Home / Rumah Tangga / TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI / BAB. 3 Rangga Mulai Berubah

Share

BAB. 3 Rangga Mulai Berubah

last update Last Updated: 2025-05-13 07:18:34

Pagi pun tiba juga,

Pagi itu terasa begitu asing bagi Ratih. Matahari sudah mulai menembus jendela kecil di sudut kamar, membuat ruangan yang sempit dan minim cahaya itu sedikit lebih terang.

Ratih sudah terbangun dari tadi, perempuan itu lalu duduk di pinggir kasur kecil yang berdecit setiap kali dia bergerak. Tangannya memegang selimut tipis yang sudah lusuh, sementara pandangannya menyapu ruangan yang begitu jauh dari kata mewah, sesuatu yang tak pernah dirinya bayangkan akan jadi tempat tinggalnya.

Ruangan itu sangat sederhana. Hanya ada kasur kecil, lemari tua yang pintunya miring, serta meja kecil di samping tempat tidur. Ratih, yang terbiasa dengan kehidupan serba ada dan mewah, masih sulit percaya bahwa kini dia tinggal di rumah petakan bersama suaminya, Rangga.

Dulunya, Ratih adalah putri kesayangan dalam keluarga kaya raya. Perempuan itu terbiasa dengan kemewahan dan dilayani banyak pembantu. Namun, keadaan berubah drastis setelah dia memutuskan menikahi Rangga, mantan sopir pribadi ayahnya.

Matanya tertuju pada Rangga yang masih tertidur pulas di sampingnya. Wajah suaminya terlihat begitu damai, napasnya berat, diselingi dengkuran yang mulai mengganggu telinga Ratih. Dia mengerutkan kening, sedikit kecewa. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan pagi, namun Rangga masih terlelap, tak peduli dengan waktu.

"Dulu, dia sangat rajin," pikir Ratih. Saat masih menjadi sopir keluarganya, Rangga selalu bangun pagi dan selalu siap untuk bekerja. Tapi sekarang, setelah mereka menikah, suaminya itu tampak berubah, malas dan tak peduli.

Dengan perut yang mulai keroncongan, Ratih merasa tak punya pilihan lain. Dia memutuskan untuk membangunkan Rangga.

“Mas, bangun, sudah jam delapan pagi,” ucap Ratih, mulai menepuk-nepuk pelan bahu suaminya.

Rangga mengerang pelan, menggeliat, tapi tetap tak membuka matanya. Suara dengkurannya bahkan terdengar lebih keras, membuat Ratih menghela napas panjang. Namun dia tidak menyerah begitu saja.

"Mas, aku lapar. Bangun, dong. Ayo kita cari makan," ucapnya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih tegas sambil menggoyang-goyangkan tubuh tubuh suaminya.

Rangga menggerakkan tangannya, mencoba menyingkirkan tangan Ratih yang mengguncangnya.

“Nanti saja, Ratih. Ini masih pagi,” gumamnya dengan mata tertutup.

Ratih menggigit bibirnya, menahan kesal.

“Mas, ini sudah jam delapan. Aku nggak tahu mau makan apa di sini. Ayo bangun, kita belanja, atau makan di luar.”

Rangga akhirnya membuka sedikit matanya, tetapi alih-alih bangun, pria itu malah membalikkan tubuhnya, membelakangi Ratih.

“Di ujung gang ada warung Mbak Minah. Kamu bisa belanja di sana,” katanya malas, sebelum menarik selimutnya lebih rapat dan menutup matanya lagi.

Ratih memandangi punggung suaminya dengan bingung dan sedikit marah. Seumur hidupnya, dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya pergi ke warung sendiri, apalagi di lingkungan yang masih asing baginya. Semua keperluan biasanya diurus oleh para pembantunya. Kini, Ratih harus belajar melakukan semuanya sendiri, di tempat yang bahkan tak pernah dirinya bayangkan akan jadi rumahnya.

"Mas, aku nggak tahu di mana warungnya. Ayo temani aku belanja," pinta Ratih sekali lagi. Dia mulai merasa tak berdaya.

