Hujan lebat di pagi hari ini menyisakan hawa dingin yang menusuk tulang.
Suara tukang roti keliling terdengar lantang menawarkan dagangannya kepada para penghuni perumahan.Sasha mematut diri di kaca, melihat bayangan yang menatap balik ke arahnya. Terlihat disana gadis cantik tinggi semampai dengan setelan kerja yang modis menyapa. Rambut panjang lurusnya yang sudah ditata rapi ia biarkan tergerai begitu saja membuat aroma wangi shampo dan kondisioner dapat tercium siapapun yang berada di dekatnya.
"Kamu mau sarapan dulu gak Sha?" teriak Oma dari ruang makan.
"Gak Oma, aku sarapan di mobil aja," jawab Sasha sambil berjalan ke ruang makan menghampiri Omanya.Ruang makan tampak sepi, hanya ada Oma yang sedang mengoleskan selai cokelat crunchy di atas roti panggang yang akan dibawa Sasha. Sasha celingak - celinguk mencari penghuni rumah lainnya.
"Pada kemana Oma?" tanyanya penasaran."Jasmine sama Katia udah berangkat, tadi jemputan sekolahnya datang kepagian," jawab Oma sambil menyerahkan kotak bekal yang berisi roti panggang kepada Sasha.
Sasha manggut-manggut, lalu ia bertanya dengan setengah berbisik,
"Mama?"Oma menggerakkan dagunya ke arah kamar Mama Sasha lalu ia mendekat ke arah Sasha dan berkata dengan suara berbisik,
"Gak ngomong sama sekali sejak kamu marah-marah perkara utang Wilhelmina."Beberapa hari yang lalu Sasha bertengkar hebat dengan Mamanya karena Mama Sasha seringkali diam-diam berhutang dan menjadikan Sasha sebagai tamengnya. Kasus Tante Wilhelmina adalah kasus terbaru, sebelumnya sudah lebih dari sepuluh kali Sasha di kejar-kerjar penagih hutang yang dipinjami Mamanya.
Sasha menghela nafas panjang.
Oma mengusap punggung Sasha dan tersenyum memberikan semangat tanpa kata-kata. "Ya udah aku berangkat ya Oma," tukas Sasha seraya mencium pipi Omanya. Saat Sasha berbalik badan Oma menarik tangannya dan bertanya dengan wajah penasaran, "Mobil siapa Sha yang kamu pakai?""Mobil Rian, Oma inget Rian kan? yang dulu sering mampir kesini, temen SMA ku..." terang Sasha.
Oma tampak mengingat-ingat,
"Ooo iya iya Oma ingat. Kok bisa di pinjemin mobil?""Duh panjang deh ceritanya, nanti lagi deh Oma aku udah telat!" kelit Sasha yang sedetik kemudian sudah berjalan cepat menuju mobil Rian yang terparkir di depan rumahnya.
Pukul 08.50 pagi kantor terlihat masih lengang. Sasha memijit nomor 142 di telepon yang terletak di meja kerjanya, menghubungi Raga.
"Gue tunggu di smoking room, jangan lupa bawa kopi panas!" cerocos Sasha begitu Raga mengangkat teleponnya. Ia meletakkan gagang telepon sebelum Raga sempat menyahut.Di Smoking Room tampak beberapa staf sedang menikmati rokok dan kopi pagi mereka. Sasha mengobrol dengan mereka sambil menunggu Raga membawakan kopi untuknya.
"Nanti siang ada Big Meeting kan?" tanya Artha seorang staf akunting senior. Seorang staf purchasing yang merokok disebelahnya mengiyakan.
Sasha mengerutkan kening,
"Kok gue gak tau, apa gue lupa masukin ke jadwal?" gumam Sasha pada dirinya sendiri.Di kantor Sasha, Big Meeting hanya diadakan sesekali saja. Big Meeting melibatkan seluruh karyawan Back Office Hotel yang jumlahnya ratusan. Biasanya diadakannya Big meeting untuk memberikan pengumuman perusahaan yang sifatnya penting dan harus dilakukan dengan tatap muka.
"Nih pesenan lo!" tiba-tiba Raga sudah duduk disebelah Sasha sambil menyodorkan gelas kertas berisi Americano panas.
Sasha tersenyum lebar sambil mengembang kempiskan pucuk hidungnya sebagai pengganti ucapan terimakasih.
"Ga, lo tau nanti ada Big Meeting?" tanya Sasha sambil melirik Raga. Raga mengangguk, "Kata si Vero sih Perkenalan Direktur Utama baru."Sasha manggut-manggut mengingat-ingat barangkali ia lupa memasukan jadwal Big Meeting di Kalender Kerjanya.Sasha sedang sibuk membahas content website dengan vendor dan tim graphic design termasuk Raga, disaat seluruh karyawan lain berkumpul untuk melakukan Big Meeting di Aula Utama."Iya udah oke semua kok, paling aku minta layout yang di home page nya diganti ya, selebihnya bungkus!" ujar Sasha menutup pertemuan. Disaat bersamaan ponsel Sasha berdering, panggilan masuk dari Gita.
