Sepasang mata khas lelaki Timor yang membulat itu memaku pada wajah Malika, lantas turun menelusuri tubuh bagian bawah hingga ke kaki. Namun hanya sebentar, kemudian kembali lagi ke atas.
“Be-benarkah ini Bu Malikaaa…?!” desis Anton hampir tak terdengar.Ingatan Malika tentang si pemuda segera terajut.
“Lho, kamu yang dulu ngekos dekat rumah Budhe Sun itu kan? Sekarang kok ada di sini?” seru Malika kembali teringat peristiwa enam bulan lalu.“Eh ibu. Iya Bu. Hanya sebulan. Sementara aja di sana. Sekarang kami tinggal kerja di sini,” jawab pemuda yang diperkirakan berusia 25-an tahun itu gugup.
Malika hanya manggut-manggut, terpaku pada tahi lalat di dagunya. Semakin menambah manis saat ia tersenyum. Giginya berderet rapi dan putih. Sangat kontras dengan kulit tembaganya.
“Le, Anton. Diajak masuk tamunya. Kasihan kedinginan di luar!” suara lelaki bernada berat terdengar dari dalam.
“Inggih, Pak.” Anton mengiyakan. Dengan sigap kedua tangannya membuka lebar-lebar pintu yang terbuat dari seng itu.
Dengan begini tidak akan menimbulkan kecurigaan bagi Malika atau orang-orang yang melintasi gudang.
“Masuk, Bu! Saya mau ambil jemuran dulu!” “Iya, makasih Dik.” Tanpa menunggu diperintah dua kali, Malika segera memasuki gudang yang berbentuk persegi panjang itu.Sebagian ruangannya dipenuhi keranjang kayu untuk mengepak jeruk yang disusun ke atas. Semua keranjang itu masih kosong.
Sementara itu di sudut ruangan sebelah timur digunakan tempat tinggal. Ada Kasur, meja kursi dan alat memasak yang ditata sedemikian rupa. Meskipun sederhana, tapi terlihat rapi dan bersih.
Malika menghampiri lelaki paroh baya yang tengah masak air di atas tungku kayu bakar. Malika pernah melihatnya enam bulan lalu.
Bersama Anton, lelaki bertubuh bongsor dengan wajah bulat ini ngekos di dekat rumah budhe Sun. Namun hanya sesekali saja mereka ketemu dikarenakan kesibukan si bapak berjualan di pasar.
Pak Kadir menoleh dan tersenyum lebar ke arahnya. Senyuman tulus dan wajah yang ramah membuat Malika merasa tenang dan nyaman.
“ Maaf Pak… mengganggu.” “ Santai aja, Bu Lika. Oh iya, Ibu mau kopi hitam?” Pak Kadir menaruh bangku kayu kecil ke hadapan Malika. “Boleh, Pak. Terima kasih,” jawab Malika sedikit sungkan. Malika menduduki bangku kayu yang berada tepat di depan perapian. Nyala api dari kayu bakar dengan segera menghangatkan tubuhnya.Tidak lama Anton masuk dengan membawa handuk dan beberapa baju yang basah. Setelah menggantungnya pada bentangan tali tampar di pojok ruangan, Anton membuka tutup dandang yang tergeletak di samping Malika. Uap panas dan bau khas segera menguap.
“Waah… ketela sama pisang kayu,” Malika berseru senang. Tanpa sadar jemarinya mengulik kedua benda itu. Sedetik kemudian Malika menarik lagi tangannya yang kepanasan dan meniup-niupnya pelan.
Anton tertawa geli melihat tingkah Malika. “Masih panas, Bu.”“Orang Bali menyebutnya pisang ketip,” cetus Pak Kadir. Logat Suroboyo-an begitu kental. Namun mereka tidak berasal dari sana, melainkan dari Sidoarjo.
"Saya suka sekali. Rasanya manis dan keras- keras kenyal. Oh iya, Bapk masih jualan sandal?" tanya Malika tak berkedip memperhatikan tangan Anton yang sibuk mengeluarkan ketela dan pisang rebus dari dalam dandang. Sebagian ditaruh dalam baskom, dan sebagian lagi di piring.
