Share

BAGIAN 4 - TBC

“Kamu masih marah? Aku kan udah minta maaf.” Langkah kakiku hanya bisa kupercepat menuju parkiran. Aksa hanya dititipkan beberapa pot kecil yang nantinya harus ia isi dengan dahak, sputum kalau kami menyebutnya. Pot itu nantinya akan diantarkan kembali ke lab untuk diperiksakan. Aku sedari tadi hanya misuh misuh karena Aksa yang mengatakan hal tidak-tidak pada Bu Wenti. Tunangan?

“Kenapa sih harus bilang begitu? Kalo dikira beneran gimana?” nanti kalau dikira orang aku sudah punya tunangan aku juga yang bisa malu. Sudah punya tunangan tapi kok tidak nikah-nikah.

“Aku yang salah. Maafin ya.” Jujur aku pribadi agak amaze dengan Aksa yang mudah sekali mengucapkan kata maaf. Zaman sekarang banyak sekali orang yang jelas-jelas salah tapi gengsi banget untuk minta maaf.

Tidak kugubris perkataan Aksa. Aku memilih diam. Mobilpun melaju menuju apartementku. Sejujurnya aku agak bingung karena Aksa sendiri tidak bertanya kemana ia harus mengantarku pulang. Mungkin dia berpikir hanya perlu mengantarkanku pulang ke klinik. Dasar pelit, bukannya menawakan antar pulang ke rumah. Yah, meskipun apartemenku ada di tempat yang sama dengan kinikku yang artinya aku memang tengah diantar pulang. Setidaknya tapi kan ada basa-basinya. Tidak tahu terimakasih.  

***

Aksa duduk di kursinya tanpa berkomentar sepatah apapun. Tidak heran dengan alasan apa yang membuatnya jadi lebih diam dengan raut wajah yang campur aduk. Hasil laboratorium menunjukkan apabila hasil pemeriksaan BTA Aksa positif. Aksa terinfeksi microbacterium tuberculosis, sakit TBC kalau orang awam menyebutnya. Itu loh sakitnya orang miskin yang ada di sinetron sinetron. Tidak, tidak demikian sebenarnya. Itu semua hanya pikiran orang awam.

Aku tidak ingin terlalu mengurusi sebenarnya. Sayangnya Aksa adalah salah seorang pasienku yang mengidap TBC mau tidak mau aku dituntut untuk peduli dan turut sedih. Maksudku, aku seorang dokter. Tentu memiliki kewajiban untuk membantu siapapun saat mereka membutuhkan bantuanku. Membaca raut wajah Aksa yang sekarang cukup sulit. Tidak tahu apakah laki-laki ini sedang sedih, takut, atau merasa bingung dengan vonis yang baru didapatnya beberapa menit yang lalu. Akan tetapi, seingatku aku telah membeberkan secara jelas. Ia tidak perlu takut.. TBC bisa disembuhkan. Memang pengobatannya sedikit memakan waktu lebih lama. Standar lama pengobatan bagi penderita tuberculosis paru yakni selama enam bulan. Selama enam bulan itu Aksa harus minum obat setiap harinya tanpa terkecuali. Tapi toh seharusnya ia tidak perlu takut sama sekali. Semua akan baik-baik saja.

“Kamu baik-baik saja, kan? Sebaiknya jangan terlalu dipikirkan tentang penyakit kamu. Jalani saja. Nanti sembuh, kok.” Suaraku memecah keheningan yang menyelimuti ruang praktekku.

“Aku nggak apa-apa. Cuma sedikit kaget dan bingung karena harus melalui enam bulan yang tiada hari tanpa obat.” Dia lebih tampan jika ia bisa tenang seperti ini. Bukannya sok tampan seperti hari-hari sebelumnya. Lana! Oke. Dia memang tampan bukannya hanya sok belaka.

