Share

TEACHER IS FALLING In Love
TEACHER IS FALLING In Love
Penulis: Aprima

1. MENCARI PINJAMAN

“Hhhhuuufffppgghhh…” Aiza menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas tempat tidur yang tak lagi baru. 

Melepaskan penat yang sudah seharian ini berdiri di halaman kampus  IPTS Padangsidimpuan, yang mempersiapkan mahasiswa-siswinya untuk dilepas melaksanakan Program Kerja Lapangan. 

Aiza Firdaus Tarra, gadis cantik berhijab berusia 22 tahun, baru saja mendapat pengarahan dari pihak kampus. 

Ia mendapat namanya tertera di sebuah Yayasan Sekolah Agama daerah Tapanuli Tengah, SMP  Al-Muslimin Pandan.

“Yah… selama PKL nanti, aku pasti akan berjauhan dengan bang Fadlan…” gumamnya.

Yah, Fadlan, pemuda berusia 23 tahun. 

Dengan tinggi 1,8 meter dengan sikap yang cool. Akan tetapi, Aiza merasa bersyukur bisa menjadi teman dekat pemuda tersebut karena sikapnya yang cuek terhdap banyak wanita. 

Dan justru, kedekatan antara keduanya membuat Aiza menaruh hati dan menganggap kalau pemuda itu juga merasakan hal yang sama. 

Hanya saja Aiza tidak ingin meluahkan isi hatinya terlebih dahulu, ia memilih agar Fadlan sendiri yang mengungkapkan perasaannya.

Sedang asik berangan, suara sendu sang ibu pun memanggilnya untuk segera makan siang.

“Aiza… mangan jolo ho, Inang…!” seru sang ibu dengan menggunakan Bahasa Daerah Tapanuli Selatan dari balik pintu kamarnya.

(Aiza makan, dulu, Nak!)

“Olo, umak” balasnya.

(Iya, Bu)

Nesya pun langsung beranjak dan bergegas melepaskan Almamaternya itu dan segera keluar dari dalam kamarnya.

“Mau kemana, Mak…?” tanya Aiza yang melihat ibu seperti akan berangkat.

“Mamak mau pergi ke tempat Tulangmu sebentar. Mau pinjam uangnya. 

Semalam disuruhnya mamak datang menjemputnya,” ujar sang ibu dengan logat Bahasa Batak.

(Tulang : saudara laki-laki dari ibu)

“Oh iyalah, Mak. 

Mau untukku yah, Mak? 

Karena mau berangkat itu…?” ujarnya.

“Iya, Nak. Kaunya  harapan mamak dah, Inang… Biar bisa kau sekolah bagus. 

Semangat lah kau belajar yah, Nak. 

Kau tengoklah mamak sama ayahmu pun udah mulai tua. 

Jadi kaunya harapan mamak nanti membantu adikmu si Sofia…” ujar sang ibu menyemangati.

“Do’akan mamak lah, Mak. Biar bisa aku sukses…”

“Aamiin…” keduanya pun berujar syukur dengan serentak.

“Yah sudah. Makanlah kau. Nanti sakit perutmu. Suka kalilah kau terlambat makan… mamak pergi dulu. 

Tinggalkan sayur bulung gadung itu untuk si Sofia. Nanti butcut dia…” pesan sang ibu.

(Sayur Bulung Gadung : daun ubi tumbuk. Masakan khas Tapanuli Selatan.)

“Iya, Mak…” sahutnya melepas kepergian sang ibu.

Setelah wanita paruh baya itu pun berlalu, Aiza pun mengambil piringnya. 

Sambil menikmati makan siangnya sayur daun ubi tumbuk dan sambal teri dengan kacang, Aiza pun melanjutkan angan-angannya.

“Ibu dan ayah sangat berharap banyak padaku, sebagai anak yang paling besar. 

Aku ingin sukses jadi seorang guru seperti yang ku mau. 

Mamak dan Bapak pun udah semakin tua. 

Kapan lagi aku membuat mereka bangga…?” batinnya. 

Hingga tidak terasa air matanya pun turut mengekspresi tekad dalam hatinya itu.

Pak Ardi Firdaus, ayah Aiza yang kini berusia memasuki 50 tahun. 

Ia hanya bekerja sebagai buruh bangunan yang pekerjaannnya tidak tetap. 

Jika pekerjaannya banyak, keluarga mereka bisa sedikit untuk makan enak, dan sebagiannya bisa untuk ditabung. 

Akan tetapi, jika tidak ada pekerjaan, tabungan itu pun bisa dikorek habis, bahkan sampai berhutang di warung.

Sedang Bu Maya, wanita berusia 47 tahun itu hanya seorang penjual pecal keliling yang hasilnya bisa digunakan untuk biaya sekolah anak. 

Akan tetapi, berjualan itu tidak selalu mendapatkan untung. 

Faktor cuaca sering menjadi kendala yang mempengaruhi pendapatan. 

Namun mereka tetap bersyukur dan berfikir optimis. 

Hingga tak jarang, mereka sering menyatakan harapan mereka pada Aiza, sebagai anak sulung. Agar Aiza bisa bersungguh-sungguh dalam menjalankan kuliahnya.

“Helleh, tinggal makan saja pun tangis…” ujar Sofia, adik dari Aiza yang baru pulang sekolah, membuyarkan khayalan gadis itu.

“Ngapainnya kau kak…? Makan sambil nangis…?” ejek Sofia menahan tawa.

“Apanya kau…? Iyalah sambil nangis meresapi hidup ini. 

Sedihlah hatiku, sebentar lagi aku bakalan berangkat ke sibolga mau PKL. 

