Sore pun akhirnya tiba juga,
langit mulai gelap meski waktu baru menunjukkan pukul enam sore. Ratih duduk di ruang tamu, gelisah. Matanya terus melirik jam dinding yang berdetak pelan, namun rasanya suara itu semakin memekakkan telinganya seiring waktu berlalu. Sudah sejak tadi pagi Rangga, suaminya, belum juga pulang, padahal biasanya saat masih menjadi sopir pribadi ayahnya, di jam seperti ini Rangga sudah berada di rumah. Ratih mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menonton televisi, akan tetapi pikirannya tak bisa lepas dari kekhawatirannya pada Rangga. Setelah beberapa saat, dia pun lalu memutuskan untuk menelepon suaminya. Namun sudah berkali-kali Ratih menelepon suaminya, tapi tidak ada sahutan dari seberang sana. “Kenapa Mas Rangga tidak mengangkat ponselnya? Padahal hari sudah semakin malam,” gumamnya pelan sambil menatap layar ponsel yang menunjukkan panggilan tak terjawab. Ratih mencoba lagi untuk menelepon suaminya, tapi tetap tak ada jawaban. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi. “Mas Rangga, Kamu di mana sebenarnya?” ujar Ratih dengan wajah sedih. Sementara di tempat lain, Ternyata Rangga sedang asyik bermain judi bersama teman-teman tongkrongannya di sebuah rumah kosong di pinggiran kota. Suara tawa dan obrolan riuh memenuhi ruangan itu, sementara di meja judi, uang berhamburan dari tangan ke tangan. “Kali ini aku pasti menang,” ujar Rangga dalam hatinya, meyakinkan diri. Uang lima ratus ribu yang ada di tangannya adalah uang yang diambilnya dari dompet Ratih di lemari kamar mereka pagi tadi. Sang istri tentu tidak tahu, dan Rangga berharap bisa memenangkan lebih banyak uang untuk mengganti yang dia ambil dari istrinya. “Semoga aku menang, dan bisa mengembalikan uang Ratih yang telah ku ambil,” ujarnya dalam hati. "Giliranmu, Rangga!" seru salah satu temannya, membawa Rangga kembali kepada kenyataan. Dengan penuh rasa percaya diri, pria itu meletakkan uangnya di atas meja, namun sayangnya, keberuntungan tidak berpihak padanya malam itu. Namun bukannya menang, uang lima ratus ribu yang dia ambil dari dompet Ratih itu malah lenyap begitu saja. “Ah sial!” Rangga menggerutu, kecewa. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa selain menyadari bahwa semua usahanya telah sia-sia. Sementara itu, di sebuah rumah yang sederhana, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Perut Ratih mulai keroncongan, tapi tak ada tanda-tanda Rangga akan pulang. Setelah menunggu cukup lama, dia akhirnya menyerah dan memutuskan untuk makan malam sendiri. Meski begitu, hatinya terasa sangat sedih dan hampa. “Makan sendiri lagi,” ucap Ratih lirih sambil menatap meja makan yang hanya diisi satu piring. Suasana yang sepi di rumah menambah rasa kesendirian yang mencekam. Sesekali, dia menatap ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Rangga. Namun tetap tidak ada. Ratih hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan bahwa suaminya semakin sering berubah sejak mereka menikah. Saat itu, dia teringat bagaimana Rangga yang dulu penuh perhatian kini perlahan-lahan semakin jauh. Hari semakin malam namun Rangga tidak pulang juga. Ratih tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya bisa menangis dan meratapi nasibnya yang begitu buruk setelah dia menikah. “Kenapa