Pagi pun tiba juga,
Pagi itu terasa begitu asing bagi Ratih. Matahari sudah mulai menembus jendela kecil di sudut kamar, membuat ruangan yang sempit dan minim cahaya itu sedikit lebih terang. Ratih sudah terbangun dari tadi, perempuan itu lalu duduk di pinggir kasur kecil yang berdecit setiap kali dia bergerak. Tangannya memegang selimut tipis yang sudah lusuh, sementara pandangannya menyapu ruangan yang begitu jauh dari kata mewah, sesuatu yang tak pernah dirinya bayangkan akan jadi tempat tinggalnya. Ruangan itu sangat sederhana. Hanya ada kasur kecil, lemari tua yang pintunya miring, serta meja kecil di samping tempat tidur. Ratih, yang terbiasa dengan kehidupan serba ada dan mewah, masih sulit percaya bahwa kini dia tinggal di rumah petakan bersama suaminya, Rangga. Dulunya, Ratih adalah putri kesayangan dalam keluarga kaya raya. Perempuan itu terbiasa dengan kemewahan dan dilayani banyak pembantu. Namun, keadaan berubah drastis setelah dia memutuskan menikahi Rangga, mantan sopir pribadi ayahnya. Matanya tertuju pada Rangga yang masih tertidur pulas di sampingnya. Wajah suaminya terlihat begitu damai, napasnya berat, diselingi dengkuran yang mulai mengganggu telinga Ratih. Dia mengerutkan kening, sedikit kecewa. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan pagi, namun Rangga masih terlelap, tak peduli dengan waktu. "Dulu, dia sangat rajin," pikir Ratih. Saat masih menjadi sopir keluarganya, Rangga selalu bangun pagi dan selalu siap untuk bekerja. Tapi sekarang, setelah mereka menikah, suaminya itu tampak berubah, malas dan tak peduli. Dengan perut yang mulai keroncongan, Ratih merasa tak punya pilihan lain. Dia memutuskan untuk membangunkan Rangga. “Mas, bangun, sudah jam delapan pagi,” ucap Ratih, mulai menepuk-nepuk pelan bahu suaminya. Rangga mengerang pelan, menggeliat, tapi tetap tak membuka matanya. Suara dengkurannya bahkan terdengar lebih keras, membuat Ratih menghela napas panjang. Namun dia tidak menyerah begitu saja. "Mas, aku lapar. Bangun, dong. Ayo kita cari makan," ucapnya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih tegas sambil menggoyang-goyangkan tubuh tubuh suaminya. Rangga menggerakkan tangannya, mencoba menyingkirkan tangan Ratih yang mengguncangnya. “Nanti saja, Ratih. Ini masih pagi,” gumamnya dengan mata tertutup. Ratih menggigit bibirnya, menahan kesal. “Mas, ini sudah jam delapan. Aku nggak tahu mau makan apa di sini. Ayo bangun, kita belanja, atau makan di luar.” Rangga akhirnya membuka sedikit matanya, tetapi alih-alih bangun, pria itu malah membalikkan tubuhnya, membelakangi Ratih. “Di ujung gang ada warung Mbak Minah. Kamu bisa belanja di sana,” katanya malas, sebelum menarik selimutnya lebih rapat dan menutup matanya lagi. Ratih memandangi punggung suaminya dengan bingung dan sedikit marah. Seumur hidupnya, dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya pergi ke warung sendiri, apalagi di lingkungan yang masih asing baginya. Semua keperluan biasanya diurus oleh para pembantunya. Kini, Ratih harus belajar melakukan semuanya sendiri, di tempat yang bahkan tak pernah dirinya bayangkan akan jadi rumahnya. "Mas, aku nggak tahu di mana warungnya. Ayo temani aku belanja," pinta Ratih sekali lagi. Dia mulai merasa tak berdaya. Rangga