Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari balik jendela kamar Ratih dan suaminya, Rangga. Di dalam kamar kecil yang pengap itu, Ratih masih duduk di kursi kayu yang berada di dekat ranjang dengan bungkusan plastik kecil di tangannya. Dia baru saja pulang dari warung Mbak Minah di ujung gang, hanya membeli beberapa kebutuhan pokok seadanya, antara beras, tempe, dan sayuran.
Hari semakin siang tapi suaminya, Rangga, masih saja tidur, berbanding terbalik dengan sikapnya dulu yang sangat rajin bangun pagi saat masih bekerja sebagai sopir pribadi ayahnya. Ratih menghela napas panjang, menyadari betapa jauh kehidupannya sekarang dibandingkan dulu ketika dia masih tinggal di rumah orang tuanya yang besar dan megah. “Semua pasti ada jalannya,” bisik Ratih kepada dirinya sendiri, mencoba menguatkan hati. Namun, ketenangannya pagi itu mendadak buyar ketika terdengar ketukan keras di pintu depan rumah sederhana iyu. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, disertai suara laki-laki yang memanggil nama suaminya. "Rangga! Rangga!" Suara itu terdengar kasar dan penuh desakan dan paksaan. Ratih terlonjak kaget. Dia pun segera beranjak dari ranjang dan berjalan menuju ruang depan, rasa was-was merayapi dirinya. “Siapa yang mengetuk pintu sepagi ini dengan begitu keras? Apakah ini masalah baru yang harus dihadapi?” Ratih menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka pintu. Begitu pintu terbuka, seorang pria berperawakan tinggi dengan kulit hitam legam berdiri di sana. Matanya menatap Ratih dengan cara yang membuat bulu kuduknya merinding. Ada sesuatu yang tidak beres dengan tatapan pria itu, seolah-olah dia sedang menilai dan ingin memangsa dirinya. "Siapa ya, Mas?" Ratih berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Pria itu tersenyum tipis, lalu memperkenalkan dirinya. "Nama saya Ujang. Saya datang mau ambil kunci mobil yang dipinjam Rangga. Dia ada di rumah, kan?" Ratih terdiam sejenak, bingung. Kunci mobil? Rangga tidak pernah bilang apapun soal meminjam mobil dari orang lain. Ternyata mobil yang dia dan Rangga pakai kemarin adalah mobil pinjaman. Ratih semakin kaget mendengar kenyataan itu. Namun belum sempat Ratih menjawab, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam kamar. Rangga muncul dari kamar dengan pakaian yang lebih rapi dari biasanya, meski tidak benar-benar terlihat seperti siap untuk bekerja. "Oh … Lo, Ujang! Kirain siapa yang bikin keributan pagi-pagi begini!” seru Rangga sambil menunjukkan wajah kesal. Tunggu sebentar, ya! Gue siap-siap dulu," ucap Rangga dengan santai, seolah-olah situasi ini tidak ada yang aneh sama sekali. Ratih pun menatap suaminya dengan tatapan heran. Ini adalah hari pertama mereka setelah sah menjadi pasangan suami dan istri. "Kamu mau ke mana, Mas?" tanya Ratih lembut, berusaha memahami situasinya. "Mau cari kerja, Tih," jawab Rangga singkat tanpa menoleh ke arah istrinya. Dia pun berjalan menuju pintu dan tampak sangat tergesa-gesa. "Tapi kamu belum sarapan. Aku baru mau masak," ujar Ratih, suaranya penuh perhatian. Dia ingin memastikan suaminya berangkat dengan perut terisi. Namun, Rangga tidak menggubris perkataan istrinya. Tanpa sepatah kata pun, dia langsung meraih lengan Ujang dan menyeretnya keluar dari