semua ini harus terjadi kepadaku?” ucapnya sedih dalam hatinya. Tengah malam akhirnya tiba. Ratih sudah terbaring di tempat tidur, meski matanya sulit terpejam karena terus memikirkan Rangga, suaminya yang belum juga pulang ke rumah. Tiba-tiba terdengar suara pintu depan terbuka. Langkah kaki berat terdengar mendekat, dan tak lama kemudian Rangga masuk ke dalam kamar. Ratih yang setengah terbangun menoleh ke arah suaminya. Wajahnya terlihat lelah dan sedikit kusut. Bau alkohol samar tercium, namun Ratih memilih diam. Dia ingin bertanya ke mana saja suaminya selama ini, akan tetapi saat melihat Rangga yang langsung berbaring di sampingnya, dia merasa ragu. “Mas, aku mau ngomong,” ucap Ratih pelan, mencoba mengumpulkan keberanian. Namun, tanpa mendengarkan omongan istrinya, Rangga malah tiba-tiba memeluk Ratih dari belakang. Tindakannya terasa begitu mendadak dan jelas sekali tak ada cinta di sana. Ratih mencoba menahan tangis yang sudah membendung di pelupuk matanya. Rangga, tanpa basa-basi, mulai mengajak Ratih melakukan hubungan suami istri malam itu. Meski hati Ratih terasa hancur, dia tidak menolak. Dia hanya diam, membiarkan semuanya terjadi. “Jangan lupa minum pil KB! Kamu jangan sampai lupa!” tegas Rangga. Setelah itu, sang suami langsung tertidur pulas, tanpa memberikan penjelasan apapun. Ratih yang masih terjaga merasa kesedihannya semakin mendalam. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya, akan tetapi setiap kali mencoba membicarakannya, Rangga selalu menghindar. “Mas, aku mau bicara,” suara Ratih terdengar lirih namun penuh harap. “Aku capek, Ratih! Besok saja kita bicarakan,” jawab Rangga dingin sambil membalikkan badannya. Air mata Ratih akhirnya jatuh. Dia mencoba menahan, akan tetapi sakit di hatinya tak bisa dibendung lagi. Rasanya seperti ada dinding tak kasat mata yang semakin membesar di antara mereka. Dulu, sebelum menikah, Rangga selalu mendengarkan setiap keluhannya, memberikan pelukan saat Ratih merasa sedih. Tapi kini, sikap suaminya telah berubah drastis. Dengan hati yang berat, Ratih menatap langit-langit kamar. Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahan mereka. Namun, tak ada jawaban yang jelas. Yang ada hanyalah kehampaan yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya. Keesokan paginya, matahari telah terbit, tapi suasana rumah masih sepi. Rangga masih terlelap di tempat tidur, sementara Ratih sudah bangun lebih awal. Dia tidak bisa tidur semalaman, memikirkan suaminya yang semakin jauh sikapnya. Meski begitu, dia tetap menjalankan tugas rumah tangga seperti biasa yaitu memasak sarapan, membersihkan rumah, dan menyiapkan keperluan suaminya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Hatinya sudah mulai merasakan kelelahan yang luar biasa. Kecewa dan sakit hati yang selama ini dipendamnya kini semakin berat dirasakan. Dia tahu bahwa jika terus begini, dirinya akan semakin hancur. Rangga akhirnya bangun, berjalan ke ruang makan tanpa berkata apa-apa. Ratih melihatnya sekilas, tapi memilih untuk tidak memulai percakapan terlebih dahulu. Rangga duduk di meja makan, mengambil roti dan memakannya dengan diam. Suasana di antara mereka terasa kaku, nyaris tanpa komunikasi. Ratih mencoba mengumpulkan keberanian lagi. “Mas, kita perlu bicara.” Rangga