hanya mendesah panjang, tidak berniat bergerak dari tempat tidur. "Di ujung gang, kok, dekat. Kamu tinggal jalan lurus saja, nanti juga ketemu. Kamu jangan manja Ratih! Sekarang kamu harus belajar mandiri sebagai seorang istri yang mengurus suaminya," jawabnya tanpa membuka mata. “Mas! Aku bukannya manja!” Ratih mulai kehilangan kesabarannya. “Aku nggak tahu daerah sini. Ayo temani aku, dong!” Namun Rangga tidak menggubris. Lelaki itu malah mengeluarkan suara dengkuran kecil lagi, kembali terlelap seolah tak ada masalah apa-apa. Ratih mendesah, merasa tersinggung dan kecewa. “Apakah ini hidup yang dipilih oleh Ratih? Apakah ini yang akan dihadapi olehnya setiap hari?” Ratih pun lalu bangkit dari kasur, berdiri di tengah ruangan yang terasa semakin sempit. Pandangannya tertuju pada pakaian-pakaian mereka yang tergantung di balik pintu, pakaian sederhana yang kontras dengan gaun-gaun mahal yang dulu selalu dirinya kenakan. Sambil menahan perasaan kesal dan lapar yang makin menjadi-jadi, dia mencoba mengingat-ingat bagaimana kehidupannya dulu. Makan pagi sudah pasti tersedia di meja makan mewah keluarganya, siap disantap kapanpun Ratih mau. Kini, dia malah harus belajar mandiri, sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Setelah berdiri beberapa saat, Ratih akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran suaminya. Dengan perasaan yang bercampur aduk, dia melangkah keluar dari kamar, melewati ruang tamu yang tak lebih dari sebuah ruangan kecil dengan satu kursi reyot dan meja usang. Ratih lalu membuka pintu depan, dan angin pagi yang sejuk langsung menyambutnya. Gang sempit di depan rumahnya masih sepi. Hanya ada beberapa anak kecil yang bermain jauh di ujung gang, dan seorang ibu-ibu yang tampaknya sedang menyapu halaman rumahnya. Ratih merasa asing di lingkungan ini. Dia menatap sekitar, mencoba mencari tanda-tanda di mana warung Mbak Minah yang disebutkan Rangga. Dengan langkah ragu, Ratih mulai berjalan menyusuri gang. Setiap langkah terasa berat baginya. Dia merasa seperti orang asing di dunianya sendiri, terlempar dari kenyamanan hidup yang selama ini dirinya kenal. Akhirnya, setelah berjalan beberapa menit, Ratih melihat sebuah warung kecil di ujung gang, persis seperti yang dikatakan Rangga. Warung itu sederhana, dengan rak kayu yang dipenuhi barang-barang kebutuhan sehari-hari. Seorang wanita berkerudung tampak sedang mengatur beberapa bungkus mie instan di atas rak. "Permisi," sapa Ratih pelan, mencoba tersenyum walau hatinya masih berat. Wanita itu, yang pasti adalah Mbak Minah, menoleh dan tersenyum ramah. “Iya, Mbak. Mau belanja apa?” Ratih menatap rak-rak yang penuh barang-barang sederhana itu. Dia bahkan tak tahu harus mulai dari mana. "Saya ... saya baru pindah ke sini. Suami saya bilang saya bisa belanja di sini." "Oh, suaminya Mas Rangga, ya? Wah, selamat datang, Mbak. Di sini warungnya lengkap kok, bisa beli sayur, bumbu dapur, dan lain-lain. Ada yang mau dibantu?" Ratih tersenyum kaku. "Saya belum pernah belanja sendiri. Bisa bantu pilihkan apa yang perlu?" Mbak Minah tertawa kecil. “He-he-he. Wah, jangan khawatir, Mbak. Saya bantu pilihkan, ya. Kita mulai dari sayur dulu.” Setelah beberapa saat, Ratih pulang ke rumah membawa kantong plastik berisi sayuran dan bumbu dapur. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, dia merasa lega bisa berbelanja sendiri untuk pertama kalinya, tapi disisi lain, perempuan itu tak tahu bagaimana caranya memasak semua itu. Sesampainya di rumah, Rangga masih saja tertidur. Ratih duduk di kursi ruang yang ada di dalam kamar, menatap suaminya yang masih saja terlelap. Hatinya bertanya-tanya, apakah ini kehidupan yang benar-benar diinginkan olehnya. Lalu Ratih pun bergumam pelan, “Kenapa Mas Rangga menjadi berubah begini? Ada apa sebenarnya yang terjadi kepadanya?” tanya Ratih dalam hatinya.Hujan gerimis turun pelan membasahi Kota Bandung sore itu. Awan kelabu menggantung rendah seakan menyampaikan kabar duka. Di sebuah sudut kota yang tenang, berdiri sebuah toko bunga bernama “Ratih’s Bloom” berdampingan dengan “Sweetheart Bakery.” Kedua usaha itu milik Ratih, perempuan yang kini menjalani hidupnya dengan tenang dan penuh kemandirian.Ratih mengenakan apron putih dengan noda tepung di sana-sini. Rambut hitamnya diikat tinggi, dan wajahnya yang dulu ceria kini tampak lebih tegar namun dingin. Dia sedang menyusun kue tart untuk pesanan pelanggan ketika suara lonceng pintu berbunyi.“Selamat sore. Ratih?” suara seorang pria menyapa pelan.Ratih menoleh. Seorang pria paruh baya berdiri di sana, mengenakan jas hujan dan memegang sebuah amplop. Wajahnya tampak penuh beban.“Iya, saya Ratih. Ada yang bisa saya bantu?”“Saya, teman lama Rangga. Nama saya Adrian,” katanya sambil menatap Ratih dengan ragu. “Saya datang karena, ada sesuatu yang perlu kamu tahu.”Ratih mendadak te
Sore hari di desa kecil di perbatasan JambiTruk berhenti di jalan setapak berdebu. Rangga mengetuk dinding kabin truk."Sampai sini saja, Pak. Terima kasih banyak."Sopir mengangguk. "Hati-hati ya, jalan ke desa kecil itu sepi. Banyak yang bilang masih ada harimau juga."Rangga dan Leman turun dari truk. Setelah memastikan tak ada polisi yang mengikuti mereka, keduanya mulai menyusuri jalan setapak ke arah perbukitan, menuju sebuah rumah tua berpagar kayu."Itu rumahnya?" tanya Leman setengah terengah."Iya. Aku ingat dari cerita Ayah. Pak Idris tinggal sendiri setelah istrinya meninggal. Tapi dia orang baik, dulu sering bantu Ayah saat masa-masa sulit."Mereka mengetuk pintu. Setelah beberapa saat, seorang lelaki tua membuka pintu. Matanya tajam namun sorotnya lembut."Rangga? Anak Wira?"Rangga mengangguk. "Saya butuh bantuan, Pak. Kami dikejar polisi. Tapi bukan seperti yang mereka pikirkan. Kami difitnah." Ternyata Rangga berbohong padahal dia seorang napi kasus pembunuhan.Pak
Sore hari di posko pencarian wilayah Barat Bengkulu,Salah satu anjing pelacak mendadak menggonggong keras saat mendekati pondok tua di tengah hutan."Pak, anjing pelacak temukan sesuatu!" teriak petugas.Kapten Damar segera mendekat. Dia melihat potongan kain di paku."Ambil dan bawa ke laboratorium. Tes DNA-nya. Tapi yang lebih penting, keduanya memang ada di sini. Kita hampir dapatkan mereka."Seorang teknisi datang dengan tablet."Kami juga dapat rekaman drone yang menunjukkan dua sosok melintasi sungai kecil di hutan barat. Gambar nggak jelas, tapi gerakannya konsisten dengan dua orang.""Kita kejar arah sungai itu. Kirim tim darat, siapkan speedboat di hilir. Kita kepung mereka dari darat dan air. Kali ini keduanya nggak akan bisa lolos."Sore hari di Sungai RawasRangga dan Leman menyusuri sungai dengan rakit sederhana dari batang pisang dan papan tua."Gue nggak yakin ini cukup kuat bawa kita berdua.""Kita nggak punya pilihan lain. Perahu motor pasti diawasi. Jalur ini lebih