"Mbak Sha, kalau udah kelar langsung ke Aula, HRD minta semuanya hadir," cerocos Gita begitu Sasha menerima panggilannya, Sasha mengiyakan dengan cepat.
Beberapa menit kemudian.
Aula sudah dipenuhi para karyawan yang duduk teratur menghadap panggung utama. Sasha, Raga dan tim graphic design yang terlambat, masuk diam-diam dengan kepala menunduk tanpa suara.
Tiba-tiba Sasha dikejutkan dengan suara yang terasa tidak asing di telinganya, suara itu berasal dari pengeras suara yang ada di dekat panggung utama. Saat berbalik badan dan melihat ke arah panggung utama, ia menjadi sangat terkejut.
"What the heck!" gumamnya lebih keras dari yang ia maksudkan. Gita yang duduk disebelahnya tersenyum lebar, "I know Mbak Sha, ganteng banget kan? Ya Tuhan!" ujar Gita seraya memegang kedua pipinya sendiri.
Sasha tidak menyahut, bukan 'ketampanan' si pembicara yang mengganggu Sasha, tapi wajahnya yang tidak asing. Wajah yang Sasha lihat malam kemarin di Bandara Soekarno Hatta. Penumpangnya!
"So guys, please don't hesitate to knock on my door if you have any questions, anything!
I speak Bahasa too actually, I've been in Indonesia before, so please speak in whatever language that comfort you, I'm really looking forward to working together with you guys, and yeah thank you so much!"Orang asing tampan yang berdiri di panggung utama tampak selesai memberikan sambutan. Semua karyawan bertepuk tangan khususnya para karyawan wanita yang tampak terlalu bersemangat.
"Telat sih lo Mbak Sha!" ujar Gita sambil masih tetap bertepuk tangan.
"Namanya Daniel Park Mbak, orang Amerika - Korea! Direktur Utama baru kita!
Oh My Oh My ganteng banget ya Tuhan ga kuaaaat!" Gita seperti cacing kepanasan yang terus menerus bergerak tak beraturan sambil memegangi kedua pipinya.Sasha masih mengerutkan keningnya kebingungan.
"Lha Pak Andreas Wijaya apa kabar?" Sasha menanyakan Direktur Utama mereka yang lama. Gita yang masih mengagumi wajah tampan Daniel Park menjawab tanpa menatap Sasha, "Pensiun dini Mbak Shaaa, kemana aja sih lo Mbak, gak tau info terbaru!"Sasha mangut-mangut setengah melamun sambil beringsut meninggalkan kursi tempatnya duduk tadi. Sampai satu panggilan menghentikannya.
"Sasha!"
Sasha menoleh dan mendapati Caroline Manager Marcom berdiri dibelakangnya.
"Mau kemana? kita ada briefing dulu disitu! Semua divisi Marketing ya!" tukas Caroline lugas sambil menunjuk kursi-kursi di sebelah panggung yang sudah terisi staf divisi marketing termasuk tim Sasha.
"Buru-buru aja sih lo! Kelaperan nih pasti!" goda Raga saat Sasha datang bergabung. Sasha hanya memonyongkan bibirnya tanpa menyahut.
"Mbak Sha, bedak gue cemong gak sih?" tanya Gita sambil menepuk-nepuk wajahnya pelan.
"Enggaaak, lagian ngapain sih lo tumben banget touch up mulu?" sahut Sasha heran.Gita memutar kedua bola matanya,
"Please deh Mbak Sha, kita mau meeting perdana nih sama Pak Dan! Fix banget sih harus kece badaiiiii!"Sasha mencibir, menganggap Gita terlalu berlebihan. Gita menggerutu dan mengatakan Sasha bisa berkata begitu karena dia tidak perlu berusaha keras untuk terlihat cantik menawan. Adu argumen mereka baru berakhir ketika terdengar suara dehaman yang cukup keras.
Daniel Park,
berdiri disana dengan setelan suit hitam tanpa dasinya. Terlihat begitu menonjol diantara pria-pria yang ada disana, karena ia begitu tinggi menjulang. Bahkan Raga, pria tertinggi di kantor terlihat lebih pendek darinya.Suara para staf wanita di divisi marketing terdengar berdengung seperti lebah. Mereka sibuk berdebat dan berpendapat Daniel Park mirip aktor Korea A, B, dan C yang seperti tiada selesainya.
