Beranda / Rumah Tangga / TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI / BAB. 5 Ditagih Sewa Rumah

Share

BAB. 5 Ditagih Sewa Rumah

last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-13 07:20:09

Hari semakin siang, sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela rumah petakan sederhana yang ditempati Ratih dan suaminya, Rangga. Ratih, seorang wanita muda berambut panjang dan tubuhnya yang mungil, sedang duduk di meja makan kecil di ruang tengah, menikmati sarapan sederhana, nasi dengan sayuran dan tempe goreng yang dibuat sendiri olehnya dengan irisan telur dadar di atasnya. Meski sekarang hidupnya sederhana, namun Ratih terbiasa bersyukur dan berusaha menjaga agar rumah kecil mereka tetap nyaman dan bersih.

Perempuan itu mencoba menerima nasib kehidupannya saat ini. Walaupun sikap Rangga mulai berubah namun perempuan itu tetap tabah dan sabar kepada suaminya.

Selesai sarapan, Ratih bangkit dari kursinya, menghela napas panjang, lalu mulai membersihkan meja makan. Setelah itu, dia mengambil sapu dari pojok dapur dan mulai menyapu lantai. Debu-debu kecil yang terkumpul di sudut ruangan segera terhempas oleh sapuan tangan Ratih yang mulai terlatih. Dia akan berusaha keras menjaga rumahnya selalu bersih, meskipun sederhana, karena Ratih ingin memberikan kenyamanan untuk dirinya dan Rangga.

Setelah selesai menyapu, Ratih bergerak ke dapur untuk mencuci piring. Tangannya yang lembut mulai merendam piring-piring kotor dalam bak cuci yang penuh dengan busa sabun. Saat perempuan itu asyik dengan pekerjaan dapurnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar, memanggil-manggil nama suaminya.

“Rangga! Rangga, apa kamu ada di rumah?” suara itu terdengar jelas di pintu depan rumah.

Ratih menghentikan cucian piringnya dan segera mengeringkan tangannya dengan handuk kecil.

“Siapa ya yang manggil Mas Rangga pagi-pagi gini?” gumamnya sambil berjalan menuju pintu depan.

Sesampainya di depan pintu, Ratih membuka pintu kayu tua itu dengan sedikit berderit, dan terkejut melihat siapa yang berdiri di luar.

“Oh, Maaf Bu. Suami saya lagi pergi. Saya Ratih, istrinya Mas Rangga,” tutur Ratih ramah.

Bu Ningsih agak terkejut, saat mengetahui jika Rangga telah menikah. Namun dia mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Bu Ningsih, seorang wanita paruh baya yang merupakan pemilik rumah petakan mereka, sedang berdiri dengan wajah tegas di depan pintu.

“Selamat pagi, Ratih. Maaf kalau saya mengganggu, tapi saya harus bicara tentang uang sewa rumah, kepada Rangga.” tutur Bu Ningsih langsung dengan nada serius.

Ratih mengerutkan kening, tidak paham apa yang dimaksud oleh Bu Ningsih. “Sewa rumah, Bu?”

“Iya, sewa rumah. Rangga sudah menunggak sejak tiga bulan yang lalu. Saya harap kamu sudah tahu soal ini.”

Ratih merasa darahnya mendidih di dalam tubuhnya. “Apa? Tiga bulan? Tapi … setahu saya, Mas Rangga masih bekerja sebagai sopir pribadi ayah saya saat itu. Saya pikir dia sudah membayar semuanya. Apalagi dia ada gaji bulanan saat itu.”

Bu Ningsih menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Maaf, Ratih, tapi sampai sekarang saya belum menerima uang sewa dari Rangga. Saya sudah cukup sabar menunggu, tapi ini sudah terlalu lama.”

Perempuan tua itu semakin kaget saat mengetahui jika istri Rangga adalah anak dari majikannya.

“Gila banget, Si Rangga! Pakai pelet apa dia, sampai bisa menggaet putri dari Bos tempat dia bekerja!”