Langit masih gelap saat Rangga terbangun dari tidurnya. Angin pantai yang menusuk tulang membuatnya menggigil, meski selimut tipis yang diberikan nelayan tua semalam masih menyelimuti tubuhnya. Dia duduk perlahan, memandangi Leman yang masih terlelap di sudut pondok."Sudah saatnya kita bergerak," bisiknya.Rangga keluar dan melihat nelayan tua, Pak Rawi, sedang duduk di batu besar dekat dermaga kecil, merokok sambil menatap laut."Pagi, Pak," sapa Rangga.Pak Rawi melirik sekilas. "Kalian harus pergi sebelum matahari naik. Saya sudah terlalu tua untuk urusan kejar-kejaran dengan polisi."Rangga mengangguk. "Kami akan pergi. Terima kasih untuk pondok dan makanan.""Bagi saya kalian bukan orang jahat, tapi kalian sedang dikejar. Itu membuat kalian bahaya bagi siapa pun yang dekat."Rangga diam. "Kami hanya ingin hidup bebas.""Kebebasan itu mahal, Nak," gumam Pak Rawi. "Kadang terlalu mahal."Pagi hari di Markas Kepolisian Wilayah SelatanKapten Damar menatap layar komputer besar de
Angin pagi menyapu wajah Rangga dan Leman saat mereka melangkah menyusuri jalan setapak di antara ladang tebu dan semak belukar. Sepatu mereka basah oleh embun, dan setiap suara burung atau ranting patah membuat keduanya menoleh waspada.Leman memegangi bahunya yang makin nyeri. Luka lama yang belum sembuh kini kembali terasa, membuatnya terhuyung.“Lo kuat, Man?” tanya Rangga sambil memegangi bahu sahabatnya itu.“Gue kuat,” jawab Leman lirih. “Gue cuma pengin kita beneran bebas.”Rangga menatap ke arah selatan. “Menurut info Ferry, pelabuhan kecil di Desa Pandanarang punya nelayan yang biasa ke sebuah pulau buat dagang. Kalo kita bisa naik kapal mereka, kita bisa kabur tanpa dicurigai.”Leman menarik napas panjang. “Kita jadi orang pulau, ya?”Rangga tersenyum tipis. “Atau apa pun yang penting kita hidup bebas.”Pagi hari di Pos polisi sektor Cilacap,Kapten Damar menatap layar laptop dengan tatapan tajam. Foto-foto buronan Rangga dan Leman sudah tersebar ke semua sektor. Karyo s
Mereka langsung menendang bara api dan tiarap di lantai. Motor mendekat, lalu berhenti. Suara laki-laki terdengar.“Menurut laporan, jejak kaki mereka sampai ke arah sini. Periksa rumah itu!”Langkah kaki menghantam tanah keras. Dua bayangan masuk ke halaman rumah.“Siap-siap,” bisik Rangga, mengambil batu besar di dekatnya.Langkah sepatu berat memasuki teras rumah.“Gue ke dalam. Lo awasi luar,” ujar suara laki-laki itu.Rangga menunggu, satu, dua, tiga detik.Begitu pria itu masuk ke kamar, Rangga langsung menyerang. Bruk!Batu menghantam kepala sipir itu dan tubuhnya roboh.“Ambil pistolnya!” teriak Rangga.Leman mengambil pistol di pinggang pria itu dan langsung mengarahkannya ke jendela.“Yang di luar, angkat tangan Lo atau gue tembak!”Tapi suara tembakan datang lebih dulu dari luar. Kaca jendela pecah dan Leman menjerit.“Arrgh! Gue kena di bahu!”Rangga menarik tubuh Leman ke belakang dan berteriak, “Kita kabur lewat belakang!”Karyo memapah Leman yang berdarah, sementara Ra