“Sudah berhenti, Bu. Sepi. Sekarang jadi buruh ngepak jeruk. Sambil nunggu panen, kami merawat jeruk di ladang sana!” jelas Pak Kadir apa adanya. Telunjuknya menuding arah belakang dan samping gudang.
“Alhamdulillah, selalu ada rejeki bagi yang mau berusaha,” sahut Malika kalem.Anton tersenyum tipis mendengar obrolan ayahnya dan Malika. Ia menaruh piring berisi ketela di hadapan Malika yang segera disambut dengan antusias.
“Ini juga rejeki. Makasih banyak, Dik!” Malika mengambil ketela berukuran paling kecil. "Sama-sama, Bu," jawab Anton kalem menutupi rasa gugup. Ada kebahagiaan dan rasa syukur yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Namun biasnya memancar pada wajahnya yang menjadi terang berseri.“Aku tidak percaya ini. Bisa bertemu kembali dengan Bu Malika. Alhamdulillah," batin si pemuda terus mengucap syukur.
Sungguh. Ini di luar dugaannya setelah pertemuannya 6 bulan lalu. Ada hal yang ingin ia ungkapkan kepada wanita ini. Sesuatu yang sudah lama sekali.GEDEBAG. GEDEBUG. TAP. TAP. Terdengar tapak kaki mendekat. Diiringi suara beberapa pria yang terdengar riuh rendah. Suara itu semakin jelas dan berhenti di depan gudang.
Tak lama kemudian satu persatu wajah lelaki nongol di depan pintu yang terbuka lebar. Pertama kali yang muncul wajah Edi bersamaan dengan suara salamnya yang kencang.
“Assalamualaikum, Pak Kadir! Numpang berteduh!” Disusul empat pemuda yang datangnya hampir bersamaan. Semuanya ikutan mengucap salam dengan nafas terengah-engah. “Waalaikumsalam warohmah. Waahh, semua kehujanan. Ayo masuk. Ada kopi sama ketela panas,” sambut Pak Kadir ramah dan hangat. Anak-anak muda yang kedinginan dan basah itu saling berebut duduk di depan perapian. Malika beringsut ke belakang, memberi tempat untuk mereka. Kasihan mereka, kepala dan baju bagian atas basah terguyur air hujan.Apesnya, Malika belum sempat mengambil pisang ketip yang disuguhkan Anton. Mau mengambil ia merasa sungkan. Sementara anak-anak muda itu langsung menyerbunya.
Namun, Malika sedikit terhibur melihat polah konyol mereka saat mengunyah ketela dan pisang yang masih panas.
Malika gelisah, sedikit grogi berada di antara tujuh lelaki asing. Hanya Edi dan Anton yang dikenalnya. Itu pun tidak terlalu akrab.
“Tenang, Bu. Anggota partai kita ini baik-baik semua. InsyaAllah Ibu aman,” bisik pemuda yang dipanggil Andre seolah mengerti yang dipikirkan Malika. “Apa nama partai kalian?” tanya Malika bercanda. “Partai Pemuda Ganteng,” clemong Arul dengan pe-denya. Kontan disambut tawa teman-temannya. Salah satu pemuda bertubuh kurus mungil yang duduk di belakangnya menarik rambut gondrong Arul dengan gemas. Malika ikutan terkekeh. “Di mana-mana anak muda selalu ramai, konyol dan banyak tingkah.” Keberadaan Malika dengan segera memecah perhatian anak-anak muda. “Andre, ada tante-tante cantik tuh. Idamanmu…” bisik Arul pada pemuda berambut sepinggang di sampingnya. “Huushh… aku yakin, tante itu masih punya suamilah," pemuda yg dipanggil Andre mengibaskan tangan ke muka temannya. Ia memiliki perawakan tegap dengan kulit sawo matang. “Kamu kok tahu? Sudah pengalaman yaaa...deket sama tante-tante?" goda Arul. Sembari memunguti duri tanaman yang menempel di bagian bawah roknya, Malika turut menyimak percakapan tiga pemuda di depannya itu. Sesekali memperhatikan mereka satu persatu.Yang lain juga ikut menyimak sembari menikmati ketela dan pisang rebus.
