mungkin," ucapku yang sedang dalam posisi sama seperti Fika."Ya sudahlah, kita ngadem di sini dulu ya, Ma. Oh...iya, apa Mama nggak punya rencana, mau bikin toko atau usaha apa gitu? Soalnya 'kan nggak mungkin, kita terus-terusan makan dari
PenggerebekanAku dan Fika pun kini mengikuti warga yang tengah emosi, tak hanya warga kompleks, tapi terlihat ada beberapa warga kampung yamg berada di depan kompleks, mungkin tadi satpamlah yang mengajak serta."Ma, nanti ku abadikan ya, moment yang satu ini. Hahaha biar jadi kenang-kenangan," ucap Fika sambil mengedipkan sebelah matanya, dan tersenyum."Terserah kamu sajalah, Sayang. Tapi, kamu harus siap mental dulu loh. Nanti kita juga akan sedikit berakting lagi 'kan di depan Papamu itu.""Siap, Ma. Eh...boleh nggak sih, jika nanti aku menghadiahi beberapa pukulan pada si ulat bulu itu? Dari kemarin tanganku ini udah gatal banget! Mau mukul Papa kok rasanya nggak etis, jadi tangan dan emosiku ini butuh pelampiasan, Ma. Hahaha.""Terserah kamu saja ya, Sayang. Asal tak keterlaluan, mama rasa sih sah-sah saja kok. Meluapkan emosi itu penting, agar pikiran kita tetap waras! Hahaha."Meski saat ini tertawa, jujur dalam hati ini masih ada rasa sedih dan sakit. Bagaimana tidak, aku
Ini Belum BerakhirAku dan Fika, masihlah tetap duduk berdua di ruang tamu, saat warga mengarak Mas Hasan dan selingkuhannya itu ."Ma, kira-kira saat ini apa yang di rasakan Papa ya?" ucap Fika sambil melamun."Entahlah, Fik. Yang pasti amat malu dan emosi juga dia. Semua perbuatan kan ada pertanggung jawabannya, ini baru di dunia, belum nanti saat di akhirat. Mangkanya itu, kita harus selalu berhati-hati dalam bertindak, kalau bisa pikirkanlah dua kali, sebelum melakukan suatu hal," jawabku sambil bersedekap."Iya, ya Ma. Bermain air basah, bermain api terbakar, dan itulah kini yang sedang terjadi pada Papa. Kukira dulu, kita akan hidup bahagia bersama, dan bisa melihat Papa dan Mama hidup bahagia berdua di masa tua. Namun ternyata salah, semua habis dan hancur berkeping-keping." Fika masih saja terus bergumam.Sepertinya saat ini, dia amat shock, setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, apa yang Papanya lakukan. Aku pindah duduk di sebelahnya, dan memeluknya dari samping."S
MemelasKini, kami pun kembali pulang. Untunglah, untuk sementara polisi masih memperbolehkanku menjaga Lio, hingga penyelidikan usai. Ada rasa lega juga telah melaporkan keberadaan Lio, meski dengan konsekuensi aku tak bisa merawatnya lagi nanti.Ah, biarlah apapun yang terjadi nanti, semuanya pasti sudah takdir dari Tuhan. Pertemuan, perpisahan, jodoh, rejeki, adalah sebuah takdir yang wajib kita jalani dengan ikhlas."Ma...ini kita mau langsung pulang atau gimana?"tanya Fika sesaat setelah kami keluar dari parkiran kantor polisi tersebut."Kita antar kembali Bik Nur dan Lio ke rumah baru, karena kita masih harus membereskan beberapa masalah kecil di rumah lama. Tapi sebelumya, kita mampur dulu ke Hypermart, membeli banyak keperluan dapur untuk rumah baru," ucapku."Siap!" jawab Fika singkat."Bik, kalau nanti seandainya kami nggak pulang, apa Bibik berani tidur sendiri sama Lio di rumah baru?" tanyaku pada Bik Nur."Tentu saja berani, Nyonya. Saya akan merawat Den Lio dengnan baik.