Rangga hanya mendesah panjang, tidak berniat bergerak dari tempat tidur.

"Di ujung gang, kok, dekat. Kamu tinggal jalan lurus saja, nanti juga ketemu. Kamu jangan manja Ratih! Sekarang kamu harus belajar mandiri sebagai seorang istri yang mengurus suaminya," jawabnya tanpa membuka mata.

“Mas! Aku bukannya manja!” Ratih mulai kehilangan kesabarannya.

“Aku nggak tahu daerah sini. Ayo temani aku, dong!”

Namun Rangga tidak menggubris. Lelaki itu malah mengeluarkan suara dengkuran kecil lagi, kembali terlelap seolah tak ada masalah apa-apa. Ratih mendesah, merasa tersinggung dan kecewa.

“Apakah ini hidup yang dipilih oleh Ratih? Apakah ini yang akan dihadapi olehnya setiap hari?”

Ratih pun lalu bangkit dari kasur, berdiri di tengah ruangan yang terasa semakin sempit. Pandangannya tertuju pada pakaian-pakaian mereka yang tergantung di balik pintu, pakaian sederhana yang kontras dengan gaun-gaun mahal yang dulu selalu dirinya kenakan. Sambil menahan perasaan kesal dan lapar yang makin menjadi-jadi, dia mencoba mengingat-ingat bagaimana kehidupannya dulu. Makan pagi sudah pasti tersedia di meja makan mewah keluarganya, siap disantap kapanpun Ratih mau. Kini, dia malah harus belajar mandiri, sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya.

Setelah berdiri beberapa saat, Ratih akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran suaminya. Dengan perasaan yang bercampur aduk, dia melangkah keluar dari kamar, melewati ruang tamu yang tak lebih dari sebuah ruangan kecil dengan satu kursi reyot dan meja usang. Ratih lalu membuka pintu depan, dan angin pagi yang sejuk langsung menyambutnya.

Gang sempit di depan rumahnya masih sepi. Hanya ada beberapa anak kecil yang bermain jauh di ujung gang, dan seorang ibu-ibu yang tampaknya sedang menyapu halaman rumahnya. Ratih merasa asing di lingkungan ini. Dia menatap sekitar, mencoba mencari tanda-tanda di mana warung Mbak Minah yang disebutkan Rangga.

Dengan langkah ragu, Ratih mulai berjalan menyusuri gang. Setiap langkah terasa berat baginya. Dia merasa seperti orang asing di dunianya sendiri, terlempar dari kenyamanan hidup yang selama ini dirinya kenal.

Akhirnya, setelah berjalan beberapa menit, Ratih melihat sebuah warung kecil di ujung gang, persis seperti yang dikatakan Rangga. Warung itu sederhana, dengan rak kayu yang dipenuhi barang-barang kebutuhan sehari-hari. Seorang wanita berkerudung tampak sedang mengatur beberapa bungkus mie instan di atas rak.

"Permisi," sapa Ratih pelan, mencoba tersenyum walau hatinya masih berat.

Wanita itu, yang pasti adalah Mbak Minah, menoleh dan tersenyum ramah.

“Iya, Mbak. Mau belanja apa?”

Ratih menatap rak-rak yang penuh barang-barang sederhana itu. Dia bahkan tak tahu harus mulai dari mana. "Saya ... saya baru pindah ke sini. Suami saya bilang saya bisa belanja di sini."

"Oh, suaminya Mas Rangga, ya? Wah, selamat datang, Mbak. Di sini warungnya lengkap kok, bisa beli sayur, bumbu dapur, dan lain-lain. Ada yang mau dibantu?"

Ratih tersenyum kaku.

"Saya belum pernah belanja sendiri. Bisa bantu pilihkan apa yang perlu?"

Mbak Minah tertawa kecil. “He-he-he. Wah, jangan khawatir, Mbak. Saya bantu pilihkan, ya. Kita mulai dari sayur dulu.”