“Tahulah. Pertama, bisa diliat dari tatapannya. Tidak jelalatan dan dijaga. Kalau janda itu ada kerlingannya dikit-dikit. Yang kedua dari cara duduknya. Wanita bersuami duduknya nggak mau dekat-dekat sama pria lain..." Andre memutar tubuh menyamping, menghadap ke arah Malika yang duduk di belakangnya.
"Seperti ibu ini barusan, langsung menyingkir begitu kita mendekatinya. Takut sama suaminya atau ingin menjaga perasaan si suami. He he… begitu kan Bu?” Andre melontarkan tanya dengan muka cengar-cengir.
Malika tidak menjawab, hanya tersenyum simpul.
“Mantap. Meskipun nggak semua begitu.”“Iya. Tetanggaku punya suami sering pergi sama laki-laki lain,” Made Arya menepis anggapan Andre. “Tunggu dulu. Masih ada lagi ciri yang lain,” Andre meninggikan suaranya, minta perhatian rekan-rekannya yang mulai mengalihkan perhatian darinya.Pak Kadir dan Mas Edi hanya geleng-geleng melihat kekonyolan Andre, si bocah tengil.
“Wah, banyak banget teorimu. Dapat ilmu dari mana sih?” clemong Mad Edi. “Dari Kakek Sugiono, Mas, ha ha ha… Oke, sekarang aku lanjutkan. Point yang ketiga, dilihat dari senyumannya. Wanita bersuami senyumnya lebih irit, tipis-tipis. Kalau yang sudah janda, senyumnya lebih lebar…” “Apalagi janda sudah punya anak. Tambah lebar… bodinya yang kumaksud," celetuk Pak Kadir yang sedari tadi hanya menyimak. “SEmakin banyak anak, makin lebar nggih Pak...?" sahut Andre cengengesan. Ekor matanya menukik ke bagian tubuh bawah Malika. Malika yang menyadari hal itu sontak melengos dan meruntuk dalam hati, “Semprul. Ini anak ada kelainan.” Ketika menyebutkan kata lebar, kedua mata Andre membelalak penuh dengan tangan dibentangkan ke samping hingga mengenai muka Arul dan Mas Edi yang berada di sampingnya. PUK. "Heh, kamu ini petakilan banget!" Mas Edi pura-pura marah."Ikat aja tangannya, Mas!" Made Arya yang duduk di depan Mas Edi mengompori.
"Jangan, kasihan..." cetus Mas Edi pura-pura menolak. Berkata begitu sambil mengedipkan sebelah matanya dan beringsut ke belakang Andre. Secepat kilat ia menangkap kedua tangan Andre dan ditangkupkan ke belakang punggung. Arul membantu memegangi.
“Woee… lepaskan. Saya bukan penjahat!” Andre berteriak berusaha melepaskan diri.
Tenaga Mas Edi dan Arul lebih kuat. Posisi Andre yang sedang duduk di depan perapian menyulitkannya untuk bergerak.
“Bibirmu itu yang jahat. Bicara asal njeplak. Sampai-sampai bikin ibu ini malu dan ketakutan,” gerutu Mas Edi.Tawa mereka pecah melihat polah Andre yang meronta-ronta ingin melepaskan ikatan. Kedua kakinya dihentak-hentakkan ke lantai. Persis tingkah anak kecil yang mati-matian menolak disuntik.
Meskipun hatinya agak mendongkol, Malika geli juga melihat polah pemuda itu. Sekali tempo pandangannya bersitumpu dengan pemuda yang duduk bersila menghadap ke arahnya. Tampan dan berkulit kuning. Rambut legamnya dibiarkan gondrong sebahu.
Pemuda itu menganggukan kepala disertai senyuman tipis, mendekap tas ranselnya erat-erat. Sejak tadi ia lebih banyak diam, namun tidak berhenti tertawa.