menghela napas panjang dan meletakkan rotinya. “Iya, nanti. Aku harus kerja dulu, Ratih,” katanya tanpa menatap istrinya. Ratih menunduk, merasa kecewa lagi. Rasanya tak ada ruang bagi dirinya di hati Rangga lagi, padahal mereka baru menikah beberapa waktu yang lalu. Bagaimana bisa semuanya berubah begitu cepat? "Kenapa kamu berubah, Mas?" tanyanya dalam hati, tapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Ratih tahu, dia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan pernikahannya, atau mungkin menyelamatkan dirinya sendiri. Tapi, apa yang harus dilakukan olehnya, itu masih menjadi tanda tanya besar.Hujan gerimis turun pelan membasahi Kota Bandung sore itu. Awan kelabu menggantung rendah seakan menyampaikan kabar duka. Di sebuah sudut kota yang tenang, berdiri sebuah toko bunga bernama “Ratih’s Bloom” berdampingan dengan “Sweetheart Bakery.” Kedua usaha itu milik Ratih, perempuan yang kini menjalani hidupnya dengan tenang dan penuh kemandirian.Ratih mengenakan apron putih dengan noda tepung di sana-sini. Rambut hitamnya diikat tinggi, dan wajahnya yang dulu ceria kini tampak lebih tegar namun dingin. Dia sedang menyusun kue tart untuk pesanan pelanggan ketika suara lonceng pintu berbunyi.“Selamat sore. Ratih?” suara seorang pria menyapa pelan.Ratih menoleh. Seorang pria paruh baya berdiri di sana, mengenakan jas hujan dan memegang sebuah amplop. Wajahnya tampak penuh beban.“Iya, saya Ratih. Ada yang bisa saya bantu?”“Saya, teman lama Rangga. Nama saya Adrian,” katanya sambil menatap Ratih dengan ragu. “Saya datang karena, ada sesuatu yang perlu kamu tahu.”Ratih mendadak te
Sore hari di desa kecil di perbatasan JambiTruk berhenti di jalan setapak berdebu. Rangga mengetuk dinding kabin truk."Sampai sini saja, Pak. Terima kasih banyak."Sopir mengangguk. "Hati-hati ya, jalan ke desa kecil itu sepi. Banyak yang bilang masih ada harimau juga."Rangga dan Leman turun dari truk. Setelah memastikan tak ada polisi yang mengikuti mereka, keduanya mulai menyusuri jalan setapak ke arah perbukitan, menuju sebuah rumah tua berpagar kayu."Itu rumahnya?" tanya Leman setengah terengah."Iya. Aku ingat dari cerita Ayah. Pak Idris tinggal sendiri setelah istrinya meninggal. Tapi dia orang baik, dulu sering bantu Ayah saat masa-masa sulit."Mereka mengetuk pintu. Setelah beberapa saat, seorang lelaki tua membuka pintu. Matanya tajam namun sorotnya lembut."Rangga? Anak Wira?"Rangga mengangguk. "Saya butuh bantuan, Pak. Kami dikejar polisi. Tapi bukan seperti yang mereka pikirkan. Kami difitnah." Ternyata Rangga berbohong padahal dia seorang napi kasus pembunuhan.Pak
Sore hari di posko pencarian wilayah Barat Bengkulu,Salah satu anjing pelacak mendadak menggonggong keras saat mendekati pondok tua di tengah hutan."Pak, anjing pelacak temukan sesuatu!" teriak petugas.Kapten Damar segera mendekat. Dia melihat potongan kain di paku."Ambil dan bawa ke laboratorium. Tes DNA-nya. Tapi yang lebih penting, keduanya memang ada di sini. Kita hampir dapatkan mereka."Seorang teknisi datang dengan tablet."Kami juga dapat rekaman drone yang menunjukkan dua sosok melintasi sungai kecil di hutan barat. Gambar nggak jelas, tapi gerakannya konsisten dengan dua orang.""Kita kejar arah sungai itu. Kirim tim darat, siapkan speedboat di hilir. Kita kepung mereka dari darat dan air. Kali ini keduanya nggak akan bisa lolos."Sore hari di Sungai RawasRangga dan Leman menyusuri sungai dengan rakit sederhana dari batang pisang dan papan tua."Gue nggak yakin ini cukup kuat bawa kita berdua.""Kita nggak punya pilihan lain. Perahu motor pasti diawasi. Jalur ini lebih