Ratih merasa gemetar. “Bagaimana mungkin ini terjadi? Kenapa Mas Rangga tidak memberitahuku?” Dia menatap Bu Ningsih yang kini berdiri dengan tangan bersilang di dadanya, menunggu jawaban darinya.

“Bu Ningsih, maaf sekali. Saya tidak tahu soal ini, tapi ... saya akan bayar secepatnya.” Ratih berusaha menenangkan dirinya.

Bu Ningsih menarik napas panjang, lalu berkata,“Baik, tapi tolong segera dilunasi hari ini. Saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kamu kan istri Rangga, jadi kamu juga harus bertanggung jawab.”

Ratih terdiam sejenak, merasa tersudut, tapi dia tahu jika dirinya tidak punya pilihan. “Baik, Bu Ningsih. Tunggu sebentar, saya ambil uangnya di dalam.”

Ratih masuk kembali ke dalam rumah, meninggalkan Bu Ningsih di depan pintu. Dengan cepat, perempuan itu menuju ke kamar tidur, membuka lemari kayu kecil di sudut kamar, dan mencari dompetnya. Saat menemukannya, Ratih dengan tangan gemetar membuka dompetnya. Dia mulai menghitung uang yang tersisa di dalamnya. Jumlahnya cukup untuk membayar sewa tiga bulan, tapi saat menghitung lebih teliti, Ratih sadar ada sesuatu yang aneh.

“Lho, kok uangnya kurang lima ratus ribu?” gumam Ratih.

Dia mulai berpikir keras. Padahal terakhir kali Ratih memeriksa dompetnya, uang itu masih utuh.

“Ke mana uang itu? Apakah Mas Rangga yang menggunakannya tanpa sepengetahuanku?

Ratih merasakan perasaan kecewa yang mulai menjalar dari dalam hatinya. Rangga akhir-akhir ini memang mulai berubah. Dulu, sebelum menikah, Rangga adalah pria yang sangat perhatian, selalu terbuka tentang segala hal. Namun sekarang, sejak mereka tinggal bersama, Rangga sering menyembunyikan sesuatu. Ratih mulai bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan suaminya.

Ratih menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. Namun, ini bukan saat yang tepat untuk emosional. Bu Ningsih masih menunggu di luar, dan Ratih tahu jika dia harus menyelesaikan masalah sewa ini terlebih dahulu.

Ratih kembali ke depan pintu dengan uang di tangannya.

“Ini, Bu Ningsih. Uangnya untuk tiga bulan sewa yang tertunda. Maaf atas keterlambatannya.”

Bu Ningsih menerima uang itu dengan anggukan singkat. “Terima kasih, Ratih. Saya harap kedepannya tidak ada penundaan lagi.”

Ratih hanya mengangguk, tidak bisa berkata banyak. Setelah menerima uang, Bu Ningsih pun segera pergi, meninggalkan Ratih sendirian di depan pintu rumah.

Ratih menutup pintu pelan-pelan, lalu berjalan kembali ke kamar. Dia lalu duduk di tepi tempat tidur, mengambil dompetnya lagi, dan menghitung sisa uang yang ada. Setelah membayar sewa, uang di dompetnya jauh lebih sedikit dari yang diharapkan olehnya. Dan masih saja, uang yang berjumlah lima ratus ribu itu hilang entah ke mana.

“Kenapa uangnya bisa hilang?” pikirnya, masih bingung.

Ratih mulai merasa frustasi. Suaminya, Rangga, seharusnya bertanggung jawab atas sewa rumah ini.

“Kenapa Mas Rangga tidak mengatakan apa-apa kepadaku? Kenapa dia membiarkan masalah ini berlarut-larut?”

Ratih lalu menatap foto pernikahan mereka yang terpajang di meja kecil di sebelah tempat tidur. Dalam foto itu, mereka berdua tersenyum bahagia, dengan harapan masa depan yang cerah. Namun, kini Ratih merasa senyum itu mulai pudar. Rangga tidak lagi seperti pria yang dulu dia nikahi. Pria yang penuh perhatian, terbuka, dan jujur. Kini, Rangga sering pulang larut malam tanpa alasan jelas dan mulai jarang berbicara dengannya.