Sedikit Pelajaran Untuk Sinta"Oke, tapi tunggu dua jam lagi ya, aku masih ada urusan ini, gimanna?" tawar Fika lagi."Iya, nggak apa-apa deh, Sayang. Tapi Papa nggak bisa menunggu terlalu lama di sini, karena warga sini juga cuma memberi waktu dua jam, dan kami harus meninggalkan tempat ini," ucap Mas Hasan lirih."Ya sebelum jam itu aku akan datang , Pa. Tunggu saja, dan si ulat bulu itu, suruh di situ saja sebentar. Assalamaualaikum.""Siap! Waalaikumsalam."Fika pun kemudian mengakhiri panggilan ini, dan sepertinya sedan memikirkan sesuatu."Lagi mikirin apaan sih, Sayang?" tanyaku."Mikirin kelakuan Papa yang nggak tahu malu ini, Ma!" jawab Fika datar."Ngpaian sih dipikirkan, toh memang begitu adanya. Ya sudah, tapi kalau bisa sih, kamu masih harus hormat sama Papa. Karena biar bagaimana pun, dia itu tetap orang tuamu.""Kayaknya aku nggak bisa deh, Ma, ngebaikin Papa lagi. Apa yang diperbuatnya sungguh amat memalukan. Entahlah, aku lebih senang jika tak bertemu lagi denganya, a
Sedikit Pelajaran Untuk Sinta 2"Fikaaa!! Tunggu papa, Fik!"Teriak Mas Hasan berkali-kali, di depan rumah sembari memegangi perutnya yang sakit."Kenapa Om Hasan nggak diajak?!" tanya Sinta tiba-tiba.Kamipun tak menghiraukan senyabuty, dan Fika pun mulai menjalankan mobilnya."Memangnya kenapa harus ngajak segala? Kamu takut?!" tanyaku dengan senyum kecut.Tiba-tiba, Sinta terlihat gelisah dan mulai menggeser-geser duduknya. Tentu saja aku yang duduk di belakang tersenyum senang melihatnya."Kamu ngapain nglendat-nglendot kayak cacing kepanasan gitu?" tanyaku pura-pura bodoh."Emmm...panas!" jawab Sinta dengan wajah bingung."Apanya yang panas? AC mobilnya kurang dingin maksudnya?!" tanya Fika sok bodoh pula."Nggak! Ini...punyaku panas!" jawabnya yang makin gelisah."Punyaku apaan?! Jawab yang benar dong!" ucapku."Ini, Tan. Punyaku ini, panas sekali! Shhh....!" ucap Sinta lagi sambil menunjuk alat vitalnya yang kepanasan.Aku dan Fika pun sontak tertawa mendengar hal itu. Berarti
Bab 25Sedikit Pelajaran Untuk Sinta 3"Kok dimatiin sih teleponnya?!" ucap Sinta kemudian."Terus...maumu apa?" jawab Fika sewot."Ya jangan dimatinnlah, aku kan mau ngomong sama Om Hasan!""Halah...kok masih mau ngomong juga. Urusin tuh badan dan kewanitaanmu yang saat ini telah kesakitan!" tukas Fika.Sinta tampak kesal sekali, dan kini dia menggaruk, dengan menangis sejadi-jadinya."Loh malah nangis nih anak! Ngapain pakai nangis segala, kayak anak kecil aja!" ledek Fika.Mendengar ucapan Fika itu, Sinta malah menagis makin menjadi-jadi, bak anak kecil yang direbut permennya."Nangisnya kok makin kenceng aja ya? Nih karena kesakitan, takut pada kami, atau karena nyesel nih?!" tanyaku dari belakang.Dia masih tak mau berucap dan terus saja melanjutkan aktivitasnya. Karena kasihan, aku mengbilkan sebuah buku yang ada dibawah kursi, entah buku milik siapa ini, toh ini kan cuman mobil rental."Nih, pakai. Jangan nangis terus! Karena kalau lihat orang nangis, bawaanya aku itu pingin mu
Dia Mengusir Kami"Ma, ini sekarang kita mau pulang kemana, Ma?" tanya Fika saat kami telah pergi dari rumah mungil Sinta."Pulang ke rumah lama saja, Fik. Toh kita 'kan sudah nitipin Lio sama Bik Nur. Mama yakin, pasti Papamu di sana saat ini," jawabku."Siap, Ma."Melupakan tentang Sinta, yang melakukan semua perbuatan haram itu demi ibunya. Akupun kemudian melihat hasil intaian kamera yang ada di rumah lama. Ternyata saat ini, Mas Hasan memang telah berada di rumah, terlihat dia berada di ruang tamu, dan dalam kondisi yangg emosi. Mungkin karena pintu kamar yang ku kunci.Sore ini, kami harus siap dengan pertengkaran lagi, tapi semua harus selesai hari ini. Karena besok, aku tak mau lagi berurusan dengan Mas Hasan, sudah muak aku."Ma...kasihan juga ya kalau melihat keadaan si Sinta," ucap Fika tiba-tiba."Ya, memang kasihan. Tapi sebenarnya yang dilakukan oleh Sinta itu juga salah, meski dengan dalih demi sang ibu dan demi kebaikan, tapi jatuhnya tetap juga salah. Dan bukan telada