Langit masih gelap saat Rangga terbangun dari tidurnya. Angin pantai yang menusuk tulang membuatnya menggigil, meski selimut tipis yang diberikan nelayan tua semalam masih menyelimuti tubuhnya. Dia duduk perlahan, memandangi Leman yang masih terlelap di sudut pondok."Sudah saatnya kita bergerak," bisiknya.Rangga keluar dan melihat nelayan tua, Pak Rawi, sedang duduk di batu besar dekat dermaga kecil, merokok sambil menatap laut."Pagi, Pak," sapa Rangga.Pak Rawi melirik sekilas. "Kalian harus pergi sebelum matahari naik. Saya sudah terlalu tua untuk urusan kejar-kejaran dengan polisi."Rangga mengangguk. "Kami akan pergi. Terima kasih untuk pondok dan makanan.""Bagi saya kalian bukan orang jahat, tapi kalian sedang dikejar. Itu membuat kalian bahaya bagi siapa pun yang dekat."Rangga diam. "Kami hanya ingin hidup bebas.""Kebebasan itu mahal, Nak," gumam Pak Rawi. "Kadang terlalu mahal."Pagi hari di Markas Kepolisian Wilayah SelatanKapten Damar menatap layar komputer besar de
Angin pagi menyapu wajah Rangga dan Leman saat mereka melangkah menyusuri jalan setapak di antara ladang tebu dan semak belukar. Sepatu mereka basah oleh embun, dan setiap suara burung atau ranting patah membuat keduanya menoleh waspada.Leman memegangi bahunya yang makin nyeri. Luka lama yang belum sembuh kini kembali terasa, membuatnya terhuyung.“Lo kuat, Man?” tanya Rangga sambil memegangi bahu sahabatnya itu.“Gue kuat,” jawab Leman lirih. “Gue cuma pengin kita beneran bebas.”Rangga menatap ke arah selatan. “Menurut info Ferry, pelabuhan kecil di Desa Pandanarang punya nelayan yang biasa ke sebuah pulau buat dagang. Kalo kita bisa naik kapal mereka, kita bisa kabur tanpa dicurigai.”Leman menarik napas panjang. “Kita jadi orang pulau, ya?”Rangga tersenyum tipis. “Atau apa pun yang penting kita hidup bebas.”Pagi hari di Pos polisi sektor Cilacap,Kapten Damar menatap layar laptop dengan tatapan tajam. Foto-foto buronan Rangga dan Leman sudah tersebar ke semua sektor. Karyo s
Mereka langsung menendang bara api dan tiarap di lantai. Motor mendekat, lalu berhenti. Suara laki-laki terdengar.“Menurut laporan, jejak kaki mereka sampai ke arah sini. Periksa rumah itu!”Langkah kaki menghantam tanah keras. Dua bayangan masuk ke halaman rumah.“Siap-siap,” bisik Rangga, mengambil batu besar di dekatnya.Langkah sepatu berat memasuki teras rumah.“Gue ke dalam. Lo awasi luar,” ujar suara laki-laki itu.Rangga menunggu, satu, dua, tiga detik.Begitu pria itu masuk ke kamar, Rangga langsung menyerang. Bruk!Batu menghantam kepala sipir itu dan tubuhnya roboh.“Ambil pistolnya!” teriak Rangga.Leman mengambil pistol di pinggang pria itu dan langsung mengarahkannya ke jendela.“Yang di luar, angkat tangan Lo atau gue tembak!”Tapi suara tembakan datang lebih dulu dari luar. Kaca jendela pecah dan Leman menjerit.“Arrgh! Gue kena di bahu!”Rangga menarik tubuh Leman ke belakang dan berteriak, “Kita kabur lewat belakang!”Karyo memapah Leman yang berdarah, sementara Ra