“Kenapa kamu berubah, Mas Rangga?” gumamnya pelan, mengusap foto pernikahan mereka dengan jemarinya. Ratih merasa air mata mulai menggenang di matanya, tapi dia cepat-cepat menghapusnya. Dirinya harus kuat, meskipun kenyataannya sangat pahit.

Dengan napas berat, Ratih berdiri dan kembali ke dapur, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Meskipun hatinya berat, dia sadar jika harus tetap menjalani hari-harinya, sambil menunggu Rangga pulang untuk memberikan penjelasan atas semua ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 18 Kejujuran Yang Diragukan

    Suasana dini hari itu sunyi. Hujan gerimis jatuh pelan di luar jendela sebuah rumah bergaya minimalis. Di dalamnya, Ratih duduk di sofa dengan laptop masih menyala di meja kopi. Matanya sudah berat, tapi pikirannya terus melayang ke mana-mana. Dia menatap jam dinding. Sudah hampir pukul tiga pagi. Tidak ada pesan, tidak ada telepon dari Rangga, suaminya.Tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di pintu.“Tok-tok-tok.”Ratih berdiri perlahan. Dia lalu membuka pintu dan mendapati seorang pria berjaket kulit berdiri dengan tubuh Rangga yang terkulai di pundaknya."Mbak Ratih ya? Saya Ujang. temennya Rangga. Dia mabuk berat, Mbak. Tadi pingsan di mobil pas mau saya anter pulang," ujar Ujang, napasnya berat karena harus menahan beban tubuh Rangga.Wajah Ratih pucat. "Masuk, masuk, sini. Tolong bawa ke kamar."Dengan bantuan Ratih, Ujang mengangkat tubuh Rangga ke kamar tidur. Mereka membaringkan tubuh lelaki itu di atas ranjang."Dia minum wine dua botol sendiri, Mbak. Habis itu masih lan

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 17 Berkunjung Ke Rumah Orang Tua Ratih

    Pada Sabtu pagi, matahari bersinar cerah ketika Rangga dan Ratih bersiap untuk kunjungan penting yang selama ini telah lama mereka tunda. Rangga mengenakan jas rapi dengan rambut tersisir rapi, sementara Ratih memilih mengenakan kebaya sederhana berwarna pastel. Ini adalah kunjungan pertama mereka ke rumah orang tua Ratih setelah pernikahan mereka, karena hubungan yang tak direstui oleh Tuan Cahyono dan Nyonya Menur sejak awal. Rangga dulunya adalah sopir pribadi ayah Ratih, dan keputusan Ratih menikah dengannya membuat ayahnya marah besar.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, Rangga mengemudikan sedan mewahnya memasuki pekarangan rumah orang tua Ratih. Mobil tersebut menjadi simbol pencapaiannya dan cara sang pria yang ingin menunjukkan bahwa dia telah berhasil. Setibanya di sana, Ratih tampak gugup, jemarinya tanpa sadar meremas-remas tas kecil di pangkuannya.“Kamu yakin ini ide yang bagus, Mas?” tanya Ratih pelan, suaranya terdengar ragu.Rangga mengangguk mantap. “Iya, Rati

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 16 Rangga Terus Bersandiwara

    Hari demi hari berlalu, rumah tangga Ratih dan Rangga semakin dingin. Seperti biasa, pagi itu Ratih bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Dia mengaduk kopi hangat dan menggoreng telur dadar untuk suaminya yang masih tertidur lelap di kamar. Lalu Ratih pun masuk ke dalam kamar sejenak, dia memandang wajah Rangga yang tertidur dengan ekspresi lelah, meskipun sedikit mengernyit. Begitu alarm berbunyi, Rangga terbangun dan langsung bangkit tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada istrinya kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai mandi, Ratih mencoba tersenyum dan mulai menyapa suaminya. Saat ini mereka berada di ruang makan. "Mas, sarapan untukmu sudah siap. Makan dulu, ya." Rangga hanya melirik sekilas, lalu menguap sambil merapikan kemeja kerjanya. "Nggak usah repot-repot, Ratih. Aku cuma punya waktu sebentar sebelum pergi," katanya sambil meraih kopinya. "Mas, kapan kita ada waktu untuk ngobrol lagi? Rasanya sudah lama kita nggak duduk bareng." Rat