Setelah beberapa saat, Ratih pulang ke rumah membawa kantong plastik berisi sayuran dan bumbu dapur. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, dia merasa lega bisa berbelanja sendiri untuk pertama kalinya, tapi disisi lain, perempuan itu tak tahu bagaimana caranya memasak semua itu.

Sesampainya di rumah, Rangga masih saja tertidur. Ratih duduk di kursi ruang yang ada di dalam kamar, menatap suaminya yang masih saja terlelap. Hatinya bertanya-tanya, apakah ini kehidupan yang benar-benar diinginkan olehnya.

Lalu Ratih pun bergumam pelan,

“Kenapa Mas Rangga menjadi berubah begini? Ada apa sebenarnya yang terjadi kepadanya?” tanya Ratih dalam hatinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 17 Berkunjung Ke Rumah Orang Tua Ratih

    Pada Sabtu pagi, matahari bersinar cerah ketika Rangga dan Ratih bersiap untuk kunjungan penting yang selama ini telah lama mereka tunda. Rangga mengenakan jas rapi dengan rambut tersisir rapi, sementara Ratih memilih mengenakan kebaya sederhana berwarna pastel. Ini adalah kunjungan pertama mereka ke rumah orang tua Ratih setelah pernikahan mereka, karena hubungan yang tak direstui oleh Tuan Cahyono dan Nyonya Menur sejak awal. Rangga dulunya adalah sopir pribadi ayah Ratih, dan keputusan Ratih menikah dengannya membuat ayahnya marah besar.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, Rangga mengemudikan sedan mewahnya memasuki pekarangan rumah orang tua Ratih. Mobil tersebut menjadi simbol pencapaiannya dan cara sang pria yang ingin menunjukkan bahwa dia telah berhasil. Setibanya di sana, Ratih tampak gugup, jemarinya tanpa sadar meremas-remas tas kecil di pangkuannya.“Kamu yakin ini ide yang bagus, Mas?” tanya Ratih pelan, suaranya terdengar ragu.Rangga mengangguk mantap. “Iya, Rati

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 16 Rangga Terus Bersandiwara

    Hari demi hari berlalu, rumah tangga Ratih dan Rangga semakin dingin. Seperti biasa, pagi itu Ratih bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Dia mengaduk kopi hangat dan menggoreng telur dadar untuk suaminya yang masih tertidur lelap di kamar. Lalu Ratih pun masuk ke dalam kamar sejenak, dia memandang wajah Rangga yang tertidur dengan ekspresi lelah, meskipun sedikit mengernyit. Begitu alarm berbunyi, Rangga terbangun dan langsung bangkit tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada istrinya kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai mandi, Ratih mencoba tersenyum dan mulai menyapa suaminya. Saat ini mereka berada di ruang makan. "Mas, sarapan untukmu sudah siap. Makan dulu, ya." Rangga hanya melirik sekilas, lalu menguap sambil merapikan kemeja kerjanya. "Nggak usah repot-repot, Ratih. Aku cuma punya waktu sebentar sebelum pergi," katanya sambil meraih kopinya. "Mas, kapan kita ada waktu untuk ngobrol lagi? Rasanya sudah lama kita nggak duduk bareng." Rat

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 15 Rumah Baru Untuk Ratih

    Pada suatu pagi,Ratih berdiri di depan rumah kontrakan mereka sambil menunggu suaminya, Rangga. Matahari baru saja naik, akan tetapi hatinya sudah terasa panas karena kecewa. Hampir setiap kali mereka bicara soal anak, Rangga selalu menghindar atau mengalihkan pembicaraan, membuatnya merasa diabaikan. Padahal, Ratih sangat mendambakan kehadiran seorang anak dalam pernikahan mereka yang sudah berjalan cukup lama.Tak berapa lama kemudian, Rangga tiba dengan mobil sedan barunya, mengkilap dan terlihat mewah. Ratih terkejut, dan tak percaya suaminya bisa membeli mobil seperti itu.“Pagi Ratih, ini mobil baru kita,” seru Rangga sambil tersenyum."Mas Rangga, kok bisa beli mobil baru? Ini uang dari mana?" tanya Ratih sambil memandang heran kepada suaminya.Rangga tersenyum tipis, memasang ekspresi santai. "Ada rezeki lebih. Aku pikir, kenapa nggak sekalian aku beli mobil saja? Lagian, sepertinya kita butuh kendaraan yang lebih nyaman. Ayo masuklah, aku akan membawamu ke suatu tempat," tut