“Ya Allah, mirip banget sama Mas Pramono waktu muda dulu,” batin Malika memuji ketampanan pemuda itu. Jujur ia terpesona.
Tiba-tiba saja ucapan Budhe Sun kembali terngiang di telinganyanya. “Lelaki mirip Pramono, tapi lebih muda.”
Malika tertegun. Pandangannya yang sempat beralih ke perapian kembali menekuri wajah tampan mirip opa Korea itu.Dalam hati Malika menebak-nebak. Bisa jadi pemuda ini yang pernah naik ke atas balkon rumahnya dan berdiri di depan pintu lantai atas. Apa yang dia lakukan di sana?
“Ah, mungkin hanya iseng saja. Tidak ada maksud jahat.” Si Pemuda yang diperhatikan Malika hanya cengar-cengir. Mengukur kepalanya yang tidak gatal, perlahan memalingkan muka kea rah Mas Edi yang asyik mengobrol seputar jeruk dengan Pak Kadir.Sementara itu si tengil Andre terus merengek dengan tubuh menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri.
"Lepasin. Toloonnggg... lepasiinn...!" Tidak tahan dengan teriakan Andre yang bikin gegar otak, terpaksa Arul dan Mas Edi melepaskan tangannya.Sedangkan Anton masih sibuk membuat kopi untuk tamunya. Meskipun pendiam, pemuda itu murah senyum dan tak berhenti tertawa melihat tingkah konyol anak-anak muda yang baru dikenalnya itu.
Hujan di luar bertambah deras disertai angin kencang. Suara pohon bambu di belakang gudang sesekali berderit-derit menyeramkan.
“Dik Adam, coba lihat hasil video yang kemarin sama barusan kita ambil. Daripada bengong,” cetus Mas Edi.“Baik, Mas Edi,” pemuda tampan berkulit kuning bening itu mengurai rambut gondrongnya yang basah, setelah itu mengeluarkan lap top dari dalam tas ransselnya.
Melihat lap top warna hitam yang dipegang Adam, seketika Malika teringat pada benda serupa yang dibawanya dari Jawa. Ukurannya lebih kecil. Benda yang belum pernah disentuhnya sama sekali sejak pelariannya. Pikirannya masih ruwet. Usai membuat kopi, Anton duduk di pojok ruangan. Tanpa bicara apa-apa. Sekali tempo tatapan Malika dan Anton bertemu. Anton tersipu malu. Senyum manisnya yang dibarengi tatapan tajam membuat Malika tertegun.“Ya Allah, kayaknya aku pernah lihat anak ini. Bukan yang enam bulan lalu. Tapi di mana ya?” batinnya dipenuhi tanda tanya.
“Yang pasti sudah lama.”
***tu yang tertunda sejak sekian tahun lamany***
Pramono baru keluar dari lobi hotel, tempatnya meeting bersama pejabat Kementerian dari Jakarta. Usai meninjau loksi proyek gedung yang sedang digarapnya sekarang. Sebagai direktur pelaksana tugas Pramono berada di lapangan. Dan selama ini Pramono lebih sering di sini, mengawasi langsung proses pembangunan gedung serba guna dua lantai yang sudah dimulai empat bulan lalu. Kini memasuki tahap pemasangan atap. Usai pertemuan, para pejabat daerah membawa tamunya jalan-jalan ke daerah Batu dan Waduk Karangkates. Pramono mengantar sampai halaman hingga mobil dinas kabupaten itu meninggalkan hotel. Bergegas ia kembali ke lobi bagian samping. Menghampiri perempuan berjilbab yang duduk di pinggir balkon memandangi kolam renang. “Dik Dewii, eh Nana... maaf ya, sudah menunggu lama!" serunya beberapa langkah sebelum menggapai kursi yang diduduki si perempuan. Entah berapa kali ia salah menyebut nama. Perempuan itu menoleh, tersenyum tipis ke arah pria yang berhenti di sam