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 15 Rumah Baru Untuk Ratih

    Pada suatu pagi,Ratih berdiri di depan rumah kontrakan mereka sambil menunggu suaminya, Rangga. Matahari baru saja naik, akan tetapi hatinya sudah terasa panas karena kecewa. Hampir setiap kali mereka bicara soal anak, Rangga selalu menghindar atau mengalihkan pembicaraan, membuatnya merasa diabaikan. Padahal, Ratih sangat mendambakan kehadiran seorang anak dalam pernikahan mereka yang sudah berjalan cukup lama.Tak berapa lama kemudian, Rangga tiba dengan mobil sedan barunya, mengkilap dan terlihat mewah. Ratih terkejut, dan tak percaya suaminya bisa membeli mobil seperti itu.“Pagi Ratih, ini mobil baru kita,” seru Rangga sambil tersenyum."Mas Rangga, kok bisa beli mobil baru? Ini uang dari mana?" tanya Ratih sambil memandang heran kepada suaminya.Rangga tersenyum tipis, memasang ekspresi santai. "Ada rezeki lebih. Aku pikir, kenapa nggak sekalian aku beli mobil saja? Lagian, sepertinya kita butuh kendaraan yang lebih nyaman. Ayo masuklah, aku akan membawamu ke suatu tempat," tut

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 14 Kebohongan Rangga

    Matahari sore mulai merangkak turun ketika Rangga menghidupkan motornya di depan rumah kontrakan kecil mereka. Mesin motor meraung-raung pelan, menandakan kecepatan sedang yang dipilih olehnya. Jalan-jalan kecil itu yang dipenuhi anak-anak berlarian tak lagi asing baginya. Sudah lebih dari beberapa Rangga tinggal di sini bersama istrinya, Ratih. Tapi belakangan, Ratih sering menghabiskan waktunya sendiri di rumah, sementara Rangga semakin sibuk dengan aktivitas barunya. Pria itu sedang menuju ke sebuah tujuan yang tak sepatutnya dibanggakan olehnya.Setelah beberapa kilometer, Rangga berhenti di depan sebuah warung kecil yang menjadi tempat mangkalnya bersama Ujang, teman lamanya. Ujang sedang duduk-duduk santai sambil merokok, wajahnya terlihat sangat santai seolah-olah tidak ada masalah di dunia ini."Bro, akhirnya Lo nyampe juga! Hampir karatan gue nungguin Lo, tahu!" tutur Ujang, sambil mematikan rokoknya."Sorry, Bro. Tadi jalanan sedikit macet. Yuk, Lo buruan naik!" Rangga menj

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 13 Digosipkan Para Tetangga

    Pagi itu, setelah Rangga suaminya berangkat bekerja, Ratih mulai kembali ke rutinitas sehari-harinya, membersihkan rumah kontrakan sederhana yang mereka tinggali. Langit masih cerah, dan suara burung-burung berkicau dari pepohonan di sekitar rumah menemani aktivitasnya. Ratih lalu berjalan menuju dapur, mengambil sapu dan kain lap, dan mulai membersihkan bagian dalam rumah. Perlahan, dia pun menyapu setiap sudut dapur, mengelap meja, dan merapikan peralatan yang tertinggal.Setelah selesai dengan dapur, Ratih beranjak menuju ke dalam kamar. Kamar yang sempit dan sederhana itu selalu dijaga rapi oleh Ratih. Baginya, meskipun rumah mereka kecil, kebersihan adalah segalanya. "Kalau rumah selalu bersih, rasanya nyaman sekali," pikirnya sambil tersenyum kecil.Perempuan itu mulai merapikan selimut dan bantal di atas kasur, memastikan tidak ada debu yang menempel di sudut-sudut kamar. Setelah puas dengan hasilnya, Ratih pun melangkah menuju ruang tamu. Dia melanjutkan pekerjaan rumahnya d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status