“Memang obat yang harus kamu minum sekarang cukup banyak. Tapi kalau batuk berdarahnya sudah sembuh, kamu hanya perlu minum obat TB saja. Tiga tablet sekali minum sebelum tidur, jangan lupa. Minumnya lebih baik jika kamu tepat waktu.” Laki-laki ini seharusnya harus lebih bersyukur karena dia hanya perlu minum tiga tablet obat TB sebelum tidur. Masih banyak yang lebih tidak beruntung dari dirinya, mereka yang harus melalui hari dengan suntikan dan kemoterapi. “Syukuri saja. Dibalik cobaan pasti ada hikmahnya. Tuhan memberikan cobaan ini ke kamu karena Tuhan anggap kamu mampu melaluinya. Ikhlas saja.” Terkadang jika kamu adalah seorang dokter, kamu tidak hanya berkewajiban untuk mendiagnosa penyakit pasien dan memberikannya obat. Banyak orang yang bilang seorang dokter harus bisa meyakinkan dan menguatkan pasiennya kalau mereka harus percaya jika Tuhan akan memberikan hikmah dari setiap penyakit yang mereka derita. Sugesti seorang dokter harus kuat, itu juga cukup berpengaruh.

“Apa kamu selalu bersikap baik seperti ini saat kamu tahu pasien kamu menderita sakit yang butuh pengobatan cukup lama?” tanyanya.

“Maksud kamu?” Kedua alisku bertaut akibat bingung. Apa dia sedang mengejekku?

“Tidak. Kamu lebih manis kalau care dan banyak bicara dengan orang lain.” Bisa-bisa paru-paruku juga dapat masalah karena harus menahan napas seperti yang tengah kulakukan sekarang karena ucapan Aksa yang…. yang bisa bikin geer.

“Jadi maksud kamu sebelumnya aku kurang peduli dengan orang lain? Maksud kamu apa?” Mataku berpura-pura memancarkan binar kekesalan. Padahal, sekarang aku setengah mati harus berusaha stay cool di depan Aksa.

Laki-laki ini aneh. Terkadang dia bisa bersikap menyebalkan, sok asik, dan sekarang ia bisa berubah menjadi manis. Tidak munafik jika akupun mengakui pesona Aksa yang mampu membuat setiap hati perempuan luluh. Mungkin aku juga calon korbannya di sini. Semoga saja aku tidak terperosok terlalu jauh dalam pesonanya. Bisa mati aku jika sampai salah menitipkan hati. Eh? Itu tadi aku tengah berkhayal menitipkan hati pada Aksa? Gila! Aku bahkan tidak kenal dia.

“Bukan begitu. Hanya saja akan lebih menyenangkan jika kamu lebih ramah dan tidak jutek.” Apa menurutnya aku jutek? “Aku nggak pernah berpikir kalau kamu tidak ramah. Hanya saja, mungkin pertemuan kita dan perkenalan kita yang nggak baik membuat kamu kurang ramah ke aku.” Iya, sih. Bayangkan, bagaimana aku bisa ramah dengan laki-laki yang aku tidak ketahui identitasnya dan ia memaksaku menemaninya pergi ke rumah sakit dengan alasan yang kurang memadai untuk umurnya yang terlalu tua. Belum lagi Aksa memang cukup menyebalkan sebelumnya.

“Maaf kalau kamu berpikir begitu. Mungkin apa yang kamu bilang itu benar. Pertemuan kita dan perkenalan kita tidak kita lakukan dengan semestinya. Mungkin itu semua yang membuat sikapku kurang welcome padamu.” Ia menoleh ke arahku melempar senyum. Mau tidak mau akupun membalas senyumnya.

“Jadi, kita teman sekarang?” tanyanya terlihat antusias.

“Akan jauh lebih baik, kan?” Jawabku tak kalah antusias. Kalau dipikir-pikir aku memang tidak memiliki masalah appapun dengan Aksa. Tapi, memang apa yang ia katakan memang benar. Mungkin karena pertemuan awal dan perkenalan kami kurang baik, aku jadi kesal dan merembet jadi tidak menyukai Aksa.

“Apa yang kamu bilang ada benarnya juga.” Apa yang aku bilang? Memangnya aku bilang apa?