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 14 Kebohongan Rangga

    Matahari sore mulai merangkak turun ketika Rangga menghidupkan motornya di depan rumah kontrakan kecil mereka. Mesin motor meraung-raung pelan, menandakan kecepatan sedang yang dipilih olehnya. Jalan-jalan kecil itu yang dipenuhi anak-anak berlarian tak lagi asing baginya. Sudah lebih dari beberapa Rangga tinggal di sini bersama istrinya, Ratih. Tapi belakangan, Ratih sering menghabiskan waktunya sendiri di rumah, sementara Rangga semakin sibuk dengan aktivitas barunya. Pria itu sedang menuju ke sebuah tujuan yang tak sepatutnya dibanggakan olehnya.Setelah beberapa kilometer, Rangga berhenti di depan sebuah warung kecil yang menjadi tempat mangkalnya bersama Ujang, teman lamanya. Ujang sedang duduk-duduk santai sambil merokok, wajahnya terlihat sangat santai seolah-olah tidak ada masalah di dunia ini."Bro, akhirnya Lo nyampe juga! Hampir karatan gue nungguin Lo, tahu!" tutur Ujang, sambil mematikan rokoknya."Sorry, Bro. Tadi jalanan sedikit macet. Yuk, Lo buruan naik!" Rangga menj

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 13 Digosipkan Para Tetangga

    Pagi itu, setelah Rangga suaminya berangkat bekerja, Ratih mulai kembali ke rutinitas sehari-harinya, membersihkan rumah kontrakan sederhana yang mereka tinggali. Langit masih cerah, dan suara burung-burung berkicau dari pepohonan di sekitar rumah menemani aktivitasnya. Ratih lalu berjalan menuju dapur, mengambil sapu dan kain lap, dan mulai membersihkan bagian dalam rumah. Perlahan, dia pun menyapu setiap sudut dapur, mengelap meja, dan merapikan peralatan yang tertinggal.Setelah selesai dengan dapur, Ratih beranjak menuju ke dalam kamar. Kamar yang sempit dan sederhana itu selalu dijaga rapi oleh Ratih. Baginya, meskipun rumah mereka kecil, kebersihan adalah segalanya. "Kalau rumah selalu bersih, rasanya nyaman sekali," pikirnya sambil tersenyum kecil.Perempuan itu mulai merapikan selimut dan bantal di atas kasur, memastikan tidak ada debu yang menempel di sudut-sudut kamar. Setelah puas dengan hasilnya, Ratih pun melangkah menuju ruang tamu. Dia melanjutkan pekerjaan rumahnya d

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 12 Sikap Dingin Rangga

    Pagi mulai menyapa Kota Jakarta, tak terkecuali di pinggiran kota metropolitan itu, di mana rumah-rumah berdiri berjajar, kebanyakan reot dan dapat dikategorikan sebagai bangunan tua. Salah satu rumah itu milik pasangan muda, Ratih dan Rangga. Mereka mengontrak rumah di sana sejak keduanya resmi menikah. Matahari baru saja muncul dari balik cakrawala, menandakan hari baru yang sejuk dan penuh harapan, namun di rumah mereka, ada sesuatu yang tersembunyi di balik kehangatan pagi.Jam dinding berdentang pelan, menunjukkan pukul enam pagi. Ratih terbangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya masih terasa lelah, akan tetapi pikirannya tak bisa tenang. Dia melirik Rangga, suaminya yang masih tertidur lelap di sebelahnya, wajah suaminya itu tampak damai, seolah-olah tak terbebani oleh apapun. Ratih menarik napas panjang dan perlahan bangkit dari tempat tidur. Dengan hati-hati, dia melangkah keluar dari kamar, tak ingin membangunkan Rangga.Kakinya melangkah menuju dapur rumah mereka yang sede

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status