rumah. "Ayo, kita keluar sekarang! Lo ini ganggu orang lagi tidur saja!" ujar Rangga sambil berjalan cepat keluar dari pintu rumah petakan itu. Ujang hanya bisa mengikuti, meski di wajahnya terlihat sedikit bingung dengan sikap Rangga yang tiba-tiba terburu-buru. Ratih berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Hatinya terasa kosong. Ada sesuatu yang tidak beres, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. “Mas Rangga? Kamu kenapa? Kok kok berubah sikapnya kepadaku?” seru Ratih dalam hatinya. Di ujung gang, mobil yang dipinjam Rangga terparkir di sana dengan rapi. Ketika mereka tiba di sana, Mbak Minah yang sedang menyapu halaman depan warungnya, menyapa mereka. "Eh, Rangga! Mau pergi ya? Rajin banget sih kamu, hebat deh bisa cari istri secantik Ratih," puji Mbak Minah sambil terkekeh. Ujang yang berdiri di samping Rangga terperangah. "Istri?" pikirnya dalam hati. Dia tidak tahu kalau Rangga sudah menikah. Matanya kembali terbayang sosok Ratih yang tadi membuka pintu. Wajahnya cantik, kulitnya cerah, dan ada aura lembut yang memancar dari dirinya. Hatinya mendadak berdesir, diam-diam dia merasa tertarik pada Ratih. “Gila banget! Ternyata wanita berparas cantik itu istri Rangga? Hhmm, boleh juga tuh cewek!” seru Ujang sambil menyeringai nakal. “Hei! Lo kenapa! Lagi kesambet kah? Kok Lo malah senyum-senyum sendiri?” sergah Rangga kepada Ujang. “Ya ampun, Rangga! Kok Lo nggak bilang-bilang sih, kalau sudah menikah! Parah Lo, ah!” kesal Ujang pura-pura. “Cih! Ngapain gue ngundang Lo? Memangnya Lo mau ngasih kado pernikahan buat gue?” ketus Rangga. “He-he-he. Nggak, sih! Duit dari mana? Gue saja baru kalah judi!” celetuk Ujang. “Makanya, jangan banyak bacot, Lo!” sergah Rangga. Sementara itu, di dalam rumah yang sempit dan sederhana, Ratih kembali masuk ke dapur. Dia menyalakan kompor dan mulai menanak nasi. Tangan-tangannya yang lentik dengan cekatan mengikuti panduan memasak dari internet di layar ponselnya. Setiap langkah diikuti dengan cermat, bagaimana cara mencuci beras, menumis sayuran, dan menggoreng tempe hingga matang. Saat nasi dan lauk sederhana itu selesai dimasak, Ratih duduk sendirian di meja makan. Tidak ada Rangga yang menemaninya pagi itu. Sepiring nasi, sayur, dan tempe terhidang di hadapannya, tapi tak ada keinginan untuk makan. Pikirannya melayang jauh ke masa lalu, mengingat kehidupannya dulu sebelum menikah dengan Rangga. Ratih berasal dari keluarga berada. Rumah orang tuanya luas dan megah, setiap sudutnya dihiasi dengan perabotan mahal. Jika menginginkan sesuatu, Ratih tidak pernah perlu menunggu. Namun, semua itu ditinggalkannya ketika dia memilih untuk menikah dengan Rangga, seorang pria sederhana yang penuh pesona pada awalnya. "Kenapa hidupku jadi seperti ini?" gumam Ratih pelan, matanya mulai memanas. Perempuan itu tidak pernah menyangka jika pernikahannya dengan Rangga akan membawanya ke dalam kehidupan yang serba kekurangan. Rumah petakan kecil ini terasa seperti penjara baginya, sempit dan tidak nyaman. Dia ingin Rangga lebih memperhatikan dirinya, lebih peduli, tapi yang ada hanyalah kebisuan dan jarak yang semakin lama semakin jauh di antara mereka. Sambil menghela napas, Ratih mengambil sejumput nasi dengan tempe, memasukkannya ke mulutnya. Rasanya hambar, sama seperti perasaannya saat ini. Tanpa Rangga di sampingnya, segala sesuatu terasa sepi dan hampa. Ratih mendadak teringat pada masa-masa di rumah orang tuanya, di mana sarapan selalu disajikan oleh pembantu rumah tangga, dan dia tidak pernah perlu memikirkan soal masak atau belanja. Kini, semua berubah. Kehidupannya berbanding terbalik dengan apa yang dulu dirinya alami. Perlahan-lahan, air mata mulai mengalir di pipi Ratih. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyanya pada diri sendiri. Tapi tidak ada jawaban, hanya suara kesunyian yang menjawab keheningan di rumah petak itu.Hujan gerimis turun pelan membasahi Kota Bandung sore itu. Awan kelabu menggantung rendah seakan menyampaikan kabar duka. Di sebuah sudut kota yang tenang, berdiri sebuah toko bunga bernama “Ratih’s Bloom” berdampingan dengan “Sweetheart Bakery.” Kedua usaha itu milik Ratih, perempuan yang kini menjalani hidupnya dengan tenang dan penuh kemandirian.Ratih mengenakan apron putih dengan noda tepung di sana-sini. Rambut hitamnya diikat tinggi, dan wajahnya yang dulu ceria kini tampak lebih tegar namun dingin. Dia sedang menyusun kue tart untuk pesanan pelanggan ketika suara lonceng pintu berbunyi.“Selamat sore. Ratih?” suara seorang pria menyapa pelan.Ratih menoleh. Seorang pria paruh baya berdiri di sana, mengenakan jas hujan dan memegang sebuah amplop. Wajahnya tampak penuh beban.“Iya, saya Ratih. Ada yang bisa saya bantu?”“Saya, teman lama Rangga. Nama saya Adrian,” katanya sambil menatap Ratih dengan ragu. “Saya datang karena, ada sesuatu yang perlu kamu tahu.”Ratih mendadak te
Sore hari di desa kecil di perbatasan JambiTruk berhenti di jalan setapak berdebu. Rangga mengetuk dinding kabin truk."Sampai sini saja, Pak. Terima kasih banyak."Sopir mengangguk. "Hati-hati ya, jalan ke desa kecil itu sepi. Banyak yang bilang masih ada harimau juga."Rangga dan Leman turun dari truk. Setelah memastikan tak ada polisi yang mengikuti mereka, keduanya mulai menyusuri jalan setapak ke arah perbukitan, menuju sebuah rumah tua berpagar kayu."Itu rumahnya?" tanya Leman setengah terengah."Iya. Aku ingat dari cerita Ayah. Pak Idris tinggal sendiri setelah istrinya meninggal. Tapi dia orang baik, dulu sering bantu Ayah saat masa-masa sulit."Mereka mengetuk pintu. Setelah beberapa saat, seorang lelaki tua membuka pintu. Matanya tajam namun sorotnya lembut."Rangga? Anak Wira?"Rangga mengangguk. "Saya butuh bantuan, Pak. Kami dikejar polisi. Tapi bukan seperti yang mereka pikirkan. Kami difitnah." Ternyata Rangga berbohong padahal dia seorang napi kasus pembunuhan.Pak
Sore hari di posko pencarian wilayah Barat Bengkulu,Salah satu anjing pelacak mendadak menggonggong keras saat mendekati pondok tua di tengah hutan."Pak, anjing pelacak temukan sesuatu!" teriak petugas.Kapten Damar segera mendekat. Dia melihat potongan kain di paku."Ambil dan bawa ke laboratorium. Tes DNA-nya. Tapi yang lebih penting, keduanya memang ada di sini. Kita hampir dapatkan mereka."Seorang teknisi datang dengan tablet."Kami juga dapat rekaman drone yang menunjukkan dua sosok melintasi sungai kecil di hutan barat. Gambar nggak jelas, tapi gerakannya konsisten dengan dua orang.""Kita kejar arah sungai itu. Kirim tim darat, siapkan speedboat di hilir. Kita kepung mereka dari darat dan air. Kali ini keduanya nggak akan bisa lolos."Sore hari di Sungai RawasRangga dan Leman menyusuri sungai dengan rakit sederhana dari batang pisang dan papan tua."Gue nggak yakin ini cukup kuat bawa kita berdua.""Kita nggak punya pilihan lain. Perahu motor pasti diawasi. Jalur ini lebih
