Rangga menghela napas berat. Dia menggulingkan tubuhnya, kini berbaring telentang, menatap langit-langit kamar.“Cuma … ada masalah di kantor, Ratih. Udah, nggak usah tanya-tanya.”Ratih menatapnya lekat-lekat. “Masalah kantor bikin kamu minum-minum sampai setengah sadar gitu?”Rangga menutup matanya. “Aku capek. Aku cuma butuh istirahat.”Ratih berdiri perlahan. “Baiklah. Kalau kamu belum mau cerita, aku nggak maksa. Tapi jangan hindari aku terus, Mas. Aku istrimu, bukan orang asing.”Ratih melangkah pelan keluar kamar, meninggalkan suaminya yang masih diam. Pintu kamar ditutup dengan perlahan, nyaris tanpa suara.Hari itu berlalu tanpa interaksi berarti. Rangga tidak keluar kamar. Makan siang pun tak disentuh. Ratih hanya meletakkannya di meja dekat pintu, lalu kembali mengambilnya beberapa jam kemudian, dan masih utuh.Menjelang sore, Ratih duduk di ruang tamu sambil melipat cucian. Matanya melirik jam dinding. Hatinya gelisah. Tak biasanya Rangga seperti ini. Dia tahu betul, Rang
Suasana dini hari itu sunyi. Hujan gerimis jatuh pelan di luar jendela sebuah rumah bergaya minimalis. Di dalamnya, Ratih duduk di sofa dengan laptop masih menyala di meja kopi. Matanya sudah berat, tapi pikirannya terus melayang ke mana-mana. Dia menatap jam dinding. Sudah hampir pukul tiga pagi. Tidak ada pesan, tidak ada telepon dari Rangga, suaminya.Tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di pintu.“Tok-tok-tok.”Ratih berdiri perlahan. Dia lalu membuka pintu dan mendapati seorang pria berjaket kulit berdiri dengan tubuh Rangga yang terkulai di pundaknya."Mbak Ratih ya? Saya Ujang. temennya Rangga. Dia mabuk berat, Mbak. Tadi pingsan di mobil pas mau saya anter pulang," ujar Ujang, napasnya berat karena harus menahan beban tubuh Rangga.Wajah Ratih pucat. "Masuk, masuk, sini. Tolong bawa ke kamar."Dengan bantuan Ratih, Ujang mengangkat tubuh Rangga ke kamar tidur. Mereka membaringkan tubuh lelaki itu di atas ranjang."Dia minum wine dua botol sendiri, Mbak. Habis itu masih lan
Pada Sabtu pagi, matahari bersinar cerah ketika Rangga dan Ratih bersiap untuk kunjungan penting yang selama ini telah lama mereka tunda. Rangga mengenakan jas rapi dengan rambut tersisir rapi, sementara Ratih memilih mengenakan kebaya sederhana berwarna pastel. Ini adalah kunjungan pertama mereka ke rumah orang tua Ratih setelah pernikahan mereka, karena hubungan yang tak direstui oleh Tuan Cahyono dan Nyonya Menur sejak awal. Rangga dulunya adalah sopir pribadi ayah Ratih, dan keputusan Ratih menikah dengannya membuat ayahnya marah besar.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, Rangga mengemudikan sedan mewahnya memasuki pekarangan rumah orang tua Ratih. Mobil tersebut menjadi simbol pencapaiannya dan cara sang pria yang ingin menunjukkan bahwa dia telah berhasil. Setibanya di sana, Ratih tampak gugup, jemarinya tanpa sadar meremas-remas tas kecil di pangkuannya.“Kamu yakin ini ide yang bagus, Mas?” tanya Ratih pelan, suaranya terdengar ragu.Rangga mengangguk mantap. “Iya, Rati
Hari demi hari berlalu, rumah tangga Ratih dan Rangga semakin dingin. Seperti biasa, pagi itu Ratih bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Dia mengaduk kopi hangat dan menggoreng telur dadar untuk suaminya yang masih tertidur lelap di kamar. Lalu Ratih pun masuk ke dalam kamar sejenak, dia memandang wajah Rangga yang tertidur dengan ekspresi lelah, meskipun sedikit mengernyit. Begitu alarm berbunyi, Rangga terbangun dan langsung bangkit tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada istrinya kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai mandi, Ratih mencoba tersenyum dan mulai menyapa suaminya. Saat ini mereka berada di ruang makan. "Mas, sarapan untukmu sudah siap. Makan dulu, ya." Rangga hanya melirik sekilas, lalu menguap sambil merapikan kemeja kerjanya. "Nggak usah repot-repot, Ratih. Aku cuma punya waktu sebentar sebelum pergi," katanya sambil meraih kopinya. "Mas, kapan kita ada waktu untuk ngobrol lagi? Rasanya sudah lama kita nggak duduk bareng." Rat
Pada suatu pagi,Ratih berdiri di depan rumah kontrakan mereka sambil menunggu suaminya, Rangga. Matahari baru saja naik, akan tetapi hatinya sudah terasa panas karena kecewa. Hampir setiap kali mereka bicara soal anak, Rangga selalu menghindar atau mengalihkan pembicaraan, membuatnya merasa diabaikan. Padahal, Ratih sangat mendambakan kehadiran seorang anak dalam pernikahan mereka yang sudah berjalan cukup lama.Tak berapa lama kemudian, Rangga tiba dengan mobil sedan barunya, mengkilap dan terlihat mewah. Ratih terkejut, dan tak percaya suaminya bisa membeli mobil seperti itu.“Pagi Ratih, ini mobil baru kita,” seru Rangga sambil tersenyum."Mas Rangga, kok bisa beli mobil baru? Ini uang dari mana?" tanya Ratih sambil memandang heran kepada suaminya.Rangga tersenyum tipis, memasang ekspresi santai. "Ada rezeki lebih. Aku pikir, kenapa nggak sekalian aku beli mobil saja? Lagian, sepertinya kita butuh kendaraan yang lebih nyaman. Ayo masuklah, aku akan membawamu ke suatu tempat," tut
Matahari sore mulai merangkak turun ketika Rangga menghidupkan motornya di depan rumah kontrakan kecil mereka. Mesin motor meraung-raung pelan, menandakan kecepatan sedang yang dipilih olehnya. Jalan-jalan kecil itu yang dipenuhi anak-anak berlarian tak lagi asing baginya. Sudah lebih dari beberapa Rangga tinggal di sini bersama istrinya, Ratih. Tapi belakangan, Ratih sering menghabiskan waktunya sendiri di rumah, sementara Rangga semakin sibuk dengan aktivitas barunya. Pria itu sedang menuju ke sebuah tujuan yang tak sepatutnya dibanggakan olehnya.Setelah beberapa kilometer, Rangga berhenti di depan sebuah warung kecil yang menjadi tempat mangkalnya bersama Ujang, teman lamanya. Ujang sedang duduk-duduk santai sambil merokok, wajahnya terlihat sangat santai seolah-olah tidak ada masalah di dunia ini."Bro, akhirnya Lo nyampe juga! Hampir karatan gue nungguin Lo, tahu!" tutur Ujang, sambil mematikan rokoknya."Sorry, Bro. Tadi jalanan sedikit macet. Yuk, Lo buruan naik!" Rangga menj