"Attention Please," suara tegas Daniel Park menghentikan obrolan seluruh staf marketing dalam sekejap.
Daniel membuka dengan sedikit sambutan kecil mengenai pentingnya komunikasi antar tim, kerjasama antar divisi dan lain lain. Lalu ia sampai di satu topik yang menjadi inti briefing hari ini.
"So guys as we know posisi General Manager Marcom saat ini sedang kosong," tukas Daniel menggantung.
Terdengar lagi suara dengungan karyawan yang mulai berbisik-bisik.
Daniel mengangkat tangannya meminta mereka diam.
"Saya selaku Direktur Utama yang baru, membuka posisi ini untuk siapa saja yang layak. Dari Marcom, Public Relation, Graphic Design semua boleh mengajukan diri. Tidak terbatas untuk kalangan manager, kalangan supervisor dan staf biasa pun boleh mengajukan diri."
Belum selesai Daniel berbicara, tepuk tangan dan sorak sorai sudah memenuhi aula. Raga termasuk yang paling semangat. Sasha yang tidak terlalu terlihat berminat sebenarnya dalam hati cukup bersemangat untuk berkompetisi mendapatkan posisi ini.
"So guys, selama tiga bulan ini saya akan menilai semua kinerja kalian dari segala aspek untuk saya pertimbangkan.
Kesempatan ini mungkin tidak akan datang dua kali! So please do your best!" tutup Daniel yang disambut tepuk tangan dari para karyawan.Semua orang di divisi marketing tampak sumringah dan bersemangat. Mereka sangat berharap dapat menjadi the next General Manager Marketing menggantikan posisi Ibu Mirza.
Namun ternyata kejutan belum selesai sampai disitu.
Setelah Daniel selesai memberikan sambutan, Pak Jimmy Direktur HRD turut memberikan pengumuman.Ia membuka pidato dengan kalimat panjang mengenai etos kerja dan kedisiplinan diri. Membuat semua staf menguap menahan kantuk. Setelah nyaris 15 menit berbicara dengan topik yang membosankan, Pak Jimmy mulai menyerempet ke topik yang lain.
"Seperti kita tahu, sudah hampir 3 bulan Tim Public Relation tidak mempunyai Manager dan mengandalkan Ibu Sasha selaku Supervisor untuk meng-cover semua tanggung jawab Manager," Pak Jimmy menarik nafas dan memandang sekeliling sebelum melanjutkan.
"Setelah melalui pembicaraan dan pertimbangan internal manajemen yang cukup intens, kami memutuskan untuk mempromosikan Ibu Adilla Vanesha untuk menjadi manager Public Relation yang baru dengan masa percobaan 3 bulan. Promosi ini juga tidak membatasi Ibu Adilla Vanesha untuk berkompetisi dengan yang lainnya untuk mendapatkan posisi GM seperti yang tadi disampaikan oleh Bapak Daniel Park. So, mari bertepuk tangan dan kita ucapkan selamat kepada Ibu Adilla Vanesha!"
Pak Jimmy menyelesaikan pidatonya dan meminta Sasha yang masih terkejut untuk memberikan sambutan.
Sasha yang digoda habis-habisan oleh rekan-rekannya tampak berdiri kikuk ditempatnya duduk tadi.
Dari sudut lain, Daniel mengamati Sasha dengan seksama. Merasa pernah melihat sepasang mata cokelat dengan alis tebal seperti milik Sasha. Tapi ia tidak menemukan ingatan dimana ia pernah melihat Sasha, ia mengibaskan tangannya menepis pemikiran konyolnya itu. Ia baru saja landing di Indonesia kemarin malam setelah hampir 3 tahun tidak berkunjung. Bagaimana mungkin dia pernah bertemu Sasha!
Sasha berdehem kecil sebelum memulai sambutannya,
"Actually I'm lost of words, I don't know what to say but thank you so much to everyone, khususnya tim public relation atas dukungan dan kepercayaannya. So let's make Kencana Hotel Group great again!" tutup Sasha yang di iringi dengan sorak sorai rekan-rekannya yang heboh dan berisik.
Saat kembali duduk secara tidak sengaja Sasha dan Daniel beradu pandang, mereka sama-sama terkejut dan segera mengalihkan pandangan setelah mengangguk sopan satu sama lain.
Hari itu Sasha merayakan kenaikan pangkatnya dengan mentraktir rekan satu tim nya makan pizza di cafe dekat kantor. Ia memutuskan untuk istirahat sejenak dari pekerjaan paruh waktunya karena hatinya sedang berbunga-bunga sekali. Kenaikan pangkat berarti kenaikan gaji. Untuk pertama kalinya dalam seminggu terakhir Sasha dapat makan dengan lahap sekali...
*****
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"