“Memang aku bilang apa?”

“Kan kamu bilang dibalik cobaan pasti ada hikmahnya. Lihat sekarang, hubungan kita menjadi lebih baik.” Tawaku mau tak mau terdengar mendengar apa yang Aksa katakan. Dia ternyata pengambil hikmah yang baik. Baru beberapa jam dan dia sudah tahu hikmah kecil di balik penyakitnya. “Lana, apa aku boleh minta bantuan lagi?” Bantuan? Lagi?

“Bantuan apalagi? Jangan yang aneh-aneh. Jangan mentang-mentang kita sudah baikan dan kamu bisa memanfaatkanku, ya.” Sialan. Jangan-jangan tadi dia pura-pura baik hanya demi mendapat bantuan ─lagi.

“Jangan suka berpikiran buruk Dokter Lana.” Decakan kecil meluncur dari mulutku. Aku bukannya berpikiran buruk. Hanya saja aku mewanti-wanti.

“Minta bantuan apa sebenarnya?” tanyaku to the point.

Aku bisa melihat Aksa yang terlihat ragu untuk memulai bicara. Ah, jangan bilang kalau ini permintaan aneh-aneh. “Tolong rawat aku sampai aku sembuh.” BAH! Maksudnya???

“Maksudnya?” Jujur aku bingung. “Kamu mau kontrol ke kliniiku terus sampai selesai minum obat?” Sebenarnya akan jauh lebih baik apabila Aksa pergi ke puskesmas. Pengobatan TB di puskesmas gratis hehehe. “Kalau kamu maunya kontrol ke klinikku dan tidak mau ambil obat di puskesmas ya tidak apa apa.” Rasanya uang bukan masalah bagi Aksa. Harus keluar uang tiap bulan untuk beli obat TB sepertinya tidak akan membuatnya kesulitan. Yaiyalah Lana, mobilnya saja Rubicon. Dia saja sanggup beli Rubicon tidak mungkin ia tidak sanggup membeli obat.

“Bukan,” Bukan? Lalu? “Bisa bantu siapkan obat serta buah dan sayur yang harus kumakan setiap harinya?” Bola mataku nyaris mencelos dari tempatnya. Dia gila? Apa dikiranya aku merangkap sebagai pembantu juga? Atau hanya sebatas dibuatkan menu makan?

“Aku bukan pembantu!” Seruku lantang. Padahal aku sendiri masih belum tahu maksud dari perkataannya.

“Hei, jangan emosi dong. Siapa yang menganggapmu pembantu?”

“Kamu memang menyebalkan ternyata. Aku seharusnya menyesal karena mau berbaik hati padamu. Dikasih hati malah minta jantung.” Dia mungkin memang tidak menganggapku pembantu. Yaiyalah, secara jelas profesiku adalah seorang dokter. Apa yang ada di otak dia saat mengatakan hal tadi, sih?

“Aku tidak minta jantung Lana. Aku hanya memintamu untuk membantuku mengatur makanan dan obatku.” Heh, anak ini tidak sadar ya jika ia sudah terlalu tua Bangka untuk meminta seseorang hanya untuk mengatur makanan dan obatnya? “Kamu tidak tahu betapa berantakannya jadwal makanku, Lana. Juga minum obat, kamu harus tahu kalau aku tidak bisa menelan obat. Semua obat harus digerus menjadi bubuk puyer. Aku nggak yakin kalau aku bisa melakukan semuanya sendiri.”

“Kamukan bisa minta tolong dengan adik, kakak, atau ibumu mungkin? Siapapun orang terdekat dan bisa membantumu pokoknya.”

“Di situ masalahnya. Sekarang, satu-satunya orang terdekat dan berkemungkinan membantuku adalah kamu.”

“Aku?”

“Iya, kamu. Orangtuaku ada di Aceh. Dua adik perempuanku masih kuliah di Perth dan di Canada. Sedangkan kita? Kita tetangga. Otomatis tetangga harus saling bantu kan?” senyum kemenangan terpancar di bibirnya. Apa katanya tadi? Kami tetangga?