Langit masih gelap saat Rangga terbangun dari tidurnya. Angin pantai yang menusuk tulang membuatnya menggigil, meski selimut tipis yang diberikan nelayan tua semalam masih menyelimuti tubuhnya. Dia duduk perlahan, memandangi Leman yang masih terlelap di sudut pondok."Sudah saatnya kita bergerak," bisiknya.Rangga keluar dan melihat nelayan tua, Pak Rawi, sedang duduk di batu besar dekat dermaga kecil, merokok sambil menatap laut."Pagi, Pak," sapa Rangga.Pak Rawi melirik sekilas. "Kalian harus pergi sebelum matahari naik. Saya sudah terlalu tua untuk urusan kejar-kejaran dengan polisi."Rangga mengangguk. "Kami akan pergi. Terima kasih untuk pondok dan makanan.""Bagi saya kalian bukan orang jahat, tapi kalian sedang dikejar. Itu membuat kalian bahaya bagi siapa pun yang dekat."Rangga diam. "Kami hanya ingin hidup bebas.""Kebebasan itu mahal, Nak," gumam Pak Rawi. "Kadang terlalu mahal."Pagi hari di Markas Kepolisian Wilayah SelatanKapten Damar menatap layar komputer besar de
Angin pagi menyapu wajah Rangga dan Leman saat mereka melangkah menyusuri jalan setapak di antara ladang tebu dan semak belukar. Sepatu mereka basah oleh embun, dan setiap suara burung atau ranting patah membuat keduanya menoleh waspada.Leman memegangi bahunya yang makin nyeri. Luka lama yang belum sembuh kini kembali terasa, membuatnya terhuyung.“Lo kuat, Man?” tanya Rangga sambil memegangi bahu sahabatnya itu.“Gue kuat,” jawab Leman lirih. “Gue cuma pengin kita beneran bebas.”Rangga menatap ke arah selatan. “Menurut info Ferry, pelabuhan kecil di Desa Pandanarang punya nelayan yang biasa ke sebuah pulau buat dagang. Kalo kita bisa naik kapal mereka, kita bisa kabur tanpa dicurigai.”Leman menarik napas panjang. “Kita jadi orang pulau, ya?”Rangga tersenyum tipis. “Atau apa pun yang penting kita hidup bebas.”Pagi hari di Pos polisi sektor Cilacap,Kapten Damar menatap layar laptop dengan tatapan tajam. Foto-foto buronan Rangga dan Leman sudah tersebar ke semua sektor. Karyo s
Mereka langsung menendang bara api dan tiarap di lantai. Motor mendekat, lalu berhenti. Suara laki-laki terdengar.“Menurut laporan, jejak kaki mereka sampai ke arah sini. Periksa rumah itu!”Langkah kaki menghantam tanah keras. Dua bayangan masuk ke halaman rumah.“Siap-siap,” bisik Rangga, mengambil batu besar di dekatnya.Langkah sepatu berat memasuki teras rumah.“Gue ke dalam. Lo awasi luar,” ujar suara laki-laki itu.Rangga menunggu, satu, dua, tiga detik.Begitu pria itu masuk ke kamar, Rangga langsung menyerang. Bruk!Batu menghantam kepala sipir itu dan tubuhnya roboh.“Ambil pistolnya!” teriak Rangga.Leman mengambil pistol di pinggang pria itu dan langsung mengarahkannya ke jendela.“Yang di luar, angkat tangan Lo atau gue tembak!”Tapi suara tembakan datang lebih dulu dari luar. Kaca jendela pecah dan Leman menjerit.“Arrgh! Gue kena di bahu!”Rangga menarik tubuh Leman ke belakang dan berteriak, “Kita kabur lewat belakang!”Karyo memapah Leman yang berdarah, sementara Ra