Jaranglah aku nanti makan masakan umak ini…?” jawabnya.

“Hhhhmmm macam jauh kalilah Sibolga itu…?” sanggah Sofia.

“Bukan masalah  jauhnya, dek. 

Kau kan tahu aku harus irit biaya..? 

kalau sebentar-sebentar pulang, tentulah jadi banyak biaya itu…?” jelas Aiza pada adiknya yang masih duduk di kelas 1 SMA itu.

“Iya juga yah…” jawab Sofia.

“Kak, ada lagi sayur bulung gadung itu…?” tanyanya pada Aiza.

“Ada, makanlah kau. 

Tapi kau ganti dulu bajumu sana…” perintah Aiza.

“Olo dabo etek…”canda adiknya itu.

(Iyalah Tante…)

“Inda etekmu au… kakakmu do au loak…” sambung Aiza membalas.

(Aku bukan tantemu, tapi kakakmu, bodoh…)

“Hehehhehee…” Sofia pun terkekeh mendengarnya.

“Assalamu alaikum….” Terdengar suara sang ayah datang.

“Wa’ alaikum salam…” sahut Aiza menghentikan makanannya menyambut sang ayah.

“Eh, pulang Ayah…?” sapa Aiza.

“Iya, tapi nggak bawa bontot ayah tadi…” balas Pak Ardi.

“Kenapa…? Dimana rupanya Ayah kerja…?”tanya Aiza lagi karena biasanya sang ayah memang membawa bontot untuk bekal makan siang, jika pekerjaannnya agak jaug dari rumah.

“Ah, dekatnya. Dikampung sebelah, sama udak mu si Anto…” jelas sang ayah yang tangannya masih berdebu karena memengerjakan bangunan.

(Udak : panggilan untuk laki-laki yang usianya lebih muda dari ayah.)

“Oh… makan sama-samalah kita gitu, adik pun baru pulangnya sekolah…”

“Mamakmu udah jadi pergi ke tempat tulangmu…?” tanya pak Ardi karena tidak melihat istrinya ada di sana.

“Iya, Yah. Baru pun pergi…” ujar Aiza.

“Sofia… cepatlah. Udah datang ayah, dek. Biar makan sama-sama kita…” seru Aiza memanggil sang adik.

“Olo… ro ma au…” sahutnya. 

(Yah aku datang) 

Sofia pun datang dan segera duduk bersila di hadapan kakaknya. 

Menunggu sang ayah yang sedang membersihkan badannya. 

Tak lama kemudian, ketiganya pun menikmati makan siang bersama.

Di sisi lain, Bu maya sudah sampai di rumah sang adik laki-lakinya.

“Ini kak, uangnya…” ujar Zainal, adik kandung Bu Maya.

“Tarimo kasih da anggi… godang rasoki namu. Bulan depan, pas manjagit julo-jolo, langsung hu bayarkon pe…” ujar Bu Maya.

(Terima kasih, adikku. Semoga selalu banyak rejeki. Bulan depan, setelah menerima arisan, akan langsung saya bayarkan,…)

Mendengar kalimat itu, istri Zainal pun menimpali.

“Betul dah eda… langsung dibayar. Karena kami juga punya keluarga. Punya kebutuhan. Lagian kenapalah harus pakai kuliah segala. Udahlah tahu hidup susah…” sahut Saripah dengan nada yang tidak mendukung.

(Eda : panggilan untuk ipar perempuan)

“Hhhuuussss… ulang songoni ho mangecet…” tegur Zainal pelan.

(Jangan bicara seperti itu,)

Bu Maya pun menelan pahit-pahit apa yang ia dengar. 

Ia tahu, sangat tidak mudah memberi pinjaman pada siapapun sekalipun itu untuk saudara sendiri. Namun mau bagaimana lagi, ia tidak ingin perjuangan Aiza yang tinggal sedikit lagi itu terhalang karena uang.

“Iya eda. Langsung ku kembalikan pun nanti… Doakan kalian, bere kalian si Aiza itu bisa sukses yah…” ujar Bu Maya seraya memohon do’a restu.

“Olo kak. Dokkon tu bere Aiza semangat selalu…

(Iya, kak. Sampaikan pada keponakanku si Aiza untuk semangat selalu)” balas Zainal, pria berusia 40 tahun itu.

“Olo, tarimo kasih sakali nai da, anggi. Anggo songoni attong, mulak ma jolo au. Harana accogot rakku barangkat ma ia tu Sibolga…

(Iya, sekali lagi terima kasih ya, Dik. Kalau begitu, saya pulang dulu. Karena besok, dia juga akan berangkat ke Sibolga)” Bu Maya pun berpamitan.

“Iya, kak. Hati-hati… Kirim salam sekalian untuk Bang Ardi…” pesan Zainal. 

Bu Maya pun mengangguk menanggapi, kemudian berlalu.

Ia pun pulang dengan menggunakan becak vespa, kenderaan khas padangsidimpuan. 

Dalam perjalanan pulang, dengan hati yang masih sedih, ia terus beristigfar agar bisa melupakan kata-kata istri Zainal tadi. 

Bagaimana pun, mereka sudah memberikan ia pinjaman uang sebesar 3 juta untuk Aiza.

“Olo dainang… sukses maho saulakon. Sai sukses sai tunduk dah inang… 

Doaku do tuho dainangku. Boru panggoaran…

(Oh anakku… semoga kau sukses. Semakin sukses semakin menunduk yah, Nak. Doaku untukmu, Nak. Anak Pertamaku)” harap Bu Maya sambil menepiskan air matanya yang meletakkan harapan yang besar pada kesuksesan putrid sulung, harapannya.

***

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status