“Tetangga?”

“Unit 206.” Jawabnya tanpa ragu. Hell! Unit 206?? ITU TEPAT DI SEBELAH UNITKU!!

                                                                     ***        

Mulutku masih bungkam dan otakku sibuk menelaah bait demi bait perjalan pertemuan aku dengan Aksa. Sekarang satu kenyataan aneh lagi membawaku padanya. Dia tetanggaku. Tetangga apartemenku! Ini sulit dipercaya dan terasa penuh settingan.

“Ayo turun.” Aksa membukakan pintu ketika kami telah sampai di basement apartemen. Ia menawarkan tumpangan yang hanya beberapa jengkal dari klinikku. Nina dengan sepenuh hati mendorongku untuk naik ke mobil Aksa. Otakku terlalu lelah karena tengah berpikir sebenarnya Tuhan punya rencana apa lagi sih. Jadi aku menurut dan masuk ke mobil Aksa. Aku dan dia masih sama-sama diam sampai denting lift mengatakan jika kami harus masuk. Lift membawa kami ke lantai 20. Ternyata pembeli unit 206 itu Aksa?

Awalnya aku dan Nina berniat untuk membeli kamar yang bersebelahan. Tapi, kemarin yang tersisa tidak ada kamar yang bersebelahan. Nina ada di lantai tujuh belas, sedangkan aku ada di lantai dua puluh. Itu saja sudah jarak yang paling dekat karena kamar-kamar lain telah penuh. Nina lebih memilih berada di lantai tujuh belas. Karena dari bagian marketing yang menjelaskan siapa-siapa saja yang membeli kamar-kamar di lantai yang akan kami tempati, lantai 20 kebanyakan dihuni para lansia dan juga pasangan rumah tangga yang sudah memiliki anak. Sedangkan di lantai tujuh belas kebanyakan dihuni anak muda. Nina tidak mau mengambil resiko tentang orang-orang yang akan membicarakan hubungannya dengan Rico. Apalagi mereka akan sering bertemu untuk mempersiapkan acara pernikahan dan lamaran. Mau tak mau Rico akan sering bolak-balik apartemen Nina. Bahkan mungkin akan menginap, mungkin. Katanya ia akan merasa risih jika banyak di bilang ini-itu dengan orang-orang lansia yang notabenenya memiliki pemikiran kolot. Padahal, Rico dan Nina jelas tau betul batasannya. Maka dari itu dia lebih memilih bertetangga dengan anak-anak muda yang kebanyakan sibuk dan acuh dengan urusan orang lain.

Tapi, yang menjadi kegeramanku sekarang adalah, mengapa petugas marketing tidak mengatakan kalau tetangga kamar sebelah kiriku adalah Aksa?

“Mau sampai kapan ada di dalam lift?” Kepalaku yang tadinya menunduk kini mendongak. Aku tidak sadar bahkan tidak terpengaruh dengan dentingan lift karena asik dengan pikiranku sendiri. Kami sudah sampai dan Aksa telah lebih dulu keluar.

“Kamu bisa pikirkan dulu permintaanku. Aku harap kamu bisa bantu aku. Aku janji ini akan jadi sebuah utang budi.” Katanya sembari berjalan berdampingan denganku menyusuri lorong apartemen. Aku hanya menjawabnya dengan anggukkan dan kembali menatap karpet lorong dan jalan menunduk. Rindu kasur, sungguh.

“Ada tamu di depan apartemenmu.” Ucapnya tiba-tiba. Tamu? Siapa yang datang malam-malam begini? Hatiku mencelos ketika aku mendongakkan kepala dan mendapati Rakan ada di sana. Rakan. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku sudah pindah ke sini? Mau apalagi, sih? Aku takut jika dia sebegitu inginnya menjelaskan dan memperbaiki hubungan kami yang nyatanya tidak akan pernah sama lagi. Aku harus lari!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status