Pramono membantu menurunkan sayuran yang berjumlah tiga kresek dengan tergesa-gesa ke dalam mess. Tanpa banyak bicara. “Maaf ya Dik, sampeyan pulang ke kos jalan kaki atau ngojek saja ya. Saya harus segera pulang. Ada urusan penting.” “Ii-yaa... Mas.” Usai pamit, setengah berlari Pramono menuju mobilnya dan langsung masuk. Nana mengiringi kepergian mobil Pramono dengan perasaan tak menentu. Sejak di dalam mobil tadi Pramono nampak gelisah, bingung dan murung. Padahal waktu berangkatnya tadi terlihat tenang, ceria bahkan bersenandung kecil. Meskipun penasaran namun Nana tidak berani bertanya. Ah, apa haknya bertanya. Dirinya hanya tukang masak di sini. Hanya pembantu. Nana melangkah lunglai menuju kosnya sejauh dua ratus meter dari mess. Tidak terlalu jauh. Sampai di kamar langsung rebahan di kasur. Di luar gerimis kecil mulai menitis menyambut senja. Dalam galaunya, Nana memasang status gambar seorang pria yang yang melenggang pergi dengan sound t
“Alhamdulillah, sekarang aku ada kerjaan. Nggak mengganggur lagi. Yah, meskipun belum tahu akan hasilnya nanti, yang terpenting sekarang berusaha terlebih dulu," Malika melonjak senang ketika Data D yang dienter menampilkan deretan judul novel dan tulisannya. Ia mencoba klik beberapa judul dan menampilkan layar word yang lengkap dengan deretan kata. Ia makin girang. “Ini banyak sekali novelnya Ibu. Nggak dikirim ke penerbit aja, Bu. Atau flatform online. Saya juga berlangganan novel online.” “Iya, rencananya begitu. Ini cerita lama semua. Sudah dua tahun aku nggak nulis. Sibuk ngurusin bisnis kosmetik, tapi sampai saat ini belum ada hasilnya. Malik memalingkan muka menghadap Adam. Kedua matanya berkedip-kedip sayu. "Eemm... sedihnya, uangku dua milyar yang kupasok ke sana baru kembali tiga ratus juta. Itupun sudah habis buat modal menanam pohon sengon. Umurnya baru lima belas bulan. Perlu waktu sepuluh tahun lagi baru panen." Tanpa diminta Malika mengunkapka
Uai salat magrib Malika keluar rumah untuk membeli makan. Begitu membuka pintu, tatapan Malika segera menyapu ke halaman rumah. Kali pertama yang dituju adalah gerobak motor yang menjual kopi dan gorengan. Mangkal sebelum pintu masuk ke lorong, tepat di depan kantor perhutani. Jika pagi hari sampai sore mangkal di seberang jalan. Malamnya baru pindah ke sini. Tinggal mendorong gerobaknya. Bapak penjual kopi sibuk melayani pembeli yang berjubel, dibantu putri cantiknya yang menjadi daya pikat tersendiri bagi pembeli. Namun jika malam begini sang anak jarang ikut. Istrinya yang sering membantu. Tepat di sebelahnya ada penjual jagung bakar dan kacang rebus. Beberapa lelaki berselimut sarung duduk menikmati kopi dan jajanan. Mereka duduk lesehan di atas karpet yang digelar tidak jauh dari teras kantor perhutani. Penjual kopi yang menyediakan karpet itu. Seperti biasa dibarengi obrolan seru. Canda tawa sesekali terdengar membahana. Logat Surabaya dan Madura te
Sementara itu di dalam rumah, Malika yang ketakutan langsung mengecek semua pintu dan jendela. Memastikan semua sudah terkunci rapat. Selesai di lantai bawah, Malika pun ke lantai atas. Mengintip keluar lewat celah kelambu. "Takutnya lelaki itu bersembunyi di balkon atas. Oohh, syukurlah..." Malika bernafas lega melihat kondisi balkon kosong dan sunyi. Dirasa telah aman, Malika berbalik untuk kembali ke bawah. Namun, langkahnya mendadak terhenti di depan kamar satu-satunya di lantai atas ini. Pijar lampu neon 20 watt terlihat di bawah pintu. Lampu kamar itu sengaja dibiarkan terus menyala untuk mengurangi kesuraman dan aroma seram rumah ini. Tahu sendiri jika rumah lama dibiarkan kosong. Makluk halus dengan senang hati akan menempatinya. Hanya sekali Malika masuk ke dalam kamar untuk membersihkannya. Ruangan yang cukup luas berukuran 4x5 meter dilengkapi kamar mandi dalam dan shower air panas. Ada kompor listrik dan alat-alat makan lainnya. Tidak
“Ya Allah, gimana jika orang itu hendak mencelakaiku? Bisa-bisanya menyelibap masuk ke rumah orang jika tidak ada maksud jahat ? “ Malika mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali tangannya memegang gagang pintu, lantas dilepaskan kembali. Batinnya berkecamuk. "Jika panggilan telpon itu berasal dari putraku Rona, alangkah menyesal aku nanti." Malika tidak ingin kehilangan moment mengobrol dengan Rona yang hanya seminggu sekali mendapat jatah nelpon dari pondok. Dan biasanya ada aja pengumuman penting yang akan disampaikan oleh putra bungsunya itu. Berpikir ke arah sana, Malika menarik nafas panjang dan menegakkan bahunya yang terkulai. Harus berani. Ia pun membuka pintu dan terbirit-birit berlari ke ruang tamu. Mengambil ponsel yang terus berisik dan berdiri dekat jendela di samping pintu depan. Tangan kanannya reflek memegang gagang pintu. Tahu kan maksudnya. Jika nanti muncul orang jahat dari dalam rumah, dirinya bisa langsung kabur keluar. Jujur
" Sesungguhnya, sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Sesudah gelap malam pasti terbit cahaya mentari" Sepenggal kata mutiara dari ponsel mengalun merdu, menemani kesendirian Malika. Pagi itu ia berdiri di balik jendela lantai atas, menghadap ke timur. Sinar matahari mulai memancar redup. Menyentuh wajah Malika yang mulai terlihat tirus. Ekor matanya tidak lepas dari kamar yang pintunya tertutup rapat. Tidak terdengar suara orang atau aktivitas yang mencurigakan. Sepi dan tenang seperti biasa. Meskipun begitu, untuk berjaga-jaga dan melindungi diri, tangan kanan Malika telah menggenggam sebilah belati. “Benar. Sesudah gelap malam pasti akan terbit matahari. Namun tidak semudah itu menjalaninya. Seperti yang kurasakan saat ini,” keluh Malika dalam. Kali ini fokus perhatian Malika tertuju ke arah depan dan kiri. Pandanganya tidak leluasa, terhalang pilar balkon dan pagar kayu sebatas perut orang dewasa. Namun, udara dingin membuatnya malas keluar. Yah, m
"Penyakit para sopir. Kencing sembarangan!” keluh Adam. Dari sudut matanya, Adam tahu Malika yang baru muncul dari dalam rumahnya turut memperhatikan si Jabrik. Seperti halnya ia, Malika buru-buru memalingkan muka melihat si Jabrik mulai ancang-ancang membuka celana. Kaum lelaki aja jengah melihat pemandangan itu, apalagi kaum Hawa. “Mbok sesekali digigit semut atau dipatuk burung gitu, biar kapok,” runtuk Adam sebal. Menatap Malika yang berjalan ke arahnya. Membawa kripik pisang dan tempe masing-masing dua bungkus. "Boleh dihabiskan kok" kata Malika sembari menaruh kripik di samping nampan. Adam dan kawan-kawan sudah berkumpul dan menikmati kopinya masing-masing. "Ibu tahu aja kesukaan kita," clemong Arul. Tanpa disuruh kedua kali, anak-anak muda itu berebut mengambil kripik. Malika hanya tersenyum. Mengambil ketela dan duduk di samping Adam. Kepalanya menunduk, sibuk mengupas kulit ketela. Sesekali menatap ketiga teman Adam yang tak ada habisnya bercerit